bucanero hidup dalam alam bebas, tidak ada seorangpun yang memerintah atau menguasai mereka. Ini mengundang segala jenis orang yang diusir, buronan,
budak, Indian pemberontak, dan orang-orang yang dikejar oleh agama. Jumlah bucanero ini bertambah dan pada tahun 1620 mereka mulai dikejar oleh orang-
orang Spanyol. Mereka memutuskan untuk berbuat perampokan kecil di laut dan mendirikan pangkalan operasi di pulau Tortuga, dekat dengan koloni
Spanyol. Pengakuan akan keberadaan mereka oleh Le Vasseur sebagai pemerintah
pulau itu dan berangkat dari kepentingan riilnya, membawa mereka untuk berasosiasi dalam Hermandad de la Costa atau
“persaudaraan daratan pantai
” yang akan memunculkan asal dari filibusteros.
c. Filibustero
Karena di pulau Tortuga tidak terdapat buruan, para bucanero berhadapan dengan sebuah dilema untuk terus hidup: pergi dengan Canoa
untuk berburu di teritori Spanyol atau mendedikasikan diri pada pembajakan. Mereka yang memilih pilihan terakhir dinamakan filibusteros freebooter.
Kata Filibustero berasal dari bahasa Belanda Vrij Buiter ”yang merampas
harta ” atau dalam bahasa Inggris, freebooter.
Kebiasaan hidup dengan kemerdekaan yang penuh, membuat mereka tidak mengizinkan untuk diperintah oleh hukum, norma dan orang-orang di
atas mereka. Para filibusteros ini menyerang kapal apa saja, walaupun kapal- kapal Spanyollah yang sering menjadi korban mereka.
Mereka menggunakan kapal kecil, sangat ringan dan mudah dikendalikan
Universitas Sumatera Utara
dan dimodali serta didukung secara ekstra oficial oleh potensi-potensi dari Eropa dengan kepentingan untuk melemahkan perdagangan musuh. Mereka
seringkali menggagalkan perdagangan antar koloni dan didongengkan akan aktuasi-aktuasi mereka yang berani dengan senjata yang minim dan tripulasi
yang sedikit, mereka menyerang galeon-galeon kapal besar yang dipersenjatai secara luar biasa, yang mengangkut emas.
B. UNCLOS 1982 dan Kaitannya dengan Bajak Laut
Berdasarkan Piagam PBB Bab 1 Pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa tugas pokok berdirinya PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan
internasional. Perompakan tergolong sebagai tindakan ilegal berupa kekerasan dan penjarahan terhadap kapal komersial. Tindakan tersebut merupakan tindakan
yang mengancam keamanan internasional dan kepentingan kemanusiaan secara luas.
Salah satu Hukum Internasional yang mengatur mengenai penanganan terhadap perompak adalah UNCLOS United Nations Convention Law of the
Sea. Hukum tersebut memuat pasal yang berisi pengertian perompakan dan aturan penangkapan terhadap perompak. Secara substansi, ketetapan dalam
hukum tersebut seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan perompak. Pada 5 februari 2009, UNCLOS telah diratifikasi oleh 156 negara. Di dalam
UNCLOS mendefinisikan perompakan sebagai peristiwa khusus yang terjadi di perairan laut dari negara yang memiliki garis pantai dan memiliki kewenangan
Universitas Sumatera Utara
yuridiksi penuh dalam menindak perompakan di dalam teritorial perairan negara yang berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif.
Di dalam praktik, hak pelayaran diatur dibawah konvensi dari zona ekonomi eksklusif, negara seharusnya menghormati hak dan kewajiban negara yang
memiliki garis pantai dan seharusnya mematuhi hukum dan regulasi yang diadopsi oleh negara pantai tersebut.
39
Mengenai pasal pasal yang berkaitan dengan pembajakan terdapat dalam pasal 100 sampai pasal 107 UNCLOS. Hak suatu negara terhadap perompak
diatur dalam pasal 110 yang berisi bahwa kapal perang suatu negara tidak diijinkan mendatangi dan menindak kapal asing kecuali ketika kapal tersebut
teridentifikasi bahwa kapal bekerjasama dengan perompak dan kapal tidak membawa identitas kebangsaan.
40
Sesuai dengan Pasal 100 UNCLOS, dapat dikatakan perompakan apabila terjadi diatas perairan atau di tempat lainnya yang berada di luar wilayah hukum
negara manapun. Apabila pembajakan dilakukan oleh kapal perang atau kapal pemerintah yang dikendalikan oleh kru yang memberontak, kapal perang atau
kapal pemerintah akan dianggap sebagai kapal swasta yang telah melakukan pembajakan karena itu akan dikenakan aturan pembajakan.
41
Mengenai status kewarganegaaraan yang dimiliki oleh kapal perompak tergantung undang-undang dari negara asal kapal perompak tersebut, karena pada
39
Russell, Denise. Who Rules The Waves ? Piracy, Overfishing, and Mining the Ocean, New York: Pluto Press,2010, hlm 158.
40
Beckman, Robert. Somali Piracy- Is International Law Part of The Problem or Part of The Solution
’, RSIS,2009, hlm 20
41
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 102
Universitas Sumatera Utara
dasarnya kapal perompak tersebut tetap memiliki status kewarganegaarn sesuai dengan bendera kapal dari kapal perompak tersebut.
42
Maka, ketika terjadi penangkapan atas bajak laut tersebut, negara yang menangkap berhak atas bajak laut beserta kapal dan property yang berada di atas
kapal dan Pengadilan Negara yang menangkap bajak laut dapat menentukan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan
diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik.
43
Namun, apabila suatu negara menangkap dan melakukan penyitaan terhada kapal bajak laut tanpa alasan yang cukup dan menimbulkan kerugian, maka negara
tersebut bertanggung jawab terhadap negara yang kebangsaannya dimiliki o leh
kapal tersebut.
44
Suatu penyitaan karena perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara
jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dalam dinas pemerintah dan yang diberi wewenang untuk melakukan hal demikian.
45
Kapal perang suatu negara dapat melaksanakan pemeriksaan dokumen dan segala hal hal yang dimungkinkan atas hak kapal tersebut untuk mengibarkan
benderanya. Untuk keperluan ini, kapal perang suatu negara ini boleh mengirimkan sekoci, di bawah perintah seorang perwira ke kapal yang dicurigai.
Apabila ternyata kecurigaan itu tidak beralasan dan apabila kapal yang diperiksa
42
Ibid., Pasal 104
43
Ibid., Pasal 105
44
Ibid., Pasal 106
45
Ibid., Pasal 107
Universitas Sumatera Utara
tidak melakukan suatu perbuatan yang membenarkan pemeriksaan itu, kapal tersebut akan menerima ganti kerugian untuk setiap kerugian atau kerusakan yang
mungkin diderita.
46
UNCLOS menyatakan perompakan merupakan tindakan ilegal yang dilakukan di atas laut atau di luar wilayah hukum negara apapun. Apabila terjadi
di perairan sebuah negara hukum, maka secara teknik bukanlah aksi pembajakan tapi sebuah tindakan perampokan bersenjata atau perampokan di laut dan yang
digunakan adalah hukum negara tersebut di sepanjang garis pantai dan menurut keamanan nasionalnya. Bila terjadi perompakan, UNCLOS mewajibkan setiap
negara bekerjasama sekuat tenaga dalam membasmi atau menekan pembajakan.
47
C. Pengaturan Hukum Internasional Lainnya diluar UNCLOS 1982 1. Convention on Supression of Unlawful Act of Violence Against The
Safety of Maritime Navigation SUA Convention
IMO membentuk konvensi ini sebagai reaksi atas kasus pembajakan kapal Acille Lauro. Kasus ini terjadi pada tanggal 7 Oktober 1985, 4 orang
teroris Palestina membajak kapal pesiar bernama Achille Lauro yang sedang berada di perairan internasional lepas pantai Mesir.
Dalam Konvensi ini tidak menggunakan istilah pembajakan di laut piracy, melainkan istilah tindak pidana offences. SUA Convention 1988
memberikan yurisdiksi untuk menindak para pelaku perampokan bersenjata di laut dan tidak terbatas hanya di laut lepas. Namun prinsip kedaulatan laut
46
Ibid., Pasal 110
47
http:sp.beritasatu.comhomeperompak-bisa-dihukum-mati6330 diakses 15 Juni 2015
Universitas Sumatera Utara
teritorial tetap ditegakkan dalam konvensi ini, sehingga negara-negara tidak diberikan hak untuk memasuki laut teritorial negara lain untuk menumpas
bajak laut.
48
SUA Convention 1988 telah diratifikasi oleh 156 negara, namun tidak diadopsi oleh negara-negara pantai yang secara luas dipengaruhi oleh
pembajakan di laut seperti Somalia, Malaysia dan Indonesia. SUA Convention 1988 mencoba untuk mengatur berbagai tindakan
kekerasan maritim yang tidak disebutkan dalam UNCLOS 1982. SUA Convention 1988 menyertakan tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi
dalam perairan territorial, tindakan tersebut dapat berupa penahanan penguasaan secara paksa, kekerasan terhadap orang di atas kapal,
penghancuran atau pengrusakan kapal, penempatan alat atau zat yang dapat menghancurkan atau merusak kapal, menghancurkan atau merusak fasilitas
navigasi maritim, mengumumkan informasi yang sudah diketahui salah, melukai atau membunuh orang dalam rangka pencapaian tindak pidana yang
disebutkan sebelumnya. Segala tindakan percobaan atau upaya untuk melakukan tindak pidana, juga dikategorikan sebagai tindak pidana dalam
pasal ini. Namun konvensi ini tidak memberikan wewenang yursidiksi universal untuk menangani tindakan-tindakan tersebut.
49
SUA Convention 1988 menyebutkan tindakan-tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindakan pembajakan di laut, seperti penahanan
kapal melalui paksaan. Beberapa pengaturan yang penting yang diatur
48
Convention on Supression of Unlawful Act of Violence Against The Safety of Maritime Navigation SUA Convention Pasal 6
49
Ibid., Pasal 4
Universitas Sumatera Utara
dalam konvensi ini, yaitu: 1 Larangan seseorang untuk menguasai sebuah kapal dengan paksaan,
melukai orang lain di atas kapal dan menghancurkan atau merusak kapal Pasal 3.
2 Tidak diwajibkannya syarat laut lepas. 3 Tidak mengatur terhadap kapal yang hanya beroperasi di laut teritorial
dari suatu negara pantai. 4 Fokus untuk menghukum para pelaku.
5 Aspek terpenting adalah dibutuhkannya suatu negara untuk mengadili atau mengekstradisi pelaku.
Menurut konvensi ini, SUA Convention 1988 tidak berlaku kapal perang, kapal yang dioperasikan pemerintah, dan juga kapal yang sudah
tidak bernavigasi
50
yang terjadi pada seluruh wilayah laut dan tidak terbatas pada laut lepas.
51
Negara peserta wajib untuk menerapkan hukum terhadap tindak pidana yang disebutkan sesuai dengan tingkatan tindak pidana yang
dilakukan.
52
SUA Convention 1988 tidak menerapkan yurisdiksi universal selayaknya Convention on the High Seas 1958 atau UNCLOS 1982,
melainkan memberika tiga cara bagi negara peserta untuk melaksanakan yurisdiksinya
53
, yaitu:
50
Ibid., Pasal 2
51
Ibid., Pasal 3
52
Ibid., Pasal 5
53
Ibid., Pasal 6
Universitas Sumatera Utara
a. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika tindakan ilegal dilakukan di wilayahnya, termasuk laut teritorialnya.
b. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika serangan ditujukan atau dilakukan di atas kapal yang berbendera negara peserta
tersebut. c. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika serangan
dilakukan oleh salah satu warganegaranya. Inti dari tujuan SUA Convention 1988, yaitu mendorong dan
mewajibkan agar para pelaku tindak pidana diadili atau diekstradisi. Tiap negara peserta yang menangkap pelaku atau tersangka pelaku harus
melakukan penahanan yang sesuai dengan hukum nasionalnya agar dapat dilakukan upaya pengadilan atau ekstradisi.
54
Dalam Konvensi ini juga terdapat kewajiban untuk mengekstradisi para pelaku tindak pidana oleh negara peserta konvensi, namun jika negara
peserta menangkap pelaku atau tersangka pelaku dan tidak melakukan ekstradisi apabila pelaku tersangka pelaku merupakan WNA, maka
negara peserta tersebut wajib mengadili pelaku atau tersangka pelaku tersebut. Konvensi ini hanya menyediakan mekanisme untuk menjamin
dilakukannya hukuman melalui cara pengadilan bagi mereka yang terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan maritim, dengan cara memberikan
kewajiban terhadap negara peserta berupa dilakukannya esktradisi ke negara asal pelaku atau pengadilan di dalam negara peserta tersebut.
55
54
Ibid., Pasal 7
55
Ibid., Pasal 10
Universitas Sumatera Utara
Apabila antara negara pengirim penangkap dan negara penerima yang ingin melakukan ekstradisi tidak memiliki perjanjian ekstradisi, maka
perjanjian ini dapat dijadikan dasar ekstradisi dengan dibolehkan ditetapkannya syarat-syarat tertentu oleh negara peserta,
56
kecuali negara tersebut tidak menjadi negara peserta SUA Convention 1958, seperti
Somalia, maka tidak dapat menjadikan SUA Convention 1958 sebagai dasar melakukan perjanjian ekstradisi.
57
Beberapa pakar berpendapat terdapat peraturan yang tidak diatur dalam SUA Convention dalam mengatur tindakan perompakan, yaitu :
1 Jose Luis Jesus menyoroti tindakan yang tidak diatur dalam SUA Convention 1988, yaitu tindakan kekerasan terhadap orang-orang di atas
kapal yang sekiranya tidak membahayakan keselamatan navigasi dan melengkapi atau menggunakan kapal sebagai alat atau senjata.
58
2 Beberapa pembentuk Laporan Nairobi Nairobi Report berpendapat bahwa SUA Convention 1988 bukan merupakan instrumen yang sesuai
untuk menekan pembajakan di laut karena dibuat dalam konteks anti- terorisme.
59
3 Lucas Bento berpendapat bahwa secara teori, SUA Convention 1988 terlihat seperti solusi yang menjanjikan, namun dalam praktek, SUA
56
Ibid., Pasal 11
57
Harrelson, Jill. Blackbeard Meets Blackwater: An Analysis of International Conventions that Address Piracy and the Use of Private Security Companies to Protect the Shipping Industry,
Vol.25; American University International Law Review, 2010, hlm. 305
58
Jesus, Jose Luis. Protection of Foreign Ships against Piracy and Terrorism at Sea: Legal Aspects, Vol.18; The International Journal of Marine and Coastal Law, 2003, hlm. 372.
59
Kraska, James. and Brian Wilson, The Pirates of the Gulf of Aden: The Coalition is the Strategy, Vol.45; Stanford Journal of International, 2009, hlm. 2810
Universitas Sumatera Utara
Convention 1988 bukanlah instrumen hukum yang efektif untuk menangani pembajakan di laut.
60
4 James Kraska dan Brian Wilson menyatakan bahwa untuk mengadili para perompak di bawah SUA Convention 1988 tidak akan
menghilangkan tantangan-tantangan yang berkaitan dengan disposisi pihak-pihak yang dibutuhkan dalam keperluan pengadilan. Dibutuhkan
adanya suatu perjanjian regional dan bilateral antar negara-negara, sekaligus koordinasi, disposisi dan logistik yang tersedia dengan baik
dalam hal kaitannya dengan pihak-pihak yang dibutuhkan untuk hadir dalam persidangan dan pemeriksaan. Hal ini dikarenakan kasus
pembajakan di laut terdiri dari pelaku dan saksi serta korban yang berasal dari negara yang berlainan.
61
2. Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia ReCAAP
Perjanjian ini dibentuk untuk mengatasi pembajakan dan perampokan bersenjata diatas kapal yang terjadi di kawasan Asia. Dikarenakan
perdangangan ekspor dan impor di Asia sangan bergantung pada pengankutan melalui jalur laut.
62
ReCAAP bertujuan untuk memberantas piracy dan armed robbery yang terjadi di wilayah Asia dan sebagai pusat informasi tentang aksi
pembajakan dan perampokan bersenjata diatas kapal, namun tidak menutup
60
Bento, Lucas. Toward and International Law of Piracy Sui Generis: How the Dual Nature of Maritime Piracy Law Enables Piracy to Flourish, Vol.29; Berkeley Journal of International
Law, 2011, hlm 424
61
Kraska, James. and Brian Wilson, Op.Cit., hlm. 2811
62
http:www.recaap.orgAboutReCAAPISC.aspx diakses 20 Juni 2015
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan juga Negara peserta dari perjanjian ini juga memberikan bantuan baik dari segi tenaga, dan alih teknologi kepada Negara lain yang
membutuhkan. Negara-negara pelopor dari ReCAAP itu sendiri adalah Jepang, Cina, India, Singapura dan sebagian besar anggota ASEAN, saat ini
telah ada 17 negara yang menandatangani perjanjian multilateral tersebut. ReCAAP adalah perjanjian organisasi
Internasional pertama
multilateral pemerintah-ke-pemerintah dalam gerakan anti-pembajakan dan usaha perampokan bersenjata. Perjanjian ini terdiri dari tiga pilar
63
: 1 Berbagi informasi antara negara-negara anggota ReCAAP.
2 Peningkatan kapasitas antara negara-negara anggota dengan berbagi praktik terbaik dalam memerangi pembajakan dan perampokan
bersenjata. 3 Melakukan perjanjian kerjasama dengan seperti- organisasi berpikiran
untuk memperkuat kemampuan negara-negara anggota untuk mengelola insiden di laut.
Dikarenakan Indonesia dan Malaysia belum meratifikasi ReCAAP, menyebabkan ReCAAP memiliki keterbatasan yang terkait dengan
organisasi dan proses sehingga efektifitas pelaksanaan ReCAAP di Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok yang berada di dalam wilayah
jurisdiksi dan kepulauan Indonesia dan Malaysia. Insiden perampokan bersenjata banyak terjadi dalam jursidiksi Indonesia dan Malaysia, sehingga
informasi dari kedua negara ini akan berkontribusi besar untuk ReCAAP
63
http:www.researchgate.netpublication223124709_Combating_piracy_and_armed_robbery_in _Asia_The_ReCAAP_Information_Sharing_Centre_ISC diakses pada 20 Juni 2015
Universitas Sumatera Utara
dalam memerangi pembajakan dan perampokan bersenjata. Demi menutupi kesenjangan ini, ReCAAP telah membangun hubungan di tingkat
operasional dengan Badan Penegakan Maritim Malaysia, serta Dewan Keamanan Laut Indonesia Koordinasi BAKORKAMLA di Indonesia.
64
3. Universal Jurisdiction