commit to user Bantuan dari pemerintah daerah berupa dana hibah bantuan sosial sebesar
Rp. 30.000.000,- dana tersebut dipergunakan sebagai modal awal pembetukan Koperasi Laskar Kaum Mandiri yang merupakan koperasi rintisan dari Pedangang
Kaki Lima. Diharapkan dengan sinergi dari berbagai pihak dapat membantu PKL dalam menjalankan usahanya dengan tetap menjaga keindahan, ketertipan,
keamanan serta kenyamanan Kabupaten Ngawi tanpa merusak tata kota yang telah ada.
Satuan Polisi Pamong Praja selaku penegak peraturan bertugas untuk mengawal dilaksanakannya peraturan termasuk dalam hal ini Peraturan Bupati
No. 11 Tahun 2007 tentang Lokasi dan Relokasi Pedagang Kaki Lima. Dalam implemantasi peraturan tersebut, tidak jarang terjadi pelanggaran dari para
PKL.Upaya yang dilakukan adalah penertiban dimulai dari pemberian teguran secara lisan, dilanjutkan denga teguran tertulis I, II dan III. Untuk selanjutnya jika
masih belum diperhAtikan dan dilaksanakan akan ada tindakan langsung berupa pemanggilan serta pembinaan kepada pedagang yang bersangkutan.
4.3. Profil Informan
Informan pada penelitian ini terbagi menjadi tiga golongan yaitu informan dari Pedagang Kaki Lima, Informan dari Pembeli serta informan dari
dinas terkait dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja. Pemilihan informan dari Pedagang Kaki Lima didasarkan pada kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Aktivitas informan sehari-hari benar-benar merupakan pedagang kaki lima
yang berjualan di sekitar alun-alun Kabupaten Ngawi.
commit to user 2.
Menjadi PKL telah ditekuni oleh informan minimal selama 3 tiga tahun berturut-turut, artinya selama 3 tiga tahun mereka tidak pindah-pindah
membuka jenis usaha lainnya. 3.
Usia informan paling rendah 25 tahun, dengan pertimbangan pada usia tersebut mereka sudah cukup pengalaman dalam hidup.
4. Status informan sudah kawin atau pernah kawin.
5. Informan memiliki pengalaman dalam berhubungan dengan berbagai
pihak dalam jaringan usahanya. 6.
Informan dapat berkomunikasi dengan baik dengan penulis dan adanya kesediaan serta kerelaan untuk memberikan informan atau akan
diwawancarai oleh penulis. Profil informan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pedagang Kaki Lima
No Nama
Alamat Jenis
Dagang Keterangan
1. Sutrisno
Lingkungan Krajan
RT 04
RW 01
Kelurahan Ketanggi, Ngawi
Nasi Pecel Ketua
Paguyuban
2. SukarJo
Mbah Jo Jl. Imam BonJol Gg.
Mawar, RT 03 RW 04
, Kelurahan
Karangtengah, Ngawi Angkringan
Anggota Paguyuban
3. Atik
Jl. TrunoJoyo Gg. Mayang
No.01 Ngawi
Minuman dan Tempura
Bukan Anggota
Paguyuban
commit to user 2.
Pembeli
No Nama
Alamat Pekerjaan
1. Deden
Jl. Muh. Ilyas No.23 Ngawi PNS
2. Aditya
Perumahan Lawu Indah Gg. II No. 13 Ngawi
Wiraswasta
3. Satuan Polisi Pamong Praja
Sebagai informan dari Satuan Pamong Praja adalah Pegy Yudho, S.STP, M.Hum selaku Kepala Seksi Operasional.
4. Dinas Perdagangan dan Pengelolaan Pasar
Sebagai Informan dari Dinas Perdagangan dan Pengelolaan Pasar adalah Drs. Setianto selaku Kepala Bidang Perdagangan
4.4. Modal Sosial Pedagang Kaki Lima
Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima akan dilihat dari indikator- indikator modal sosial yang ada. Merujuk pada Ridell, 1997 dalam Suharto,
2007, ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan
trust
, norma-norma
norms
dan jaringan-jaringan
networks
. Setelah dilakukan penelitian dilapangan dan dari hasil wawancara kepada informan akan dijabarkan bagaimanakah kondisi
modal sosial pedagang kaki lima dilihat dari parameter yang ada.
4.4.1. Kepercayaan
Seperti dikatakan oleh Fukuyama 2002 kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam modal sosial, dengan kepercayaan orang-orang akan dapat
commit to user bekerjasama secara efektif. Kepercayaan pada Pedagang Kaki lima bisa
digolongkan menjadi 2, kepercayaan kepada sesama pedagang serta kepercayaan kepada pembeli. Kepercayaan kepada sesama pedagang dapat dilihat dari kegiatan
sehari-hari Pedagang Kaki Lima. Salah satu kepercayaan yang terlihat adalah pada proses pinjam meminjam. Pinjam meminjam dapat berupa meminjam barang
dagangan atau peminjaman uang. Seperti petikan hasil wawancara dengan Mbah Jo yang mengatakan :
“ Pinjam meminjam itu sudah biasa mbak, kalau saya kehabisan barang dagangan karena klarisan laris ya pinjam punya tetangga dulu, nanti saya ganti
kalau sudah selo waktu luang. Kalau pinjam uang ya juga pernah, gak bisa selalu njagakne mengandalkan koperasi. Karena kebutuhan gak bisa
disemayani ditunda-tunda”
Pinjam meminjam dapat berupa barang atau uang. Meminjam barang sudah merupakan hal biasa bagi para pedagang, karena barang dagangan yang
dipersiapkan oleh pedagang tidak terlalu banyak. Sehingga ketika pembeli ramai kadang kala harus meminjam barang dagangan terlebih dahulu kepada pedagang
yang lain. Barang yang dipinjam biasanya berupa bahan baku seperti gula, kopi, atau mie instan yang biasanya selalu ada di pedagang yang lain. Pinjam
meminjam uang juga terjadi antar Pedagang Kaki Lima. Para pedagang tidak bisa hanya mengandalkan koperasi karena kebutuhan tidak bisa diprediksi kapan
datangnya sedangkan uang tidak selalu tersedia di koperasi, salah satu jalan keluarnya adalah meminjam kepada sesame pedagang.
Fukuyama 2002 berpendapat bahwa kepercayaan adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan
kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan
commit to user anggota yang lain dari komunitas itu. Ada tiga jenis perilaku dalam komunitas
yang mendukung kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur dan kooperatif. Karena kepercayaan sosial, termasuk kejujuran, sangat penting untuk
menumbuhkan kebajikan-kebajikan individual Fukuyama, 2002. Membangun kepercayaan pembeli juga merupakan modal bagi pedagang
kaki lima, kepercayaan dibangun dengan menjaga kualitas barang dagangan serta pernyataan jujur dari para pedagang mengenai kualitas barang dagangannya.
Kepercayaan tersebut akan dijaga demi keberlangsungan hubungan antara pedagang dengan pembeli. Sehingga jika kepercayaan dapat dibina maka
membuat pedagang memiliki banyak pelanggan tetap, karena jalinan hubungan pembeli dengan pedagang tidak hanya pemenuhan kebutuhan ekonomi semata
tetapi lebih kepada jalinan kepercayaan antara pedagang dengan pembeli. Seperti dikatakan Deden
“ Saya percaya dengan yang dikatakan pedagang, kalau barangnya bagus bilang bagus kalau kurang bagus bilang kurang bagus. Seperti kemaren pas saya
mau beli es degan pedagangnya bilang degannya gak terlalu bagus tapi karena sudah percaya dan hubungan sudah dekat dengan pedagang ya saya tetap beli
disitu, gak enak mbak kalau beli di tempat lain. Sungkan, sudah kenal dekat
soale.”
4.4.2. Norma
Menurut Soekanto 2002:198 norma-norma masyarakat merupakan patokan untuk bersikap dan berperilaku secara pantas yang berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar, yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan untuk mencapai suatu tata tertib. Norma-norma informal di satu pihak memaksa suatu
commit to user perbuatan dan di lain pihak, melarangnya, sehingga secara langsung merupakan
alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan norma-norma informal tersebut. Demikian pula kondisi yang ditemui pada
kehidupan PKL di sekitar alun-alun Kabupaten Ngawi. Norma-norma tersebut telah mampu mengatur pergaulan hidup. Salah satu norma yang melekat erat pada
diri PKL adalah perasaan senasib dan menghargai sesama. Mereka sama-sama menyadari bagaimana kehidupan PKL dan suka duka sebagai PKL sehingga
timbul kebersamaan dan toleransi yang cukup tinggi. Salah satu bentuk nyata tindakan dari PKL untuk semakin menumbuhkan
perasaan senasib dan menolong sesama adalah adanya jimpitan. Jimpitan merupakan kegiatan untuk mengumpulkan uang secara sukarela bagi setiap
anggota paguyuban PKL yang berjualan di lingkungan alun-alun kabupaten Ngawi. Jimpitan sebesar Rp. 500,- dikumpulkan setiap satu bulan sekali.
Pengumpulan dilakukan bertepatan dengan pertemuan bulanan paguyuban. Dana jimpitan yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk dana sosial apabila sewaktu-
waktu diperlukan oleh anggota paguyuban. Seperti diungkapkan Sutrisno: “
Jimpitan itu iuran sukarela, tidak banyak hanya Rp. 500,- tetapi berkelanjutan setiap sebulan sekali. Dana tersebut nantinya dipakai kalau ada
PKL yang sakit atau kena musibah.”
Jimpitan bisa dikatakan merupakan salah satu kearifan lokal yang bertujuan untuk membantu sesama. Dengan adanya jimpitan bisa terlihat adanya
kepedulian dan rasa memiliki antar sesama PKL. Secara berkelanjutan tentu saja berpengaruh pada hubungan antar PKL dalam kesehariannya. Karena adanya
commit to user kepedulian antar sesama PKL sehingga kerukunan dan situasi kondusif dapat
terjaga. Dalam hal kebersihan, sudah menjadi kesepakatan bersama antara
pemerintah daerah dan PKL bahwa pedagang diharuskan untuk menjaga kebersihan tempat dagangannya. Karena merupakan suatu keharusan yang
menyangkut keberlangsungan usaha, dalam hal ini ijin yang diberikan oleh pemerintah daerah, maka PKL patuh dalam menjalankan peraturan tersebut.
Upaya menjaga kebersihan tidak hanya dilakukan oleh PKL secara individu saja tetapi juga diagendakan secara bersama-sama. Kerja bakti bersama-sama
dilakukan sebulan sekali pada minggu ketiga. Kerja bakti tersebut juga diikuti oleh Satpol PP sebagai petugas penegak perda. Tujuan dilaksanakannya kerja
bhakti adalah untuk tetap menjaga kebersihan, keindahan dan kerapian lingkungan disekitar alun-alun Kabupaten Ngawi, diharapkan dengan kondisi yang nyaman
membuat para pembeli tertarik dan tidak risi untuk membeli di PKL. Dari kegiatan tersebut dapat disimpulkan adanya kepedulian lingkungan yang dibina
bersama-sama oleh PKL. Satpol PP selaku penegak perda, mau tidak mau akan ada kalanya
bersinggungan dengan para PKL. Karena tidak semua PKL dapat menaati perda yang ada. Penertiban PKL juga dilakukan oleh Satpol PP. Pelanggaran yang
sering terjadi adalah PKL menjajakan dagangan di lokasi yang tidak seharusnya serta memulai berdagang diluar jam yang sudah ditentukan. Upaya penertiban
dimulai dengan teguran scra lisan, apabila tidak dihiraukan oleh PKL maka akan berlanjut pada teguran tertulis I, teguran tertulis II dan terguran tertulis III.
commit to user Apabila belum bisa dilaksanakan oleh PKL maka akan ada tindakan tegas dari
Satpol PP berupa penyitaan gerobak dagangan. Ketika PKL hendak mengambil gerobak sebelumnya akan diberikan pembinaan oleh Satpol PP. Diharapkan
dengan pembinaan tersebut PKL mengerti dan dapat menjalankan perda yang ada. Setelah menandatangani surat pernyataan kesanggupan menaati peraturan yang
ada gerobak dapat dibawa kembali. Dalam praktiknya di lapangan, Satpol PP tidak sekaku aturan yang ada.
Adanya ewuh pakewuh membuat proses dalam penertiban menjadi lebih lunak. Ewuh pakewuh merupakan istilah dalam bahasa jawa yang bisa diartikan sebagai
rasa sungkan, sikap segan kepada orang lain yang bertujuan untuk menjaga hubungan, untuk menjaga perasaan orang yang bersangkutan dan untuk menjaga
kedamaian. Ewuh pakewuh tersebut sangat terasa pada waktu Satpol PP memberikan pembinaan kepada PKL. Apabila ada PKL yang melanggar
ketentuan atau aturan maka Satpol PP lebih bertindak lunak dalam artian memberikan tenggang waktu yang lebih kepada PKL untuk melaksanakan yang
seharusnya. Seperti diungkapkan Pegi Yudho, Kasi Operasional Satpol PP Kabupaten
Ngawi:
“ Sebenarnya dalam aturan sudah tercantum dengan jelas tindakan apa yang harus dilakukan, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan masih ada ewuh
pakewuh. Rasa sungkan kepada para PKL karena kita tahu bahwa itu merupakan usaha mereka untuk mencari nafkah. Sehingga dalam pelaksanaannya lebih
kepada pembinaan bukan hukuman. Sehingga diharapkan untuk kedepannya para PKL dapat mengikuti peraturan yang ada.”
4.4.3. Jaringan
commit to user Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang
kokoh. Putnam dalam Suharto, 2007 berargumen bahwa, jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-
manfaat dari partisipasinya itu. Jaringan pada PKL di sekitar alun-alun Kota Ngawi terakumulasi pada terbentuknya paguyuban PKL. Tanpa adanya jaringan
yang kuat serta kebersamaan antar PKL maka paguyuban PKL tidak akan terbentuk.
Setelah terbentuk Paguyuban Guyub Rukun yang beranggotakan sebagian besar PKL disekitar alun-alun maka jaringan semakin kuat terbentuk. Dengan
adanya struktur organisasi yang jelas maka informasi baik dari pemerintah atau dari pihak-pihak lain dapat tersaring dan dapat diinformasikan kepada anggota
secara terorganisir. Penyampaian informasi menggunakan fasilitas-fasilitas yang sudah ada baik melalui pertemuan rutin, dari mulut ke mulut atau dari sms yang
disebarkan secara berantai. Sutrisno selaku Ketua Paguyuban mengungkapkan:
“ Paguyuban ini merupakan suatu media untuk tujuan bersama agar PKL lebih terorganisir, informasi dapat tersaring dan dapat dipertanggung jawabkan.
dan utamanya bertujuan untuk menjaga hubungan antar PKL tetap baik, lingkungan tetap aman, menghindari perselisihan sehingga dapat berdagang
dengan nyaman.”
Dari ketiga parameter modal sosial tersebut dapat dilihat bagaimana kondisi modal sosial pada PKL di sekitar alun-alun Kabupaten Ngawi. Modal
Sosial masih terpelihara dengan cukup baik.
4.5. Nilai Ekonomis Modal Sosial Pedagang Kaki Lima
commit to user Modal Sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu
atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan
informasi, menemukan
pekerjaan, merintis
usaha, dan
meminimalkan biaya transportasi Tonkiss, dalam Syahyuti, 2008 . Nilai ekonomis modal sosial pada PKL di sekitar alun-alun dimulai dari pengambilan
keputusan untuk berdagang. PKL pada umumnya berani untuk memulai usaha setelah mendapatkan informasi dari saudara, teman atau kerabat. Setelah
mendapatkan informasi yang cukup menjanjikan bahkan mereka rela untuk melepas pekerjaan lama dan beralih menjadi PKL. Seperti diungkapkan Mbah Jo:
“ Dulu saya narik becak, trus karena sering ngopi di angkringan di Jl. A. Yani saya jadi tertarik untuk membuka usaha yang sama. Pertama saya tanya-
tanya bagaimana caranya, resiko untung rugi dan modal. Setelah mendapatkan informasi yang cukup saya berani untuk mencoba menjadi PKL, sekarang saya
gak jadi tukang becak lagi selain sudah tua saya kecapekan kalau harus kerja dari pagi hingga malam.”
Tidak hanya Mbah Jo, Sutrisno juga menungkapkan jika ide menjadi PKL berasal dari saudaranya yang telah terlebih dahulu menjadi PKL tetapi di kota
lain. Melihat saudara yang dapat menjalankan usahanya akhirnya Sutrisno berani mencoba peruntungan sebagai PKL.
“ Saya mulai jualan nasi pecel sudah lama, idenya dari teman di Sragen yang sudah terlebih dahulu jualan disana. Dengan modal yang tidak terlalu besar
dan mudah untuk dijalankan akhirnya saya mencoba untuk menjadi PKL. Pemilihan lokasi inipun saya meminta bantuan dari teman saya itu. Karena dia
lebih berpengalaman, dan akhirnya saya berjualan disini katanya kalau jualan disekitar alun-alun pasti laris soalnya rame, di pusat kota.”
Modal sosial memberikan manfaat ekonomis bagi pelaku ekonomi dalam pengertian modal sosial sebagai jaringan-jaringan atau hubungan-hubungan sosial
commit to user informal. Modal sosial turut menentukan proses menjadi PKL dan penentuan
lokasi berdagang. Kekerabatan atau kedekatan antar PKL telah membuka jalan untuk jaringan sosial yang ada dan bermanfaat dalam memperoleh bantuan atau
pinjaman yang bersifat informal, ketika bantuan formal dari pemerintah sangat terbatas.Modal sosial yang mereka miliki telah menciptakan nilai ekonomi bagi
dirinya. Bantuan-bantuan tersebut diantaranya adalah pemenuhan modal awal atau
akses terhadap permodalan. Dengan adanya jaringan yang kuat maka pemenuhan permodalan dapat ikut terbantu. Bu Atik yang memulai usaha PKL dari nol
mendapatkan bantuan modal dari saudaranya.
“ Saya bukan asli Ngawi, suami saya yang asli sini. Ketika mau mulai dagang modalnya dari meminjam ke kakak suami saya. Modal itu kami
kembalikan dengan cara diangsur. Karena meminjam kepada keluarga sendiri jadi gak pake jaminan juga gak ada bunga. Alhamdulillah sedikit membantu dan
usaha bisa jalan sampai sekarang.”
Hubungan baik dengan pembeli juga dapat memberikan manfaat ekonomis. Berdasar pada pengamatan yang telah dilakukan, jalinan hubungan
antara penjual dengan pembeli tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan ekonomi semata, melainkan juga berperan hubungan emosional diantara penjual dengan
pembeli. Penjual yang telah memiliki langganan akan bersikap layaknya teman dekat bahkan saudara kepada pembeli langganannya. Ketika keakraban sudah
terjalin dengan baik maka pembeli akan dengan mudah mengungkapkan keinginan atau ide-idenya untuk memajukan usaha dagang PKL. Bahkan
commit to user informasi peluang usaha lain yang lebih menjanjikan juga bisa diperoleh dari
obrolan-obrolan ringan dengan pembeli. Bu Atik mengungkapkan bahwa ide untuk menambah jenis barang
dagangan berasal dari pembeli langganannya bahkan resep untuk membuat juga diperolehnya secara gratis.
“ Langganan saya kebanyakan anak muda, anak-anak SMA. Kalau sudah ngumpul rame banget kebetulan anak saya juga seusia dengan mereka jadi
sangking akrabnya sudah saya anggap anak sendiri. Harus bisa menyesuaikan diri dengan bahasa dan selera mereka, jadi gaul istilahnya. Hehehehe. Awalnya
saya hanya berjualan minuman dan gorengan angkringan trus mereka usul gimana kalau jualan tempura juga pasti banyak yang beli. Akhirnya saya
memutuskan untuk menjual tempura dan hasilnya memang laris.”
Keakraban itulah yang menjadi pintu gerbang dari keterbukaan informasi yang bisa di dapat, memang tidak semua informasi yang didapatkan bernilai
ekonomis tetapi keakraban yang terpelihara dengan baik membuat pelanggan semakin betah dan menginformasikan kepada pembeli lain. Berita dari mulut ke
mulut merupakan media promosi yang tidak membutuhkan biaya. Keuntungan juga bisa didapat dari promosi gratis ini.
4.6. Implikasi Negatif Modal Sosial Pedagang Kaki Lima