Norma Modal Sosial Pedagang Kaki Lima

commit to user anggota yang lain dari komunitas itu. Ada tiga jenis perilaku dalam komunitas yang mendukung kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur dan kooperatif. Karena kepercayaan sosial, termasuk kejujuran, sangat penting untuk menumbuhkan kebajikan-kebajikan individual Fukuyama, 2002. Membangun kepercayaan pembeli juga merupakan modal bagi pedagang kaki lima, kepercayaan dibangun dengan menjaga kualitas barang dagangan serta pernyataan jujur dari para pedagang mengenai kualitas barang dagangannya. Kepercayaan tersebut akan dijaga demi keberlangsungan hubungan antara pedagang dengan pembeli. Sehingga jika kepercayaan dapat dibina maka membuat pedagang memiliki banyak pelanggan tetap, karena jalinan hubungan pembeli dengan pedagang tidak hanya pemenuhan kebutuhan ekonomi semata tetapi lebih kepada jalinan kepercayaan antara pedagang dengan pembeli. Seperti dikatakan Deden “ Saya percaya dengan yang dikatakan pedagang, kalau barangnya bagus bilang bagus kalau kurang bagus bilang kurang bagus. Seperti kemaren pas saya mau beli es degan pedagangnya bilang degannya gak terlalu bagus tapi karena sudah percaya dan hubungan sudah dekat dengan pedagang ya saya tetap beli disitu, gak enak mbak kalau beli di tempat lain. Sungkan, sudah kenal dekat soale.”

4.4.2. Norma

Menurut Soekanto 2002:198 norma-norma masyarakat merupakan patokan untuk bersikap dan berperilaku secara pantas yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan untuk mencapai suatu tata tertib. Norma-norma informal di satu pihak memaksa suatu commit to user perbuatan dan di lain pihak, melarangnya, sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan norma-norma informal tersebut. Demikian pula kondisi yang ditemui pada kehidupan PKL di sekitar alun-alun Kabupaten Ngawi. Norma-norma tersebut telah mampu mengatur pergaulan hidup. Salah satu norma yang melekat erat pada diri PKL adalah perasaan senasib dan menghargai sesama. Mereka sama-sama menyadari bagaimana kehidupan PKL dan suka duka sebagai PKL sehingga timbul kebersamaan dan toleransi yang cukup tinggi. Salah satu bentuk nyata tindakan dari PKL untuk semakin menumbuhkan perasaan senasib dan menolong sesama adalah adanya jimpitan. Jimpitan merupakan kegiatan untuk mengumpulkan uang secara sukarela bagi setiap anggota paguyuban PKL yang berjualan di lingkungan alun-alun kabupaten Ngawi. Jimpitan sebesar Rp. 500,- dikumpulkan setiap satu bulan sekali. Pengumpulan dilakukan bertepatan dengan pertemuan bulanan paguyuban. Dana jimpitan yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk dana sosial apabila sewaktu- waktu diperlukan oleh anggota paguyuban. Seperti diungkapkan Sutrisno: “ Jimpitan itu iuran sukarela, tidak banyak hanya Rp. 500,- tetapi berkelanjutan setiap sebulan sekali. Dana tersebut nantinya dipakai kalau ada PKL yang sakit atau kena musibah.” Jimpitan bisa dikatakan merupakan salah satu kearifan lokal yang bertujuan untuk membantu sesama. Dengan adanya jimpitan bisa terlihat adanya kepedulian dan rasa memiliki antar sesama PKL. Secara berkelanjutan tentu saja berpengaruh pada hubungan antar PKL dalam kesehariannya. Karena adanya commit to user kepedulian antar sesama PKL sehingga kerukunan dan situasi kondusif dapat terjaga. Dalam hal kebersihan, sudah menjadi kesepakatan bersama antara pemerintah daerah dan PKL bahwa pedagang diharuskan untuk menjaga kebersihan tempat dagangannya. Karena merupakan suatu keharusan yang menyangkut keberlangsungan usaha, dalam hal ini ijin yang diberikan oleh pemerintah daerah, maka PKL patuh dalam menjalankan peraturan tersebut. Upaya menjaga kebersihan tidak hanya dilakukan oleh PKL secara individu saja tetapi juga diagendakan secara bersama-sama. Kerja bakti bersama-sama dilakukan sebulan sekali pada minggu ketiga. Kerja bakti tersebut juga diikuti oleh Satpol PP sebagai petugas penegak perda. Tujuan dilaksanakannya kerja bhakti adalah untuk tetap menjaga kebersihan, keindahan dan kerapian lingkungan disekitar alun-alun Kabupaten Ngawi, diharapkan dengan kondisi yang nyaman membuat para pembeli tertarik dan tidak risi untuk membeli di PKL. Dari kegiatan tersebut dapat disimpulkan adanya kepedulian lingkungan yang dibina bersama-sama oleh PKL. Satpol PP selaku penegak perda, mau tidak mau akan ada kalanya bersinggungan dengan para PKL. Karena tidak semua PKL dapat menaati perda yang ada. Penertiban PKL juga dilakukan oleh Satpol PP. Pelanggaran yang sering terjadi adalah PKL menjajakan dagangan di lokasi yang tidak seharusnya serta memulai berdagang diluar jam yang sudah ditentukan. Upaya penertiban dimulai dengan teguran scra lisan, apabila tidak dihiraukan oleh PKL maka akan berlanjut pada teguran tertulis I, teguran tertulis II dan terguran tertulis III. commit to user Apabila belum bisa dilaksanakan oleh PKL maka akan ada tindakan tegas dari Satpol PP berupa penyitaan gerobak dagangan. Ketika PKL hendak mengambil gerobak sebelumnya akan diberikan pembinaan oleh Satpol PP. Diharapkan dengan pembinaan tersebut PKL mengerti dan dapat menjalankan perda yang ada. Setelah menandatangani surat pernyataan kesanggupan menaati peraturan yang ada gerobak dapat dibawa kembali. Dalam praktiknya di lapangan, Satpol PP tidak sekaku aturan yang ada. Adanya ewuh pakewuh membuat proses dalam penertiban menjadi lebih lunak. Ewuh pakewuh merupakan istilah dalam bahasa jawa yang bisa diartikan sebagai rasa sungkan, sikap segan kepada orang lain yang bertujuan untuk menjaga hubungan, untuk menjaga perasaan orang yang bersangkutan dan untuk menjaga kedamaian. Ewuh pakewuh tersebut sangat terasa pada waktu Satpol PP memberikan pembinaan kepada PKL. Apabila ada PKL yang melanggar ketentuan atau aturan maka Satpol PP lebih bertindak lunak dalam artian memberikan tenggang waktu yang lebih kepada PKL untuk melaksanakan yang seharusnya. Seperti diungkapkan Pegi Yudho, Kasi Operasional Satpol PP Kabupaten Ngawi: “ Sebenarnya dalam aturan sudah tercantum dengan jelas tindakan apa yang harus dilakukan, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan masih ada ewuh pakewuh. Rasa sungkan kepada para PKL karena kita tahu bahwa itu merupakan usaha mereka untuk mencari nafkah. Sehingga dalam pelaksanaannya lebih kepada pembinaan bukan hukuman. Sehingga diharapkan untuk kedepannya para PKL dapat mengikuti peraturan yang ada.”

4.4.3. Jaringan