Berdasarkan berkas perkara Nomor 812PID.SUS2010PN.BJM, penulis menemukan bahwa dalam surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum tidak
mencantumkan poin d, poin e, poin g, dan poin h sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28AJA102014. Menurut penulis,
Jaksa Penuntut Umum tidak memuat poin d, poin e, poin g, dan poin h disebabkan oleh perkara Nomor 812PID.SUS2010PN.BJM lebih dahulu ada, kemudian
pada tahun 2014 peraturan jaksa tersebut dikeluarkan. Sehingga, berkaitan dengan identitas terdakwa Jaksa Penuntut Umum masih mengacu pada Surat Edaran No:
B-036AFt.2009 perrihal Korporasi Sebagai TersangkaTerdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi.
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Dasar pertimbangan hakim dalam membuktikan PT. Giri Jaladhi Wana sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah:
1 Mempertimbangkan apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa
telah memenuhi kesemua unsur dari dakwaan jaksa penuntut umum; 2
Bahwa terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara subsidaritas;
3 Bahwa oleh karena dakwaan Jaksa penuntut Umum disusun secara
subsidaritas maka oleh karenanya majelis hakim lebih dahulu mempertimbangkan dakwaan primer;
Universitas Sumatera Utara
4 Bahwa atas pledooi Penasihat Hukum terdakwa, Jaksa Penuntut Umum
telah memberikan tanggapanreplik dan tetap pada tuntutan semula dan Penasihat Hukum terdakwa telah pula menyampaikan dupliknya secara
tertulis yang pada pokoknya tetap pada pledooinya; 5
Bahwa atas pledooi yang diajukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tersebut, Majelis akan mempertimbangkannya sebagai berikut:
a unsur “setiap orang” dalam Pasal 1 angka 3 UUPTPK adalah orang
secara individu dan korporasi kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik berbentuk badan hukum dan bukan badan
hukum; b
ST Widagdo Direktur Utama PT.GJW yang mewakili PT GJW dihadapkan di persidangan sebagai terdakwa;
c Berdasarkan Pasal 20 ayat 1 UUPTPK, maka tuntutan pidana
dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya, kata “dan” menunjukkan bahwa UUPTPK mengatur adanya lebih dari
satu pelaku yang dapat dikenakan dalam satu tindak pidana korupsi;
d Bahwa salah satu asas yang diadopsi oleh pertanggungjawaban
pidana korporasi adalah doctrine of vicarious liability. Asas ini lalu diadopsi oleh hukum pidana dengan alasan prakmatis, jika tidak
menyeret korporasi maka kepentingan publik sangat menderita.
Universitas Sumatera Utara
6 Bahwa dalam Pasal 20 ayat 7 UUPTPK mengatur bahwa pidana pokok
yang dapat dijatuhkan hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum ditambah 13 satu pertiga;
7 Bahwa mengenai alat bukti surat akan ditentukan statusnya dalam Amar
Putusan; 8
Bahwa sebelum menjatuhkan pidana atas diri terdakwa, perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan.
Dasar pertimbangan hakim yang I pertama adalah mempertimbangkan apakah perbuatan yang dilakukan oleh PT GJW sebagai terdakwa telah memenuhi
semua unsur dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun secara subsidaritas maka hakim lebih dahulu
mempertimbangkan Dakwaan Primair, yaitu melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 seagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Pasal 64 ayat 1 KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
a Setiap orang;
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UUPTPK setiap orang adalah perorangan termasuk korporasi.
Orang perorangan adalah orang secara individu yang dalam KUHP dirumuskan dengan kata “barang siapa”. Sedangkan korporasi adalah kumpulan orang dan
atau kekayaan yang terorganisir baik berbentuk badan hukum maupun bukan berbadan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Apabila dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi danatau pengurusnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 ayat 1 Undang-undang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah membaca berkas perkara No 812PID.SUS2010PN.BJM, penulis berpendapat bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana PT GJW merupakan badan
hukum, yang kemudian dapat dikategorikan sebagai korporasi. Maka PT GJW telah memenuhi unsur yang pertama yaitu “setiap orang”.
b Secara melawan hukum;
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia ditentukan bahwa tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang karena
salahnya menimbulkan
kerugian tersebut
untukmengganti kerugian. Dengan kata lain, apabila seseorang yang melakukan “perbuatan melawan hukum”, maka diwajibkan untuk memberikan ganti kerugian
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 BW.
130
Dalam hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” memiliki 3 tiga makna, yaitu
131
: 1.
Sifat melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana defenisi perbuatan pidana yakni kelakukan manusia
yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
130
T. Suhaimi, Pertanggungjawaban Pidana Direksi, Books Terrace Library: Medan, 2009, hal 84.
131
Ibid, hal 90.
Universitas Sumatera Utara
2. Melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat
melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
3. Sifat melawan hukum mengandung 2 dua pandangan. Pandangan yang
pertama, dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat
Undang-undang dalam rumusan delik. Dan kedua dari sudut sumber hukumnya, “sifat melawan hukum” mengandung pertentangan dengan asas
kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tidak mengatur secara tegas pengertian
“sifat melawan hukum”. Dalam penjelasan Pasal 2 UUPTPK dijelaskan bahwa: Yang dimaksud “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti fomil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-
undangan. Namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial, maka
perbuatan tersebut dapat di pidana. Sifat melawan hukum materiil merupakan sifat melawan hukum yang luas,
artinya tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja tetapi juga hukum yang tidak tertulis. Sedangkan sifat melawan hukum formil merupakan unsur dari
hukum positif yang tertulis saja, sehingga unsur itu baru merupakan unsur dari tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana.
Pengertian “melawan hukum” dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 diatas sama dengan pengertian “onrechtmatig” sebagaimana dimuat dalam yurisprudensi
Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919 N.J.W. 10365, yakni: “onrechmatig” tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau
Universitas Sumatera Utara
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku melainkan juga apa yang bertentangan tatasusila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.
132
Berdasarkan keterangan ahli Prof. Dr sutan Remy Sjahdeni, SH tidak semua tindak
pidana yang
dilakukan oleh
personel Korporasi
dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi, kecuali bahwa apabila perbuatan
tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh Directing Mind dari korporasi tersebut atau dengan kata lain bahwa untuk dapat korporasi bertanggung jawab atas
perbuatan pengurusnya harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
133
a Tindak pidana tersebut baik dalam bentuk commission maupun omission
dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi maupun di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari
korporasi;
b Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi; c
Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi;
d Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
korporasi; e
Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana.
Setelah membaca berkas perkara Nomor 812PID.SUS2010PN.BJM,
penulis menemukan bahwa PT GJW yang merupakan terdakwa dalam tindak pidana korupsi telah terbukti melakukan penyimpangan-penyimpangan berupa:
a Tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasim telah membangun 6.045 unit
terdiri dari toko, kios, los, lapak dan warung, sehingga terjadi penambahan 900 unit bangunan. Penambahan 900 unit tersebut dijual dengan harga
sebesar Rp 16.691.713.166,00 Enam belas milyar enam ratus sembilan puluh
132
Leden marpaung, op.cit, hal 32.
133
Putusan No 812PID.SUS2010PN.BJM, hal 244.
Universitas Sumatera Utara
satu juta tuju ratus tigabelas ribu seratus enam puluh enam rupiah, dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin;
b PT GJW mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk
membayar retribusi sebesar Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah; membayar pergantian uang sewa Rp 2.500.000.000,00 dua milyar lima ratus
juta rupiah dan membayar uang pelunasan Kredit Inpres Pasar Antasari Rp 3.750.000.000,00 tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah, tetapi
terdakwa hanya membayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah, sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp 5.750.000.000,00
lima milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah yang tidak di setor ke kas Pemerintah Kabupaten Kota Banjarmasin;
c PT GJW juga telah melakukan penyimpangan-penyimpangan berkaitan
dengan penggunaan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri. PT GJW melakukan perbuatan tersebut dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi dengan maksud memberikan manfaat atau keuntungan bagi korporasi sehingga menurut penulis perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai
“perbuatan melawan hukum” formil.
d Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
“Memperkaya diri sendiri” artinya diri si pembuat sendirilah yang memperoleh
bertambahnya kekayaanya
secara tidak
sah. Sedangkan
“memperkaya orang lain” adalah bahwa orang yang kekayaannya bertambah atau
Universitas Sumatera Utara
“memperkaya suatu korporasi”, bukan si pembuat yang memperoleh atau bertambah kekayaannya oleh perbuatannya tetapi suatu korporasi. Walaupun si
pembuat tidak memperoleh atau bertambahnya kekayaannya, tetapi beban tanggung jawab pidananya disamakan dengan dirinya yang mendapat kekayaan
tersebut secara pribadi. Unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi” bersifat alternatif sehingga didalam pembuktian unsur tersebut cukup apabila salah satu unsur telah terbukti maka unsur yang lain tidak perlu
dibuktikan lagi atau bisa pula secara kumulatif beberapa unsur tersebut terbukti. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, khususnya
menyangkut adanya aliran dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin yang
menggunakan dana kucuran Kredit Modal Kerja dari PT.Bank Mandiri, Tbk. yang diajukan oleh terdakwa PT GJW untuk mengelola Pasar sentra Antasari,
telah dapat disimpulkan adanya penambahan kekayaan terdakwa, pihak-pihak yang terlibat didalmnya maupun orang lain.
Berkaitan dengan unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” menurut penulis, bahwa PT Giri Jaladhi Wana telah mendapat
keuntungan dari tindak pidana korupsi tersebut. PT Giri Jaladhi Wana menggunakan kucuran dana Kredit Modal Kerja dari PT Bank Mandiri Tbk. untuk
kepentingan korporasi. Sehingga, penulis simpulkan bahwa unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” telah terpenuhi.
Universitas Sumatera Utara
e Yang dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara;
Dengan adanya kata “dapat” disini yang oleh pembuat undang-undang diletakkan di depan kata-
kata “merugikan keuangan negara atau perkonomian negara”, hal ini menunjukkan bahwa delik korupsi dalam pasal dakwaan alternatif
kedua ini merupakan delik formil, yaitu adanya delik korupsi cukup dengan dipenuhi unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat
atau dengan kata lain tidak menimbulkan kerugian pun asal perbuatannya memenuhi unsur korupsi terdakwa sudah dapat dihukum.
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan telah terbukti benar, dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil Tempat Usaha Dalam
Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin tersebut menggunakan kucuran dana Kredit Modal Kerja dari PT. Bank Mandiri Tbk, yang
mana dalam hal ini PT. Bank Mandiri Tbk, adalah merupakan Badan Usahan Milik Negara sehingga dana yang dikucurkan dalam bentuk kredit modal kerja
tersebut dapat dikategorikan sebagai kekayaan negara yang berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara. Akibat
perbuatannya telah merugikan keuangan negara cq. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp 7.332.361.516,00 tujuh milyar tiga ratus tiga puluh dua
juta tiga ratus enam puluh satu ribu rupiah dan PT Bank Mandiri Tbk, sebesar Rp 199.536.064.675,00 seratus sembilan puluh sembilan milyar lima ratus tiga puluh
enam juta enam puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima
Universitas Sumatera Utara
f Unsur perbuatan berlanjut;
Unsur perbuatan berlanjut diatur dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP. Bahwa untuk adanya perbuatan dipersyaratkan harus timbul dari satu niat atau kehendak
dan perbuatan tersebut harus sejenis dan rentang waktu yang tidak boleh lama. PT Giri Jaladhi Wana telah melakukan berbuatannya sejak tahun 1998
sampai dengan tahun 2010 sehingga dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang berlanjut.
Dasar pertimbangan hakim yang ke V dua berkaitan dengan pembelaan pledoi terdakwa dimana hakim menolak seluruh nota pembelaan Penasihat
Hukum. Pada poin d hakim menyatakan bahwa “salah satu asas yang diadopsi oleh pertanggungjawaban korporasi adalah doktrine of vicarious
laibility”. Dasar pertimbangan hakim tersebut kurang tepat. Menurut hemat penulis penetapan PT
GJW sebagai terdakwa tidak didasarkan oleh Teori Vicarious liabilty karena teori ini berpandangan bahwa pertanggugjawaban seseorang atas keslahan yang
dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya.
134
Sementara apabila dikaitkan dengan perkara PT GJW, ST Widagdo selaku direktur utama PT GJW telah diputus berdasarkan putusan
pengadilan Banjarmasin. Sehingga, dapat penulis simpulkan bahwa penggunaan Teori Vicarius Liabilty sebagai dasar pertimbangan hakim tidak tepat.
Dasar pertimbangan hakim yang ke VI enam menyatakan bahwa dalam Pasal 20 ayat 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 mengatur pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi
134
Mahrus Ali, op.cit., hal 118-199.
Universitas Sumatera Utara
adalah hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 13 satu per tiga. Dasar pertimbangan hakim tersebut telah tepat karena korporasi tidak
memiliki jiwa sehingga tidak dapat dijatuhi hukuman pidana penjara, yang dapat dijatuhi hukuman pidana penjara hanya manusia naturlijk persoon. Tetapi dalam
hal ini meskipun korporasi hanya dijatuhi pidana denda dengan adanya ketentuan maksimum ditambah 13 satu per tiga telah memberikan rasa keadilan dan efek
jera kepada terdakwa. Dasar pertimbangan hakim yang ke VI tujuh mengenai alat bukti surat
yang diajukan di persidangan akan ditentukan statusnya dalam amar putusan. Tindakan hakim menurut penulis telah tepat dimana kekuatan alat bukti harus
ditentukan oleh hakim. Dasar pertimbangan hakim yang ke VIII delapan berkaitan dengan hal-hal
yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Hal ini bertujuan untuk memberi
kan rasa keadilan kepada terdakwa. “Hal-halyang memberatkan” bertujuan untuk memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada terdakwa
sementara “hal-hal yang meringankan” bertujuan untuk memberikan keringanan hukuman kepada terdakwa. Maka menurut penulis, tindakan hakim telah tepat.
Selanjutnya, menurut penulis dalam membuktikan PT Giri Jaladhi Wana sebagai pelaku tindak pidana korupsi di dasari pada sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif negatief wettelijk stelsel dimana dalam membuktikan kesalahan terdakwa hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-
alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang tetapi harus disertai dengan keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan