d. Tuntutan
Dalam Tuntutan Pidana, Penuntut Umum tetap terhadap dakwaannya. Yang menyatakan Terdakwa bersalah melanggar pasal yang didakwakan. Tuntutan
pidana yang dijatuhkan kepada PT Giri Jaladhi Wana adalah: a.
Menyatakan Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana telah terbukti bersalah “melakukan beberapan perbuatan Tindak Pidana Korupsi yang
berhubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang menjadi satu perbuatan berlanjut” melanggar Pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 18 jo. Pasal 20
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubahkan dengan Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64
ayat 1 KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Primair. b.
Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PT.Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00
c. Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan sementara PT.GJW
selama 6 enam bulan. d.
Menyatakan barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara adalah sah.
e. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp
5.000,00
Universitas Sumatera Utara
e. Putusan
Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana, maka Majelis Hakim wajib mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa
sebagai berikut: 1
Hal-hal yang memberatkan: a
Bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime yang memerlukan penanganan secara luar biasa
pula karena dipandang dapat menghancurkan sendi-sendi keuangan danatau perekonomian negara;
b Bahwa Perbuatan Terdakwa telah merugikan Pemerintah Kota
Banjarmasin dan PT. Bank Mandiri Tbk; 2
Hal-hal yang meringankan: a
Tidak ada; Dalam Amar Putusan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin
dengan Putusan Nomor 812PID.SUS2010PN.BJM, memutuskan: a.
Menyatakan terdakwa PT GIRI JALADHI WANA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI
SECARA BERLANJUT sebagaimana dalam Dakwaan Primair; b.
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa PT GIRI JALADHI WANA oleh karena itu dengan pidana DENDA sebesar Rp 1.300.000.000,00
c. Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan Sementara PT GIRI
JALADHI WANA selama 6 enam bulan.
Universitas Sumatera Utara
d. Menetapkan barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara
adalah sah.
2. Analisis Putusan Nomor 812PID.SUS2010PN.BJM a. Penuntutan Korporasi sebagai Terdakwa Dalam Tindak Pidana
Korupsi
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam tindak pidana korupsi penuntutan dapat dilakukan
kepada manusia naturlijk persoon dan korporasi recht persoon. Salah satu kasus tindak pidana korupsi adalah perkara Nomor
812PID.SUS2010PN.BJM atas nama tedakwa PT Giri Jaladhi Wana. PT Giri Jaladhi Wana merupakan badan usaha yang berbadan hukum sehingga dapat
dikategorikan sebagai korporasi. Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa tindak pidana korupsi didasarkan pada Pasal 20 ayat 1 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana korporasi dalam hal ini PT Giri Jaladhi Wana dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
PT Giri Jaladhi Wana didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara subsidaritas, yang mana dakwaan primernya adalah
melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sementara dakwaan subsidernya adalah
Universitas Sumatera Utara
melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo
Pasal 64 ayat 1 KUHP. Selanjutnya, setelah melakukan proses pemeriksaan sidang, Jaksa Penuntut Umum tetap pada dakwaannya.
Menurut penulis, tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam putusan Nomor 812PID.SUS2010PN.BJM didasari pada teori direct corporate criminal liability
atau yang biasa dikenal dengan teori identifikasi. Teori ini berpandangan bahwa korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang
sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk danatau atas nama korporasi. “Agen” yang dimaksud dalam teori ini adalah pengurus korporasi yang
bertindak sebagai directing mind. Perbuatan dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika individu diberi kewenagan untuk
bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu merupakan mens rea korporasi.
Berdasarkan putusan Nomor 812PID.SUS2010PN.BJM dapat diketahui bahwa ST. Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri jaladhi Wana merupakan
directing mind korporasi. Sehingga tindakan yang dilakukan ST Widagdo pada dasarnya bukan mewakili korporasi, tetapi dianggap sebagai tindakan korporasi
itu sendiri sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi.
Bertitik tolak dari pendapat Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan kepada korporasi. Jaksa Penuntut Umum berpendapat dalam rumusan Pasal 20
ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut ajaran
Universitas Sumatera Utara
identifikasi dengan menetapkan orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi adalah directing mind dari
korporasi yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Selanjutnya, hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penuntutan apabila pertanggungjawaban pidana korupsi tersebut melekat secara kumulatif
baik terhadap pengurus korporasi sebagai subjek hukum orang perorangan dan korporasi sebagai subjek hukum korporasi. Maka berdasarkan Surat Edaran Jaksa
Agung Nomor:
B-036AJAFt,062009 perihal
korporasi sebagai
tersangkaterdakwa dalam tindak pidana korupsi, maka berkas perkara dan surat dakwaan terhadap korporasi dilakukan dan diajukan secara terpisah splitsing
dengan berkas perkara dan surat dakwaan bagi pengurus korporasi. Splitsing
128
dalam hal ini dilakukan oleh penuntut umum, yaitu dengan cara membuat berkas perkara baru, dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk itu
perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap saksi maupun tersangka. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum.
Setelah penulis
membaca berkas
perkara Nomor
812PID.SUS2010PN.BJM, ternyata benar bahwa berkas perkara pengurus korporasi dan berkas perkara korporasi diajukan secara terpisah. Maka, penulis
berpendapat tindakan Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut korporasi dengan berkas perkara yang terpisah dengan pengurus korporasi telah tepat dan sesuai
dengan aturan yang berlaku.
128
Andi Sofyan dan Abd Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana: Makassar, 2014, hal 270.
Universitas Sumatera Utara
Penuntutan korporasi sebagai terdakwa tindak pidana korupsi tidak terlepas dari proses dan tahap penuntutan tersebut. Penuntutan korporasi diawali dengan
pembuatan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Berkaitan dengan surat dakwaan, sahnya surat dakwaan apabila telah memenuhi syarat formil dan syarat
materil. Syarat formil yang mengharuskan surat dakwaan memuat uraian lengkap identitas terdakwa, tentunya mengacu pada identitas orang perorangan yang
merupakan manusia alamiah naturlijk persoon sebagai subjek hukum pidana sementara ketentuan mengenai syarat formil identitas dalam surat dakwaan bagi
korporasi sebagai subjek hukum pidana yang menjadi terdakwa tidak ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHAP sebagai lex generalis
demikian halnya dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai lex specialis. Kekeliruan dalam merumuskan identitas terdakwa dalam
surat dakwaan mengakibatkan surat dakwaan dapat dibatalkan oleh hakim.
129
Sehubungan dengan hal tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28AJA102014, penyusunan surat
dakwaan terhadap korporasi mencantumkan identitas korporasi, yaitu: a.
Nama korporasi b.
Nomor dan tanggal akta pendirian korporasi berserta perubahannya c.
Nomor dan tangal akta pendirian korporasi pada saat peristiwa pidana d.
Tempat kedudukan e.
Kebangsaan korporasi f.
Bidang Usaha g.
Nomor pokok wajib pajak; dan h.
Identitas yang mewakili korporasi sesuai Pasal 143 ayat 2 huruf a KUHAP
129
H. Ahmad Drajad, Kendala Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi sebagai Pelaku
Tindak Pidana
Korupsi, http:www.pn-medankota.go.idmainindex.phptentang-
pengadilanprofil-pengadilanalamat-pengadilan384-kendala-penerapan-sanksi-pidana-terhadap- korporasi-sebagai-pelaku-tindak-pidana-korupsi diakses tanggal 2 Maret 2016 Pukul 12.11 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan berkas perkara Nomor 812PID.SUS2010PN.BJM, penulis menemukan bahwa dalam surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum tidak
mencantumkan poin d, poin e, poin g, dan poin h sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28AJA102014. Menurut penulis,
Jaksa Penuntut Umum tidak memuat poin d, poin e, poin g, dan poin h disebabkan oleh perkara Nomor 812PID.SUS2010PN.BJM lebih dahulu ada, kemudian
pada tahun 2014 peraturan jaksa tersebut dikeluarkan. Sehingga, berkaitan dengan identitas terdakwa Jaksa Penuntut Umum masih mengacu pada Surat Edaran No:
B-036AFt.2009 perrihal Korporasi Sebagai TersangkaTerdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi.
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi