Intervensi Pemerintah dalam Pembinaan IRTP Berbasis Tepung

26 mengupayakan regenerasi tenaga PKP dan DFI dengan menyelenggarakan pelatihan sesuai dengan persyaratan kompetensi yang ditetapkan. Pemerintah BPOM juga telah menyelenggarakan kegiatan Piagam Bintang Keamanan Pangan PBKP. PBKP adalah program yang bersifat sukarela untuk mendorong industri pangan menerapkan prinsip-prinsip keamanan pangan. Piagam Bintang Satu Keamanan Pangan PB1KP memberikan pengetahuan tentang keamanan pangan dan higiene sanitasi bagi pelaku usaha, baik karyawan yang mengawasi pangan maupun karyawan yang menangani pangan. Piagam Bintang Dua Keamanan Pangan PB2KP menunjukkan bangunan dan peralatan yang digunakan telah mengikuti prosedur kerja sesuai persyaratan dan lembar kerja diterapkan dengan baik. Piagam Bintang Tiga Keamanan Pangan PB3KP diberikan kepada IRTP yang telah mampu menerapkan manajemen keamanan pangan berdasarkan prinsip Hazard Analysis Critical Control Point HACCP Dari paparan di atas tampak bahwa pemerintah telah melakukan serangkaian upaya untuk membina produsen IRTP, namun ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan khususnya pada produsen IRTP berbasis tepung.

E. Intervensi Pemerintah dalam Pembinaan IRTP Berbasis Tepung

Berdasarkan potensi-potensi bahaya pada produk IRTP berbasis tepung maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mencegah dari bahaya yang akan tumbuh. Potensi bahaya yang pertama adalah penggunaan tepung yang tidak sesuai SNI. Pemerintah bisa mengarahkan produsen untuk menggunakan tepung yang sesuai SNI agar produk yang dihasilkan lebih aman dan bermutu. Pemerintah diharapkan dapat membantu pengadaan tepung yang baik dan berkualitas serta memberikan pelatihan tentang cara penyimpanan tepung yang benar cara peletakan, kondisi ruang penyimpanan, suhu, ventilasi, sanitasi. Dalam melakukan pembinaan, pemerintah sebaiknya memisahkan jenis pelatihan yang diberikan berdasarkan jenis produknya. Sebagai contoh, pada pembinaan produk roti tidak dicampur dengan produsen kerupuk. Potensi bahaya kedua yaitu penggunaan BB, BTP berlebih, dan cemaran mikroba. Pemerintah wajib memberikan penyuluhan tetang bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan BB, BTP berlebih, dan cemaran mikroba. Pemerintah diharapkan bisa memberikan informasi tentang BTP yang benar dan batasan penggunaannya, BB yang dilarang digunakan untuk pangan, dan hal-hal yang mengakibatkan terjadinya cemaran mikroba seperti kondisi sanitasi yang buruk dan cara pengolahan pangan yang tidak higienis. Pemerintah sebaiknya membantu pengadaan BTP yang diijinkan untuk pangan agar masyarakat mudah mendapatkannya dengan harga yang relatif murah. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan inspeksi rutin terhadap IRTP yang terdapat di Jawa Barat dan memberikan sanksi tegas bagi IRTP yang melakukan pelanggaran, berupa penyitaan produk, pencabutan ijin usaha, dan pemberian sanksi pidana agar memberikan efek jera. Potensi bahaya ketiga yaitu proses pengolahan yang salah. Pembinaan dan pengawasan bisa dilakukan dengan memberikan penyuluhan agar IRTP menerapkan CPPB dengan benar, sanitasi yang baik, serta penggunaan peralatan yang benar. Materi modul pelatihan dapat berisi teknik penggorengan yang tepat, penggunaan minyak yang benar, proses pengolahan yang benar, potensi bahaya yang ditimbulkan, dan peraturan-peraturan yang mengatur hal tersebut. Solusi yang dapat diberikan untuk menghilangkan bahaya akrilamid akibat proses pengolahan bisa dilakukan dengan penggorengan vakum. Intervensi pemerintah dalam hal ini bisa dengan membantu memberikan kredit untuk pembelian alat pengorengan vakum bagi IRTP agar lebih ringan. Potensi bahaya keempat yaitu pengemasan dan pelabelan yang salah. Hal ini bisa ditanggulangi dengan menginformasikan jenis bahan pengemas sesuai dengan karakteristik produk, serta potensi bahaya yang ditimbulkan akibat adanya migrasi komponen berbahaya pada plastik. Pengadaan bahan 27 pengemas yang aman dan murah juga akan sangat membantu produsen P-IRT. Sosialisasi mengenai cara pelabelan yang tepat juga sangat penting untuk diperhatikan. Ketika IRTP mendaftarkan produknya ke Dinas Kesehatan untuk mendapat nomor registrasi P-IRT harus lebih diperhatikan pemenuhan syarat pengemasan dan pelabelan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Untuk industri- industri yang tidak lolos mendapatkan nomor registrasi, sebaiknya dilakukan pembinaan pengetahuan tentang bahaya serta sanksi tegas jika melakukan pelanggaran dalam pengemasan dan pelabelan, akan menimbulkan kesadaran dan motivasi produsen untuk menggunakan pengemas dan label yang benar dan sesuai aturan. Potensi bahaya kelima yaitu penyimpanan produk yang salah. Bagian kritis yang harus diperhatikan dalam hal ini yaitu ruang penyimpanan produk setelah di proses, dan suhu. Letak ruang penyimpanan sebaiknya jauh dari tempat sampah, tempat penyimpanan bahan baku, atau bahan-bahan yang menimbulkan bau agar tidak terjadi kontaminasi silang. Suhu ruang penyimpanan akan mempengaruhi karakteristik dari produk yang dihasilkan. Penyimpangan yang terjadi pada produk berbasis tepung pada IRTP di Jawa Barat dapat dicegah dengan mempertegas peraturan mengenai perolehan nomor P-IRT. Pemerintah daerah seharusnya lebih selektif dalam memberikan nomor P-IRT. Produk-produk seperti bakso yang diproduksi dengan skala industri rumahan tidak bisa mendapatkan nomor P-IRT. IRTP penghasil bakso, naget, otak-otak, dan batagor disarankan untuk mendaftarkan produknya sebagai pangan siap saji. Selain itu, untuk produk-produk yang tidak sesuai dengan definisi produk dalam SNI dan atau kategori pangan sebaiknya dibuatkan nama baru. Sebagai contoh pada produk abon oncom bisa dibuatkan nama baru menjadi oncom suir atau produk bakso dengan kandungan daging kurang dari 50 dinamakan bakso aci bakso tepung bola tepung. Nama-nama ini sebaiknya disosialisasikan oleh pemerintah agar pelaku usaha tidak rancu dengan definisi yang terdapat dalam SNI atau kategori pangan.

VI. SIMPULAN DAN SARAN