Latar Belakang Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/Pn.Bjm)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan peradaban dan budaya manusia, dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi terutama kecanggihan informasi, komunikasi dan transportasi sudah mendunia dan menjadikan planet bumi menjadi semakin kecil dan seolah-olah tak terbatas sehingga kejadian di suatu tempat dibumi ini dengan cepat dan dalam waktu yang singkat bahkan bersamaan dapat diketahui dibelahan bumi lainnya. Globalisasi disegala bidang berjalan ekstra cepat sehingga tidak mungkin satu negara mengisolasi diri secara politik, sosial budaya,ekonomi dan hukum dalam keterkaitan negara. 4 Meningkatnya pembangunan dan perkembangan ekonomi yang begitu pesat saat ini, sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi disatu sisi telah membawa dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat. Kemajuan pembangunan itu sendiri dari sisi lain juga telah membawa dampak yang negatif bagi masyarakat, antara lain dalam bentuk kejahatan ekonomi yang lebih canggih. Kemakmuran yang melimpah membuat orang semakin ingin melindungi hartanya, karena kemajuan teknologi juga berakibat munculnya kejahatan berbasis teknologi tinggi, seperti cyber crime, pemalsuan uang, pemalsuan kartu kredit dan tindak pidana korupsi yang cukup fenomenal. Tindak pidana ini tidak 4 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, CV.Utomo: Bandung, 2004, hal 1. Universitas Sumatera Utara hanyamerugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Masalah korupsi bukan merupakan suatu kejahatan yang baru bagi suatu negara karena korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik dinegara maju maupun negara-negara yang sedang berkembang. 5 Jika pada masa lalu korupsi sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang telah menyalah gunakan keuangan negara, dalam perkembangannya saat ini masalah korupsi juga telah melibatkan anggota legislatif dan yudikatif, para bankir dan konglomerat serta juga korporasi. Berkenaan dengan masalah korupsi, maka menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Transparency International TI dalam situs resminya, pada tahun 2014 Corruption Perception Index CPI menempatkan Indonesia sebagai negara dengan level korupsi yang tinggi. Dalam CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara didunia dengan skor 34 dari skala 0-100 0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih. 6 Pada tahun 2015 Survei Persepsi Korupsi 2015 dilakukan di 11 sebelas kota di Indonesia. Sebelas kota tersebut adalah Pekanbaru, Semarang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado, Medan, Padang, Bandung, Surabaya dan Jakarta. Survey dilakukan serentak pada 20 Mei-17 Juni 2015 kepada 1.100 pengusaha. Pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling yang bersumber dari Direktori Perusahaan Industri 2014 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Pengambilan data dilakukan melalui metode wawancara tatap muka dengan pengusaha dengan panduan kuesioner survei. 7 5 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2005, hal 1. 6 Transparency International, Survei Persepsi Korupsi 2015 http:www.ti.or.idindex.phppress-release20150915survei-persepsi-korupsi-2015diakses tanggal 20 Februari 2016 Pukul 12.30 WIB. 7 Ibid. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Transparency International TI diperoleh hasil kota yang memiliki skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi 2015 adalah kota Banjarmasin dengan skor 68. Sementara itu, kota yang memiliki skor terendah adalah kota Bandung dengan skor 39. Tabel 1. Indeks Persepsi Korupsi di 11 kota di Indonesia Pada Tahun 2015 8 Indeks Persepsi Korupsi Tahun 2015 Kota Skor Banjarmasin 68 Surabaya 65 Semarang 60 Pontianak 58 Medan 57 Jakarta Utara 57 Manado 55 Padang 50 Makkasar 48 Pekanbaru 43 Bandung 39 Sumber Tabel: Transparancy Internasional Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebagai negara yang sangat rawan terjadinya tindak pidana korupsi. Padahal sejak Indonesia merdeka telah dilakukan upaya pecegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat terlihat dari pengaturan mengenai tindak pidana korupsi sudah ada sejak diberlakukannya KUHPidana 8 Sumber Tabel: Transparancy International, op.cit. Universitas Sumatera Utara walaupun dalam pasal-pasal nya menyebutkan “kejahatan jabatan”. Kemudian dalam perkembangannya istilah korupsi baru ditemukan di Indonesia dalam Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM 1-061957 dan kemudian semakin dipertegas pemberantasannya dengan TAP MPR XIMPR1998 yang akhirnya menghasilkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 9 Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan babak baru dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebab dalam undang-undang ini tidak hanya mengatur individu manusia sebagai subjek hukum melainkan juga menjerat korporasi sebagai subjek hukum. Tetapi dalam prakteknya, penuntutan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum. 10 Hal ini dapat terlihat dari keterlibatan perusahaan-perusahaan korporasi dalam tindak pidana korupsi. Misalnya PT Duta Graha Indah DGI terkait proyek wisma atlet atau PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya dalam kasus Hambalang supaya mendapat proyek tersebut, diduga PT Adhi Karya rela menggelontorkan uang miliaran kepada sejumlah pihak utamanya, ke pihak kementerian Pemuda 9 Edi Yunara, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, 2004, http:library.usu.ac.iddownloadfh05002125.pdf , diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 11.13 WIB, hal 2. 10 Edi Rifai, PerspektifPertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi,Jurnal Ilmiah , Volume 26 Nomor 1, 2014, http:download.portalgaruda.orgarticle.php?article=281533val=7175title=PERSPEKTIF20 PERTANGGUNGJAWABAN20PIDANA20KORPORASI20SEBAGAI20PELAKU20 TINDAK20PIDANA20KORUPSI diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 13.12, hal 85. Universitas Sumatera Utara dan Olahraga. 11 Dugaan korupsi korporasi lainnya, dilakukan anggota direksi PT Indoguna Utama menyuap seorang petinggi partai. Tujuannya agar petinggi partai itu bisa mengkondisikan kepada salah satu kementerian guna memberikan izin tambahan kuota impor sapi kepada perseroan terbatas tersebut. 12 Selain itu, ada dugaan beberapa pejabat Kabupaten Bogor menerima suap dari petinggi PT Gerindo Perkasa agar mereka mau menyesuaikan peruntukan ribuan hektar tanah dengan keinginan si pengusaha. Sampai sejauh ini, diberitakan bahwa KPK hanya menetapkan beberapa pengurus korporasi sebagai tersangkanya. 13 Padahal, dugaan tindak pidana korupsi itu dilakukan para pengurus korporasi untuk kepentingan dan keuntungan korporasi dalam lingkup operasionalnya. Meskipun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menetapkan korporasi sebagai subjek hukum pidana tetapi penegak hukum masih sangat jarang menyentuh kejahatan yang dilakukan korporasi. Penuntutan korporasi yang masih jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum dipengaruhi oleh penempatan korporasi yang masih menuai pro dan kontra. Dimana menurut KUHP bahwa korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana belum mengatur korporasi sebagai subjek hukum 11 Marlen Sitompul, Pertaruhan BPK dalam Kasus Hambalang, Jakarta, 2012, Nasional Inilah, http:nasional.inilah.comreaddetail2063880 diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 12.04 WIB. 12 Kompas, Kasus Suap Impor Sapi, Dirut Indoguna Dituntut 4,5 Tahun, http:nasional.kompas.comread201404221148432Kasus.Suap.Impor.Sapi.Dirut.Indoguna.Dit untut.4.5.Tahun.Penjara diakses tanggal 23 Maret 2016 Pukul 16.03 WIB. 13 jpnn.com, Komisaris PT Gerindo Perkasa Di Periksa KPK, http:www.jpnn.comread20130501169924Komisaris-PT-Gerindo-Perkasa-Diperiksa-KPK diakses tanggal 23 Maet 2016 Pukul 15.45 WIB Universitas Sumatera Utara pidana. 14 Pandangan ini dianut KUHP dalam Pasal 59, yang dipengaruhi asas “societas deliquere non potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik. Sementara Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai lex spesialis. Dalam undang- undang ini mengemukakan subjek hukum adalah orang perorangan dan korporasi. Dalam hal penuntutan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi undang- undang ini mengatur lebih lanjut mengenai hukum acaranya berdasarkan KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana atau pelaku tindak pidana dalam hukum pidana, tampaknya telah menjadi tuntutan zaman yang tidak terelakkan untuk meningkatkan tanggung jawab negara dalam mengelola kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berlaku saat ini, hanya mengenal tindak tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang perorangan. Tindak Pidana criminal act, tidak hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah naturlijk persoon, melainkan korporasi dapat juga melakukan tindak pidana. Bahkan perbuatan korporasi dapat mengakibatkan kerugian yang lebih parah bagi kehidupan masyarakat. 15 Memperhatikan akibat negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi, maka wajar bila perhatian penegakan hukum ditujukan pada upaya penanggulangan kejahatan korporasi. Salah satu sarana penanggulangan yang masih dipermasalahkan adalah penggunaan sarana hukum pidana. Maka ajaran 14 Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, STHB: Bandung, 1991, hal 42 15 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT Softmedia: Medan,2010, hal 9. Universitas Sumatera Utara atau teori pembenaran korporasi dapat bertanggung jawab dengan menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana sehingga memiliki kesetaraan yang sama dengan manusia alamiah naturlijk persoon yakni dengan diadopsinya “doctrine of strict liability 16 dan doctrine of vicarious liability.” 17 Dalam menentukan tindak pidana korporasi haruslah ada dua hal yang diperhatikan yakni pertama, perbuatan pengurus yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi; kedua, menyangkut kesalahan pada korporasi. Perkembangan pengakuan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana adalah sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum untuk memberikan sarana perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat, sebab kecenderungan korporasi melakukan pelanggaran hukum di dalam tujuan korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya telah menjadi realitas masyarakat. Pengakuan korporasi sebagai subjek dari hukum pidana, tentunya akan menimbulkan pertanyaan baru kapan suatu korporasi dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana? Bagaimana penuntutan korporasi? Bagaimana bentuk pertanggungjawaban korporasi apakah pengurus yang bertanggung jawab atau hanya koporasi saja yang bertanggung jawab? Selanjutnya bagaimana pembuktian korporasi sebagai pelaku tindak pidana? 16 Strict liability atau Prinsip tanggung jawab mutlak no-fault liability or liability without fault, artinya seseorang sudah dapat dipertanggung jawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan mens rea Lihat buku Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Ibid. 17 Vicarius liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another. Bentuk pertanggung jawaban ini terjadi apabila dilakukan orang lain dalam lingkup pekerjaan atau jabatan. Lihat buku Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Ibid. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hal diatas, maka penulis mengambil judul yaitu Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi Studi Putusan No.812PID.SUS2010PN.BJM.

B. Perumusan Masalah