Biosolubilisasi Batubara hasil iradiasi gamma dalam berbagai dosis oleh kapang Penicillium sp

(1)

BIOSOLUBILISASI BATUBARA HASIL IRADIASI GAMMA

DALAM BERBAGAI DOSIS OLEH KAPANG Penicillium sp.

ASTRI ANA

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan tulus dipersembahkan kehadirat Allah SWT. Dia-lah Tuhan yang menurunkan agama melalui Wahyu yang disampaikan kepada Rasul pilihan-NYA Muhammad SAW. Melalui agama ini terbentang luas jalan lurus yang dapat mengantar manusia kepada kehidupan di dunia. Atas berkah dan Hidayah-NYA penulis dapat membuat dan menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, semoga kita tetap beristiqamah mengikuti ajarannya.

Skripsi ini berjudul “Biosolubilisasi Batubara Hasil Iradiasi Gamma Dalam Berbagai Dosis Oleh Kapang Penicillium sp.”, yang disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana sains (S1) pada program studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuannya baik berupa material maupun moril. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. DR. Lily Surayya Eka Putri, M,Env, Stud selaku Ketua Program Studi Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(3)

ii

3. Priyanti, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Irawan Sugoro, M.Si dan Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku Dosen Pembimbing. Penulis mengucapkan banyak terimakasih atas kesediaan dan kesabaran Bapak dan Ibu dalam menuntun, membimbing, serta nasihat yang membangun semangat dan pendirian penulis selama berlangsungnya penelitian.

5. Dra. Nani Radiastuti, M.Si dan Reno Fitri, M.Si selaku dosen penguji, terimakasih penulis ucapkan atas saran, masukan, serta nasihat yang membangun semangat bagi penulis.

6. Ayah dan Mama tersayang dan tercinta yang selalu membuat penulis semangat, terimakasih atas doa dan dukungannya, kasih sayang, kesabaran, kepercayaan, pengertian, motivasinya, dan juga materi yang diberikan kepada anakmu ini yang belum dapat membahagiakan dan mewujudkan impian kalian. “Ayah tetesan keringatmu selalu membuatku semangat dan bangkit akan hidup disaat aku sedang merasa gagal, Mama kelelahanmu membuatku selalu ingin menjadi yang lebih baik lagi dalam kehidupan. Kalian adalah bagian dari jiwaku dan harta yang paling berharga bagiku saat ini dan untuk selamanya, semoga Allah selalu menyertai kalian dan memberikan kesehatan selalu untuk kalian. Amin.. Tak lupa pula ucapan terimakasih dan ucapan tersayang kepada kakakku Uwie yang baik hatinya, Ade-adeku Dinda, Bilal, Fira, dan Alung, dan untuk seluruh keluarga besar ku, aba dan umiku, tante-tanteku (Ci Tata, Tante, dan Ci Yanti), pamanku, dan lain-lain yang tak bisa disebutkan satu persatu.


(4)

iii

7. Untuk yang terspesial Abang Ryan yang selalu ada untukku, yang menemaniku dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Terimakasih banyak ku ucapkan untuk semua nasehat, masukan, saran, dan ketulusan hatimu untukku.Kasih sayangmu tak akan ku lupakan.

8. Saudaraku Eka dan mama eka di Mamuju, Sulawesi Selatan.

9. Sahabatku di SMA yang selalu setia dan kusayangi Yora, Ulan, Rara, Amel, dan Marzukoh yang selalu kurindukan serta sahabatku dari kecil Diah dan Dian yang selalu membuatku tersenyum dan bahagia.

10.Teman-teman Biologi angkatan 2006 yang tercinta yaitu; Nita (Cinta) yang selalu baik hati, sabar, serta memotivasiku, Hera yang selalu memberikan nasehat untuk kemajuanku dan kebahagiaanku, Fitri dan Anggi yang selalu buat aku rindu, Nana yang selalu membuatku bahagia dan selalu ngangenin, Lidia yang membuatku nyaman, Zihan yang baik hati dan suka menolong, Nunung yang buat aku mengerti arti teman, Apdus yang selalu memberi informasi dan baik hati, Adeng dan Iis yang rendah hati, dan teman-temanku yang lainnya yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan, perhatian, kebaikan, kasih sayang, nasihat, kesediaan, kepeduliaan, dan cinta kasih yang telah kalian berikan. Sampai kapanpun silahturahmi dan doa kita jangan pernah terputus walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu. Terimakasih kalian sudah menemaniku dalam susah maupun senang.

11.Untuk Yelvi, Mitha, Rizka, dan Dede yang selama penelitian ditempat yang sama walaupun jarang bertemu, penulis ucapkan banyak terimakasih.


(5)

iv

12.Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya untuk kak Melly atas kebaikan dan ketulusan hatinya, dukungan serta informasi-informasi yang dibutuhkan yang

diberikan kepada penulis, Love u Kak…. Untuk kak Amy, kak Tiwi, kak Evi,

dan kak Bahri serta semua kakak-kakak yang tidak bisa saya sebutkan, terimakasih atas kebaikan dan informasi yang telah diberikan.

13.Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu karena

keterbatasan ruang, hanya Allah yang dapat membalasnya. Amin…

Demikianlah penyusunan laporan ini, disadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi, dan metodologi penulisan. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis, tetapi juga bagi pembaca pada khususnya untuk menambah wawasan, pengetahuan serta informasi dari skripsi ini.

Jakarta, 20 Mei 2010


(6)

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……..………... i

DAFTAR ISI ………... v

DAFTAR TABEL….……….. viii

DAFTAR GAMBAR……….. ix

DAFTAR LAMPIRAN……… x

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang……….. 1

1.2. Perumusan Masalah…………...……… 4

1.3. Hipotesis……… 4

1.4. Tujuan Penelitian……….. 4

1.5. Manfaat Penelitian……… 5

1.6. Kerangka Berpikir……… 5

BAB II . TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Batubara………. 6

2.1.1.Pembentukan Batubara……… 7

2.1.2. Klasifikasi Batubara……… 9

2.1.3. Batubara di Indonesia………. 13

2.1.4. Biosolubilisasi Batubara………. 15

2.2.Kapang……… 17

2.3.Kapang Penicillium sp. ……….. 20

2.4. Biosolubilisasi Batubara Oleh Kapang………..……… 22

2.5.Iradiasi Gamma………….……….. 26


(7)

vi

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat……… 31

3.2. Alat dan Bahan….………. 31

3.3. Prosedur Kerja….………... 32

3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat……… 32

3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara………. 32

3.3.3. Iradiasi Batubara Dengan Sinar Gamma……….………… 33

3.3.4. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar……… 33

3.3.5. Pembuatan Medium MinimalSalt (MMS)……… 33

3.3.6. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar Medium Minimal (PDAM)……….. 34

3.3.7. Pembuatan Medium Minimal Salt Sucrose (MMSS)………… 34

3.3.8. Kultur Isolat Kapang Penicilliumsp. ……… 34

3.3.9. Biosolubilisasi Batubara……….. 35

3.3.10.Pengukuran pH, Solubilisasi, dan Kolonisasi Miselia Kapang……….. 35

3.3.10.1. Pengukuran pH……….. 35

3.3.10.2. Solubilisasi Batubara……….. 36

3.3.10.3. Kolonisasi Miselia Kapang Batubara……….. 36

3.3.11. Analisis Aktivitas Enzim………..……… 37

3.3.12. Analisis Hasil Solubilisasi Batubara Oleh Kapang Penicillium sp. Dengan Menggunakan GC-MS……… 37

3.3.13. Analisis Data……….. 38

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kolonisasi Kapang Penicilliumsp. Pada Substrat Batubara…………... 39

4.2. Nilai pH Medium Solubilisasi Batubara... 42

4.3. Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara... 46

4.4. Absorbansi Solubilisasi Pada Panjang Gelombang 250 nm dan 450 nm... 49


(8)

vii 4.5. Hasil Identifikasi Senyawa Hasil Solubilisasi Kapang Penicillium sp.

Pada analisis GC-MS……… 53

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan……….. 59

5.2. Saran……… 59

DAFTAR PUSTAKA………..………. 60


(9)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan Unsur Karbon, Hidrogen, dan Oksigen

Pada Tahap Pembentukan Batubara…... 6 Tabel 2. Bahan Mineral Yang Terdapat Dalam Batubara……… 13 Tabel 3. Produksi dan Pemasaran Batubara di Indonesia……..……… 15 Tabel 4. Enzim Ekstraseluler Pendegradasi Lignin Dari Kapang…………. 25 Tabel 5. Komposisi Medium Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicillium sp.

.……… 32

Tabel 6. Perlakuan Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicilliumsp. ……… 35 Tabel 7. Senyawa Hasil GC-MS……… 56


(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Periode Pembentukan Jenis-jenis Batubara... 8

Gambar 2. Batubara Antrasit….……..………. 10

Gambar 3. Batubara Bituminus……… 11

Gambar 4. Batubara Subbituminus………. 11

Gambar 5. Batubara Lignit……… 12

Gambar 6. Peta Persebaran Cadangan Batubara di Indonesia………. 14

Gambar 7. Batubara Cair……….. 16

Gambar 8. Penicillium sp. ……… 20

Gambar 9. GC-MS Shimadzu... 28

Gambar 10. Interaksi antara batubara dengan kapang Penicillium sp. dalam periode inkubasi dan dosis tertentu……… 41

Gambar 11. Nilai pH Pada Berbagai Variasi Dosis Batubara... 44

Gambar 12. Absorbansi Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara Pada Dosis Yang Berbeda... 47

Gambar 13.Absorbansi Pada Panjang Gelombang 250 nm Hasil Solubilisasi Pada Berbagai Dosis Yang Berbeda……….. 51

Gambar 14. Absorbansi Pada Panjang Gelombang 450 nm Hasil Solubilisasi Pada Berbagai Dosis Yang Berbeda……….. 52

Gambar 15. Produk Biosolubilisasi Batubara Pada Dosis Yang Berbeda Oleh Kapang Penicillium sp. Hasil Analisis GC-MS……….. 57


(11)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komposisi Medium……….. 64

Lampiran 2. Skema Penelitian………. 65

Lampiran 3. Uji Biosolubilisasi Batubara... 66

Lampiran 4. Uji Statistik Anova... 67


(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Minyak bumi merupakan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak dapat diperbaharui, sedangkan kebutuhan manusia terhadap sumber daya energi akan terus mengalami peningkatan seiring dengan berkembang pesatnya sektor industri, transportasi dan perumahan. Telah diketahui bahwa tingkat produksi minyak bumi di Indonesia sebesar 390 juta ton per tahun. Diperkirakan produksinya hanya dapat bertahan dalam 11 tahun ke depan saja (Beyond Petroleum, 2006).

Menurut laporan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2008), potensi sumber daya batubara di Indonesia pada akhir tahun 2008 sebanyak 105 miliar ton. Potensi sumber daya batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Sumatera dengan kualitas yang rendah yaitu seperti lignit (batubara muda) dan subbituminus. Oleh karena itu, batubara merupakan sumber energi pilihan yang dapat menggantikan minyak bumi sebagai bahan bakar utama. Minyak bumi dan batubara memiliki kesamaan yaitu mengandung senyawa karbon (Sebayang et al., 2008).

Salah satu usaha alternatif yang dilakukan adalah mengolah batubara padat menjadi bahan bakar cair (BBC). Beberapa teknologi telah dilakukan untuk mengolah batubara menjadi energi alternatif, dua cara yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi (penyubliman) batubara (Calvin, 2007). Pada umumnya metode yang digunakan dalam proses pencairan


(13)

2 batubara adalah dengan metode kimia dan fisika (Natural Resources Defense Council, 2007). Berdasarkan data statistik energi dunia, pengolahan batubara dengan metode tersebut menghasilkan 40% dari total emisi gas rumah kaca dunia. (International Energy Agency, 2006). Untuk itu, perlu dikembangkan suatu teknologi pengolahan batubara menjadi energi alternatif dengan meminimalisasi emisi gas rumah kaca. Metode yang bisa dikembangkan dalam pencairan (liquifikasi) batubara adalah penggunaan mikroorganisme. Istilah tersebut dikenal dengan biosolubilisasi.

Beberapa jenis fungi yang mampu mengubah batubara padat menjadi produk cair yang lebih ekonomis karena tidak membutuhkan tekanan dan temperatur yang tinggi, serta lebih ramah lingkungan. Cara yang digunakan dalam biosolubilisasi ini adalah dengan memanfaatkan jamur indigenous. Sejumlah strain jamur diketahui berinteraksi dengan batubara kualitas rendah, melalui proses ekstraselular untuk menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur (Cohen et al., 1990).

Menurut Kuraesin et al. (2009), kapang Penicillium sp. merupakan salah satu kapang terseleksi yang dapat mencairkan batubara. Hasil yang didapatkan dalam penelitiannya adalah nilai absorbansi batubara yang terlarut berbanding terbalik dengan pH, jika pH menurun maka nilai absorbansi mengalami kenaikan. Kapang Penicillium sp. memiliki kemampuan untuk mendegradasi batubara karena aktivitas enzim lignoselulasenya (Cohen et al., 1990). Enzim tersebut mampu mendegradasi polimer organik yang berasal dari karbohidrat dan lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang menyusun


(14)

3 batubara (Hatakka, 2001). Pemanfaatan kapang Penicillium sp. akan memudahkan saat pengaplikasian, karena kapang tersebut secara alami telah teradaptasi dengan substrat batubara.

Dalam penelitian ini digunakan pemanfaatan teknik nuklir yaitu iradiasi gamma untuk meningkatkan solubilisasi. Iradiasi gamma merupakan sebuah bentuk iradiasi pengion yang lebih menembus ke dalam suatu substrat daripada iradiasi alfa atau beta. Tujuan iradiasi adalah untuk membantu memecah senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana (Rahayu et al., 2009), sehingga diharapkan hasil solubilisasi batubara menjadi lebih sempurna. Dosis iradiasi gamma yang dipakai dalam penelitian ini adalah dosis 0 kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Selvi et al. (2006), menggunakan dosis 20 kGy dengan hasil bahwa dosis tersebut dapat mempercepat degradasi produk biosolubilisasi batubara. Akan tetapi, diantara dosis iradiasi gamma yang dipakai dalam penelitian ini belum diketahui dosis mana yang paling optimal untuk biosolubilisasi batubara. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh dosis yang terbaik dari iradiasi gamma dalam pencairan batubara. Diharapkan hasil produk biosolubilisasi batubara ini dapat memperoleh metode produksi batubara yang mampu mendegradasi batubara untuk menghasilkan senyawa yang berpotensi sebagai bahan bakar serta dapat meningkatkan kualitas batubara.


(15)

4

1.2. Perumusan Masalah

1.

Berapakah dosis iradiasi gamma yang terbaik dalam mempercepat degradasi proses biosolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp.?

2. Apakah produk batubara cair hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp.dari batubara subbituminus hasil iradiasi gamma dapat digunakan sebagai energi alternatif?

1.3. Hipotesis

1. Terdapat satu dosis yang terbaik dari hasil iradiasi gamma dalam mempercepat degradasi proses biosolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp.

2. Produk batubara cair hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. dari batubara subbituminus dengan pemanfaatan iradiasi gamma dapat digunakan sebagai energi alternatif.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mencari dosis yang terbaik dari hasil iradiasi gamma dalam mensolubilisasikan batubara.

2. Mengetahui karakteristik produk batubara hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. dari batubara subbituminus sehingga dapat ditentukan fungsinya sebagai energi alternatif.


(16)

5

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengetahuan tentang penggunaan dosis yang terbaik (optimal) hasil iradiasi gamma terhadap batubara dan proses biosolubilisasinya menggunakan kapang Penicillium sp.

1.6. Kerangka Berpikir

Kebutuhan masyarakat terhadap minyak bumi yang semakin bertambah

Melimpahnya cadangan batubara di Indonesia dengan kualitas rendah

Biosolubilisasi batubara untuk meningkatkan kualitas

Iradiasi gamma dengan dosis Kapang Penicillium sp. O kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy


(17)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara

Batubara didefinisikan sebagai batuan sedimen yang berasal dari material organik (organoclastic sedimentary rock), dapat dibakar dan memiliki kandungan utama berupa karbon, hidrogen, dan oksigen. Secara proses, batubara adalah lapisan yang merupakan hasil akumulasi tumbuhan dan material organik pada suatu lingkungan pengendapan tertentu, sehingga menghasilkan peringkat dan tipe tertentu (Haris, 2009). Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara disebut dengan pembatubaraan (coalification).

Tabel 1. Kandungan Unsur Karbon, Hidrogen, dan Oksigen Pada Tahap Pembentukan Batubara

Bahan C % H % O %

Kayu (Wood) 50 6 44

Gambut (Peat) 55 – 60 5.5 – 6.5 30 – 40 Lignit

(Brown Coal )

60 – 70 5.0 – 6.0 20 – 30 Bituminus

(Hard Coal)

75 – 90 4.5 – 5.5 5 – 15 Antrasit 90 – 96 2.0 – 4.5 2 – 5

Kandungan karbon, hidrogen, dan oksigen yang terkandung dalam batubara dapat dilihat pada Tabel 1. Batubara antrasit mempunyai kandungan karbon yang sangat tinggi dibandingkan pada tahap sebelumnya sehingga batubara antrasit menjadi lebih keras dan berwarna hitam pekat, sedangkan


(18)

7 kandungan oksigen lebih rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur pembentukan batubara yang terjadi (Kentucky Geological Survey, 2006).

Batubara secara umum adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisa unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit, selain itu batubara juga diartikan sebagai sisa tumbuhan dari zaman prasejarah yang berubah bentuk yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material karbonat (Speight, 1994).

2.1.1. Pembentukan Batubara

Periode pembentukan karbon atau batubara (Carboniferous Period) dikenal sebagai zaman batubara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas

organik’. Proses awal pembentukan batubara adalah gambut (peat) yang kemudian berubah menjadi lignit (batubara muda) atau batubara coklat. Batubara muda adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan terus menerus selama jutaan tahun, maka batubara muda akan


(19)

8 mengalami perubahan yang secara bertahap dengan menambah maturitas organiknya, sehingga mengubah batubara muda menjadi batubara subbituminus. Periode pembentukan jenis-jenis batubara dapat dilihat pada Gambar 1. Perubahan kimia dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus atau antrasit yang merupakan jenis batubara dengan kualitas yang tinggi (Kentucky Geological Survey, 2006).

Gambar 1. Periode Pembentukan Jenis-jenis Batubara (Kentucky Geological Survey, 2006)

Proses pembentukan batubara secara umum dikenal terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap di mana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 50 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk


(20)

9 senyawa karbondioksida, air, dan asam nitrat untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Speight, 1994).

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Kentucky Geological Survey, 2006). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang. Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, subbituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.

2.1.2. Klasifikasi Batubara

Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam) (Tekmira, 2005).

Secara umum batubara diklasifikasikan menjadi empat tipe utama berdasarkan kandungan karbon, yaitu batubara antrasit, bituminus, subbituminus, dan lignit, sedangkan gambut (peat) biasanya tidak diklasifikasikan sebagai batubara, sehingga tidak dimasukkan ke dalam tipe batubara (Speight, 1994).


(21)

10 Batubara antrasit merupakan batubara yang memiliki rumus molekul C240H90O4NS, dikenal memiliki tampilan yang hitam mengkilat seperti permukaan logam. Kandungan karbonnya mencapai 80-96 % dengan kadar air kurang dari 8% dari beratnya sehingga dapat menghasilkan energi paling tinggi dari jenis batubara lainnya, yaitu mencapai 20-28 juta British thermal unit (Btu)/ton. Meskipun sulit dibakar, pembakaran batubara antrasit tergolong pembakaran yang sangat bersih dan bebas asap. Antrasit merupakan golongan batubara yang tinggi (Tekmira, 2005).

Gambar 2. Batubara Antrasit (Myles, 2008 )

Batubara bituminus berwarna hitam dengan komposisi air sangat kecil, mengandung bahan yang mudah menguap seperti sulfur yaitu sekitar 15-20 %, yang memiliki rumus molekul C137H97O9NS, kandungan karbonnya sebanyak 45-80 %, dan berkadar air 8-10% dari beratnya dan energi hasil pembakarannya mencapai 19-32 juta Btu/ton. Hasil pembakaran batubara bituminus berupa api berwarna kuning yang berasap dan berabu. Sebagian besar penggunaan batubara bituminus ditujukan untuk pembangkit listrik dan dikonversi menjadi arang (coke) yang digunakan dalam industri baja. Bituminus merupakan kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia (Tekmira, 2005).


(22)

11 Gambar 3. Batubara Bituminus (Departement of Geosciences, 2009)

Batubara subbituminus berwarna hitam dengan kandungan karbon sebesar 35-45 %, banyak mengandung air, dan merupakan energi yang dihasilkan berkisar antara 16-24 juta Btu/ton. Jika dibandingkan dengan batubara bituminus, batubara subbituminus menghasilkan pembakaran yang lebih bersih karena kandungan sulfurnya yang lebih rendah, selain itu juga menghasilkan sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus (Tekmira, 2005).

Gambar 4. Batubara Subbituminus (Farland, 2008)

Batubara lignit merupakan jenis batubara yang secara geologis tergolong jenis batubara paling muda, memiliki warna yang bervariasi mulai dari cokelat hingga hitam kecokelatan. Lignit sebagian besar terdiri dari material kayu kering


(23)

12 yang terkena tekanan tinggi dan merupakan batubara yang sangat lunak. Kandungan karbon berkisar antara 20-35 % dari beratnya dan energi yang dihasilkan berkisar antara 9-17 Btu/ton. Kandungan airnya lebih tinggi (35-75%) daripada batubara subbituminus sehingga perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum dibakar. Sebagian besar lignit digunakan untuk keperluan pembangkit listrik (Tekmira, 2005).

Gambar 5. Batubara Lignit (Departement of Geosciences, 2009)

Bahan mineral di dalam batubara berasal dari unsure anorganik yang terdapat dalam tumbuhan pembentuk batubara dan dari bahan mineral yang berasal dari luar yang tergabung dalam proses pembentukan batubara. Jumlah dan tipe mineral yang ditemukan dalam batubara sangat bervariasi, bergantung pada sejarah pembentukan batubara tersebut. Mineral yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah adalah clay mineral dengan illite, kaolinite, dan montmorillonite yang merupakan jenis yang sering ditemukan (Speight, 1994). Mineral utama yang ditemukan dalam batubara dapat diklasifikasikan sebagai shale, kaolin, sulfida, karbonat, klorida atau accessory mineral (Indahwati, 2009).


(24)

13 Beberapa kelompok mineral yang terkandung dalam batubara dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Bahan Mineral Yang Terdapat Dalam Batubara

Kelompok Senyawa Formula

Shale Muscovite

Hydromuscobite Illite

Montmorillonite

KAl3Si3O10 (OHF)2 (AlSi)8O20 (OHF)4 (HO)4K2(Si6Al2) Al4O20 Na2 (AlMg)Si4O110(OH)2

Kaolin Kaolinite

Livesite

Metahallolysite

Al2(Si2O5)(OH)4 Al2(Si2O5)(OH)4 Al2(Si2O5)(OH)4

Sulfida Pyrite

Marcasite

FeS2 FeS2

Karbonat Ankerite

Calcite Dolomite Siderite

CaCO3. (Mg,Fe,Mn) CO3 CaCO3

CaCO3. MgCO3 FeCO3

Klorida Sylvire

Halite

KCl NaCl Accessory mineral Quartz

Feldspar Garnet Hornblende Gypsum Apatite Zircon Epidote Biotite Augite Pro Chloride Diaspore Lepidocrocite Magnetite Kyanite SiO2

(K,Na)2O.Al2O3.6SiO2 3CaO.Al2O3.SiO2 CaO.3FeO.4SiO2 CaSO4.2H2O 9CaO.3P2O5.CaF2 ZrSiO4

4CaO.3Al2O3.6SiO2.H2O K2O.MgO.Al2O3.3SiO2.H2O CaO.MgO.2SiO2

2FeO.2MgO.Al2O3.2SiO2.2H2O Al2O3.H2O

Fe2O3.H2O Fe3O4 Al2O3.SiO2

2.1.3. Batubara di Indonesia

Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau


(25)

14 Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah (kira-kira 45 juta tahun yang lalu) dan Miosen atau sekitar Tersier Atas (kira-kira 20 juta tahun yang lalu) (Indonesian Coal Mining Association, 1998). Persebaran cadangan batubara di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 6. Pada gambar tersebut dapat terlihat bahwa cadangan batubara di Indonesia yang paling banyak adalah di Sumatera dan Kalimantan.

Gambar 6. Peta Persebaran Cadangan Batubara di Indonesia

(Indonesian Coal Mining Association, 1998)

Data Statistik Beyond Petroleum (2006) mengatakan bahwa, Indonesia saat ini hanya memiliki cadangan yang relatif terbatas, yaitu sebesar 4.968 juta ton atau 0,55% dari total cadangan batubara dunia. Dengan tingkat produksi mencapai 120 juta ton per tahun, diperkirakan batubara di Indonesia dapat diproduksi selama 41,43 tahun.


(26)

15 Data pada Tabel 3, dapat terlihat bahwa pada tahun 2007 dan 2008, menunjukkan produksi tambang skala kecil ini dapat mencapai 2 juta ton dengan harga jual internasional US $ 70-90 per ton (Firmansyah, 2010).

Tabel 3. Produksi dan Pemasaran Batubara Indonesia Pelaku

Produksi (juta ton) Pemasaran (juta ton) Usaha 2007 2008 2007 2008

Domestik Ekspor Domestik Ekspor BUMN 8,609 10,138 6,879 3,808 7,980 4,079 PKP2B 167,243 176,998 38,603 132,429 40,525 135,289 KP& KUD 2,939 1,527 0,708 3,812 0,521 1,151

Total 178,791 188,663 46,190 140,049 49,020 140,519

Keterangan:

KP : Kepemilikan Kuasa Pertambangan

PKP2B: Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

2.1.4. Biosolubilisasi Batubara

Menurut Crawford and Gupta (1990), biosolubilisasi adalah proses pelarutan batubara dalam suatu medium dengan bantuan mikroorganisme. Biosolubilisasi dapat berupa upaya untuk mencairkan batubara yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak bumi. Disamping untuk mencairkan batubara, biosolubilisasi dapat pula digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada batubara.

Terdapat beberapa jenis mikroorganisme dari jenis bakteri maupun fungi yang dapat mengubah batubara padat menjadi produk cair, dengan minimalisasi hilangnya kandungan energi total awal. Proses pencairan dengan memanfaatakan


(27)

16 mikroorganisme dikenal dengan biosolubilisasi atau bioliquifaksi. Sejumlah strain jamur dan bakteri filamentous diketahui berinteraksi dengan batubara kualitas rendah, melalui proses ekstraselular untuk menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur atau cairan gelap pada permukaan batubara ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Crawford and Gupta, 1990).

Fungi yang dapat dimanfaatkan untuk proses biosolubilisasi ini diantaranya Polyporus versicolor, Trametes versicolor, Penicillium, Streptomyces, Phaerochaete chrysosporium, Candida sp., dan Cunninghamella sp. Pencairan batubara dengan metode biologi relatif dapat menekan biaya operasional karena tidak dilakukan dalam tekanan dan temperatur yang tinggi serta lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan produk sampingan yang berbahaya (Cohen et al., 1990).

Batubara

padat yang

terlarut

Gambar 7. Batubara Cair (Dokumen Pribadi, 2010)

Batubara cair seperti yang terlihat pada Gambar 7, dihasilkan dari proses biosolubilisasi dengan menggunakan mikroorganisme. Proses biosolubilisasi


(28)

17 adalah berupa campuran senyawa yang larut dalam air, senyawa polar dengan berat molekul yang relatif tinggi. Tanpa adanya air atau pelarut yang cocok, produk yang dihasilkan tetap padat. Kebanyakan mikroorganisme membutuhkan gula untuk media pertumbuhannya (Liu et al., 1990).

Biosolubilisasi batubara dengan bantuan mikroorganisme dapat menghasilkan produk yang biasanya setara dengan komponen minyak bumi. Produk biosolubilisasi yang setara dengan senyawa yang terdapat dalam bensin mempunyai rantai atom karbon yang pendek yaitu C4 sampai C12, sedangkan untuk komponen minyak solar mempunyai atom karbon C8 sampai C25 (American Petroleum Institute, 2001). Menurut Laboratorium Pangan PLT UIN Jakarta (2009), senyawa solar adalah senyawa yang mempunyai rantai karbon C10 sampai C13 dengan senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya berupa n-Dekana (C10H22), Trans-Decahidronapthalen, Undekana (C11H24), N-Dodekana (C12H26), dan Trigekana (C13H28).

2.2. Kapang

Kapang merupakan organisme multiseluler, eukariotik, tidak berklorofil, dinding selnya tersusun dari kitin, bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya, mengeksresikan enzim ekstraseluler ke lingkungan, menghasilkan spora atau konidia, bereproduksi seksual dan atau aseksual. Tubuh kapang terdiri dari hifa. Hifa berfungsi menyerap nutrien dari lingkungan serta membentuk struktur reproduksi. Hifa adalah suatu struktur berbentuk tabung menyerupai seuntai benang panjang yang terbentuk dari pertumbuhan spora atau konidia.


(29)

18 Kumpulan hifa yang bercabang-cabang membentuk suatu jala dan umumnya berwarna putih disebut miselium. Ada beberapa kapang dengan miselia longgar atau seperti bulu kapas sedangkan yang lainnya kompak. Penampakan miselia ada yang seperti beludru (velvet) pada permukaan atasnya, beberapa kering seperti bubuk (powdery), dan basah atau memiliki massa seperti gelatin (Hidayat et al., 2006).

Diameter hifa kapang umumnya tetap, yaitu berkisar 3-30µm dan ukuran diameter tersebut dapat juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Hifa yang tua mempunyai tebal berkisar antara 100-150µm sedangkan tebalnya pada bagian apeks kurang lebih 50µm. Hifa yang telah tua mempunyai tambahan bahan pada dinding selnya yaitu senyawa melanin dan lipid. Komponen penting dalam dinding sel sebagian besar fungi adalah kitin, suatu polisakarida yang merupakan komponen utama dari kerangka luar serangga dan arthropoda lainnya. Kitin adalah polimer linier dari N-asetil-glukosamin yang subunitnya dihubungkan oleh ikatan β-(1,4)-glukosida (Gandjar et al., 2006).

Pada umumnya, kapang mengekskresikan enzim ekstraselular ke lingkungan untuk mengurai komponen-komponen kompleks pada substrat menjadi komponen-komponen sederhana yang dapat dengan mudah diserap kapang untuk mensintesis berbagai bagian sel dan sebagai sumber energinya. Keberadaan kapang pada suatu substrat dapat diketahui dengan adanya perubahan warna atau kekeruhan pada substrat cair, timbul bau, dan substrat berubah menjadi lunak. Hal tersebut mengindikasikan adanya pertumbuhan kapang berupa pertambahan massa sel atau volume sel (Gandjar et al., 2006).


(30)

19 Setiap mikroorganisme memiliki fase-fase pada kurva pertumbuhannya, fase-fase tersebut meliputi; 1) fase permulaan atau fase adaptasi; 2) fase akselerasi atau fase pertumbuhan yang dipercepat; 3) fase eksponensial atau logaritma; 4) fase pertumbuhan yang mulai terhambat (fase deselerasi); 5) fase stasioner yang maksimum; dan 6) fase kematian dipercepat dan fase kematian logaritma (Hidayat et al., 2006).

Sifat-sifat fisiologi kapang sangat penting dipenuhi agar pertumbuhan kapang menjadi optimal. Sifat-sifat fisiologi kapang yaitu dalam kebutuhan air; suhu; kebutuhan oksigen; derajat keasaman; substrat; dan komponen penghambat. Kebutuhan air pada umumnya, fungi tingkat rendah seperti Rhizopus sp. dan Mucor sp. memerlukan lingkungan dengan kelembaban nisbi 90 %, kapang Aspergillus sp., Penicillium sp., Fusarium sp. dan banyak hypomycetes lainnya dapat hidup pada kelembaban yang lebih rendah yaitu 80 % sedangkan kapang xerofilik mampu hidup pada kelembaban 70 %. Kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25-30˚ C, tetapi beberapa kapang dapat tumbuh pada suhu 35-37˚ C atau lebih tinggi seperti Aspergillus. Beberapa kapang mampu tumbuh pada suhu dingin (bersifat psikrotrofik) dan juga pada suhu tinggi (termofilik). Semua kapang bersifat aerobik yaitu membutuhkan oksigen yang cukup untuk pertumbuhannya. Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2-8.5, akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah. Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi kapang. Nutrien dalam substrat baru dapat dimanfaatkan apabila kapang telah


(31)

20 mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluler untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi sederhana (Gandjar et al., 2006).

2.3. Kapang Penicillium sp.

Kapang Penicillium sp. diklasifikasikan menurut sistem nama binomial, yaitu kingdom Fungi, filum Ascomycota, class Eurotiomycetes, ordo Eurotiales, famili Trichocomaceae, genus Penicillium, dan spesies Penicillium sp. Bentuk spesies kapang Penicillium sp. dapat dilihat pada Gambar 8.

hifa

konidiofora fialid

konidia

Gambar 8. Penicillium sp.(Kuraesin et al., 2009)

Penicillium sp. tergolong fungi jenis kapang. Kapang ini sering menyebabkan kerusakan pada sayuran, buah-buahan, dan serelia. Penicillium sp. banyak digunakan dalam industri untuk memproduksi antibiotik, misalnya penisilin yang diproduksi oleh Penicillium notatum dan Penicillium chrysogenum (Gandjar et al., 2006). Penicillium sp. mempunyai ciri-ciri spesifik yaitu; 1) hifa septat, miselium bercabang biasanya tidak berwarna; 2) konidiofora septat dan


(32)

21 muncul di atas permukaan, berasal dari hifa di bawah permukaan, bercabang atau tidak bercabang; 3) kepala yang membawa spora berbentuk seperti sapu, dengan sterigmata atau fialida muncul dalam kelompok; 4) konidia membentuk rantai karena muncul satu persatu dari sterigmata; 5) Konidia pada waktu masih muda berwarna hijau, kemudian berubah menjadi kebiruan atau kecoklatan (Fardiaz, 1992). Penicillium sp. pada beberapa spesies, miselium berkembang menjadi sklerotium (Pelczar, 2005).

Kapang Penicillium sp. mempunyai hifa vegetatif yang disebut dengan hifa udara (aerial hyphae). Penicillium sp. berkembangbiak secara seksual dengan membentuk spora yang dihasilkan dalam suatu kantung (askus) yang disebut askospora dan secara aseksual dengan membentuk konidiospora, yaitu spora yang dihasilkan secara berantai pada ujung suatu hifa (Pohan, 2009). Bentuk sel konidiospora pada kapang Penicillium sp. adalah seperti botol dengan leher panjang atau pendek, jamur ini berwarna hijau kebiruan. Penicillium sp. termasuk jamur yang tidak bersifat patogen kecuali Penicillium marneffei (Gandjar et al., 2006).

Ada dua macam bentuk Penicillium sp. yang dapat diamati, yaitu secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, ciri-ciri yang dapat dilihat adalah koloni tumbuh sekitar 4 hari pada suhu 25°C pada medium sabouraud dextrose agar dan koloni mula-mula berwarna putih kemudian akan berwarna kehijauan, sedangkan secara mikroskopis dengan ciri-ciri yang dapat dilihat adalah hifa bersepta dan konidiofor mempunyai cabang yang disebut dengan metula, di atas metula terdapat fialid (Pohan, 2009).


(33)

22 Penicillium sp. mempunyai kebutuhan akan air untuk pertumbuhannya (water activity) yaitu 0,78-0,88. Penicillium sp. umumnya ditemukan pada berbagai substrat, khususnya dalam debu rumah. Beberapa spesies tumbuh di dalam ruangan yaitu di dinding, tanaman membusuk, kain lembab, dan cat. Selain itu, ditemukan pada apel yang membusuk, makanan kering, keju, rempah-rempah, biji-bijian kering, kacang-kacangan, bawang, dan jeruk (Gandjar et al., 2006).

Pertumbuhan kapang Penicillium sp. dipengaruhi oleh faktor-faktor yang penting, yaitu; substrat, kelembaban, suhu, dan pH (derajat keasaman). Substrat merupakan sumber nutrien utama yang dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengekskresikan enzim-enzim ekstraselular, yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa-senyawa yang sederhana. Kapang Penicillium sp. dapat hidup pada kelembaban nisbi yang lebih rendah yaitu 80%. Suhu yang optimum bagi pertumbuhan Penicillium sp. sekitar 25°C. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Indahwati (2009), pH optimum yang dihasilkan oleh kapang Penicillium sp. berkisar 3,15 sampai 4,34. Fungi umumnya menyukai pH di bawah 7,0 yaitu sekitar 2-8,5 (Gandjar et al., 2006).

2.4. Biosolubilisasi Batubara Oleh Kapang

Batubara mempunyai kandungan senyawa organik kompleks yang mengandung unsur utama C, H, dan O. Penicilium sp. merupakan kapang yang dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik sehingga dapat mensolubilisasikan batubara yang mempunyai gugus hidrokarbon aromatik (Haris, 2009).


(34)

23 Batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari karbohidrat dan lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Fungi diketahui melakukan dekomposisi selulosa secara aktif di alam dengan menghasilkan enzim selulase ekstraselular (Zabel and Morell, 1992). Mikroorganisme yang baik dalam mendegradasi batubara terdapat pada kelas Basiodiomycetes dan Ascomycetes, karena dapat mendegradasi lignin secara lebih cepat dan ekstensif dibandingkan dengan mikroorganisme lain. Kapang dari genus-genus seperti Aspergillus, Penicillium, Trichoderma, dan sebagainya diketahui memiliki kemampuan mendekomposisi kayu (Lynd et al., 2002).

Selulosa merupakan salah satu komponen pembangun tumbuhan. Selulosa adalah polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan α -1,4-glikosida. Enzim yang dapat mengurai selulosa adalah selulase dan merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen. Endoglukanase, mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai bervariasi. Eksoglukanase, mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan nonpereduksi untuk menghasilkan selobiosa/glukosa. Enzim α-glukosidase, mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Lynd et al., 2002).

Selulosa merupakan polisakarida komplek yang tersusun dari polimer linier ikatan glukosa melalui ikatan α-1,4- dan biasanya tersusun dalam struktur mikrokristalin yang sangat sulit dilarutkan atau dihidrolisis pada kondisi alami. Selulase adalah enzim komplek yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi


(35)

β-24 glukosa. Selulase tersusun dari campuran komplek protein enzim dengan spesifitas berbeda-beda dalam menghidrolisis ikatan glikosidik. Selulase terbagi menjadi tiga kelas; endoglukanase, eksoglukanase, dan β-glukosidase. Selulase dari Lysobacter sp., Phaseolus vulgaris, Humicola grisea, Bacillus sp. Aspergillus niger, dan Trichoderma viridae mempunyai kestabilan pada pH 6-10 dan suhu 25-35°C (Kuraesin et al., 20009).

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah, relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabiosa. Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan, lebih dari 30 % tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh. Lignin sulit didegradasi karena strukturnya kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin berarti mampu mendegradasi batubara (Cohen et al., 1990).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa senyawa organik kompleks dapat dihidrolisis oleh enzim menjadi senyawa organik yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dimetabolisme sel mikroorganisme. Menurut Laborda et al. (1999), batubara dapat didegradasi oleh enzim sehingga menghasilkan batubara cair. Enzim tersebut dapat mendegradasi batubara tidak hanya batubara lignit saja, tetapi juga batubara subbituminus maupun bituminus dapat dinduksi dengan enzim yaitu enzim; Mn-peroxidase, esterase, dan phenoloxidase. Enzim yang dapat mendegradasi batubara adalah enzim ekstraseluler, Penicillium sp.


(36)

25 merupakan salah satu kapang yang dapat mendegradasi batubara, hal tersebut diperkuat dengan penelitian bahwa proses solubilisasi pada batubara dikatalis melalui aktivitas enzim ekstraseluler (Ward, 1985). Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mendegradasi substrat. Enzim ekstraseluler tersebut akan menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan batubara ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison et al., 1989). Enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh kapang dpat dilihat pada Tabel berikut ini.

Tabel 4. Enzim Ekstraseluler Pendegradasi Lignin Dari Kapang (Akhtar et al., 1997).

Enzim Tipe enzim Peran dalam degradasi Kerja bersama dengan LiP Peroksidase Degradasi unit non–fenolik H2O2

MnP Peroksidase Degradasi unit fenolik dan

non-fenolik dengan lipid H2O2, lipid

Laccase Fenol oksidase

Oksidasi unit fenolik dan non fenolik dengan mediator

O2, mediator : 3-hidroxybenzotriazole

Lain-lain Oksidase

penghasil H2O2 Produksi H2O2 Peroksidase

Di dalam proses solubilisasi batubara terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan. Faktor-faktor tersebut dapat berupa kondisi lingkungan, nutrien, lamanya waktu proses biosolubilisasi, perlakuan awal terhadap batubara, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut memiliki efek yang bervariasi, tergantung pada jenis mikroorganisme


(37)

26 yang digunakan. Pengetahuan mengenai faktor-faktor ini diperlukan untuk memperoleh hasil yang paling optimal (Laborda et al., 1999).

2.5. Iradiasi Gamma

Iradiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam bentuk panas, partikel atau gelombang elektromagnetik dari sumber iradiasi, sedangkan secara umum iradiasi diartikan sebagai pemancaran suatu energi elektromagnetik atau partikel-partikel dengan kecepatan tinggi (Darussalam, 1996).

Iradiasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu iradiasi panas dan iradiasi pengion. Iradiasi panas menggunakan frekuensi rendah atau dengan panjang gelombang, misalnya infra merah. Iradiasi pengion menggunakan frekuensi tinggi, misalnya sinar alfa, beta, dan gamma. Iradiasi dibagi berdasarkan bentuknya, yaitu iradiasi dalam bentuk partikel dan iradiasi dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Dalam bentuk partikel adalah jenis iradiasi yang mempunyai massa terukur. Iradiasi dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau disebut juga dengan foton adalah jenis iradiasi yang tidak mempunyai massa dan muatan listrik, misalnya adalah gamma (Darussalam, 1996).

Sinar gamma adalah sebuah bentuk berenergi dari radiasi elektromagnetik yang diproduksi oleh radioaktivitas atau proses nuklir atau subatomik lainnya seperti penghancuran elektron-positron (Hall, 1994). Sinar gamma merupakan sebuah bentuk iradiasi pengion yang lebih menembus ke dalam suatu substrat daripada iradiasi alfa atau beta (keduanya bukan radiasi elektromagnetik), tetapi


(38)

27 kurang mengionisasi. Sinar gamma adalah radiasi elektromagnetik berenergi tinggi, tidak bermuatan dan tidak bermassa. Sinar gamma bermuatan netral, panjang gelombang pendek, dan daya tembus paling tinggi sehingga energi sinar gamma yang dipancarkan sumber terhadap target dapat menimbulkan perubahan pada komposisinya (Darussalam, 1996).

Iradiasi pengion yang mengenai suatu medium akan menyerahkan sebagian energinya kepada medium tersebut. Dalam kejadian ini medium menyerap iradiasi. Untuk mengetahui banyaknya iradiasi yang terserap oleh suatu medium digunakan satuan dosis terserap. Jadi dosis serap (absorpsi), merupakan ukuran banyaknya energi yang diberikan oleh iradiasi pengion kepada medium. Satuan dosis iradiasi dalam penelitian ini yang dipakai adalah Gray (Gy). Gray (Gy) adalah satuan SI diserap dosis. Dosis iradiasi mempengaruhi pH, dimana pH makin rendah sebanding dengan meningkatnya dosis iradiasi (Rahayu et al., 2009). Alat iradiasi gamma yang banyak digunakan dalam penelitian adalah iradiator gamma IRKA (Iradiasi Karet Alam) yang dipasang pada tahun 1982 dengan sumber radiasi gamma C0-60 dan volume maksimum bahan yang diiradiasi per batch ialah + 1,2 m3 (BATAN, 1995).

2.6. Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GCMS)

Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa atau sering disebut GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) adalah teknik analisis yang menggabungkan dua metode analisis yaitu Kromatografi Gas dan Spektroskopi Massa. Kromatografi gas adalah metode analisis, dimana sampel terpisahkan secara fisik


(39)

28 menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil pemisahan dapat dilihat berupa kromatogram). Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis, dimana sampel yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan massa dari ion-ion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa. Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai detektor) akan dapat mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa membaca spektrum bobot molekul pada suatu komponen, juga terdapat reference pada software (Hermanto, 2008).

Gambar 9. GC-MS Shimadzu (Dokumen Pribadi, 2010)

Pemisahan komponen senyawa dalam GCMS terjadi di dalam kolom (kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam adalah zat yang ada di dalam kolom, sedangkan fase gerak adalah gas pembawa (Helium maupun Hidrogen dengan kemurnian tinggi, yaitu ± 99,995%). Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir dari tiap


(40)

29 molekul di dalam kolom. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan afinitas antar molekul dengan fase diam yang ada di dalam kolom. Selanjutnya komponen-komponen yang telah dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS yang berfungsi sebagai detektor secara instrumentasi, MS adalah detektor bagi GC (Hermanto, 2008).

Teknik sampling GC digunakan injeksi sampel berupa cairan, yaitu teknik memasukkan sampel yang paling umum. Sampel langsung dimasukkan atau di injeksi setelah mendapat preparasi. Direct Inlet Probe digunakan untuk sampel yang memiliki titik uap yang lebih tinggi dari kemampuan injektor GC atau untuk analisis sampel yang tidak stabil secara termal. Sampel langsung dimasukkan ke dalam MS tanpa melalui GC. Teknik Headspace digunakan untuk sampel hasil ekstraksi dari senyawa-senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa-senyawa tersebut terdapat di dalam produk berbentuk cair atau padat. Misalnya, senyawa yang mudah menguap di dalam air, aroma di dalam produk makanan dan sebagainya. Sampel dimasukkan ke dalam wadah khusus, lalu diinkubasi. Setelah terjadi ekuilibrium gas yang berada di atas diambil oleh syringe. Lalu sampel dimasukkan ke dalam GC. Teknik sampling ini menggunakan alat khusus yang terpisah dari instrumen GCMS, sedangkan pirolis digunakan untuk sampel yang tidak dapat diuapkan oleh injektor GC, misalnya polimer-polimer. Sampel pertama kali diuraikan terlebih dahulu oleh pemanasan dalam alat khusus, hasil dekomposisi dapat dianalisis oleh GC. Purge dan Trap, digunakan untuk sampel hasil ekstraksi dari senyawa-senyawa organik yang mudah menguap. Zat yang mudah menguap (zat volatil) pertama kali dikeluarkan dari sampel dengan


(41)

30 menggunakan gas inert. Kemudian zat volatil tersebut diabsorb oleh zat khusus untuk meng-absorb seperti karbon aktif. Kemudian absorben dipanaskan untuk melepaskan senyawa yang diinginkan ke dalam GC untuk dianalisis (Hermanto, 2008).


(42)

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Juni 2010. Penelitian bertempat di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan Laboratorium Pangan Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah Erlenmeyer, timbangan analitik, mikroskop dan kamera, pH meter, corong Buchner, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), Gas Chromatograph Mass Spectrometer (GC-MS) Shimadzu dan Spektrofotometer UV-Vis Genesys 2, Shacking incubator, mortar, saringan, mikropipet, cawan petri, tabung reaksi, vortex, penangas air, autoklaf, iradiator IRKA (Iradiator Karet Alam), sentrifuse, oven, dan ependorf.

Bahan-bahan yang digunakan adalah batubara jenis subbituminus yang berasal dari Sumatera Selatan yang diisolasi langsung dari pertambangan batubara pada tahun 2009, isolat kapang Penicillium sp. hasil seleksi oleh Kuraesin tahun 2009, medium Potato Dextrose Agar (PDA), Medium Minimal Salt (MMS), agar bakto, larutan fisiologis (NaCl 0,85 %), sukrosa, alumunium foil, akuades, alkohol 70%, kertas parafilm, kertas Whatman No.1, heksana, benzena, dietil eter, KH2PO4, aseton, FDA (Fluorescen Diacetat), NaOH, dan methylene blue.


(43)

32 Komposisi medium yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut.

Tabel 5. Komposisi Medium Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicillium sp. Nama Medium PDA (ml) Agar bakto (g) MMS (ml) Sukrosa (g) Serbuk Batubara (g) Keterangan Potato Dextrose + Medium Minimal Salt (PDAM)

75 0,75 75 - -

Untuk Peremajaan dan media pertumbuhan Medium Minimal Salt + Sukrosa (MMSS)

- - 600

1% dari volume total (6g)

2 % dari volume total ( 12g) Untuk solubilisasi batubara

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat

Alat-alat gelas yang akan digunakan dibersihkan, lalu disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC pada tekanan 1 atm selama 15 menit. Peralatan yang tidak tahan panas disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%.

3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara

Batubara digerus dengan mortar, lalu disaring menggunakan penyaringan dengan ukuran 70 mesh (kurang dari 0,2 mm) hingga menjadi serbuk batubara.


(44)

33 Sebanyak 5 g sampel batubara yang sudah halus ditimbang dan dimasukkan ke dalam plastik polyetilen serta ditutup rapat menggunakan sealer.

3.3.3. Iradiasi Batubara Dengan Sinar Gamma

Serbuk batubara ditimbang dalam plastik polyetilen masing-masing 5 g dan ditutup dengan menggunakan sealer, kemudian batubara diiradiasi dengan iradiasi gamma dengan dosis 0 kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy di iradiator IRKA-Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) BATAN.

3.3.4. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar (PDA)

Sebanyak 2,92 g medium PDA ditimbang, lalu ditambahkan sebanyak 0,75 g agar bakto dan dilarutkan ke dalam 75 ml akuades di atas penangas air hingga larut. Setelah larut kemudian disterilisasi ke dalam autoklaf dengan suhu 121°C pada tekanan 1 atm selama 15 menit.

3.3.5. Pembuatan Medium Minimal Salt (MMS)

Medium Minimal Salt (MMS) dibuat dengan cara menimbang sebanyak 0,52g MgSO4.7H2O; 0,003 g ZnSO4.7H2O; 5 g K2HPO4; 0,005 g FeSO4, dan 1 g NH4(SO4), pH 5,5. Kemudian ditambah 1 liter akuades, lalu dilarutkan sampai homogen (Silva et al., 2007). Kemudian MMS disterilisasi dengan autoklaf pada tekanan 1 atm selama 15 menit.


(45)

34

3.3.6. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar + Medium Minimal Salt

(PDAM)

Medium PDAM dibuat dengan mencampurkan medium PDA dan Medium Minimal Salt (MMS) dengan perbandingan 1:1 dari volume medium yang telah dibuat. Kemudian medium PDAM dihomogenkan dengan cara pengadukan. Medium PDAM disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 1210C pada tekanan 1 atm selama 15 menit.

3.3.7. Pembuatan Medium Minimal Salt + Sukrosa (MMSS)

Medium MMSS dibuat sebanyak 600 ml medium MMS dengan komposisi yang dapat dilihat pada Lampiran 1 dan ditambahkan sukrosa sebanyak 1% b/v, lalu dihomogenkan. Setelah itu, disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 1210C pada tekanan 1 atm selama 15 menit.

3.3.8. Peremajaan Kapang dan Kultur Isolat Kapang Penicillium sp.

Isolat kapang Penicillium sp. diambil sebanyak 1 ose, diremajakan pada cawan petri untuk memperbanyak spora kapang. Setelah itu, diinkubasi pada suhu ruang selama lima hari sampai kapang Penicillium sp. menghasilkan spora. Sebanyak 10 ml NaCl 0,85 % dimasukkan ke dalam cawan petri. Kemudian miselia kapang dilepaskan menggunakan ose steril sampai kapang melarut dengan NaCl. Inokulum spora tersebut dimasukkan ke dalam tabungyang akan digunakan untuk langkah selanjutnya.


(46)

35

3.3.9. Biosolubilisasi Batubara

Penelitian ini dilakukan duplo atau dengan pengulangan. Kultur inokulum spora Penicillium sp. sebanyak 10 % v/v dimasukkan ke dalam 30 ml medium MMSS dengan jumlah spora yang diinginkan 108 sel/ml, lalu dihomogenkan. Kemudian, ditambahkan sebanyak 2% b/v serbuk batubara ke dalam tabung dengan masing-masing dosis 0 kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy, lalu diinkubasi menggunakan shacking incubator dengan kecepatan 120 rpm, pada suhu ruang, selama 28 hari. Pencuplikan sampel kultur dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, 21, dan 28 untuk dilakukan pengamatan kolonisasi miselia kapang, pH medium, dan solubilisasi terhadap batubara. Untuk perlakuan biosolubilisasi batubara dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perlakuan Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicillium sp.

3.3.10.Pengukuran pH, Solubilisasi, dan Kolonisasi Miselia Kapang

3.3.10.1. Pengukuran pH Sampel

Sampel diukur nilai pHnya dengan menggunakan pH meter. Selanjutnya dibuat grafik perubahannya.

Medium Jumlah Dosis

MMSS + 2% Serbuk batubara + 10% inokulum spora

30 ml 0 kGy

MMSS + 2% Serbuk batubara + 10% inokulum spora

30 ml 5 kGy

MMSS + 2% Serbuk batubara + 10% inokulum spora

30 ml 10 kGy

MMSS + 2% Serbuk batubara + 10% inokulum spora


(47)

36 3.3.10.2. Solubilisasi Batubara

Sampel diambil sebanyak 10 ml pada tiap pencuplikan, kemudian dipisahkan antara supernatan dan pellet dengan sentrifugasi kecepatan 5400 rpm selama 15 menit. Supernatan kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan Spektrofotometer UV-Vis Genesys 2 pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm untuk mengetahui tingkat biosolubilisasi batubara padat yang diurai menjadi batubara terlarut (Selvi and Banerjee, 2007). Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 250 nm ini bertujuan untuk mendeteksi adanya gugus fenolik dan pada panjang gelombang 450 nm bertujuan untuk mendeteksi gugus karbonil dan hidroksil hasil solubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp. Blanko yang digunakan adalah medium MMSS. Nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat solubilisasi batubara yang tinggi pula. Supernatan dengan nilai absorbansi tertinggi akan diuji lanjut menggunakan GC-MS Shimadzu.

3.3.10.3. Kolonisasi Miselia Kapang Pada Batubara

Kumpulan miselia yang berwarna kehitaman dari sampel kultur yang diambil pada tiap pencuplikan. Setelah itu miselia tersebut diambil menggunakan pinset steril kemudian diletakan di atas kaca objek bersih. Pengamatan dilakukan secara mikroskopi, yaitu dengan cara meneteskan Methylene Blue 0,1 % ke atas kumpulan miselia kemudian diamati panjang hifa kapang Penicillium sp. yang tumbuh pada substrat batubara. Pengamatan dilakukan dengan bantuan mikroskop cahaya perbesaran 400 kali. Kolonisasi digunakan untuk mengetahui pertumbuhan


(48)

37 yang terjadi pada kapang sehingga dapat diketahui kapang tersebut mampu menggunakan substrat batubara.

3.3.11.Analisis Aktivitas Enzim

Sampel sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 4 ml KH2PO4 buffer (pH 7,6) 60 mM. Reaksi dimulai dengan menambahkan 80µg FDA (Fluorescen Diacetat). Setelah itu, Pengocokkan dilakukan selama beberapa menit sampai terjadi reaksi yang ditandai dengan terbentuknya warna kuning akibat reaksi penambahan FDA. Sebanyak 4 ml aseton ditambahkan ke dalam medium untuk menghentikan reaksi, lalu suspensi disaring dengan menggunakan kertas Whatman No.1 dan filtrat dimasukkan ke dalam tabung lalu ditutup kertas parafilm dan disimpan di dalam lemari es selama 24 jam untuk menguapkan aseton. Nilai OD (Optical Density) filtrat yang sudah dipersiapkan ditera dengan menggunakan spektrofotometer Genesys 2 pada panjang gelombang 490 nm (Breeuwer, 1996).

3.3.12.Analisis Hasil Solubilisasi Batubara oleh Kapang Penicilium sp.

Dengan Menggunakan GC-MS

Supernatan dan pelarut dicampurkan dengan perbandingan 1:1. Pelarut yang digunakan adalah benzena : heksana : dietil eter dengan perbandingan 3:1:1. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong Buchner lalu diaduk sampai bercampur kemudian didiamkan beberapa saat sampai terbentuk fase atas dan bawah. Fase atas dipakai untuk identifikasi jenis senyawa produk hasil solubilisasi


(49)

38 batubara dan menentukan kadarnya dengan menggunakan GC-MS Shimadzu. Kolom yang digunakan adalah Dimetil polysiloxana dengan kondisi suhu kolom oven 50 0C, suhu injeksi 280 0C, laju alir 1,54 ml/menit, dan fase gerak gas helium. Kontrol yang digunakan adalah medium MMSS yang ditambahkan serbuk batubara yang diiradiasi dan tidak diiradiasi (Silva et al., 2007).

3.3.13. Analisis data

Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) yang dianalisis dengan Analisis Varian (ANOVA) satu arah untuk mengetahui apakah ada perbedaan atau pengaruh pada tiap perlakuan. Uji Analisis Varian ini (ANOVA) dibantu dengan bantuan program SPSS 16.

Uji Anova dengan hipotesis :

H0 : Tidak ada perbedaan antara rata-rata nilai parameter yang diuji pada tiap dosis iradiasi.

H1 : Ada perbedaan antara rata-rata nilai pada parameter yang diuji pada tiap dosis iradiasi.

Jika probabilitasnya (signifikansinya) > 0,05 maka H0 diterima.


(50)

39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kolonisasi Kapang Penicillium sp. Pada Substrat Batubara

Kapang Penicillium sp. dapat tumbuh pada substrat batubara yang ditandai dengan adanya kolonisasi berupa terselimutinya substrat batubara oleh hifa kapang Penicillium sp. Hasil pengamatan kolonisasi pada substrat batubara memperlihatkan bagaimana hifa kapang Penicillium sp. mengkolonisasikan dirinya pada substrat batubara dengan perlakuan dosis berbeda. Pada Gambar 10 adalah contoh hasil pengamatan yang diambil pada hari ke-0 dan hari ke-7 inkubasi. Untuk gambar selengkapnya pada setiap dosis iradiasi dan hari inkubasi dapat dilihat pada Lampiran 5.

Pada hari ke-0 inkubasi, tampak bahwa tidak terjadinya proses kolonisasi karena belum terjadi proses degradasi batubara oleh kapang dan kapang masih menggunakan nutrien yang berada dalam medium. Kolonisasi miselia kapang pada substrat batubara, baru mulai terlihat pada hari ke-7 inkubasi. Pada Gambar 10, secara kualitatif ditunjukkan bahwa pertumbuhan Penicillium sp. ditandai dengan adanya peningkatan produksi dan kerapatan hifa yang sebanding dengan makin tingginya dosis iradiasi serta lamanya hari inkubasi yang digunakan. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan iradiasi gamma dalam solubilisasi batubara memberikan pengaruh pada cepatnya proses degradasi yang dilakukan oleh kapang. Perbedaan panjang dan kerapatan hifa yang terjadi pada masing-masing dosis merupakan akibat dari perbedaan setiap perlakuan dosis yang mengubah


(51)

40 senyawa kompleks menjadi senyawa yang sederhana dengan panjang rantai karbon yang berbeda sehingga kolonisasi pun terjadi perbedaan pada tiap perlakuan.

Pada dosis 0 kGy hari ke-7 inkubasi kolonisasi belum mengalami kerapatan hifa dan pemanjangan hifa kapang Penicillium sp (Gambar 10), panjang hifa pun masih dapat diukur. Pada dosis 5 kGy hari ke-7 jika dibandingkan dengan dosis 0 kGy hari ke-7 inkubasi terlihat kolonisasi kapang Penicillium sp. memperbanyak sporanya untuk menghasilkan kolonisasi yang lebih banyak lagi, sedangkan pada dosis 10 kGy dan 20 kGy hari ke-7 telah mengalami kolonisasi yang kerapatannya sudah mulai padat dan panjang hifa kapang yang tidak dapat terukur (Gambar 10). Terjadinya kolonisasi membuktikan bahwa kapang Penicillium sp. dapat menggunakan substrat batubara untuk proses metabolismenya dan dapat mensolubilisasi batubara dengan bantuan enzim sehingga dihasilkannya senyawa yang lebih sederhana. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang Penicillium sp. terikat di permukaan hifa sehingga terjadi kontak dengan lignin yang ada pada batubara (Cathcheside and Ralph, 1994).

Menurut Selvi et al. (2006), biosolubilisasi yang dilakukan oleh kapang sudah baik pada masa inkubasi hari ke-7, ditandai terjadinya interaksi antara batubara yang terjebak dengan hifa kapang sehingga hifa kapang dapat melarutkan senyawa yang terkandung dalam substrat batubara. Selama pertumbuhannya, produksi hifa kapang semakin meningkat dan mulai mengelilingi partikel-partikel batubara seiring dengan lamanya masa inkubasi (Lampiran 5). Menurut Mustikasari (2009), peningkatan hifa menandakan bahwa


(52)

41 kapang makin lama dapat menjebak air serta partikel batubara yang terlarut dalam medium.

Dosis 0 kGy H-0 Dosis 0 kGy H-7 Dosis 5 kGy H-7

Dosis 10 kGy H-7 Dosis 20 kGy H-7

Gambar 10. Interaksi antara batubara dengan kapang Penicillium sp. dalam periode inkubasi dan dosis iradiasi yang berbeda (Pembesaran 400X). Keterangan: Tanda Panah hijau menunjukkan miselia fungi, panah kuning menunjukkan partikel batubara, dan panah orange menunjukkan spora fungi.

Pada gambar di atas tampak hifa sedang mengadakan kontak dengan menyelubungi partikel batubara dihari ke-7 inkubasi. Pemberian medium sukrosa pada penelitian ini merupakan sumber karbon yang dapat membantu dalam proses degradasi batubara guna memberikan energi awal untuk kapang agar dapat menggunakan substrat batubara pada proses selanjutnya. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Liu et al. (1990), didapatkan hasil bahwa pertumbuhan


(53)

42 kapang dapat dipacu dengan pemberian medium yang mengandung gula sehinga batubara dapat tersolubilisasikan. Produk hasil solubilisasi akan tetap padat tanpa adanya medium yang cocok, sehingga pertumbuhan kapang terhambat dan kolonisasi kapang tidak dapat terlihat.

Terjadinya kolonisasi kapang Penicillium sp. dapat juga dilihat dari perubahan nilai pH yang menjadi lebih asam pada masa inkubasi (Gambar 11). Telah diketahui bahwa kapang dapat tumbuh pada pH berkisar antara 2 sampai 8,5. pH yang asam menunjukkan bahwa kapang Penicillium sp. dapat tumbuh dan dapat menggunakan substrat batubara, sehingga kapang dapat mengkolonisasi dengan substrat batubara. Hasil yang didapatkan dari penelitian Scott and Lewis (1990), menunjukkan bahwa terjadinya proses kolonisasi pada substrat batubara karena kapang mampu mengkolonisasi dirinya dengan partikel batubara yang berada pada medium. Proses pengkolonisasian yang telah dilakukan oleh kapang Penicillium sp. merupakan cara yang dilakukan kapang agar mempermudah proses degradasi substrat batubara sehingga terjadi pelarutan senyawa di dalam medium.

4.2. Nilai pH Medium Solubilisasi Batubara

Nilai pH medium yang dihasilkan pada proses solubilisasi batubara pada pengamatan cenderung menghasilkan pH yang rendah. Berdasarkan pada Gambar 11, pola perubahan nilai pH medium dari kapang Penicillium sp. memiliki pola yang hampir sama pada masing-masing dosis iradiasi selama proses fermentasi dengan nilai pH yang berfluktuasi antara 2,6-3,8. Nilai pH medium pada masa


(54)

43 inkubasi lebih rendah dibandingkan pada hari ke-0. Nilai pH medium pada hari ke-0 tiap varian dosis iradiasi memiliki kesamaan derajat keasamannya, namun pada dosis 20 kGy terjadi perbedaan nilai pH mediumnya dibandingkan dengan dosis lainnya. Pada hari ke-7 inkubasi pH medium mengalami penurunan yang tidak jauh berbeda dengan varian dosis lainnya, namun setelah hari ke-7 inkubasi pH medium solubilisasi mengalami peningkatan yang cenderung stabil sehingga tampak stasioner pada kurva. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa nilai pH medium kapang Penicillium sp. pada seluruh varian dosis iradiasi tidak signifikan (probabilitas > 0,05) (Lampiran 4).

Perubahan pH merupakan hal yang menjadi salah satu faktor pengukuran dalam proses solubilisasi batubara. Proses solubilisasi yang dilakukan oleh kapang cenderung menghasilkan pH asam. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Indahwati (2009), didapatkan hasil bahwa aktivitas kapang Penicillium sp. cenderung menghasilkan pH yang asam dengan kisaran pH 3,15 sampai 4,34. Nilai pH yang asam menunjukkan bahwa kapang mampu tumbuh pada medium batubara. Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2 sampai 8,5, akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik lagi pada kondisi asam atau pH rendah. pH yang optimum untuk pertumbuhan fungi pada umumnya 3,8 sampai 5,6 (Pelczar dan Chan, 2005).

Pada dosis 20 kGy hari ke-0 (Gambar 11), terjadi perbedaan nilai pH medium bila dibandingkan dengan dosis yang lain. Hal tersebut karena adanya perbedaan gugus yang dihasilkan dari tiap perlakuan dosis iradiasi. Menurut Selvi et al. (2006), yang menggunakan dosis 20 kGy dalam penelitiannya mengatakan bahwa


(55)

44 iradiasi dapat menyebabkan pemecahan senyawa kompleks yang ada pada lignin menjadi senyawa yang sederhana yang menghasilkan gugus hidroksil dan karbonil dari pemecahan senyawa hidrokarbon. Menurut Indahwati (2009), material organik batubara terbentuk dari makromolekul yang tersusun dari unit dasar berupa cincin benzena dan cincin aromatik (misal gusus metil atau hidroksil). Interaksi diantara molekul tersebut ternyata diketahui sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan sifat material dan karakteristik reaksi termokimia pada batubara saat mendapat perlakuan panas sehingga iradiasi dapat mempengaruhi perubahan dari sifat material batubara.

Gambar 11. Nilai pH Pada Berbagai Variasi Dosis Batubara

Selama masa inkubasi solubilisasi batubara terjadi perubahan nilai pH naik dan turun, namun tidak terjadi perubahan yang terlalu tinggi. Penurunan pH medium yang terjadi selama awal inkubasi dapat menunjukkan terjadinya proses fermentasi sumber karbon sederhana yang terkandung dalam medium MMSS


(56)

45 yang menghasilkan asam organik. Menurut Hammel et al. (1993), nilai pH yang menurun pada hari inkubasi merupakan hasil dari degradasi proses biosolubilisasi batubara oleh kapang akibatnya terbentuklah asam-asam organik hasil degradasi komponen lignin pada batubara.

Penurunan pH yang terjadi kemungkinan disebabkan pula telah terjadinya proses desulfurisasi sehingga sulfur dalam batubara terlarut ke dalam medium cair dalam bentuk ion sulfat (SO42-). Batubara mengandung senyawa kompleks yang salah satunya adalah senyawa pirit (FeS2) (Speight, 1994). Pemanfaatan mikroorganisme dapat mempercepat reaksi oksidasi senyawa sulfur sehingga menghasilkan pH yang asam pada medium yang mengandung senyawa terlarut. Reaksi terjadinya proses desulfurisasi dapat dilihat dalam persamaan reaksi berikut ini:

2FeS2+ 7O2+2H2O 2FeSO4 + 2H2SO4 Pirit as.sulfat

Pada hari inkubasi selanjutnya setelah hari ke-7 inkubasi, pH cenderung mengalami peningkatan yang relatif stabil dengan peningkatan nilai pH yang tidak terlalu tinggi (Gambar 11). Menurut Mustikasari (2009), kenaikan pH medium dikarenakan terbentuknya gugus hidroksil (OH-) hasil degradasi senyawa komplek yang merupakan komponen lignin pada batubara serta dihasilkannya protein enzim untuk mendegradasi lignin di dalam batubara sehingga meningkatkan kandungan hidroksil. Proses degradasi akan menurunkan kandungan gugus metoksil (-OCH3) serta meningkatkan kandungan oksigen dan gugus hidroksil sehingga di dapatkan meningkatnya nilai pH (Indahwati, 2009).

Penicillium sp sp.


(57)

46

4.3. Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara

Nilai absorbansi aktivitas enzim yang didapatkan dari hasil biosolubilisasi oleh kapang Penicillium sp. mengalami kenaikan ataupun penurunan nilai yang berfluktuatif antara tiap varian dosis. Nilai absorbansi aktivitas enzim yang di dapatkan dari hasil solubilisasi dengan hari ke-7, 14, 21, dan 28 inkubasi menunjukkan nilai yang lebih tinggi aktivitas enzimnya jika dibandingkan dengan hari ke-0 (Gambar 12). Aktivitas enzim tertinggi terjadi pada dosis 20 kGy dengan inkubasi 14 hari. Kenaikan terjadi lebih besar bila dibandingkan dengan dosis yang lainnya yaitu dengan nilai absorbansi sebesar 0,068. Pada hari ke-7 inkubasi aktivitas enzim mengalami kenaikan absorbansinya dibandingkan hari ke-0. Hal tersebut dapat terlihat pada seluruh varian dosis. Kenaikan absorbansi aktivitas enzim tersebut terlihat pada dosis 10 kGy hari ke-7. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa nilai aktivitas enzim antara tiap dosis iradiasi tidak signifikan (nilai probabilitas > 0,05) (Lampiran 4).

Peningkatan yang terjadi setelah hari inkubasi ke-0 kemungkinan merupakan akibat dari penambahan buffer pada reaksi aktivitas enzim. Menurut Mustikasari (2009), perubahan pH medium mempengaruhi aktivitas enzim. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pH yang terlalu asam akan menyebabkan aktivitas enzim menurun, karena enzim dapat mengalami kerusakan. Jika dilihat pada nilai pH yang dihasilkan dari fermentasi kapang Penicillium sp., pH cenderung asam dengan kisaran 2,65-3,57 (Gambar 11), maka penambahan buffer perlu dilakukan pada uji analisis aktivitas enzim.


(58)

47 Pada nilai absorbansi aktivitas enzim terjadi penurunan dan kenaikan yang berfluktuatif (Gambar 12). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Laborda et al. (1999), batubara mempunyai struktur yang kompleks dan heterogen yang tidak diduga sehingga enzimnya pun berbeda-beda dari mikroba. Kemampuan Penicillium sp. dalam mendegradasi batubara disebabkan oleh perbedaan sistem enzim yang dimiliki oleh kapang. Penicillium sp. selain menghasilkan enzim ligninolitik ekstraseluler juga menghasilkan enzim intraseluler yang merupakan kofaktor penting untuk ligninolisis oleh enzim lignin peroksidase (Indahwati, 2009).

Gambar 12. Absorbansi Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara Pada Dosis Yang Berbeda

Pada dosis 20 kGy nilai absorbansi aktivitas enzim tertinggi berada pada puncak hari ke-14 inkubasi (Gambar 12). Aktivitas enzim yang meningkat menandakan meningkatnya jumlah FDA terhidrolisis. Terhidrolisisnya FDA dapat dilihat pada panjang gelombang 490 nm yang menunjukkan jumlah enzim ekstraseluler seperti lipase, protease, dan esterase yang dihasilkan oleh kapang


(59)

48 (Breeuwer, 1996). Bila jumlah kapang banyak, maka enzim yang dihasilkan akan banyak. Jika dilihat kurva nilai absorbansi aktivitas enzim tersebut berkorelasi dengan pertumbuhan kapang dan perkembangbiakan sel kapang. Pada dosis 20 kGy tersebut menunjukkan bahwa kapang Penicillium sp. kemungkinan memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menghasilkan enzim ektraseluler yang mampu mendegradasi batubara.

Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mendegradasi substrat batubara. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Faison et al. (1989), enzim ekstraseluler akan menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan batubara ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar. Enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh kapang Penicillium sp. diantaranya adalah enzim laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul rendah, larut dalam air dan CO2 (Kuraesin et al., 2009).

Meningkat atau menurunnya aktivitas enzim sejalan dengan hasil dari solubilisasi yang dapat dilihat pada nilai absorbansinya (Gambar 13), maka dari hal itu aktivitas enzim berperan penting dalam mendegradasi batubara sehingga batubara dapat larut dalam medium. Menurut Faison et al. (1989) menyatakan solubilisasi batubara oleh jamur melalui proses ekstraselulernya akan menghasilkan medium yang lebih gelap dan keruh yang mengandung senyawa terlarut didalam medium sehingga nilai absorbansi aktivitas enzim semakin tinggi.


(60)

49

4.4. Absorbansi Solubilisasi Pada Panjang Gelombang 250 nm dan 450 nm

Proses solubilisasi batubara dapat diamati tingkat solubilisasinya dengan absorbansi pada panjang gelombang 250 nm (sinar tak tampak) dan panjang gelombang 450 nm (sinar tampak), yang tujuannya untuk mendeteksi senyawa fenolik, senyawa karboksil, dan senyawa karbonil hasil dari pemecahan senyawa yang lebih sederhana dari komponen lignin. Senyawa-senyawa tersebut merupakan produk hasil solubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp.

Nilai absorbansi dari supernatan hasil fermentasi kapang selama inkubasi bernilai antara 0,21 sampai 2,744 pada panjang gelombang 250 nm (Gambar 13) dan untuk panjang gelombang 450 nm berkisar antara 0,08 sampai 0,097 (Gambar 14). Jika dibandingkan dengan hari ke-0, hasil solubilisasi pada panjang gelombang 250 nm mengalami kenaikan absorbansi pada masa inkubasi. Penurunan terjadi pada hari ke-14 inkubasi pada tiap varian dosis iradiasi, namun pada dosis 20 kGy tetap mengalami peningkatan di hari ke-14 inkubasi dan baru mengalami penurunan nilai absorbansi pada hari ke-28. Peningkatan solubilisasi berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 450 nm sebanding dengan semakin tingginya dosis iradiasi. Berdasarkan pengujian statistik menunjukkan bahwa nilai absorbansi pada panjang gelombang 450 nm dan 250 nm adalah tidak signifikan pada tiap dosis (nilai probabilitas > 0,05) (Lampiran 4).

Nilai absorbansi solubilisasi kapang Penicillium sp. dalam dosis iradiasi yang berbeda, antara nilai absorbansi pada panjang gelombang 250 nm (Gambar 13) dengan panjang gelombang 450 nm (Gambar 14) terjadi perbedaan yang sangat jelas nilai absorbansinya. Secara kualitatif terdapat perbedaan pada


(61)

50 kekeruhan supernatan pada hari ke-0 dan seterusnya. Pada hari ke-0 perbedaan sangat jelas pada tiap dosis iradiasi yang pada umumnya supernatan berwarna kuning bening dan pada hari inkubasi selanjutnya berubah menjadi cokelat. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Cohen et al. (1990), perubahan tersebut menunjukkan bahwa batubara yang terlarut bercampur dengan medium. Perbedaan absorbansi menunjukan adanya perbedaan pada tingkat degradasi atau solubilisasi batubara oleh kapang melalui aktivitas enzim ekstraseluler menjadi produk yang larut dalam air.

Secara kualitatif pengujian supernatan dari hasil inkubasi diukur dengan menentukan nilai absorbansinya. Perbedaan absorbansi menunjukkan adanya perbedaan pada tingkat degradasi atau biosolubilisasi batubara oleh kapang melalui aktivitas enzim ekstraselulernya menjadi sebuah produk yang mencair (terlarut) dan dihasilkan pula gas CO2 (Ward, 1985).

Nilai absorbansi solubilisasi pada panjang gelombang 250 nm (Gambar 13), menunjukkan bahwa pada tiap dosis mengalami penurunan nilai absorbansi pada hari ke-28. Penurunan juga terjadi pada dosis 0 kGy, 5 kGy, dan 10 kGy pada hari ke-14 inkubasi. Nilai absorbansi yang menurun pada hari inkubasi disebabkan proses degradasi batubara yang sudah melarut kemudian diurai kembali menjadi komponen yang lebih sederhana dan dihasilkan pula gas CO2. Terjadinya penurunan absorbansi menurut Ralph (1997), produk solubilisasi memiliki potensi untuk didekolorisasi atau dilakukan penguraian kembali sehingga memungkinkan terjadinya penguraian senyawa yang lebih sederhana lagi yaitu turunan dari senyawa fenolik.


(1)

72

Gambar 7. Hasil GC-MS Kontrol 0 kGy

7. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 6. n-Tetradekana (C14H30)

8. 4-Metiloktana (C9H20) 7. Dodekana,1,1-difloro (C12H24F2) 9. n-dodekana (C12H26) 8. n-Pentadekana (C15H32)

10. 2,4-dimetildekana (C12H26) 11. n-Oktana (C8H18)

Gambar 8. Hasil GC-MS Solubilisasi 0 kGy H-7

1.2,3-Dimetilheksana (C8H18) 11. 1-Tridekana (C13H26) 23. Dokosana (C22H46) 2.2,3,5-Trimetilheksana (C9H20) 12. 1-Tridekanol (C13H28) 24. 2,6,10,14-

3.2,4-Dimetilheptana (C9H20) 13. I-Iodononena (C9H19I) tetrametilheptadekana (C21H32)

4.2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 14. 4,7 Dimetilundekana (C13H28)

5. 4-Metiloktana (C9H20) 15. 2,8 dimetilundekana (C13H28)

6.2,5,5-Trimetilheptana (C10H22) 17. n-Tetradekana (C14H30)

7.Oktana, 3,3-dimetil (C10H22) 18. n-Pentadekana (C15H32) 8.3,7-dimetildekana (C12H26) 19. n-Heksadekana (C16H34

9.3,7 Dimetilundekana (C13H28) 20. n-Nonadekana (C19H40) 10.4,7 Dimetilundekana (C13H28) 21. Eikosana (C20H42)


(2)

73

Gambar 9. Hasil GC-MS Kontrol 5 kGy

1. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 7. 2,3,3-Trimetilpentana (C8H18) 2. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 8. 4,7 Dimetilundekana (C13H28) 3. 4-Metiloktana (C9H20) 9. 6-Etil-2-metiloktana (C11H24) 4. 3,3-Dimetilheksana (C8H18) 10. I-Iododekana (C10H21I) 5. n-Oktana (C8H18) 11. n-Pentadekana (C15H32) 6. 2,3,4-Trimetilheksana (C9H20) 12. n-Nonena (C9H20)

Gambar 10. Hasil-GC-MS Solubilisasi 5 kGy H-7

1. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 6. n-Tetradekana (C14H30) 2. 4-Metiloktana (C9H20) 7. Heksadekana (C16H34)

3. dodekana (C12H26) 8. Nonadekana (C19H40) 4. 3,7 Dimetilundekana (C13H28)


(3)

74

Gambar 11. Hasil GC-MS Kontrol 10 kGy

1. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 8. n-Heptana (C7H16)

2. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 9. 4,7 Dimetilundekana (C13H28)

3. 4-Metiloktana (C9H20) 10. I-Iodononena (C9H19I) 4. 3,3-Dimetilheksana (C8H18) 11. Pentadekana (C15H32)

5. n-Oktana (C8H18) 12. 6-Etil-2-metiloktana (C11H24) 6. 2,4,6-Trimetil-1-nonana (C12H24) 13. 3,7-dimetildekana (C12H26) 7. 2,3,4-Trimetilheksana (C9H20) 14. Dokosana (C22H46)

Gambar 12. Hasil GC-MS Solubilisasi 10 kGy H-7

1. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 9. n-Tetradekana (C14H30) 4. n-Oktana (C8H18) 11. n- Heksadekana (C16H34) 5. 2,2,5-Trimetil-3,4-Heksanadiona (C9H20) 12. n-Nonadekana (C19H40) 6. 2,4-dimetildekana (C12H26)


(4)

75

Gambar 13. Hasil GC-MS Kontrol 20 kGy

1. n-Oktana (C8H18) 7. 4-Metil-1-undekana (C12H24) 2. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 8. I-Iododekana (C10H21I) 3. n-dodekana (C12H26)

4. Isododekana (C12H26) 5. 2,8 dimetilundekana (C13H28)

6. 3,7-dimetildekana (C12H26)

Gambar 14. Hasil GC-MS Solubilisasi 20 kGy H-14

1. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 7. 2,8 dimetilundekana (C13H28) 2. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 8. n-Tetradekana (C14H30) 3. 4-Metiloktana (C9H20) 9. n-Heksadekana (C16H34) 4. n-Nonena (C9H20) 10. n-Nonadekana (C19H40) 5. 2,4-dimetildekana (C12H26) 11. n-Dokosana (C22H46) 6. 4,7 Dimetilundekana (C13H28)


(5)

76

Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Oleh Kapang

Penicillium

sp. Yang

Setara Dengan Komponen Minyak Solar

No Nama Senyawa

% area/ 5 µl Perlakuan (Solubilisasi) 0 kGy H-7 5 kGy H-7 10 kGy H-7 20 kGy H-14 1 I-Iododekana (C10H21)

2 2,5,5-Trimetilheptana (C10H22) 1,08

3 Oktana, 3,3-dimetil (C10H22) 1,25

4 6-Etil-2-metiloktana (C11H24)

5 Dodekana,1,1-difloro (C12H24)

6 n-dodekana (C12H26) 30,82

7 Isododekana (C12H26)

8 2,4,6-Trimetil-1-nonana(C12H24)

9 4-Metil-1-undekana (C12H24)

10 2,4-dimetildekana (C12H26) 10,64 6,13

11 3,7-dimetildekana (C12H26) 1,22

12 1-Tridekana (C13H26) 1,67

13 2,8 dimetilundekana (C13H28) 3,34 2,75

14 3,7 dimetilundekana (C13H28) 23,18 6,71

15 4,7 dimetilundekana (C13H28) 9,39 10,53 9,65

Total % area 41,77 48,05 10,64 18,52

Gambar 15. Hasil GC-MS Solar

1. N-Dekana (C10H22) 2. Trans-Decahidronapthalen 3. Undekana (C11H24)

4. N-Dodekana (C12H26) 5. Trigekana (C13H28)


(6)

77

Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Oleh Kapang

Penicillium

sp. Yang Setara

Dengan Komponen Bensin

No Nama Senyawa

% area/ 5µl Perlakuan (Solubilisasi) 0 kGy H-7 5 kGy H-7 10 kGy H-7 20 kGy H-14 1 n-Heptana (C7H16)

2 n-Oktana (C8H18) 35,47

3 2,3-Dimetilheksana (C8H18) 1,23

4 2,3,3-Trimetilpentana (C8H18)

5 3,3-Dimetilheksana (C8H18)

6 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 5,29 4,08

7 I-Iodononena (C9H19) 1,22

8 2,3,4-Trimetilheksana (C9H20)

9 2,3,5-Trimetilheksana (C9H20) 1,69

10

2,2,5-Trimetil-3,4-Heksanadiona (C9H20) 7,38

11 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 18,10 22,79 19,75 19,90

12 4-Metiloktana (C9H20) 4,73 4,41 3,88

13 n-Nonena (C9H20) 27,26

14 I-Iododekana (C10H21)

15 2,5,5-Trimetilheptana (C10H22) 1,08

16 Oktana, 3,3-dimetil (C10H22) 1,25

17 6-Etil-2-metiloktana (C11H24)

18 Dodekana,1,1-difloro (C12H24)

19 n-dodekana (C12H26) 30,82

20 Isododekana (C12H26)

21

2,4,6-Trimetil-1-nonana (C12H24)

22 4-Metil-1-undekana (C12H24)

23 2,4-dimetildekana (C12H26) 10,64 6,13

24 3,7-dimetildekana (C12H26) 1,22