DIONYSIA WAHYU NURJATI S 42100013
commit to user
NILAI EKONOMIS MODAL SOSIAL PADA
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KABUPATEN NGAWI
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Konsentrasi Ekonomi Sumber Daya Manusia dan Pembangunan
Oleh :
DIONYSIA WAHYU NURJATI
S 42100013
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
SURAKARTA
(2)
commit to user ii
NILAI EKONOMIS MODAL SOSIAL PADA
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KABUPATEN NGAWI
Disusun Oleh :
DIONYSIA WAHYU NURJATI
S 42100013
(3)
commit to user iii
NILAI EKONOMIS MODAL SOSIAL PADA
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KABUPATEN NGAWI
Disusun Oleh :
DIONYSIA WAHYU NURJATI
S 42100013
Telah Disetujui oleh Tim Penguji Pada Tanggal : 28 Januari 2012
(4)
commit to user iv
HALAMAN PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : DIONYSIA WAHYU NURJATI
NIM :
S42100013
Program Studi : Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Konsentrasi : Ekonomi Sumber Daya Manusia dan Pembangunan
Menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain.
(5)
commit to user v
Halaman persembahan
Allhamdulillahirabbil ‘alamin
Dengan rasa syukur teramat besar kepada Allah SWT atas
nikmat-nikmatNya Kupersembahkan karya sederhana ini untuk :
Ibuku, seorang wanita mulia yang dengan segenap cinta kasih
serta pengorbanannya telah membesarkan aku
Bapakku, seorang lelaki perkasa yang tiap tetes keringatnya
direlakan untuk kami keluarga besarnya
Dik Nika yang selalu kusayangi dan kubangakan
Seorang Lelaki yang nanti akan menjadi imamku dalam
mengarungi lautan kehidupan yang masih menjadi rahasia-Nya
Serta untuk setiap insan manusia yang senantiasa belajar dan
mau mengambil pelajaran dari setiap tanda-tandaNya
(6)
commit to user vi
M o t t o :
“ Maka nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang kamu dustakan?”
(QS. Ar Rahman : 13)
“ Jangan mengejar kesempurnaan, lakukan saja apa yang terbaik
dari dirimu karena kesempurnaan hanya milik Allah”
(7)
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Puji syukur alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT atas segala nikmat-nikmat yang tiada terhitung nilainya serta berkat keridhoanNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tesis ini tepat sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Tesis ini berjudul “
NILAI EKONOMIS MODAL SOSIAL PADA
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KABUPATEN NGAWI
”,disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Program Pascassarjana Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada Tesis ini, ucapan terima kasih Penulis sampaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk moril dan materiil. Secara khusus, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak DR. AM Susilo, M.S, selaku Ketua Program Pascasarjana Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta;
(8)
commit to user viii
2. Bapak Prof. Dr. Tulus Haryono, M.Ek, selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Ahmad Daerobi, MS, selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih kepada keduanya karena dengan tulus ikhlas telah meluangkan waktu untuk memberikan segala informasi, arahan dan pencerahan serta bimbingan dalam penulisan Tesis ini;
3. Bapak-Ibu Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada penulis;
4. Kedua orang tuaku dan seluruh keluarga, terima kasih atas iringan doa dan bantuan moril maupun materil dalam mengikuti perkuliahan dari awal sampai akhir studi;
5. Mas Gandhi yang selalu memberikan dorongan dan motivasi sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat waktu;
6. Teman-teman angkatan XIII MESP UNS : Mbak Tina, Mbak Irine, Bu Sri, Mbak Din, Mbak Citra, Pak Jas, Mas Agus, Mas Hangga, Mas Fajar, Mas hengky, Mas Joko dan seluruh teman-teman dari Madiun semoga kebersamaan kita tetap terpatri dalam hati;
7. Semua pihak yang telah membantu penulisan tesis ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dan pahala yang memberatkan timbangan amal kebaikan di
Yaumul Hisab nanti.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Tesis ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu saran dan kritik sebagai
(9)
commit to user ix
masukan bagi perbaikan di masa yang akan datang sangat penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat. Atas segala kekurangannya, penulis mohonkan maaf. Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ngawi, Januari 2012 Penulis,
(10)
commit to user x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PENGESAHAN ……….. ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.………..……. iii
HALAMAN PERUNTUKAN... iv
HALAMAN MOTTO...……..……… vii
KATA PENGANTAR………. ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……… 1
1.2 Rumusan Masalah.………..…. 4
1.3.Tujuan Penelitian……….………. 4
1.4 Kegunaan Penelitian………..…. .. 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoretis……… 6
2.1.1. Modal Sosial... 6
2.1.2. Parameter dan Indikator Modal Sosial... 8
2.1.3. Peran Modal Sosial Dalam Sistem Ekonomi... 12
2.1.4. Modal Sosial Dapat Menciptakan Nilai Ekonomi... 13
2.1.5. Implikasi Negatif Modal Sosial... 15
2.1.6. Pedagang Kaki Lima... 17
2.1.7. Karakteristik Lokasi Aktivitas PKL... 20
2.2 Penelitian Terdahulu... 21
2.3 Kerangka Konseptual………... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian………. 24
(11)
commit to user xi
3.2 Pendekatan Penelitian……….. 24
3.3 Lingkup Penelitian……… 25
3.4 Sumber Data………. 28
3.5 Teknik Pengumpulan Data……… 29
3.6 Instrumen Penelitian………... 30
3.7 Teknik Pengukuran Keabsahan Data……….. 31
3.8 Teknik Analisis Data……….. 31
3.9 Definisi Operasional……… 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian……….. 35
4.1.1 Aspek Geografis……….. 35
4.1.2 Aspek Demografis………. 37
4.1.3 Aspek Sosial Ekonomi……….. 39
4.2 Pedagang Kaki Lima……… 43
4.2.1 Keberadaan dan Kondisi PKL………. 43
4.2.2 Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani PKL……….. 47
4.3 Profil Informan………. 50
4.4 Modal Sosial Pedagang Kaki Lima……….. 51
4.4.1 Kepercayaan……….. 52
4.4.2 Norma……… 54
4.4.3 Jaringan………. 58
4.5 Nilai Ekonomis Modal Sosial Pedagang Kaki Lima……… 59
4.6 Implikasi Negatif Modal Sosial Pedagang Kaki Lima………. 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan….……….. 65
5.2 Saran……….………. 66
DAFTAR PUSTAKA……….. 67 LAMPIRAN
(12)
commit to user xii
DAFTAR TABEL
TABEL 3.1 Lingkup Penelitian……… 27 TABEL 4.1 Luas Wilayah,Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Pembagian Wilayah Administrasi dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Ngawi Tahun 2009……… 38 TABEL 4.2 Perkembangan Ketenagakerjaan Tahun 2005 –
2009……... 40 TABEL 4.3 PDRB Kabupaten Ngawi Pada Tahun Menurut
Lapangan Usaha Berdasar Harga Konstan Tahun 2004 – 2008 (Dalam Rupiah)………... 41 TABEL 4.4 PDRB Kabupaten Ngawi Pada Tahun Menurut
Lapangan Usaha Berdasar Harga Berlaku Tahun 2004 – 2008(Dalam Rupiah)……… 42
(13)
commit to user xiii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 2.1 Kerangka Pemikiran... 23 GAMBAR 4.1 Komposisi Penggunaan Lahan (%) ... 36
(14)
commit to user ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kabupaten Ngawi”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima (PKL), nilai ekonomis Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima (PKL) serta implikasi negatif yang timbul dari Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kabupaten Ngawi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini memfokuskan pada pengamatan dan analisis dari sikap dan perilaku sehari-hari PKL dengan melihat modal sosial dari indikator yang ada serta menganalisis nilai ekonomis modal sosial dan implikasi negatif yang timbul dari modal sosial itu sendiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kondisi Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima di sekitar alun-alun Kota Ngawi dapat dikatakan masih terjaga dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari parameter-parameter modal sosial yang ada. Kepercayaan yang masih kuat baik antar sesama Pedagang Kaki Lima, Pedagang Kaki Lima dengan Pembeli dan pedagang kaki lima dengan Pemeritah. Adanya ewuh pakewuh dan kepedulian sosial berupa jimpitan serta jaringan yang berfungsi dengan sangat baik terbukti dengan dibentuknya paguyuban Pedagang Kaki Lima.
Nilai ekonomis modal sosial pada Pedagang Kaki Lima di sekitar alun-alun Kota Ngawi terdapat mulai dari awal memutuskan untuk berdagang termasuk dalam urusan penentuan lokasi berjualan, dalam upaya pemenuhan modal, dalam menjalankan usaha sebagai Pedagang Kaki Lima dan dalam keputusan untuk meningkatkan usaha. Implikasi Negatif dari modal sosial yang timbul pada Pedagang Kaki Lima di sekitar alun-alun Kota Ngawi yaitu terkucilkannya pedagang yang tidak menjadi anggota paguyuban, kurangnya akses informasi bagi Pedagang yang tidak tergabung dalam paguyuban. Bahkan untuk pemberian bantuan diutamakan kepada PKL yang menjadi anggota paguyuban.
(15)
commit to user
ABSTRACT
The research is titled "The Economic Value of Social Capital of the street vendors in Ngawi District” The purpose of this research is to find out how the Social Capital of street vendors is, the economic value of Social Capital of street vendors and the negative implications that arising from the Social Capital of street vendors in the District of Ngawi. This research uses a qualitative descriptive method. This research focuses on the observation and analysis of attitudes and daily behaviors of street vendors dealing with their social capital from the existing indicators and analyzing the economic value of social capital and the negative implications caused by social capital it self.
The result is showed that the condition of Social Capital of street vendors around the Ngawi city’s square can be said it is preserve well. It can be seen from the parameters of existing social capital. The belief is still strong, between one and other street vendors, between street vendors and the buyers, also the street vendors with the government. The existence of ‘ewuh pakewuh’ and social charity in the form of ‘jimpitan’ and great relation causes outstanding function as evidenced by the establishment of ‘paguyuban’ (street vendors community).
Economic value of social capital of the street vendors around the Ngawi city’s square start from decided to trade, it is including all matters for determining the location of selling, in the effort to fulfill the capital, in running the business as a street vendors and the decision to increase the business. Negative implications of social capital that caused by street vendors around the square is the remoteness of street vendors who are not the members of the ‘paguyuban’, lack of information access for the street vendors who are not members of the ‘paguyuban’. Even the street vendors who are the member of the ‘paguyuban’ are prioritized for the helpful effort
(16)
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Gelombang ketidakpuasan kaum miskin dan para penganggur terhadap ketidakmampuan pembangunan menyediakan peluang kerja, untuk sementara dapat diredam dengan tersedianya peluang kerja di sektor informal. Begitupun ketika kebijakan pembangunan cenderung menguntungkan usaha skala besar, sektor informal kendati tanpa dukungan fasilitas sepenuhnya dari negara, dapat memberikan subsidi sebagai penyedia barang dan jasa yang murah untuk mendukung kelangsungan hidup para pekerja usaha skala besar. Bahkan, tatkala perekonomian nasional mengalami kemunduran, sektor informal mampu bertahan tanpa membebani ekonomi nasional sehingga roda perekonomian masyarakat tetap bertahan.
Sebagian besar pekerja informal, khususnya di perkotaan terserap ke dalam sektor perdagangan, Pilihan yang diambil oleh masyarakat tersebut salah satunya dengan menjadi perdagang jalanan atau pedagang kaki lima (PKL) Perdagangan jalanan telah menjadi sebuah alternatif pekerjaan yang cukup populer, terutama di kalangan kelompok miskin kota. Hal ini terkait dengan cirinya yang fleksibel (mudah keluar – masuk), modal yang dibutuhkan relatif kecil, dan tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit.
Barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sembako harganya membumbung tinggi mengakibatkan daya beli masyarakat menurun, sedangkan angka pengangguran meningkat dan kebutuhan harus terbeli maka membuka
(17)
commit to user
lapangan pekerjaan sendiri dengan menjadi PKL dianggap masyarakat sebagai solusi yang tepat walaupun omzet penjualan tidak tentu dan relatif kecil, namun dapat meringankan beban hidup. Terlepas dari potensi ekonomi kegiatan perdagangan kaki lima, keberadaan pedagang kaki lima (PKL) kerap dianggap ilegal karena menempati ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan kerapihan kota.
Mengingat peran PKL yang cukup positif dalam proses pembangunan, sudah sewajarnya nasib para pedagangnya dipikirkan. Beberapa kebijakan, baik langsung maupun tidak, untuk membantu penanganan PKL memang sudah dilakukan. Namun ada kecenderungan kegiatan ekonomi di sektor informal dan nasib pekerja sektor informal belum banyak mengalami perubahan.
Sebagai salah satu elemen yang terkandung di dalam masyarakat sipil, modal sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas masyarakat. Sebagaimana relasi sosial pada umumnya, yang hampir selalu melibatkan modal sosial, pada pelaku perdagangan PKL hal ini juga eksis. Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti ia juga bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat.
(18)
commit to user
Modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena tidak dipakai, malainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda dengan modal manusia, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain. Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur.
Pendapat Marfai (2005) dalam artikelnya ”Angkringan, Sebuah Simbol
Perlawanan”, menyatakan bahwa angkringan sebagai bentuk kegiatan
perekonomian kecil yang mampu bertahan di tengah sulitnya perekonomian Indonesia menandakan berperannya modal sosial dalam perekonomian masyarakat. Kenapa disebut modal sosial, karena untuk memulai kegiatan angkringan biasanya dimulai dari informasi kerabat, teman, tetangga atau keluarga yang telah berjualan sebelumnya. Mereka saling membantu dalam permodalan, suplai makanan, tempat tinggal dan informasi. Dalam taraf ini angkringan telah mampu memberikan simbol bahwa modal sosial sebagai salah satu faktor penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat.
Selaras dengan itu, Brata (2004) mengatakan bahwa belakangan ini modal sosial merupakan isu menarik yang banyak dibicarakan dan dikaji. Dalam laporan tahunannya yang berjudul Entering the 21st Century, misalnya, Bank Dunia mengungkapkan bahwa modal sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap proses-proses pembangunan (World Bank, 2000). Kegiatan pembangunan akan
(19)
commit to user
lebih mudah dicapai dan biayanya akan lebih kecil jika terdapat modal sosial yang besar.
Dari uraian diatas telah membuat rasa ingin tahu penulis untuk mempelajari dan mencoba menganalisa modal sosial Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Ngawi kedalam bentuk tesis yang berjudul “Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Ngawi”.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kabupaten Ngawi?
2. Bagaimanakah nilai ekonomis Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kabupaten Ngawi?
3. Apakah implikasi negatif yang timbul dari Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kabupaten Ngawi?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimanakah Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kabupaten Ngawi.
2. Mengetahui bagaimanakah nilai ekonomis Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kabupaten Ngawi.
3. Mengetahui apakah implikasi negatif yang timbul dari Modal Sosial pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kabupaten Ngawi.
(20)
commit to user
1.4. Kegunaan Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan modal sosial terhadap perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL).
2. Bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) penelitian ini bisa dijadikan sebagai bahan masukan agar para pekerja di sektor informal dapat meningkatkan pendapatan mereka.
3. Bagi para peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan kerangka dalam melakukan penelitian yang lebih mendalam di bidang ini.
4. Bagi para pengambil keputusan (decision maker) penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan dalam mengambil kebijakan untuk mengatur para PKL.
(21)
commit to user
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teoritis 2.1.1. Modal sosial
Semua kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan (Berutu, 2002: 9). Potensi ini terkadang terlupakan begitu saja oleh kelompok masyarakat sehingga tidak dapat difungsionalisasikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi banyak juga kelompok masyarakat yang menyadari akan potensipotensi sosial budaya yang dimilikinya, sehingga potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara arif bagi keperluan kelompok masyarakat itu sendri. Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan mereka.
Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya alam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat. Sebenarnya dalam kehidupan manusia dikenal beberapa jenis modal, yaitu natural capital, human
capital, physical capital dan financial capital. Modal sosial akan dapat
mendorong keempat modal di atas dapat digunakan lebih optimal lagi. Konsep modal sosial yang dijadikan fokus kajian, pertama kali dikemukakan oleh Coleman (Portes, 2000: 2) yang mendefinisikannya sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai
(22)
commit to user
nilai baru. Putnam menyebutkan bahwa modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial, seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat Lubis, 2001).
Portes (2000) menyebutkan bahwa modal sosial ini sebenarnya memiliki dua arti berbeda, yakni modal sosial dalam arti individual dan modal sosial dalam arti kolektif. Menurutnya seorang individu bisa juga memiliki suatu modal sosial yang berguna bagi aktualisasi dirinya, begitu juga dengan kelompok masyarakat juga memiliki modal sosial yang dapat dipakai dalam mengoptimalkan potensi terbaiknya. Dari pernyataan Portes di atas dapat kita ketahui bahwa popularitas dari konsep modal sosial telah disertai oleh bertambahnya makna dan pengaruhnya secara aktual. Portes mempertimbangkan alternatif pemakaian dan konsep modal sosial sebagai sebuah sifat dari seorang individu, dan juga sifat dari sebuah kelompok. Putnam (1995: 2) mendefinisikan modal sosial sebagai: By analogy with notions of physical capital and human capital-tools and training that enhance individual productivity- social capital refers to features oj'social organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination
and cooperation for mutual benefit. Sama seperti pengertian darl modal fisik dan
modal manusia, modal sosial mengacu pada organisasi sosial dengan jaringan sosial, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang dapat menjembatani terciptanya kerjasama dalam komunitas sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan (Putnam, 1995: 2).
(23)
commit to user
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putnam (1995) di Amerika Serikat menemukan bahwa modal sosial berkorelasi positif dengan kehidupan demokrasi di negara tersebut. Norma-norma dan jaringan sosial yang disepakati bersama telah mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat dan kualitas kinerja lembaga-lembaga sosial. Hubungan sosial yang telah tercipta tersebut menghasilkan baiknya mutu sekolah, pembangunan ekonomi yang pesat, penurunan tingkat kejahatan dan bahkan berpengaruh terhadap kinerja pemerintahnya sendiri sebagai representasi dari komunitas masyarakat setempat.
Dalam penelitian (Brata, 2004) yang meneliti modal sosial pada pedagang di Pasar Angkringan, Pengertian modal sosial yaitu jaringan-jaringan atau hubungan-hubungan sosial informal yang dimiliki oleh pedagang angkringan. Secara ringkas, modal sosial dapat dikatakan memfasilitasi atau memperbanyak
“ what you knows” dan “ who you knows”. Bank Dunia sendiri, dalam laporan
tahunannya, mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan dan hubungan yang mendorong kepercayaan dan resiprositas dan menentukan kualitas dan kuantitas interaksi-interaksi sosial masyarakat (World Bank, 2000).
2.1.2. Parameter dan Indikator Modal Sosial
Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti juga bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat. Namun demikian, modal sosial berbeda dengan modal finansial, karena modal
(24)
commit to user
sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya (selfreinforcing) oleh Putnam (1993 dalam Suharto, 2007). Karenanya, modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda dengan modal finansial, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1988 dalam Suharto, 2007). Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995 dalam Suharto, 2007).
Merujuk pada (Ridell, 1997 dalam Suharto, 2007), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks).
2.1.2.1. Kepercayaan (trust)
Fukuyama (2002) berpendapat bahwa kepercayaan adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu. Ada tiga jenis perilaku dalam komunitas yang mendukung kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur dan kooperatif. Perilaku normal yaitu perilaku yang sesuai asas dan norma-norma yang dianut bersama, Jika dalam komunitas terdapat perilaku deviant (menyimpang) dari beberapa anggotannya, maka akan sulit mendapat adanya kejujuran dan sifat
(25)
commit to user
kooperatif. Adanya jaminan tentang kejujuran dalam komunitas dapat memperkuat rasa solidaritas dan sifat kooperatif dalam komunitas.
Fukuyama (2002) yang mengkaji modal sosial dan trust dalam masyarakat ekonomi kompleks menyebutkan bahwa kepercayaan bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi unggul, karena bisa diandalkan untuk mengurangi biaya. Karena, jika orang-orang bekerja dalam sebuah perusahaan yang saling mempercayai dan bekerja menurut serangkaian norma-norma etis bersama, maka berbisnis hanya memerlukan sedikit biaya. Kepercayaan sosial, termasuk kejujuran, keteladanan kerjasama dan rasa tanggung jawab terhadap orang lain sangat penting untuk menumbuhkan kebajikan kebajikan individual (Fukuyama, 2002).
Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembagalembaga sosial yang kokoh; modal sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis. Kerusakan modal sosial akan menimbulkan anomie dan perilaku anti sosial.
2.1.2.2. Norma (norm)
Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama. Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial.
(26)
commit to user
Menurut Soekanto (2002:198) norma-norma masyarakat merupakan patokan untuk bersikap dan berperilaku secara pantas yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan untuk mencapai suatu tata tertib. Norma-norma informal di satu pihak memaksa suatu perbuatan dan di lain pihak, melarangnya, sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan norma-norma informal tersebut.
2.1.2.3. Jaringan (network)
Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Putnam (1995 dalam Suharto, 2007) berargumen bahwa, jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu. Konsep jaringan dalam kapital sosial menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efisien. (Lawang, 2005)
Bersandar pada parameter di atas, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial antara lain (Suharto, 2007):
- Perasaan identitas
- Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi
- Sistem kepercayaan dan ideologi
(27)
commit to user
- Ketakutan-ketakutan
- Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat
- Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial)
- Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu
- Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya
- Tingkat kepercayaan
- Kepuasaan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya
- Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan
Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom-up), tidak hierarkis dan berdasar pada interaksi yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, modal sosial bukan merupakan produk dari inisiatif dan kebijakan pemerintah. Namun demikian, modal sosial dapat ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik.
2.1.3. Peran Modal Sosial Dalam Sistem Ekonomi
Dalam laporan World Bank (2006), ada bukti yang nyata bahwa perdagangan pada level makro dipengaruhi oleh modal sosial. Meskipun modal sosia paling umum hadir pada kegiatan ekonomi mikro, namun modal sosial berimplikasi pada dampak dari perdagangan, migrasi, reformasi ekomoni dan intregasi regional. “ There is increasing evidence that trade at the macro level is influenced by social capital- a common property resource whose value depends on the level of interaction between people. While mosh work on social capital is microeconomic, social capital has implications for the effect of trade and
(28)
commit to user
migration, economic reform, regional integration, new technologies which affect
how people interact, security, and more” (World Bank, 2006)
Selain pada sistem ekonomi modern, modal sosial juga eksis pada ekonomi tradisional. Ekonomi tradisional secara umum mempunyai karakter ‘pasar’ yang ditandai dengan transaksi pasar tradisional. Pasar tradisional harus diartikan secara luas, yang pertama dimana kita bisa mendapatkan barang dan jasa, dan yang kedua dimana kesepakatan bersama menjadikan ekonomi berfungsi. Pasar ini merupakan bagian dari sosial budaya yang sudah mengakar secara kuat. Di Indonesia, budaya sosio-ekonomi yang sudah terbentuk berabad-abad dalam sistem ‘ekonomi pasar tradisional’ tidak banyak berubah sampai saat ini (Ramelan, 2002).
2.1.4. Modal Sosial Dapat Menciptakan Nilai Ekonomi
Menurut Tonkiss (2000), modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapat informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan miminimalkan biaya transaksi. Pada kenyataannya jaringan sosial, sebagai bagian dari modal sosial, tidaklah cukup karena belum mampu menciptakan modal fisik dan modal finansial yang juga dibutuhkan.
Kriteria ekonomis meliputi produktifitas, efisiensi dan efektifitas. Pembahasan mengenai dimensi ekonomis ini bertititk tolak dari dua asumsi yang saling terkait yaitu:
(29)
commit to user
1. Modal sosial tidak berdiri sendiri. Melainkan tertambat (embedded) dalam struktur sosial (embedded) dalam struktur sosial (Granovetter, 1985, Coleman, 1988, Putnam, 1993 dalam Lawang, 2005:33). Struktur sosial yang dimaksudkan para ahli pada umumnya menunjuk pada hubungan
(relation),jaringan (network), kewajiban, harapan (expectation) yang
menghasilkan dan dihasilkan oleh kepercayaan (trust) dan sifat yang dapat dipercayai (trustworthiness) yang berkembang di antara orang-orang yang berhubungan tersebut (Coleman, 1988, et al dalam Lawang, 2005:33) 2. Modal sosial tersebut berfungsi sama seperti modal-modal lainnya dalam
mencapai suatu tujuan ekonomik (Coleman, Dasgupta, 2000 dalam Lawang,2005:33). Fungsi yang dimaksud disini menunjuk pada fungsi memperlancar (lubricant) dan fungsi mempererat (glue) ikatan-ikatan sosial dalam sistem produksi (Anderson et al dalam Lawang, 2005:33) Dimensi ekonomis dalam sebuah industri/perusahaan dengan menggunakan kata sifat sosial yang menunjuk pada efisiensi dan efektifitas dapat dijelaskan dalam ilustrasi berikut ini, seandainya semua orang dalam suatu industri/perusahaan bekerja sesuai tugas dan tanggungjawab dengan penuh dedikasi,komitmen dan dibayar sepantasnya, maka pengeluaran perusahaan tersebut untuk pemantauan (monitoring)
dan evaluasi dapat ditekan dan suasana kerjapun terasa nyaman. Pada akhirnya, keuntungan perusahaan meningkat, dengan kata lain harapan (ekspektasi) pengusaha terpenuhi. Pelaksanaan tugas merupakan proses bagaimana seseorang dalam perusahaan tersebut bekerja memenuhi
(30)
commit to user
fungsinya secara bertanggungjawab. Kata sifat sosial yang ikut memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan (efektif) secara ekonomis (efisien) antara lain: sifat bertanggungjawab, commited dan dedikatif dari pihak pekerja kepada perusahaan, sifat percaya dari perusahaan kepada pekerja untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan, sifat saling menguntungkan kedua belah pihak.
Khusus dalam kelembagaan perdagangan, Fafchamps dan Minten (1999) mengukur modal sosial yang dimiliki seorang pedagang atas empat hal yaitu:
· Jumlah hubungan dalam sistem perdagangan (the number of relatives in agricultural trade)
· Jumlah pedagang yang diketahui (the number of traders known)
· Jumlah orang yang dapat membantu dalam finansial (the number of people who can help financially)
· Jumlah pedagang pemasok dan penerima yang dikenal secara mendalam
(the number of suppliers and clients known personally).
2.1.5. Implikasi Negatif Modal Sosial
Meskipun konsep modal sosial diakui eksistensi dan relevansinya dalam dataran teoritis maupun empiris, namun masih banyak ketidaksepakatan menyangkut beberapa hal mendasar sehingga menimbulkan kontroversi yang tidak berujung hingga kini. Sedangkan pada level kelompok, modal sosial merepresentasikan beberapa agregasi sumber daya yang bernilai (ekonomi,
(31)
commit to user
politik, budaya, atau sosial dalam koneksi sosial) bagi interaksi anggota dalam sebuah jaringan.
Coleman (Yustika, 2006;192) menyatakan bahwa modal sosial merupakan ‘sumber daya struktur sosial’ (social-structure resource) yang menghasilkan keuntungan (returns) bagi individu dalam sebuah tindakan spesifik. Modal sosial didefinisikan berdasarkan fungsinya dan modal sosial bukanlah entitas tunggal, melainkan bermacam-macam etnisitas yang berbeda dan memiliki dua karakteristik penting: modal sosial berisi aspek dari struktur sosial dan modal sosial memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu individu dalam struktur tersebut. Modal sosial diidentifikasi ketika dan jika ia bekerja. Dengan begitu penjelasan penyebab potensi modal sosial dapat ditangkap hanya melalui efeknya atau modal sosial merupakan investasi yang tergantung return terhadap individu tertentu dalam sebuah tindakan. Modal sosial lebih banyak didekati dengan analisis kualitatif, dan untuk analisis kuantitatifnya biasanya dilakukan dengan mengambil indikator-indikator kualitatif. Para ahli menghendaki modal sosial dapat diukur melalui pendekatan kuantitatif. Diluar itu, bahasan konsep modal sosial selama ini didominasi oleh cara pandang yang terlalu positif. Artinya, menempatkan modal sosial sebagai variable yang dapat memberi manfaat bagi kemaslahatan bersama. Padahal, modal sosial bisa saja menimbulkan implikasi negatif.
Menurut Bourdieu (Yustika, 2006:190) melihat modal sosial sebagai investasi dari anggota-anggota modal sosial yang berasal dari kelas dominan (sebagai kelompok atau jaringan) yang bertujuan untuk menjaga dan mereproduksi solidaritas kelompok dan melestarikan posisi kelompok dominan
(32)
commit to user
tersebut. Persoalannya adalah, setiap jaringan itu bersifat tertutup (eksklusif) sehingga tidak dipengaruhi oleh kelompok lain atau terbuka melalui proses interaksi dengan kelompok/jaringan lainnya.
Yoran Ben Porath (dalam Yustika, 2006:210) mengembangkan konsep yang kemudian sangat dekat pengertian modal sosial yakni yang dia sebut sebagai “F-connection”. Konsep ini terdiri dari families, friends, dan firms. Bentukbentuk organisasi tersebut dalam sosial organisasi dapat mempengaruhi pertukaran ekonomi. Jika dikembangkan, bisa jadi hubungan keluarga dan pertemanan dapat bermanfaat bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus. Konsep modal sosial dapat memiliki implikasi negatif terhadap pertukaran ekonomi secara keseluruhan.
Menutur Portes (dalam Yustika, 2006:211) ada empat konsekuensi negatif dari modal sosial. Pengucilan dari pihak luar, dampak klaim terhadap anggota kelompok, rintangan terhadap kebebasan individu dan penyempitan ruang lingkup dari norma. Keempat konsekuensi negatif tadi ditengarai menjadi penyebab keterbelakangan ekonomi negara berkembang. Modal sosial ternyata dapat menjadi sumber kegagalan bagi sebuah sistem untuk bekerja mencapai tujuan yang diinginkan.
Jadi implikasi negatifnya bahwa modal sosial dapat merusak bila digunakan untuk kepentingan sempit. Yang artinya modal sosial yang dimiliki digunakan secara eksklusif untuk menguntungkan individu tertentu, pada saat bersamaan dipakai untuk mengucilkan kelompok lainnya dengan secara tidak adil, dalam sudut pandang ekonomi hal ini akan merugikan tercapainya efisiensi.
(33)
commit to user
2.1.6. Pedagang Kaki Lima
Konsep sektor informal lahir pada tahun 1971 yang dipelopori oleh Keith Hart berdasarkan penelitiannya di Ghana. Kemudian konsep itu diterapkan dalam sebuah laporan oleh tim ILO tahun 1972 dalam usaha mencari pemecahan masalah tenaga kerja di Kenya. Menurut Ahmad 2002:73) sektor informal disebut sebagai kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal (kecil-kecilan) yang memperoleh beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, temapt tidak tetap berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil atau keluarga serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan.
Keberadaan sektor informal dalam kegiatan perdagangan dan jasa merupakan suatu dikotomi karena disatu sisi sektor informal mampu menyerap tenaga kerja terutama pada golongan masyarakat yang memilki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta modal kecil. Namun disisi lain sektor ini merupakan sektor yang tidak memiliki legalitas atau perlindungan hukum dan merugikan sektor formal karena menyebabkan permasalahan lingkungan kota. Seiring dengan perkembangan masyarakat, kegiatan sektor informal pun berkembang dan mengambil berbagai macam bentuk dan bidang pekerjaan yang ada, menurut Alisjahbana (2005:14) salah satu yang dominan dan menonjol aktivitasnya adalah pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima sebagai bagian sector informal perkotaan, istilah pedagang kaki lima konon berasal dari jaman pemerintahan Rafles, Gubernur Jenderal pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu
(34)
commit to user
dari kata ”five feet” yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar 5 (lima) kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (dalam Widjajanti, 2000:28). Kemudian muncul beberapa ahli yang mengemukakan defenisi dari pedagang kaki lima diantaranya menurut McGee (1977:28) menyebutkan PKL sebagai hawkers adalah orang-orang yang menawarkan barang-barang atau jasa untuk dijual di tempat umum, terutama jalan-jalan trotoar. Defenisi tidak termasuk PKL yang berpindah pindah dari satu rumah ke rumah lain menjual barangnya atau menawarkan jasanya.
Pembagian tipe komoditas yang dijual PKL, oleh MCGee dan Yeung (1977:81) dibedakan 4 (empat) kelompok yakni : (1) Makanan yang tidak diproses dan semi olahan (unprocessed and semi processed food). Makanan yang tidak diproses, termasuk makanan mentah seperti daging, buahbuahan atau sayuran. Sedangkan makanan yang semi olahan seperti beras. (2) Makanan siap saji
(Prepared food), yakni penjual makanan yang sudah dimasak. (3) Barang bukan
makanan (nonfood items), kategori ini terdiri dari barangbarang dalam skala yang luas, mulai dari tekstil hingga obat-obatan. (4) Jasa services), yang terdiri dari beragam aktivitas seperti jasa perbaikan sol sepatu dan tukang cukur.
Berdasarkan sifat layanannya, MCGee & Yeung (1977 :82-83) membagi ke dalam 3 (tiga) tipe, yaitu : (1) Pedagang keliling (mobile), pedagang yang dengan mudah dapatmembawa barang daganngannya, mulai dari menggunakan sepeda atau keranjang. (2) Pedagang semi menetap (semistatic), pedagang ini mempunyai sifat menetap sementara, dimana kios dan tempat usahanya akan
(35)
commit to user
berpindah setelah beberapa waktu berjualan di tempat tersebut. (3) Pedagang Menetap (static), sifat layanan pedagang ini memiliki frekuensi menetap yang paling tinggi, dimana lokasi tempat usahanya permanen di suatu tempat seperti di jalan atau ruang-ruang publik. Menurut waworoento (dalam Widjajanti, 2000 :39-40), bentuk sarana fisik berdagang yang digunakan oleh pedagang kaki lima adalah : (1) Gerobak/kereta dorong, bentuk ini terdiri dari 2 macam, yaitu gerobak yang beratap dan tidak beratap. (2) Pikulan/keranjang, yaitu digunakan oleh PKL keliling (mobile) ataupun semi menetap. (3) Tenda, bentuk ini terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja, biasanya dilengkapi dengan penutup. (4) Kios, menggunakan papan atau sebagian menggunakan batu bata, sehingga menyerupai bilik semi permanen, yang mana pedagang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut, pedagang ini dikategorikan sebagai pedagang menetap. (5) Gelaran/alas, pedagang bentuk ini menggunakan alas berupa tikar, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangannya. (6) Jongko/meja, sarana berdagang yang menggunakan meja jongko dan beratap, sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap.
2.1.7. Karakteristik Lokasi Aktivitas PKL
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Joedo dalam Widjajanti (2000:35), penentuan lokasi yang diminati sektor informal adalah sebagai berikut : (1) Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama, sepanjang hari. (2) Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan,
(36)
commit to user
tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar. (3) Memiliki kemudahan untuk terjadinya hubungan antara PKL dengan calon pembeli. (4) tidak membutuhkan ktersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum. Gejala aglomerasi yang terjadi pada PKL terkait dengan teori lokasi yang dikemukakan oleh Palander dan Hoover dalam teori mengenai ketergantungan lokasi. Lokasi usaha lebih ditentukan oleh penyebaran permintaan dan ketergantungan lokasi terhadap usaha lain yang sejenis (Djojodipuro, 1992:119-120). Keuntungan yang tinggi akan mengundang masuknya pedagang lain ke dalam lokasi tersebut. Hal ini akan menimbulkan persaingan dalam menguasai pasar seluas mungkin, tanpa membanting harga tetapi dengan mengaturlokasinya terhadap saingannya. Adanya pengelompokan tersebut akan memudahkan pembeli dalam memilih barang terbaik yang diinginkannya
2.2. Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan referensi dan perbandingan, penulis akan mengemukakan penelitian terdahulu yang topiknya sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun referensi yang ditulis adalah sebagai berikut :
Alosius Gunadi Brata (2004) dalam jurnal “Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya” meneliti mengenai “Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Sektor Informal Perkotaan”. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa modal sosial mampu memberikan manfaat ekonomis bagi pelaku ekonomi informal perkotaan, dengan obyek penelitian pada pedagang angkringan di Yogyakarta. Modal sosial, dalam pengertian jaringan-jaringan atau hubungan-hubungan sosial
(37)
commit to user
informal, turut menentukan proses menjadi pedagang angkringan, termasuk dalam hal penentukan lokasi berdagang. Dari penelitian ini didapat bahwa modal sosial berperan penting dalam mempererat hubungan mereka dan mampu mengurangi kekhawatiran terhadap resiko yang mereka hadapi saat bekerja. Selain itu adanya efek bola salju yaitu kesempatan bertambahnya jumlah pelanggan dan dari hubungan dengan pelanggan, pedagang ankringan mendapat informasi untuk usahanya.
Penelitian Fafchamps dan Minten (1999) memperoleh kesimpulan bahwa akumulasi modal sosial terbukti memberikan peran yang sangat nyata dalam bisnis. Dengan kata lain, return to social capital dalam usaha perdagangan cukup besar. Fafchamps dan Minten menyatakan : “Hence, we conclude that a large part of the effect of bussiness experience on performane seems to come from the accumulation of social capital overtime and less from the development of other
types of expertise”. Pengukuran modal sosial memperlihatkan tumbuhnya nilai
tambah (margins or value added) secara signifikan di atas kepemilikan sarana, kapital tenaga kerja (labor capital), human capital, dan ketrampilan manajemen. Dua hal penting yang membangun modal sosial adalah jumlah pedagang lain yang dikenal dan jumlah orang yang siap membantu jika menghadapi permasalahan. Selain itu, hubungan bukan keluarga (non-family networks) terbukti lebih berperan dibandingkan hubungan keluarga (family networks).
(38)
commit to user
2.3. Kerangka Konseptual
Interaksi antar Pedagang Kaki Lima yang menciptakan modal sosial dapat dilihat dari indikator-indikatornya yaitu kepercayaan, norma dan jaringan. Dengan tumbuhnya modal sosial yang baik diharapkan dapat menciptakan kelancaran usaha bagi para PKL. Namun dalam upaya pencapaian kelancaran usaha terkait modal sosial muncul pertanyaan apakah nilai ekonomis modal sosial dan apakah permasalahan baru yang muncul dari modal sosial yang ada. Seingga diharapkan dengan terjawabnya pertanyaan tersebut dapat membantu PKL untuk mencapai kelancaran usahanya.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Interaksi PKL
Modal Sosial
- Kepercayaan - Norma - Jaringan
Kelancaran usaha PKL
Bagaimanakah nilai ekonomis modal sosial pada PKL dan apakah permasalahan baru yang muncul (implikasi negatif) dari modal sosial tersebut?
indikator
(39)
commit to user
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini memfokuskan pada pengamatan dan analisis dari sikap dan perilaku sehari-hari PKL dengan melihat modal sosial dari indikator yang ada serta menganalisis nilai ekonomis modal sosial dan implikasi negatif yang timbul dari modal sosial itu sendiri. Dari analisis fenomena tersebut akan disajikan suatu gambaran keadaan yang riil di lapangan dengan berbagai dukungan fakta dan informasi yang didapat dari kata-kata dan gambar-gambar.
Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Moleong (2004:6) mengartikan penelitian deskriptif yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka dan data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumentasi lainnya.
Dalam penelitian ini penulis berusaha mengumpulkan data selengkap-lengkapnya secara menyeluruh dan integral untuk dapat memberikan gambaran secara jelas dari aktivitas PKL sehari-hari terkait dengan modal sosial yang mereka miliki.
3.2. Pendekatan Penelitian
Dasgupta dan Serageldin (1999) melihat bahwa dalam pengukuran konsep modal sosial belum cukup dibakukan untuk diukur dengan menggunakan riset
(40)
commit to user
kuantitatif. Menurut mereka, mengukur modal sosial dapat menggunakan berbagai pendekatan interdisiplin dengan kombinasi pendekatan yang sama maupun yang berbeda. Oleh karenanya, untuk dapat menjelaskan gejala-gejala sosial berkenaan dengan modal sosial PKL di Kabupaten Ngawi, maka pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini dipandang lebih relevan untuk digunakan dalam mengamati gejala-gejala sosial dalam masyarakat.
Dalam pendekatan kualitatif ini, peneliti terjun langsung ke lapangan dan mencoba melakukan investigasi guna memperoleh informasi mendalam mengenai modak sosial, nilai ekonomis modal sosial dan imlikasi negatif dari modal sosial serta mengembangkan penafsiran-penafsiran terhadap informan atau data yang ditemukan. Dengan demikian, dalam penelitian kualitatif, peneliti perlu melakukan interaksi untuk mendalami subyek yang diteiti, termasuk di dalamnya pengembangan kategori-kategori, pola-pola analisis dan teori-teori sehingga hasilnya bisa dipahami dengan baik (Creswel:1994).
3.3. Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian dipergunakan untuk memberikan gambaran tentang konteks yang berkaitan dengan fokus penelitian. Dimana lingkup penelitian memuat tentang aspek-aspek yang akan diteliti dari suatu objek tertentu dalam rangka menjawab masalah penelitian.
Berkaitan dengan Modal Sosial pada PKL di Kabupaten Ngawi, dapat dilihat lingkup penelitiannya yaitu kepada proses interaksi PKL sehari-hari baik
(41)
commit to user
interaksi antar sesama PKL, antara PKL dengan Pembeli, serta antara PKL dengan pemerintah daerah yang terkait. Selanjutnya penilaian terhadap nilai ekonomis dari Modal Sosial yang muncul dalam interaksi PKL tersebut dan implikasi negatif yang muncul dari Modal Sosial yang ada. Untuk lebih jelas lingkup penelitian yang akan peneliti teliti dalam penelitian kali ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
(42)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
TABEL 3.1 Lingkup Penelitian No Fokus Penelitian Data/informasi yang
diperlukan
Sumber Metode Rekaman
1 Mengetahui bagaimanakah modal sosial pada PKL di Kab. Ngawi
- Data PKL
- Interaksi PKL
- Indikator modal Sosial
- PKL
- Pembeli
- Pemda (Satpol PP dan Dinas Pasar)
- Wawancara
- Observasi
- Studi Dokumentasi
- Manuskrip wawancara
- Memo observasi
- Dokumen 2 Menganalisis nilai
ekonomis modal sosial yang ada pada PKL di Kab. Ngawi
- Manfaat yang diperoleh dengan adanya Modal Sosial dalam berdagang
- Paguyuban yang ada pada PKL
- PKL
- Pembeli
- Pemda (Satpol PP dan Dinas Pasar)
- Wawancara
- Observasi
- Studi Dokumentasi
- Dokumen
- Manuskrip wawancara
- Memo observasi
3 Mengetahui implikasi negatif dari modal sosial pada PKL di Kab. Ngawi
- Permasalahan baru yang muncul dari adanya modal sosial
- PKL
- Pembeli
- Pemda (Satpol PP dan Dinas Pasar)
- Wawancara
- Observasi
- Studi Dokumentasi
- Manuskrip wawancara
- Memo observasi Dokumen
(43)
commit to user
3.4. Sumber Data
Penulis menggunakan sumber data primer berupa person, yaitu melalui wawancara informan (key person) yang benar-benar mengetahui dan memahami Modal Sosial pada PKL di Kab. Ngawi. Teknik yang digunakan dalam pemilihan informan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling (penarikan sample secara sengaja) dengan teknik snowball sampling. Pedagang Kaki Lima yang menjadi informan pertama adalah Mbah Jo, yaitu pedagang angkringan yang berjualan di sebelah barat Lapangan Merdeka. Berdasarkan informasi dari Mbah Jo diperoleh informan kedua yaitu Sutrisno pedagang Nasi Pecel di Timur Lapangan Merdeka (Jalan Serong). Informasi ketiga dari Atik, yaitu pedagang minuman dan tempura yang berjualan di Jalan Tengah Alun-Alun kabupaten Ngawi. Dalam penelitian ini selain PKL dibutuhkan juga informasi dari pembeli dan dinas terkait. Informan dari pembeli yaitu Deden dan Aditya, sedangkan dari satuan kerja terkait Pegi Yudho selaku Kepala Seksi Operasional Satpol PP dan Drs. Setianto selaku Kepala Bidang Perdagangan dari Dinas Perdagangan dan Pengelolaan Pasar Kabupaten Ngawi.
Pengambilan data dengan menggunakan teknik wawancara ini akan dipakai sampai data yang dikumpulkan dirasa sudah mencukupi. Observasi yaitu pengamatan fenomena-fenomena baik berupa kondisi fisik serta fenomena tingkah laku pihak-pihak yang terkait dengan Modal Sosial pada PKL di Kab. Ngawi, dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode observasi partisipasi pasif yaitu peneliti datang ke tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut (lihat : Sugiyono, 2006 : 227), serta sumber data sekunder
(44)
commit to user
berupa paper, yaitu meliputi tulisan, dokumen, dan arsip yang dapat digunakan untuk mempermudahkan pendeskripsian Modal Sosial pada PKL di Kab. Ngawi. 3.5. Teknik Pengumpulan Data
Berkaitan dengan rangkaian kegiatan penulisan yang dilakukan maka tentunya diperlukan data-data yang relevan dengan fokus penulisan untuk dianalisa dan memperoleh gambaran umum sebagai hasil penulisan. Pengumpulan data merupakan suatu proses mencari data yang diperlukan dalam penulisan.
Penulis menggunakan beberapa instrumen dalam pengumpulan data dengan maksud untuk mempermudah serta memperoleh data yang akurat, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Berikut ini instrumen pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam proses penulisan dan pengumpulan data, yakni : 1. Wawancara
Menurut Nazir (2005:234) : ”wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan mengunakan alat bantu yang dinamakan interview guide (panduan wawancara)”. Yang dimaksud dengan wawancara adalah penulis melakukan tanya jawab langsung dengan pihak yang berhubungan dengan penelitian atau yang dijadikan informan.
2. Observasi
Menurut Sugiyono (2004:165): “Observasi atau yang disebut pula dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap suatu objek
(45)
commit to user
dengan menggunakan seluruh alat indra”. Dalam teknik pengumpulan data ini, penulis langsung turun kelapangan mengamati dengan cermat dan langsung terhadap kehidupan PKL sehari-hari serta hal lain yang dapat menunjang penelitian.
3. Dokumentasi
Untuk memperkuat data yang diperoleh dari hasil kuesioner dan wawancara, penulis menggunakan teknik dokumentasi. Menurut Arikunto (2006:231), dokumentasi adalah “mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya”.
3.6. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Nasution dalam Sugiyono (2006 : 223) menyatakan:
Dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrument penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, focus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semua tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya.
Selanjutnya, Sugiyono (2006 : 222) menyatakan bahwa “peneliti kualitatif sebagai human instrument , berfungsi menetapkan focus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas semuanya”.
(46)
commit to user
3.7. Teknik Pengukuran Keabsahan Data
Dalam pengujian keabsahan data, metode penelitian kualitatif menggunakan istilah yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Sugiyono (2006 : 270) menyebutkan uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji
credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability
(reabilitas), dan confirmability ( obyektivitas).
Dalam penelitian kali ini untuk melakukan uji kredibilitas data peneliti menggunakan metode Triangulasi. William Wiersma dalam Sugiyono (2006 : 273) mengatakan “ triangulation is a qualitative cross-validation. It assesses the sufficiency of the data according to the convergence of multiple data sources or
multiple data collection procedures”. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas
diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Karena keterbatasan waktu yang tersedia dalam penelitian ini, maka peneliti hanya akan menggunakan metode triangulasi sumber data yaitu dari PKL, Pembeli serta pemerintah daerah melalui dinas terkait. Selanjutnya menggunakan trianggulasi teknik pengumpulan data yaitu dengan menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi.
3.8. Teknik Analisis Data
Menurut Ulber (2006:304) bahwa analisis data adalah “proses penyederhanaan data dan penyajian data dengan mengelompokkannya dalam suatu bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasi”. Sedangkan Nazir (2005:405) mengemukakan “analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam dalam
(47)
commit to user
metode ilmiah, karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penulisan”.
Menurut Miles dan Huberman dalam Ulber (2006:311), “kegiatan analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi”. Dalam buku yang sama Ulber menambahkan secara bersamaan berarti reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang jalin menjalin merupakan proses siklus dan interaktif pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar untuk membangun wawasan secara umum yang disebut analisis. Adapun langkah-langkah yang diambil penulis dalam analisis data adalah sebagai berikut :
1. Reduksi Data
Redusi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan informasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Tahapan dalam mereduksi data yaitu membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan menulis memo. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
(48)
commit to user
Penyajian data adalah sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambila tindakan. Melihat data yang disajikan, kita melihat dan akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.
3. Interpretasi Data
Interpretasi data yaitu menganalisa dan mencari arti yang lebih luas dari data yang ada dan menghubungkannya dengan ilmu pengetahuan dan teori yang ada.
4. Menarik Kesimpulan
Mencari makna, pola, model, karakteristik, hal-hal penting yang ditemui dan kemudian menarik kesimpulan.
3.9. Definisi Operasional
1. Nilai Ekonomis adalah nilai yang dapat membantu untuk menimbulkan atau menciptakan keuntungan atau manfaat ekonomi.
2. Modal Sosial adalah modal yang mengacu pada organisasi sosial dengan jaringan sosial, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang dapat menjembatani terciptanya kerjasama dalam komunitas sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan.
3. Pedagang Kaki Lima adalah orang-orang yang menawarkan barang-barang atau jasa untuk dijual di tempat umum, terutama jalan-jalan trotoar dengan
(49)
commit to user
menggunakan gerobak dan lapak dagangan bersifat semi permanen/non permanen.
4. Implikasi Negatif adalah dampak negatif yang timbul.
5. Kepercayaan adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu.
6. Norma adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di lingkungan kehidupannya.
7. Jaringan adalah semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
(50)
commit to user
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Aspek Geografis
Kabupaten Ngawi secara geografis berada di provinsi Jawa Timur bagian Barat, merupakan daerah penghubung Provinsi Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Ngawi adalah 1.295,9851 km2 atau 129.598,51 Ha. Secara administratif pemerintahan terbagi kedalam : 19 kecamatan, 4 kelurahan, dan 213 desa. Secara astronomis Kabupaten Ngawi terletak pada posisi 7021’ – 7031’ Lintang Selatan dan 111007’ – 111040’ Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah utara : Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan (Provinsi Jawa Tengah) dan Kabupaten BoJonegoro (Provinsi Jawa Timur),
2. Sebelah barat : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen (Provinsi Jawa Tengah),
3. Sebelah selatan : Kabupaten Magetan dan Kabupaten Madiun (Provinsi Jawa timur),
4. Sebelah timur : Kabupaten Madiun (Provinsi Jawa Timur).
Kondisi topografi wilayah cukup bervariasi, yaitu topografi datar, bergelombang, berbukit dan bahkan pegunungan tinggi, dengan ketinggian 40 meter hingga 3.031 meter di atas permukaan air laut. Tercatat 4 kecamatan
(51)
commit to user
terletak di dataran tinggi yaitu Kecamatan Sine, Kecamatan Ngrambe, Kecamatan Jogorogo dan Kecamatan Kendal. Komposisi penggunaan lahan untuk persawahan 57.911,19 Ha, perkebunan 1.551,04 Ha, tegalan 8.165,81 Ha, perkarangan 13.486,55 Ha, hutan Negara 45.428,60 Ha, waduk bendungan dan lain-lain 3.054,32 Ha. Komposisi penggunaan lahan di Kabupaten Ngawi dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 4.1 Komposisi Penggunaan Lahan (%) Sumber : Kabupaten Ngawi dalam angka tahun 2010
Luas lahan pertanian mencapai 72 % dari luas wikayah Kabupaten Ngawi. Hal ini menggambarkan sektor pertanian merupakan sektor andalan bagi penduduk Ngawi. Dari 5 subsektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan), subsektor tanaman pangan khususnya komoditi padi penyumbang terbesar terhadap total nilai produksi pertanian.
(52)
commit to user
4.1.2. Aspek Demografis
Jumlah penduduk Kabupaten Ngawi pada tahun 2010 adalah sebesar 892.051 jiwa. Jumlah penduduk tahun 2010 jika dibandingkan dengan jumlah penduduk lima tahun sebelumnya pada tahun 2005 hasil sensus sebesar 876.154 jiwa, berarti dalam lima tahun terakhir Kabupaten Ngawi mengalami kenaikan sebanyak 15.897 jiwa. Apabila jumlah penduduk tersebut dibandingkan dengan luas wilayah yang sebesar 1.298,58 km2, kepadatan penduduknya adalah sebesar 688 jiwa per km2.
(53)
commit to user
Tabel 4.1
Luas Wilayah,Penduduk Menurut Jenis Kelamin Pembagian Wilayah Administrasi dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Ngawi
Tahun 2009
Sumber: Kabupaten Ngawi dalam Angka 2010
Dengan demikian berdasarkan aspek demografis bahwa semakin tahun jumlah penduduk Kabupaten Ngawi semakin bertambah maka dapat
Kecamatan Luas Wilayah
(Km2)
Laki-laki (Jiwa)
Perempuan (jiwa)
Jumlah (Jiwa)
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) Sine 80,22 22.601 25.580 48.181 601 Ngrambe 57,49 21.164 21.412 42.575 741 Jogorogo 65,84 20.176 21.183 41.359 628 Kendal 84,56 24.413 26.419 50.832 601 Geneng 52,52 27.717 28.118 55.835 1.063 Gerih 34,52 18.184 19.289 37.473 1.086 Kwadungan 30,30 14.199 14.483 28.682 947 Pangkur 29,41 13.996 14.631 28.627 973 Karangjati 66,67 23.211 24.825 48.036 721 Bringin 62,62 15.890 16.344 32.234 515 Padas 50,22 16.911 16.949 33.860 674 Kasreman 31,49 12.013 12.006 24.019 763 Ngawi 70,56 41.901 42.432 84.362 1196 Paron 101,14 44.066 45.300 89.366 884 Kedunggalar 129,65 36.901 37.212 74.113 572 Pitu 56,01 14.060 14.180 28.240 504 Widodaren 92,26 35.095 35.788 70.883 768 Mantingan 62,21 19.855 22.023 41.878 673 Karanganyar 138,29 15.842 15.654 31.496 228 Jumlah 1.295,98 438.223 453.828 892.051 688
(54)
commit to user
mengimplikasikan pada keadaan dimana ceteris paribus permintaan akan makanan dan minuman akan semakin meningkat. Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Ngawi dengan kepadatan penduduk 1196 jiwa/km2. Sedangkan Kecamatan Karanganyar memiliki kepadatan penduduk terrendah sebanyak 228 jiwa/km2.
4.1.3. Aspek Sosial Ekonomi a. Ketenagakerjaan
Konsep dan definisi angkatan kerja yang digunakan mengacu kepada The Labor Force Concept yang disarankan oleh International Labor Organization (ILO). Konsep ini membagi penduduk usia kerja (digunakan 15 tahun ke atas) dan penduduk bukan usia kerja (kurang dari 15 tahun).
Selanjutnya penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Khusus untuk angkatan kerja meliputi antara lain: a. Bekerja
b. Punya Pekerjaan tapi sementara tidak bekerja c. Mencari Pekerjaan (pengangguran terbuka)
(55)
commit to user
Tabel 4.2
Data Jumlah Ketenagakerjaan Tahun 2005 – 2009
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 1. Angkatan Kerja 453.068 453.788 454.510 455.232 455.957 2. Angkatan Kerja
Tertampung
452.372 426.048 426.725 427.403 428.084
3. Pencari Kerja 27.696 27.740 27.784 27.829 27.873 4. Penduduk Usia Kerja 617.563 618.544 619.527 620.513 621.500 5. Penduduk Bukan Usia
Kerja
202.151 202.473 202.796 203.117 203.439
6. Lowongan Kerja 3.049 2.683 1.769 2.582 1.809 7. Pencari Kerja
Terdaftar
14.902 3.816 4.784 9.040 6.122
8. Penempatan Tenaga Kerja
2.433 1.892 1.153 2.105 960
Sumber : Ngawi dalam Angka 2010
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah data perkembangan angkatan kerja dari tahun ke tahun sejak 2005 sampai dengan 2009 mengalami peningkatan, begitu juga dengan jumlah pencari kerja yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk jumlah lowongan kerja mengalami fluktuatif setiap tahunnya. Dengan jumlah lowongan tertinggi pada tahun 2005 sebanyak 3.049.
b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB merupakan salah satu indikator perkembangan perekonomian suatu daerah. Perhitungan PDRB yang dilakukandengan harga konstan berarti dalam
(56)
commit to user
perhitungan telah dihilangkan pengaruh – pengaruh terhadap merosotnya nilai mata uang.
Perhitungan PDRB Kabupaten Ngawi pada tahun 2004 – 2008 berdasarkan harga konstan 2000 dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini :
Tabel 4.3
PDRB Kabupaten Ngawi Pada Tahun Menurut Lapangan Usaha Berdasar Harga Konstan Tahun 2004 – 2008
(Juta Rupiah)
NO LAPANGAN
USAHA
2004 2005 2006 2007 2008
1. Pertanian 879.270,85 905.474,59 941.025,88 985.007,46 1.039.356,65
2. Pertambangan & penggalian
13.412,05 13.864,37 14.403,57 15.442,31 16.286,80
3. Industri
Pengolahan
145.094,37 149.370,19 155.405,22 162.859,61 173.860,51
4. Listrik, Gas & Air bersih
12.333,54 13.032,72 13.730,36 14.673,00 16.013,48
5. Konstruksi 98.453,62 104.902,34 110.420,20 116.758,32 120.634,70
6. Perdagangan,
Hotel & Restoran
614.343,99 651.328,99 697.427,05 745.925,20 793.681,83
7. Pengangkutan & Kamunikasi
79.274,28 82.364,00 87.412,59 92.497,17 98.137,08
8. Keuangan,
persewaan & Jasa Perusahaan
122.853,39 129.690,39 137.199,62 142.016,95 148.281,52
9. Jasa-jasa 317.355,84 335.654,41 353.051,03 364.537,86 379.082,87
PDRB Kabupaten Ngawi
2.282.391,93 2.385.681,99 2.510.075,52 2.6369.717,89 2.785.335,43
(57)
commit to user
Berdasar table 4.3 dapat dilihat bahwa PDRB Kabupaten Ngawi berdasarkan harga konstan tahun 2004 – 2008 selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Demikian pula setiap lapangan usaha juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan sektor pertanian memberikan kontribusi paling besar pada PDRB Kabupaten Ngawi.
Tabel 4.4
PDRB Kabupaten Ngawi Pada Tahun Menurut Lapangan Usaha Berdasar Harga Berlaku Tahun 2004 – 2008
(Juta Rupiah)
NO LAPANGAN
USAHA
2004 2005 2006 2007 2008
1. Pertanian 1.241.272,14 1.422.944,90 1.629.981,80 1.843.370,50 2.129.128,28
2. Pertambangan &
penggalian
18.070,32 20.444,39 23.924,26 27.821,13 31.159,67
3. Industri
Pengolahan
206.840,03 243.982,92 275.496,96 306.568,98 354.275,13
4. Listrik, Gas & Air bersih
21.476,84 27.322,24 31.946,84 36.199,99 44.111,18
5. Konstruksi 141.810,82 172.033,04 202.821,88 243130,70 276.908,89
6. Perdagangan,
Hotel & Restoran
880.924,38 1.049.123,88 1.241.254,87 1.412.591,98 1.610.680,64
7. Pengangkutan &
Kamunikasi
114.710,78 146.204,02 181.477,29 205.072,67 233.711,75
8. Keuangan,
persewaan & Jasa Perusahaan
161.943,61 188.861,99 218.291,53 243.939,08 273.336,32
9. Jasa-jasa 478.073,09 560.434,44 640.359,59 712.733,97 816.961,22
PDRB Kabupaten
Ngawi
3.265.122,01 3.831.351,83 4.445.555,03 5.031.428,99 5.770.273,06
(58)
commit to user
Berdasar table 4.4 dapat dilihat bahwa PDRB Kabupaten Ngawi berdasarkan harga berlaku tahun 2004 – 2008 selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sektor pertanian masih memberikan kontribusi paling besar pada PDRB Kabupaten Ngawi, hal ini menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat Kabupaten Ngawi masih didominasi dari sector pertanian.
4.2. Pedagang Kaki Lima
4.2.1. Keberadaan dan Kondisi PKL
Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Ngawi terutama di wilayah ibukota kabupaten tidaklah menjadi pemandangan yang asing bagi masyarakat. Pedagang Kaki Lima yang biasa berjualan di atas trotoar dengan menggunakan perlengkapan ala kadarnya seperti sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat Kota Ngawi. Pedagang Kaki Lima di Kota Ngawi banyak berada di jalan-jalan protokol yang ramai, tempat pemberhentian bus, sepanjang jalan utama kota, dan terutama di alun-alun Kabupaten Ngawi yang merupakan salah satu lokasi utama tempat berusaha para Pedagang Kaki Lima.
Sebagian besar PKL di Alun-alun Kabupaten Ngawi adalah masyarakat lokal hanya beberapa dari mereka yang merupakan pendatang. PKL lokal cenderung untuk tinggal bersama dengan keluarga besar dengan menantu bahkan cucu. Sedangkan untuk PKL pendatang hidup dengan menyewa kamar atau rumah bersama dengan kerabat, tetangga, atau teman yang melakukan kegiatan sejenis. Hal ini merupakan suatu upaya untuk tetap membina jaringan sosial. Karena bagi PKL jaringan sosial merupakan hal yang penting yang harus dibina. Para PKL pendatang lebih banyak meninggalkan keluarganya di kampung
(59)
commit to user
halaman dengan alasan untuk menekan biaya hidup di perantauan. Mereka akan pulang secara berkala ke desa untuk meberikan nafkah atau melalui jasa pengiriman uang melalui Bank.
Dalam hal jam kerja PKL memiliki jam kerja yang tidak menentu dan cenderung melebihi standart jam kerja yang ditetapkan pemerintah untuk pekerjaan formal. Banyak PKL yang menghabiskan lebih dari 8 jam untuk bekerja atau berdagang. Sebagian besar PKL di sekitar Alun-Alun mulai menyiapkan dagangan pada pukul 11.00 dan berjualan hingga pukul 23.00 (12 jam). Waktu disesuaikan dengan ijin yang mereka dapatkan dan kebutuhan dari para pembeli. PKL jenis barang dagangan berupa makanan mulai buka sebelum jam istirahat makan siang sehingga diharapkan pada saat makan siang mereka bisa melayani para pegawai kantor atau pekerja di sekitar alun-alun yang melaksanakan istirahat makan siang. Namun ketika musim hujan, panjangnya waktu berjualan juga mengalami perubahan. Karena sedikitnya pembeli di musim hujan menyebabkan mereka harus rela menutup dagangannya lebih awal. Tentu saja hal ini berpengaruh pada omset penjualan, sehingga mereka menganggap keadaan seperti ini sebagai “duka”-nya PKL.
Jenis barang dagangan PKL di sekitar alun-alun bermacam-macam mulai dari makanan, minuman, alas kaki, baju, buku, peralatan rumah tangga dan mainan anak-anak. Namun sebagian besar dari PKL ini merupakan penjual makanan dan minuman. Makanan yang menjadi unggulan adalah nasi pecel. Pedagang nasi pecel dikelompokkan menjadi satu deret berjualan di jalan serong timur Alun-alun. Disana dapat ditemui tidak kurang dari 7 pedagang nasi pecel.
(60)
commit to user
Selain pedagang nasi pecel juga terdapat pedagang makanan jenis lainnya. Diujung timur ruas jalan tersebut terdapat pedagang baju, alas kaki serta pedagang buku. Di ruas jalan tengah alun-alun atau jalan merdeka terdapat PKL dengan berbagai jenis barang dagangan. Tetapi tetap didominasi oleh pedagang makanan dan minuman. Sepanjang ruas jalan serong barat alun-alun merupakan tempat pedagang angkringan dan ruas jalan inilah yang pedagangnya memiliki jam berjualan paling lama hingga pukul 01.00. Mengingat angkringan merupakan lokasi favorit masyarakat untuk bergadang atau gadangan. Jenis barang dagangan PKL di sepanjang Jalan Jaksa Agung Suprapto hampir serupa yaitu putu, intip ketan, martabak dan tahu goreng.
Berdasarkan data dari dinas Perdagangan dan Pengelolaan Pasar jumlah pedagang kaki lima di sekitar alun-alun sebanyak 70 pedagang. Dari 70 PKL sejumlah 57 PKL merupakan pedagang dengan jenis dagangan berupa makanan/minuman. Sehingga bisa dikatakan bahwa 81% PKL di sekitar alun-alun Ngawi adalah pedagang makanan/ minuman.
Para PKL berjualan menggunakan gerobak dorong atau hanya mengandalkan alas dari terpal untuk menjajakan barang dagangannya. Untuk penjual makanan mereka menggunakan gerobak, beberapa buah kursi dan meja serta tikar sebagai alas para pembeli yang lebih menyukai menikmati makanan dengan lesehan. Peralatan berdagang mereka yang terbilang sederhana dapat dipindahkan sewaktu-waktu dan dibersihkan sehingga ketika mereka selesai berdagang lokasi yang dipergunakan menjadi bersih kembali.
(61)
commit to user
PKL di sekitar alun-alun Ngawi mendirikan sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Guyub Rukun. Pendirian paguyuban tersebut dilatar belakangi oleh perasaan senasib yang mereka miliki. Paguyuban tersebut merupakan wadah bagi para PKL untuk saling bertukar informasi, mempermudah koordinasi, miningkatkan rasa kekeluargaan dan menjalin kerukuan antar PKL. Paguyuban tersebut beranggotakan 43 PKL yang tesebar di sekitar alun-alun. Sifat dari paguyuban ini adalah terbuka, sehingga kepada siapapun PKL yang berjualan disekitar alun-alun Ngawi dapat menjadi anggota. Serta tidak ada keharusan bagi PKL di sekitar alun-alun untuk menjadi anggota paguyuban.
Kegiatan dari paguyuban terdiri dari kegiatan rutin dan insidental. Kegitan rutin antara lain pertemuan anggota dilanjutkan arisan sebulan sekali dan kerja bhakti membersihkan lingkungan sekitar alun-alun Ngawi tiga bulan sekali. Kegiatan insidental berupa koordinasi dengan satuan kerja terkait (Satpol PP, Dinas Perdagangan dan Pengelolaan Pasar, serta Dinas Koperasi dan UMKM) menenai kebijakan menyangkut PKL, serta mengikuti pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kompetensi anggota.
Pada Tahun 2010 telah berdiri Koperasi Simpan Pinjam Laskar Kaum Mandiri yang merupakan koperasi bagi PKL di sekitar alun-alun Kabupaten Ngawi. Pendirian Koperasi tersebut diprakarsai oleh Paguyuban Guyub Rukun, sehingga anggota paguyuban dapat dipastikan merupakan anggota Koperasi. Namun belum tentu anggota koperasi adalah anggota paguyuban PKL. Pendanaan koperasi bersumber dari dana hibah pemerintah Kabupaten Ngawi TA 2010. Adapun kegiatan usaha dari koperasi tersebut antara lain:
(1)
commit to user 3.
4.
Pernahkah ada konflik terkait PKL di Kabupaten Ngawi?
Bagaimanakah upaya yang
dilakukan pemerintah daerah untuk tetap menjaga ketertiban
dan keamanan terkait PKL
benarkah masih ada pungli dari
orang yang tidak
bertanggungjawab?
Apakah pernah ada upaya
penertiban PKL yang dilakukan oleh Pemda?
Konflik yang terjadi tergolong konflik kecil dalam artian konflik antar pedagang dengan permasalahan yang remeh, seperti kesalah fahaman dan perebutan tempat berdagang. Tetapi permasalahan tersebut segera bisa diselesaikan dengan kekeluargaan, dengan satpol sebagai mediatornya. Upaya pemerintah yang pertama adalah menetapkan aturan, terkait dengan hak dan kewajiban dari PKL itu sendiri. Kemudian menetapkan jenis sangsi dan hukumannya. Memberikan teguran kepada mereka yang melanggar serta pembinaan secara berkala kepada PKL. Upaya meningkatkan rasa kekeluargaan dengan mengadakan acara secara bersama-sama, kadang kami juga diundang sebagai nara sumber pada pertemuan paguyuban. Dan mengadakan kerja bakti membersihkan alun-alun bersama-sama. Jika kekeluargaan dan rasa memiliki kuat maka akan ada upaya untuk saling menjaga satu sama lain. Keamanan akan terbentuk dengan sendirinya. Terkait masalah pungli kami sudah mulai untuk menertibkan, penarik pungli kebanyakan dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Untuk pungli dari anggota kami, segera kami tindak dengan tegas. Memang ada tetapi oknum-oknum tersebut sudah
mendapatkan sangsi sesuai dengan aturan yang ada. Penarik pungli biasanya menarik para PKL yang lemah, mereka yang tidak masuk sebagai anggota paguyuban serta terletak jauh dari keramaian.
Sebenarnya dalam aturan sudah tercantum dengan jelas tindakan apa yang harus dilakukan, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan masih ada
ewuh pakewuh. Rasa sungkan kepada
(2)
commit to user 5.
Bagaimanakah sikap dari PKL terhadap upaya penertiban atau pelaksanaan aturan-aturan terkait dengan PKL?
Apakah upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka membatasi perkembangan PKL di Kabupaten Ngawi?
Bagaimanakah hubungan PKL
dengan pemerintah daerah
terutama dengan satker terkait?
merupakan usaha mereka untuk mencari nafkah. Sehingga dalam pelaksanaannya lebih kepada pembinaan bukan
hukuman. Sehingga diharapkan untuk kedepannya para PKL dapat mengikuti peraturan yang ada.
Pada umumnya mereka menaati dengan baik dan mengikuti aturan-aturan yang ada. Jikalau ada pedagang yang
memberontak itu sudah biasa, tetapi jumlah mereka sedikit dan ketika sudah dilaksanakan pendekatan secara intensif akhirnya mereka dapat mengerti juga. Kami lebih menggunakan cara-cara persuasive
Langkah utama yaitu dengan
menentukan area yang dapat dijadikan lokasi berdagang bagi PKL. Diharapkan dengan pembatasan lokasi tersebut dapat menekan perkembangan PKL. Sehingga tidak mempengaruhi tata kota yang sudah ada, Jika mulai tumbuh lagi pedagang bukan pada tempat yang semestinya maka akan diadakan penertiban dan pembinaan.
Hubungan tentu saja baik, selama aturan diataati maka tidak akan ada
permasalahan yang timbul. Kami hanya petugas penegak perda, dan mereka berdagang untuk mencari nafkah. Jika semua bisa menjalankan peran dan tugas serta fungsi masing-masing maka
kondisi akan terjaga dengan baik. Memang untuk urusan perut lebih sensitive, kami juga menyadari itu. Oleh sebab itu jika ada permasalahn yang timbul sebisa mungkin kami selesaikan dengan kekeluargaan. Karena jika tidak dapat menyulut emosi dari PKL sendiri.
(3)
commit to user
Nama Informan Drs. Setianto
Hari/tanggal Jumat, 28 Oktober 2011
Waktu 13.00 – 14.30 WIB
Tempat Kantor Dinas Perdagangan dan Pengelolaan Pasar
Kabupaten Ngawi
No Pertanyaan Jawaban
1.
2.
3.
4.
5.
Bagaimanakah arah kebijakan
Pemda Ngawi terhadap
perkembangan PKL di
Kabupaten Ngawi?
Pernahkah ada konflik terkait PKL di Kabupaten Ngawi?
Apakah upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka membatasi perkembangan PKL di Kabupaten Ngawi?
Bagaimanakah hubungan PKL
dengan pemerintah daerah
terutama dengan satker terkait?
Apakah ada bantuan/kredit
modal yang diberikan kepada PKL?
Kebijakan pemerintah daerah terutama dinas pasar lebih kepada memberikan fasilitas dan pembinaan. Kita tidak berharap adanya penambahan jumlah PKL karena bagaimanapun PKL
menempati ruang-ruang public, jika nanti PKL semakin menjamur akan jadi
masalah juga untuk tata kota. Permasalahan biasa terjadi terkait bantuan, karena bantuan tidak bisa diberikan secara merata. Pemberian bantuan secara bergiliran, ada juga pedagang yang belum mendapat giliran protes kepada kami. Namun setelah dijelaskan mereka akhirnya memahami. Dari dinas pasar berusaha untuk
memberika ketrampilan bagi mereka para PKL. Sehingga diharapkan dengan ketrampilan yang mereka miliki mereka bisa berupaya untuk membuka usaha yang lain yang lebih menghasilkan Hubungan dengan PKL baik, kami selaku salah satu dinas yang ikut menangani PKL berusaha untuk memberikan
pembinaan kepada para PKL. Pembinaan tersebut dapat berupa pemberian
pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan skill mereka.
Bantuan selama ini dari bantuan social pemerintah daerah yang kemudian dijadikan sebagai modal pembentukan
(4)
commit to user 6.
Bagaimanakah teknis
pendistribusian bantuan tenda kepada PKL?
koperasi sebesar Rp. 30.000.000,- Diharapkan dengan dana yang dikelola oleh PKL sendiri dapat benar-benar mencapai sasaran. Kami bekerjasama dengan dinas koperasi memberikan pembinaan, pelatihan mengenai administrasinya. Untuk perkembangan modal juga kami pantau. Bnatuan yang paling baru yaitu 50 buah tenda dari kementerian perdagangan. Tenda-tenda tersebut kami berikan kepada PKL terutama kepada mereka yang berdagang di tempat-tempat strategis dan memang membutuhkan. Kami harapkan dengan adanya tenda yang seragam dapat
meningkatkan niali estetika dari PKL itu sendiri. Untuk pendistribusian di sekitar alun-alun ngawi memang kami serahkan kepada paguyuban. Karena lebih mudah untuk koordinasinya.
Untuk pendistribusian bantuan tenda kepada PKL di sekitar alun-alun kota kami koordinasikan dengan ketua paguyuban PKL. Dengan tujuan supaya benar-benar menyasar kepada mereka yang membutuhkan. Tetapi kami juga melakukan cros cek di lapangan apakah sesuai dengan kriteria atau tidak. Selain itu kami juga akan selalu memberikan bantuan secara bergilir, sehingga tidak dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu.
(5)
commit to user
LAMPIRAN III DOKUMENTASI
(6)
commit to user