Keamanan Pangan TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Keamanan Pangan

Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman. Sedangkan keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Aman untuk dikonsumsi dapat diartikan bahwa produk pangan tidak mengandung bahan yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia, yaitu bahan yang dapat menimbulkan penyakit atau keracunan. Di samping itu produk pangan juga harus layak untuk dikonsumsi. Maksudnya produk tersebut harus dalam keadaan normal, tidak menyimpang seperti busuk, kotor, dan menjijikkan. Ada beberapa masalah keamanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini antara lain 1 pangan yang tidak memenuhi standar yang disyaratkan; 2 kasus KLB keracunan pangan yang tidak terlaporkan dan tidak diketahui penyebabnya; 3 terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan terutama dari skala kecil terhadap keamanan dan mutu pangan; 4 rendahnya pengetahuan konsumen pangan dan keterbatasan akses untuk mendapatkan pangan yang bermutu tinggi dan aman Rahayu dan Nababan 2011. Berdasarkan hasil sampling yang dilakukan oleh BPOM tahun 2011 ditemukan sebanyak 18000 lebih sampel makanan yang memenuhi syarat keamanan pangan dan sebanyak 2000 lebih sampel makanan yang tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Makanan yang memenuhi syarat adalah makanan yang tidak mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba. Sedangkan makanan yang tidak memehuhi syarat adalah makanan yang mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba yang apabila dikonsumsi dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Jenis temuan pada makanan yang tidak memenuhi syarat adalah penggunaan formalin, boraks, Rhodamin B, methanil yellow, auramin, cemaran mikroba, serta penggunaan pengawet benzoat dan pemanis buatan melebihi batas yang ditetapkan. Hasil sampling menunjukkan bahwa jenis temuan yang paling banyak pada produk pangan yang tidak memenuhi syarat adalah cemaran mikroba sebesar 1102 produk. Masalah keamanan pangan lainnya yang masih terjadi di Indonesia saat ini antara lain kasus keracunan, ditemukannya pangan tercemar oleh kontaminan mikrobiologi dan kontaminan kimia, penggunaan bahan tambahan pangan ilegal, dan penggunaan BTP melebihi batas yang diijinkan. Berdasarkan data KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar Balai POM tahun 2001-2011 sebanyak 1392 kejadian di 30 provinsi. Jumlah korban yang meninggal dunia adalah 407 orang. KLB keracunan pangan terbanyak di provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 216 kejadian 15,52 . Ditinjau dari sumbernya, kasus keracunan pangan pada tahun 2001-2011 terjadi pada makanan rumah tangga sebanyak 620 kasus 44,54, pangan olahan sebanyak 221 kasus 15,88, pangan jasa boga sebanyak 301 kasus 21,62, pangan jajanan sebanyak 202 kasus 14,51, lain-lain sebanyak 23 kasus 1,65, dan tidak dilaporkan sebanyak 25 kasus 1,80. Data lengkap untuk KLB di masing-masing tahun dapat dilihat pada Lampiran 3. Masalah keracunan pangan dapat terjadi di sepanjang mata rantai pangan dan disebabkan karena ketidaktahuan produsen terutama produsen skala kecil terhadap bahaya keracunan pangan, ketidakpedulian produsen dan juga ketidaksadaran konsumen untuk memilih pangan yang aman. Terlebih lagi tindak lanjut pengawasan yang dilakukan oleh instansi pemerintah belum memberikan 7 efek jera. Penuntasan masalah keamanan pangan memerlukan suatu kebijakan dan strategi yang tepat. Untuk dapat mengeluarkan kebijakan dan strategi yang tepat maka dibutuhkan dukungan berupa hasil kajian surveilan keamanan pangan, keputusan manajerial dan komunikasi resiko yang efektif. Hal ini yang mendasari perlunya suatu kebijakan dan strategi keamanan pangan dilandaskan pada prinsip- prinsip analisis resiko Rahayu 2007. Menurut Hariyadi 2007, nilai strategis keamanan, mutu, dan gizi pangan ini akan semakin nyata ketika dikaitkan dengan persaingan pasar global. Masuknya era perdagangan bebas mengakibatkan masalah mutu dan keamanan pangan memegang peranan yang sangat penting. Perhatian masyarakat internasional terhadap keamanan pangan yang dikonsumsinya sudah sangat tinggi, sehingga mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang akan diterima dan dikonsumsinya. Bila masyarakat Indonesia terutama para eksportir bahan pangan belum memahami pentingnya keamanan pada pangan yang dijualnya, maka akan terjadi banyak kasus penolakan dari negara importir. Dalam perdagangan internasional, pangan yang terkontaminasi tidak aman tidak akan diterima oleh negara pengimpor. Sebagai contoh pada tahun 1987 komoditi ekspor pangan Indonesia yang ditahan di Amerika Serikat AS senilai 21 juta dolar AS dan pada tahun 2001 meningkat menjadi beberapa puluh kali lipatnya. Penolakan terjadi karena kandungan Salmonella, kotor filthy, tanpa proses, tidak saniter, memerlukan asam atau es, beracun, mengandung Listeria, kandungan histamin, atau penggunaan pewarna yang tidak aman. Secara umum dalam perdagangan internasional, jumlah terbesar dari penolakan produk impor berasal dari negara-negara berkembang. Pelanggaran yang paling sering dituduhkan adalah terdapatnya serangga, kontaminasi mikroba, dan level residu pestisida yang berlebihan Sulaeman dan Syarief 2007. Menurut data US-FDA mulai dari Januari 2001 sampai dengan September 2005, setiap tahunnya tercatat lebih dari 300 kasus penolakan produk Indonesia untuk masuk ke AS. Keamanan pangan digunakan oleh US-FDA sebagai alasan penolakan produk-produk pangan Indonesia. Kinerja produk Indonesia untuk menembus pasar AS, dilihat dari aspek mutu masih sangat memprihatinkan. Apalagi ternyata sebagian besar penolakan karena alasan keamanan pangan tersebut, yaitu sekitar 33080 produk, ditolak karena alasan filthy. Secara umum filthy diartikan bahwa produk tersebut mengandung sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam produk tersebut. Penyebab adanya filhty adalah karena masih kurang atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan pengolahan yang baik Hariyadi 2007. Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budi daya hingga pangan tersebut siap disantap. Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap tahap produksi harus dilakukan dengan baik agar pangan yang dikonsumsi benar-benar aman. Pada tahap budi daya perlu diterapkan Good Farming Practices GFP, pada tahap pascapanen diterapkan Good Handling Practices GHP, pada tahap pengolahan diterapkan Good Manufacture Practices GMP, dan pada tahap distribusi harus diterapkan Good Distribution Practices GDP agar produk pertanian maupun makanan siap saji sampai ke konsumen dalam keadaan aman Djaafar dan Rahayu 2007. Menurut Rahayu 2002, setiap tahap pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan tertentu yang berkaitan dengan keamanan dan mutu produk pangan yang dihasilkan. Setiap tahap pengolahan ini berperan dalam menentukan keamanan dan mutu produk pangan yang dihasilkan, sehingga setiap tahap pengolahan ini harus selalu dikendalikan supaya benar. Upaya untuk meningkatkan keamanan dan mutu produk IRTP salah satunya melalui penerapan Cara Produksi Pangan yang Baik CPPB. Dalam PP No. 28 tahun 2004 dinyatakan bahwa pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan dilakukan dengan cara menerapkan CPPB-IRT. Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2206 tetang CPPB-IRT 8 tahun 2012 disebutkan bahwa setiap IRTP dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatannya wajib menerapkan CPPB-IRT.

B. Industri Rumah Tangga Pangan IRTP