hukum karena sulit membuktikan adanya kesalahan terutama dalam bentuk “sengaja” suatu korupsi.
Tentulah tidak semua dalam delik korupsi menempatkan korporasi sebagai subjek. Semua rumusan delik yang subjeknya mempunyai kualitas tertentu
sebagai “pegawai negeri atau pejabat” tidak mungkin korporasi menjadi subjek delik. Dengan ditetapkannya korporasi sebagai subjek hukum, juga mendapat
tanggapan dari ahli hukum Muladi yang mengatakan bahwa dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana, hal ini menimbulkan
permasalahan dalam hukum pidana di Indonesia, khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban korporasi.
50
Masalah pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi adalah segi lain dari subjek tindak pidana korupsi. Pemahaman terhadap masalah
subjek tindak pidana korupsi dapat meliputi dua hal, yaitu: Pertama, siapa yang melakukan
tindak pidana
si pembuat.
Kedua, siapa
yang dapat
dipertanggungjawabkan.
51
3. Penuntutan dan Jaksa Penuntut Umum
Pengertian Jaksa
52
dan Kejaksaan berdasarkan Pasal 1 angka 6a dan 6b KUHAP sebagai berikut:
53
50
Ibid, hal 6.
51
H. Elwi Danil, op.cit., hal 111
52
Sejak berlakunya KUHAP maka JaksaPenuntut umum tidak berwenang melakukan penyidikan perkara oleh karena hal ini merupakan wewenang dari kepolisian dan pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi kewenwngan khusus oleh undang-undang. Oleh karena itu, Indonesia menganut “sistem tertutup” artinya tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan
penyidikan meskipun dalam arti isidental dalam perkara-perkara berat khususnya dari segi pembuktian dan masalah teknik yuridisnya. Lihat buku Lilik, Mulyadi, Hukum Acara Pidana
Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, PT Citra Aditya Bakti: Bandung, 1996, hal 23.
Universitas Sumatera Utara
a Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dari perumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntut umum
adalah Jaksa, tetapi sebalikya jaksa belum tentu Penuntut Umum. Atau dengan kata lain tidak semua Jaksa adalah Penuntut Umum, tetapi semua penuntut umum
adalah Jaksa. Karena menurut ketentuan tersebut hanya jaksalah yang dapat bertindak sebagai penuntut umum apabila ia menangani tugas penuntutan.
54
Rumusan Pasal 1 angka 6a ini mengenai “jaksa” diperluas dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam
Pasal 1 angka 1 bagian ketentuan umum sebagai berikut: a
Jaksa adalah pejabat funsional yang diberi wewenang oleh undang-undnag ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
b Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini melakukan penuntutan dan melaksankan penetapan hakim. c
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
54
Harun M. Husein,Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta: Jakarta, 1990, hal 223.
Universitas Sumatera Utara
diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
d Jabatan Fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam
organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.
Dari pengertian tersebut dapat disebutkan bahwa pengertian Jaksa berkolerasi dengan aspek “jabatan” atau “pejabat fungsional”, sedangkan
pengertian “penuntut umum” berkolerasi dengan aspek “fungsi” dalam melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim di depan persidangan.
Sedangkan yang dimaksud Kejaksaan menurut Undang-undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 2 memberikan
pengertian: 1
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
2 Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan
secara merdeka. 3
Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah satu dan tidak terpisahkan.
Penyidik melakukan serah terima tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum, maka beralihlah kewenangan penanganan perkara tindak pidana
dari penyidik kepada penuntut umum dan status tersangka beralih menjadi
Universitas Sumatera Utara
terdakwa. Jika kewenangan penanganan perkara sudah ditangani oleh penunutut umum, maka tahapan penanganan tersebut dinamakan tahap penuntutan.
Secara global dan sistematis, mengenai pengertian “penuntutan” atau
“vervolging” dapat ditemukan dalam pandangan pembentuk undang-undang dan visi para doktrin Ilmu Hukum Pidana. Menurut pandangan pembentuk undang-
undang melalui dimensi Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia selaku
Hukum Positif ius contitutum yang sekarang berlaku di Indonesia
55
, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 KUHAP tercantum defenisi penuntutan sebagai
berikut: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut cara yang
diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
Defenisi ini mirip dengan defenisi Wirjono Prodjodikoro, perbedaan ialah dalam defenisi Wirjono Prodjodikoro disebut dengan tegas “terdakwa” sedangkan
KUHAP tidak.
56
Beliau merumuskan penuntutan adalah menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana ialah menyerahkan perkara seorang terdakwa
dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.
57
Setelah penuntut umum beranggapan bahwa penyidikan telah lengkap maka Penunutut Umum segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi
55
Lilik Mulyadi, Tindak....,op.cit, hal 175.
56
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cv Sapta Artha Jaya: Jakarta, 1993, hal 164.
57
Harun. M. Husein, Penyidikan.....,op.cit., hal 224.
Universitas Sumatera Utara
persyaratan untuk dapat atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan. Jika Penuntut Umum beranggapan bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penunututan maka
dibuat surat dakwaan Pasal 140 ayat 1 KUHAP. Akan tetapi apabila Penunutut Umum berpendapat sesuai Pasal 140 ayat 2
huruf a KUHAP, bahwa: “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk mengehentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penun
tut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.” Dalam perkara yang cukup bukti dilimpahkan ke pengadilan maka jaksa menentukan
perkara itu diajukan dengan Acara Singkat atau acara biasa.
3. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana