Faktor Gaya Pribadi Golongan Sunni dan Syiah

Berdasarkan hasil wawancara diatas, masyarakat Jambesari Golongan Sunni dan Syiah, sama-sama saling menunjukkan adanya rasa keluwesan, yakni masyarakat Jambesari tidak terus-terusan membahas perbedaan, dan mempersilahkan untuk menjalankan ibadahnya sesuai keyakinan masing-masing. Berikut kutipan wawancara peneliti bersama dengan bapak Ahmad Rawi; “Alhamdulillah sekarang responnya sudah baik, jika acara besar dalam Islamtidak sedikit masyarakat golongan sunni yang ikut bareng. Tetapi kalo acara milad atau menyambut kelahiran para imam masyarakat golongan sunni tidak ikut berpartisipasi dikarenakan kami mengadakannya hanya kecil- kecilan dan masyarakat responnya juga baik.” 9 Berdasarkan hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa, dengan adanya tradisi keagamaan yang sama-sama diyakini dan dilaksanakan oleh golongan Sunni dan Syiah, menjadikan penganut kedua golongan tersebut saling berinteraksi, dan bertoleransi sehingga menjadikan komunikasi antarbudaya efektif dan tercipta kehidupan yang rukun antar masyarakat golongan Sunni dan Syiah. c. Empati Empati merupakan kemampuan untuk merasakan, melihat secara akurat, dan memberikan respons secara tepat kepada kepribadian, hubungan, dan lingkungan sosial seseorang. 10 Sebagai 9 Wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Rowi, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB. 10 Larry A.Samovar dkk,Komunikasi Lintas Budaya, h.466 masyarakat yang hidup dipedesaan, golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari sering kali ikut merasakan hal-hal yang terjadi terhadap seseorang. Terdapat sesuatu yang unik pada masyarakat Jambesari perihal empati. Misalkan salah seorang golongan Sunni meninggal dunia, masyarakat desa Jambesari terlepas Sunni dan Syiah semuanya turut berduka dan mendatangi rumahnya, dan membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkannya. Berikut adalah hasil kutipan wawancara peneliti dengan bapak Mukhlis: “...Kalau ada kifayah, orang meninggal, Sunni Syii ngumpul sekarang, ngelayat semua. Ya kalo yang meninggal orang Syii, yang didepan mensholati orang Syii, kalo yang meninggal Sunni yang didepan orang Sunni. Secara upcaranya seperti itu.” 11 Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa Empati tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan keseharian masyarakat Jambesari. Masyarakat golongan Sunni dan Syiah, sama-sama mengesampingkan keyakinannya disaat terdapat seseorang yang mengalami musibah. Sehingga dengan munculnya empati ini, komunikasi antara golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari berjalan efektif. d. Keterbukaan Semakin dewasanya masyarakat golongan Sunni dan Syiah memahami perbedaan, menjadikan pengikut kedua golongan tersebut 11 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB. lebih terbuka dan memiliki keluwesan pribadi. Sedangkan menurut Devito sikap keterbukaan juga merupakan faktor untuk menciptakan relasi antarpribadi yang maksimum. Berikut hasil wawancara peneliti dengan H.Abdulah perihal sikap luwes masyarakat Jambesari; “Tidak, Semua ini tergantung lingkungan, tokoh terutama pimpinan desa. Alhamdulillah di sini setiap bulan ada shalawatan, orang sunni dan syiah di undang, karena sama-sama rakyatnya tidak dibedakan, atau mungkin bisa jadi dengan cara-cara seperti ini mereka kembali lagi ke tujuannya.” 12 Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa setelah masyarakat Sunni mengetahui adanya perbedaan dengan ajaran Syiah, mereka tidak meyatakan golongan lain itu sesat, begitupun sebaliknya. Sehingga kedua golongan tersebut mau duduk bersama mengikuti acara bulanan yang di selengarakan oleh pimpinan desa. Acara tersebut biasanya diakhiri dengan berbincang-bincang santai oleh hadirin mengenai berbagai persoalan yang terjadi di desa Jambesari. Sehingga hal ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Jambesari baik golongan Sunni maupun Syiah. e. Kompleksitas Kognitif Kompleksitas kognitif mengacu pada kemampuan pribadi untuk mengetahui, dan mengalami orang lain. Perbedaan pemahaman mengenai ajaran Sunni dan Syiah hampir semua masyarakat 12 Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB. Jambesari mengetahui. Tentu pasti berbeda tingkatan pemahamannya. Meskipun adanya perbedaan antara kedua golongan tersebut, tak menjadi persoalan bagi masyarakat Jambesari. Hal ini yang membedakan masyarakat Jambesari dengan masyarakat lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh H.Abdullah sebagai berikut; “Bedanya masyarakat Jambesari dengan masyarakat lainnya, tidak memperpanjang persoalan. Orang syiah mau ngadain acara apapun selama dilingkungannya sendiri tidak masalah, karena itu emang sudah ajarannya. Yang menjadikan konflik itu kan memperpanjang persoalan perbedaan itu, debat, kalo aqidahnya ga kuat, trus panas dan marah- marah.” 13 Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa masyarakat Jambesari mengetahui akan adanya perbedaan keyakinan, namun mereka tetap bersikap luwes selama tidak meresahkan kehidupan masyarakat Jambesari. f. Kenyamanan Antarpribadi Kenyaman antarpribadi, juga menjadi faktor efektivitas komunikasi antarbudaya. Apabila anda merasa tidak nyaman, tidak tenang dan tidak percaya dengan relasi antarpribadi dalam kebudayaan anda, maka anda pun merasa tidak lebih nyaman, tidak tenang, dan tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan anda. Hal ini yang dirasakan pengikut Syiah, pada awal kehadirannya. 13 Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB. Pengikut Syiah merasa terasing jika berada ditengah-tengah golongan Sunni. Tentu hal ini berdampak pada tidak efektivnya komunikasi antarbudaya. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Muhlis; “Kadang-kadang, kalo sempet ya dateng. Liat situasi dan kondisi kalau yang hadir kurang begitu suka yah ga hadir.” 14 Berdasarkan kutipan hasil wawancara diatas, menunjukkan komunikasi antarbudaya akan berjalan efektiv, jika orang-orang yang berbeda budaya tersebut merasakan adanya kenyamanan dan ketenangan dalam berkomunikasi. Hal ini justru yang tidak dirasakan oleh masyarakat Syiah pada mulanya, sehingga ketika di undang mengahadiri acara yang diselenggarakan oleh golongan Sunni, mereka melihat siapa yang akan hadir terlebih dahulu. Akan tetapi berbeda halnya saat ini, masyarakat Jambesari sudah merasa saling memahami, sehingga kenyamanan pribadi pun tercipta. Berikut hasil wawanara peneliti dengan Bapak Muhlis; “Kalo sekarang sudah nyaman. Bukan Cuma saya, teman-teman juga sekarang sudah merasa nyaman. Bayangkan pekerjanya kiai matrawi ini Sunni, keluar masuk dapurnya. Dulu jangan kan masuk kerumahnya kiai matrawi, lewat aja gak mau. Ya klo sekarang keluar masuk sudah ga masalah.” 15 g. Kontrol Pribadi 14 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB. 15 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB. Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga sangat tergantung pada sejauh mana perseorangan dapat mengontrol pribadi terhadap lingkungan sekitarnya. Seseorang yang tidak terkontrol tentu akan menyebabkan perseteruan. Hal ini yang terjadi di Jambesari seseorang yang baru mengenal Syiah, menganggap Syiah itu ajaran yang paling benar dan selain Syiah salah. Sedangkan mayoritas masyarakat di Jambesari meyakini Sunni sebagai golongannya. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Muhlis; “Iyaa, merasa unggul, merasa paling benar. Biasa lah dek, namanya orang baru tau kok. Kayak punya barang baru, pengen ditonjolkan terus.” 16 Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa masyarakat yang baru mengenal Syiah, merasa dirinya sudah paling benar. Dengan timbulnya perasaan paling benar tersebut menjadikan pengikut golongan Syiah ingin membenarkan segala yang dianggap salah atau tidak sesuai dengan ajarannya. Kurangnya kontrol terhadap diri sendiri, dan minimnya penyesuaian diri terhadap golongan Sunni, meresahkan masyarakat Sunni yang lebih lama hadir dan diyakini oleh masyarakat Jambesari pada umumnya. Lagi-lagi hal ini lah yang menjadikan gagalnya komunikasi antar masyarakat Sunni dan Syiah di Jambesari pada tahun 2006 silam. Sehingga dapat dikatakan bahwa 16 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB. kontrol terhadap pribadi sangat diutamakan dalam terjalinnya komunikasi antarbudaya, dimana komunikator yang berbeda budaya dan agama, sama-sama untuk mengontrol pribadinya serta penyesuaian terhadap budayanya. h. Kemampuan Inovasi Masyarakat golongan Syiah Jambesari memiliki program penggemukan sapi, yang program ini belum pernah ada sebelumnya. Program ini sengaja di bentuk oleh lembaga Syiah yang ada di desa Jambesari, melihat potensi desa Jambesari yang cukup strategis untuk mengembangkan program tersebut. Adanya inovasi ini, menjadi daya tarik tersendiri baik bagi kalangan masyarakat Syiah maupun masyarakat Sunni. Adapun yang dipercaya untuk mengurus sapi-sapi tersebut adalah salah seorang dari golongan Sunni meskipun program tersebut milik golongan Syiah. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Mukhlis: “Disini madrasah punya program menggemukkan sapi, yang ngerawat orang Sunni. Yah silahkan, kan tidak ada masalah.” 17 17 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB. Sehingga dengan adanya inovasi di bidang program penggemukan sapi ini menjadikan, lebih seringnya berkomunikasi antara pengikut gologan Sunni dan Syiah. i. Harga diri Harga diri self esteem juga sangat menentukan terjalinnya komunikasi antarbudaya. Dimana seorang komunikator dituntut untuk memiliki inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri dengan komunikan. Dalam relasi keseharian masyarakat golongan Sunni dan Syiah, saling bergantian posisi sebagai komunikator dan komunikan, sebab sifat komunikasinya yakni dua arah. Sehingga untuk menciptakan komunikasi yang efektif, diperlukan inisiatif untuk berelasi oleh kedua pengikut golongan tersebut. Hal ini yang dialami Bapak Mukhlis sebagai tokoh Syiah jika diundang untuk menghadiri acara golongan Sunni, beliau secara tidak langsung, mau atau tidak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan budaya golongan Sunni. Dalam isi pembicaraan pun, beliau hanya membahas ahlak. Karena ahlak atau berperilaku baik terhadap diri sendiri maupun orang lain sangat dianjurkan dan tidak mengenal golongan. Berikut hasil wawancara peneliti dengan bapak Mukhlis; “Kalo saya kumpul-kumpul dengan mereka, ya yang saya bicarakan masalah ahlak. Tapi ada pengecualiannya nih, biasanya saya ada tamu dan nanya-nanya tentang Syii ya sudah, saya sampaikan. Kalo saya berkomunikasi dengan mereka, saya tidak menyampaikan keyakinan-keyakinan. Kecuali saya ditanya, ya terpaksa kan. Ya kalo orang mau beli ya saya jual. Saya sampaikan dengan cara-cara yang tidak menyinggung mereka, kita beri pengertian. ” 18 Berdasarkan hal diatas, adanya inisiatif yang dilakukan bapak Muhlis untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Sunni, dengan tidak membicarakan hal-hal yang berbeda dalam keyakinan kedua golongan tersebut. Hal ini juga ditekankan oleh bapak Muhlis terhadap masyarakat golongan Syiah yang lainnya. Sehingga dengan adanya rasa untuk menyesuaikan terhadap budaya yang berbeda akan menjadikan komunikasi antarbudaya berjalan efektif, serta terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun. j. Keprihatinan dan Kecemasan Komunikasi Munculnya rasa cemas yang dialami masyarakat golongan Syiah, karena disebabkan beredarnya penyesatan terhadap golongannya. Serta munculnya kecemasan yang dialami oleh masyarakat golongan Sunni, karena hadirnya keyakinan Syiah yang dianggap sesat dan tidak di perbolehkannya untuk berinteraksi dengan golongan tersebut, menyebabkan gagalnya komunikasi antarbudaya Sunni dan Syiah tersebut. Hal ini terjadi saat baru pertama kali hadirnya keyakinan Syiah di desa Jambesari, sehingga timbul konflik antar kedua golongan tersebut. 18 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB. Semakin tingginya kecemasan untuk berinteraksi dengan golongan yang berbeda budaya sebagaimana yang dialami masyarakat Sunni dan Syiah di Jambesari, maka semakin kecil kemungkinan terjadinya komunikasi yang efektif. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kecemasan yang dialami oleh pengikut kedua golongan tersebut, maka akan membawa komunikasi kearah yang lebih baik, sehingga perbedaan diantara kedua golongan tersebut tertutupi karena adanya peleburan budaya yang dirasakan oleh pengikut golongan Sunni dan Syiah. Berikut hasil wawancara peneliti dengan bapak muhlis, terkait dengan semakin rendahnya rasa cemas masyarakat golongan Syiah untuk berkmounikasi dengan masyarakat golongan Sunni: “Kalo sekarang sudah nyaman. Bukan Cuma saya, teman-teman juga sekarang sudah merasa nyaman. Bayangkan pekerjanya kiai matrawi ini Sunni, keluar masuk dapurnya. Dulu jangan kan masuk kerumahnya kiai matrawi, lewat aja gak mau. Ya klo sekarang keluar masuk sudah ga masalah.” 19 Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat terlihat adanya rasa nyaman yang dirasakan oleh masyarakat Sunni dan Syiah dalam berkomunikasi. Bahkan orang-orang Sunni bersedia untuk bekerja dengan orang Syiah. Hal ini terjadi karena minimnya kecemasan untuk berinteraksi dengan yang berbeda golongan yakni Syiah. 19 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.

3. Faktor-faktor Lain Golongan Sunni dan Syiah

Adapun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi terjalinnya komunikasi antarbudaya golonagan Sunni dan Syiah di desa Jambesari adalah sebagai berikut;

a. Faktor Keramahtamahan

Pada dasarnya, keramahtamahan bersifat relatif. Akan tetapi pada umumnya setiap kebudayaan mengajarkan keramahtamahan dalam komunikasi antarpribadi. Terlebih lagi masyarakat pedesaan yang sangat kental dengan hubungan kekeluargaannya. Masyarakat golongan Sunni dan Syiah yang memiliki beberapa perbedaan, mereka tetap bersifat ramah antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat diketahui dari prilaku masyarakat yang saling tegur sapa dimanapun mereka berjumpa. Berikut hasil wawancara peneliti dengan H.Abdullah: “Jika orang syiah mengucapkan salam kepada saya, ya wajib saya jawab.” 20 Keramahtamahan masyarakat Sunni dan Syiah di desa Jambesari juga di pengaruhi kesamaan suku. Dalam budaya suku Madura, maka dikenal sebagai “Taretan dhibik” saudara sendiri. 20 Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB. Budaya taretan dhibik ini merupakan budaya dasar orang Madura yang menunjukkan sikap solidaritas yang tinggi sesama suku Madura. Dimana pun, kapan pun, dalam keadaan apa pun, orang- orang Madura akan tetap memegang budaya tersebut. Hal ini yang menumbuhkan ikatan emosional masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Keramahtamahan yang ditunjukkan masyarakat golongan Sunni dan Syiah, berdampak kepada kehidupan masyarakat Jambesari yang semakin tentram dan aman. Hal ini terbukti ketika peneliti mengajukan pertanyaan, jika ada orang yang mencoba memprovokasi agar golongan Sunni dan Syiah kem bali berseteru, jawaban dari pihak Sunni dan Syiah sama-sama tidak akan mendengarkan dan tidak akan terpengaruh, karena hal itu hanya ingin meruntuhkan kerukunan desa Jambesari. Berikut hasil wawancara peneliti dengan H.Abdullah terkait jika ada orang yang mencoba memprovokasi: “Tak mengikuti orang luar, karena orang luar hanya membakar atau mendorong dengan tujuan bagaimana Jambesari ini hancur. Jadi saya tidak ikut- ikut.” 21 Hal serupa juga dikatakan bapak Mukhlis, bahwa Sunni dan Syiah sudah kembali rukun, jika ada yang berusaha memecah belah 21 Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB. kembali masyarakat sudah tidak terpengaruh. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Mukhlis: “Kalo ada yang mencoba mengadu domba, kita cuek ajah. Ga usah ditanggepin. Seperti acara barusan, acara penggagalan milad sayidah Fatimah az-zahara itukan penggerak masanya orang Jambesari, orang Jambesarinya gak ada yang mau. Jadi kalo ada provokator masuk ke Jambesari, sudah tidak ditanggapi dengan mereka. Apalagi dengan teman-teman. Mereka sendiri Orang Sunni sendiri tidak menanggapi sudah. Statementnya mereka kita sudah rukun “engkok lah rukun bik taretan masak gik erosakah pole” saya sudah rukun dengan saudara masa masih mau dibentrokkan lagi. Banyak yang mengatakan seperti itu, Ini peryataan orang Sunni loh yah, bukan orang- orang Syii.” 22 Berdasarkan hal diatas dapat diketahui bahwa sikap keramahtamahan mendorong adanya komunikasi antarpribadi yang baik. Sehingga menjadikan kehidupan orang-orang yang berbeda budayapun penuh dengan keharmonisan dan kerukunan.

b. Faktor Motivasi

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat Sunni dan Syiah yang sama-sama bersuku Madura, memiliki budaya Taretan dhibi saudara sendiri. Hal ini merupakan salah satu motivasi masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari dalam berkomunikasi. Adanya budaya taretan dhibi ini membangkitkan sikap emosional masyarakat Madura pada umumnya, dan terkhusus masyarakat golongan Sunni dan Syiah di 22 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB. desa Jambesari untuk saling membantu dan bergotong royong untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

c. Faktor Akulturasi

Sunni dan Syiah sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya merupakan dua aliran besar dalam islam. Kehadiran Sunni di desa Jambesari boleh dikatakan lebih awal dari Syiah. Dalam hal kebudayaan, kedua aliran ini memiliki beberapa perbedaan yang dipengaruhi oleh pemikiran para tokohnya. Jika Sunni hanya melaksanakan ritual khusus pada hari-hari besar islam, golongan Syiah juga melaksanakan hari-hari besar menurut keyakinan mereka, misalkan Asyuro yakni memperingati wafatnya imam mereka yang ketiga Husein bin Ali bin Abu tholib, perayaan Ghadir khum yakni hari bersejarah pengangkatan Sayyidina Ali sebagai pemimpin pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, dan berbagai perayaan kedukaan maupun kebahagiaan. Tentu mereka melaksanakan acara tersebut dengan adanya penyesuaian dengan budaya setempat yakni Jambesari. d. Faktor Umur Dalam beberapa kebudayaan, penghargaan antarmanusia sangat ditentukan oleh umur. Dikalangan Sunni dan Syiah, mereka yang berusia lebih muda tidak diperkenankan menatap mata orang yang lebih tua serta menghormatinya, sedangkan yang tua