beteng biasanya sehari diberi upah sebesar Rp 50.000 dari pukul 08.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB.
Menurut Bapak ini, jarang sekali terjadi petani yang protes dengan pekerjaan mereka. Hanya saja sebelum bekerja, petani selalu meminta agar
kerja mereka itu bersih dalam artian tidak banyak padi yang tertinggal. Terkadanag mereka menerima tambahan upah dari petani yang memang sudah
berlangganan menggunakan mesin grendel milik salah seorang kelompoknya. Saat bekerja, mereka selalu diberikan makanan ringan. Bapak ini selalu
berusaha bekerja setiap hari dengan bekerja mocok-mocok supaya mendapatkan penghasilan. Bapak ini mengerjakan semua pekerjaan, selain
pekerjaan pertanian. Bapak ini juga bekerja di bangunan apabila tidak musim sawah.
Bapak ini lebih memilih bekerja sebagai buruh tani daripada buruh bangunan atau buruh pabrik karena tidak terikat dan Bapak ini lebih memiliki
keahlian di bidang pertanian dibandingkan dengan pekerjaan lain, hanya saja Bapak ini tidak memiliki lahan pertanian untuk dikelolah. Bapak ini tidak
dapat menyewa karena mahalnya biaya sewa lahan dimulai dari Rp 150.000 samapai Rp 200.000 per rante setiap panen. Selain itu, sempitnya lahan yang
tersedia sehingga sedikit sekali lahan yang disewakan.
4.3 Struktur Masyarakat Pertanian Desa Tanjung Rejo
Masyarakat desa Tanjung Rejo merupakan masyarakat yang hidup di lingkungan pedesaan yang masyarakatnya menggantungkan kehidupannya
pada tanah atau lahan. Artinya mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara mengelolah lahan dengan menjadikannya sebagai lahan pertanian tanaman
Universitas Sumatera Utara
pangan yaitu persawahan. Oleh karena itu, masyarakat desa ini merupakan masyarakat pertanian atau masyarakat agraris. Para petani di desa ini terdiri
dari petani yang mengolah lahannya sendiri dan petani yang mengolah lahan milik orang lain dengan menyewa lahan pertanian petani lainnya. Karena
menyewa lahan milik orang lain maka para petani ini akan mendapatkan penghasilan berdasarkan selisih keuntungan antara hasil panen dikurangi
dengan biaya sewa lahan. Pada dasarnya masyarakat pertanian atau masyarakat yang
menyandarkan hidup mereka ke pertanian di desa Tanjung Rejo terdiri dari tiga lapisan yaitu petani pemiliki, penyewa, dan buruh tani. Adapun lapisan-
lapisan mendasar masyarakat tersebut adalah sebagai berikut : a.
Pemilik lahan Kepemilikan lahan pertanian di desa Tanjung Rejo ini terdiri
dari dua bentuk kepemilikan yaitu kepemilikan tetap dan kepemilikan sementara. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Selamat
sebagai kepala desa di desa ini sebagai berikut : “kalau lahan pertanian di desa ini, ada yang dimiliki sendiri,
artinya dia beli tanah disini secara sah, tanah ini memang miliknya. Tapi sebagian besar petani disini itu menyewa lahan”
Hasil wawancara tanggal 9 Januari 2012. Pemilik lahan pertanian yang dimaksud disini adalah petani
yang memiliki lahan pertanian di desa ini dengan kepemilikan tetap, artinya lahan yang dimilikinya adalah lahannya sendiri dengan
kepemilikan yang sah secara hukum. Sedangkan kepemilikan sementara adalah kepemilikan lahan yang pada dasarnya lahan tersebut
bukan lahannya namun ia memilki hak untuk mengelolahnya dan
Universitas Sumatera Utara
kepemilikan ini akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah ditentukan misalnya penyewa. Luas lahan pertanian di desa ini seluas
1.650 ha. Lahan inilah yang dimiliki oleh para petani sawah. Petani pemilik lahan di desa Tanjung Rejo ini terdiri dari petani
pemilik yang berdomisili di desa ini dan petani pemilik yang tidak berdomisili di desa ini. Hasil wawancara dengan Bapak Selamat
menyatakan sebagai berikut : “sebagian besar, pemilik lahan itu orang luar kalau disini ini.
Kalau dipersenkan itu sekitar 60 : 40 lah. 60 yang punya lahan disini orang luar” Hasil wawancara tanggal 9 januari
2012. Hal ini sama halnya yang dikatakan oleh Bapak Legino yaitu
sebagai berikut : “kebanyakan sawah disini yang punya orang Binjai, orang
Medan. Kalau orang sini aja sedikit yang punya, yang punya cuma 40 , 60 lagi punya petani luar”. Hasil wawancara
tanggal 9 januari 2012. Petani luar yang memiliki lahan di desa ini berjumlah 60 dari
luas lahan pertanian di desa ini yaitu 990 ha, sedangkan petani dalam hanya memilki lahan sekitar 40 yaitu 660 ha.Petani di desa ini 80
adalah petani gurem yaitu petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Selamat sebagai
berikut : “petani di desa ini, kebanyakan masyarakat disini, 80 itu
lahannya sedikit dan sebagian menyewa gitu. Paling punya 3-10 rante. Kalau yang luas-luas itu lahannya milik orang luar, orang
Medan, Binjai sana” Hasil wawancara tanggal 9 Januari 2012. Hal ini sama halnya dikatakan oleh Ibu Suryati sebagai kepala
dusun VII sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
“warga di desa ini petaninya banyak yang nyewa. Paling yang punya sendiri itu cuma yang orang tuanya dulu disini. Kalau
orang sini kebanyakan paling punya 5 rante. Ada yang 2 rante pun” Hasil Wawancara tanggal 23 Januari 2012.
Petani luar memiliki lahan pertanian yang lebih luas
dibandingkan dengan petani dalam. Petani luar memiliki lahan seluas 2-10 ha di desa ini sedangkan petani dalam hanya memiliki lahan
pertanian seluas 3 rante 1 -2 ha 1 ha = 25 rante dan 1 rante = 400m di desa ini. Petani luar tersebut berasal dari Medan, Binjai, Saentis, dan
daerah-daerah lainnya. Petani dalam atau petani yang berdomisili di desa ini memiliki lahan yang memliki lahan seluas 3-10 rante
berjumlah 80 yaitu 274 orang atau disebut dengan petani gurem dan 20 petani dalam memiliki lahan sekitar 1-2 ha berjumlah 68 orang.
2.Penyewa Penyewa merupakan petani yang memiliki lahan pertanian dengan
kepemilikan sementara. Penyewa hanya dapat menggarap lahan pertanian tetapi tidak dapat memiliki lahan pertanian tersebut. Karena
lahan tersebut bukanlah miliknya melainkan milik petani yang lain yang tidak dikelolah oleh pemiliknya. Penyewa hanya bisa menguasai
lahan pertanian tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan disepakati oleh petani yang menyewakan.Hasil waawancara dengan
Bapak Legino sebagai berikut : “petani yang nyewa disini itu kadang mereka punya lahan sedikit
lalu menyewa lagi. Tapi ada juga yang sama sekali gak punya lahan. makanya dia nyewa. Kalau diperkirakan ada 60 petani
yang punya lahan sempit itu, kemudian dia menyewa. Memang disini banyaklah yang kayak gini” Hasil wawancara tanggal 23
Januari 2012.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sama halnya dikatakan oleh Bapak Said sebagai berikut: “desa ini kebanyakan petaninya petani gurem. Kalau dihitung
mungkin ada 60 petani disini yang nyewa” Hasil wawancara tanggal 23 Januari 2012.
Di desa ini penyewa yang sama sekali tidak memiliki lahan sekitar 40 yaitu sekitar 68 orang dan sekitar 60 petani yang memiliki lahan
sempit lalu menyewa lahan yaitu 103 orang . Tujuan petani gurem ini menyewa lahan adalah untuk menambah pendapatan mereka dengan
mengolah lahan pertanian yang luas maka hasil produksi juga meningkat. Petani menyewa dengan sistem penyewaan yang telah ditentukan bersama
misalnya mengenai biaya sewa. Hasil wawancara dengan Bapak Selamat sebagai berikut :
“ kalau nyewa itu dalam satu rante itu bayar sewanya Rp100.000- Rp200.000. dia itu biasanya tergantung sama lahannya, bagus
pengairannya atau gak. Tapi ini dalam satu kali masa tanam”. Hasil wawancara tanggal 9 Januari 2012.
Hal ini sama halnya yang dikatakan oleh Bapak Legino sebagai
berikut : “disini uang sewa itu beda-beda. Lihat-lihat lahannya kayakmana.
Kalau yang bagus itu mau Rp 200.000, tapi kalau yang biasa cuma Rp 150.000 – Rp 100.000”. Hasil wawancara tanggal 9 Januari
2012. Sistem penyewaan lahan di desa ini terdiri dari dua yaitu sistem
sewa dibayar di muka dan sistem sewa dibayar di belakang setelah panen. Biaya sewa selalu dibayar dalam bentuk uang tunai. Besarnya biaya sewa
tergantung pada kualitas lahan pertaniannya yang akan disewakan. Kualitas lahan pertanian di desa ini terbagi kedalam tiga kelas. Kelas pertama yaitu
lahan pertanian irigasi, kelas kedua lahan pertanian setengah teknis, dan
Universitas Sumatera Utara
kelas ketiga lahan pertanian irigasi buruk. Kelas satu terletak di dekat jalan, kelas dua ditengah, dan kelas tiga terletak di paling belakang dan jauh dari
jalan. Biaya sewa untuk lahan pertanian kelas satu sebesar Rp 200.000, biaya sewa untuk lahan pertanian kelas dua sebesar Rp 150.000 dan biaya
sewa untuk lahan pertanian kelas tiga sebesar Rp 100.000 per sekali musim sawah. Apabila telah tiba musim sawah berikutnya, maka penyewa harus
mengeluarkan biaya sewa kembali. Hasil panen yang didapat tergantung pada kualitas lahan pertanian. begitu juga besarnya biaya sewa lahan.
Semakin kondisi sawah itu bagus, semakin mahal biaya sewa lahan yang harus dikeluarkan oleh penyewa.
b. Buruh tani
Dalam masyarakat pertanian di desa Tanjung Rejo ini, para petani bekerja keras pada masa-masa turun sawah saja dan memiliki waktu luang
atau kelenggangan bekerja di masa-masa tidak turun sawah. Apabila tiba masa turun sawah, semua anggota keluarga ikut bekerja untuk mengolah
lahan mereka. Bahkan tidak hanya anggota keluarga inti petani, keluarga batih pun dikerahkan untuk mengerjakan atau mengolah lahan pertanian
mereka. Petani yang memiliki lahan 1-2 ha, biasanya tenaga keluarga inti dan keluarga luas juga tidak cukup untuk dapat menyelesaikan pekerjaan
mereka. Karena itu, para petani menggunakan tenaga buruh tani untuk mengerjakan pekerjaan di sawah mereka.Di desa ini buruh tani lebih
dikenal dengan sebutan “ngupah”. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Selamat sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
“ada juga buruh tani yang hanya bekerja sebagai buruh tani. Ada 20 gitu, khusus buruh tani tidakpunya lahan”. Hasil wawancara
tanggal 9 Januari 2012. Jumlah buruh tani di desa ini adalah 20 dari jumlah petani di
desa ini yaitu 120 orang. Buruh tani di desa ini ada juga yang merupakan pekerjaan sampingan bagi mereka bukan pekerjaan utama mereka. Buruh
tani di desa Tanjung Rejo terbagi dua yaitu buruh tani yang sama sekali tidak memiliki lahan dan buruh tani yang masih memiliki lahan sendiri
namun bekerja sebagai buruh tani sebagai pekerjaan sampingannya. Bagi buruh tani yang tidak memiliki lahan, pekerjaan buruh tani merupakan
pekerjaan utamanya dan mereka mendapatkan penghasilan utama dengan bekerja sebagai buruh tani. Karena itu buruh tani ini akan bekerja keras
saat musim turun sawah dan akan mencari pekerjaan sampingan saat musim rendeng atau setelah panen. Sedangkan bagi buruh tani yang
memiliki lahan, biasanya pekerjaan sebagai buruh tani merupakan pekerjaan tambahan baginya untuk menambah pendapatannya. Sistem
pengupahan yang berlaku bagi buruh tani di desa ini menggunakan upah berupa uang misalnya upah harian, upah borongan, upah mingguan, dan
upah bulanan. Buruh tani yang ada di desa ini terdiri dari buruh tani laki-laki dan
buruh tani perempuan. Setiap musim turun sawah, masyarakat di desa ini yang berprofesi sebagai petani bekerja sebagai buruh tani baik itu ibu-ibu
maupun bapak-bapak. Di masa inilah para buruh tani memiliki kesempatan untuk bekerja keras untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
penghasilan. Kaum ibu-ibu juga ikut bekerja untuk membantu perekonomian keluarga dengan menambah pendapatan keluarga.
Buruh tani di desa ini tidak mengerjakan pekerjaan pertanian secara individual, hanya pekerjaan tertentu yang dikerjakan secara individual
karena pekerjaan tersebut tidak membutuhkan kerja sama dan tenaga kerja. Pekerjaan pertanian yang dapat dilakukan secara individual karena
dianggap ringan seperti membabat beteng, menyemprot, dan mencangkul lahan. Buruh tani di desa ini membentuk kelompok-kelompok masing-
masing, namun tidak ada persaingan dalam kelompok hanya untuk memudahkan dalam bekerja. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan
Ibu Supri sebagai berikut: “memang kami ada kelompok-kelompoknya sendiri-sendiri tapi
kalau kelompok lain ada kerja, mereka ajak kita buat gabung ntah satu dua orang dari kita”. Hasil wawancara 11 Februari 2012.
Hal ini sama yang dikatakan oleh Ibu Gira sebagai berikut :
“kadang ibu kalau kelompok ibu gak ada kerja hari ini misalnya, ibu ikut sama yang kelompok lain kalau mereka butuh tenaga.
Kadang pun diajakin. Kalau disini kayak git”. Hasil wawancara 11 februari 2012.
Kelompok ini dibentuk karena beberapa pekerjaan pertanian tidak
dapat atau sulit dikerjakan sendirian karena dianggap terlalu berat untuk dikerjakan sendirian seperti mencabut bibit, menanam padi, merumput,
membajak, dan memanen padi. Apabila pekerjaan ini dikerjakan secara individual maka pekerjaan tersebut akan selesai dalam waktu yang relatif
lama misalnya menanam padi seharusnya dapat dilakukan satu hari maka dengan bekerja sendiri menanam padi dapat dilakukan selama 4 hari dan
petani akan mengalami kerugian. Misalnya, apabila menanam padi tidak
Universitas Sumatera Utara
segera selesai, berarti penananman padi tidak serentak, dan ini menghambat dan menyulitkan dalam proses memanen dan menimbulkan
serangan hama. Karena itu pekerjaan ini harus diselesaikan dengan cepat dan serentak.
Setiap kelompok buruh tani terdiri dari beberapa orang seperti buruh tani menanam padi terdiri dari 6-15 orang, buruh tani memanen
terdiri dari 15-20 orang, buruh tani membajak terdiri dari 2-3 orang, dan buruh tani mencabut bibit terdiri dari 4-6 orang. Kelompok-kelompok
buruh tani di desa ini juga terdiri dari kelompok buruh tani laki-laki dan kelompok buruh tani perempuan. Dalam beberapa pekerjaan memanen,
kelompok buruh tani perempuan dan kelompok buruh tani laki-laki bergabung. Kelompok-kelompok buruh tani ini juga mengerjakan
pekerjaan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kelompok buruh tani laki-laki dan kelompok buruh tani perempuan. Kelompok buruh tani
perempuan biasanya mengerjakan pekerjaan menanam dan mengaret atau memotong padi sedangkan kelompok buruh tani laki-laki mengerjakan
pekerjaan mencabut bibit, membajak, dan menggrendel mengurai padi dengan mesin.
Meskipun para buruh tani di desa ini berkelompok, antara anggota kelompok buruh tani yang satu dengan anggota kelompok buruh tani yang
lain juga bekerja sama. Setiap anggota kelompok tidak harus bekerja dengan kelompoknya sendiri. Mereka dapat bekerja dengan bergabung
dengan kelompok buruh tani yang lain. Dengan kata lain, tidak ada
Universitas Sumatera Utara
persaingan atau kompetisi antara kelompok buruh tani di desa ini, tetapi pembentukan kelompok ini hanya untuk memudahkan dalam bekerja dan
biasanya kelompok buruh tani ini terdiri dari keluarga, saudara, tetangga terdekat, dan tetangga lahan.
Setiap masyarakat yang memiliki struktur masyarakat yang berbeda karena setiap masyarakat memiliki penghargaan tertentu terhadap hal-hal
tertentu dan akan menjadikan hal-hal tersebut pada kedudukan atau posisi yang lebih tinggi daripada hal-hal lainnya. Struktur masyarakat pertanian di
desa ini merujuk pada penguasaan atas lahan pertanian, dimana perbedaan penguasaan atas lahan pertanian menentukan posisi seorang petani dalam
masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Wisadirana 2005 bahwa gambaran struktur masyarakat agraris yang merujuk pada peta hubungan
sosial di kalangan anggota masyarakat agraris akan bertumpu pada posisi para petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik dalam penguasaan
tetap maupun penguasaan sementara. Kemudian differensiasi struktur masyarakat agraris merujuk pada keberadaan kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang posisinya dalam penguasaan sumberdaya agraria tidak sama Wisadirana, 2005: 52.
Struktur masyarakat pertanian di desa ini terdifferensiasi dalam banyak lapisan masyarakat yang dibangun dengan status tunggalstatus
dimaksud merupakan basis dasar pelapisan masyarakat dan status jamak atau kombinasi. Secara lebih rinci, struktur petani di desa Tanjung Rejo
berdasarkan kepemilikan lahan adalah sebagai berikut : 1.
Petani Pemilik Lahan.
Universitas Sumatera Utara
Petani pemilik adalah petani yang memiliki lahan pertanian dengan kepemilikan tetap. Petani pemilik lahan pertanian di desa ini berasal dari
orang yang berdomisili di desa ini dan orang yang tidak berdomisili di desa ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Selamat sebagai berikut :
“disini itu yang punya lahan luas itu kebanyakan orang luar ada 60 dari lua lahan. Ada sampai 10 ha di Paluh Merbau itu. Kalau
rata-rata orang sini itu punya 5-10 rante. Ada juga yang punya 3 rante”. Hasil wawancara tanggal 9 Januari 2012.
Sama seperti yang dikatakan Ibu Gira sebagai petani gurem sebagai
berikut: “kami punya juga lahan di belakang rumah ini, cuma 7 rante. Mau
nyewa lagi pun mahal. sekarang ini nyewa Rp 200.000 per rante. Ini pun sekali panen aja. Jadi yang ada aja yang disawah. Kan udah
bisa buat berasnya di rumah”. Hasil wawancara tanggal 11 Februari 2012.
Petani yang memiliki lahan luas seluas 3-10 ha berasal dari orang
yang tidak berdomisili di desa ini atau petani luar dan petani yang memiliki lahan luas seuas 1-2 ha adalah petani yang berdomisili di desa ini atau petani
dalam. Petani pemilik lahan di desa ini hanya 68 orang yang memiliki lahan luas 1-2 ha. Petani yang memiliki lahan yang seluas 5-10 ranteberjumlah 274
orang. Petani ini tidak menyewa lahan karena keterbatasan modal mereka sehingga tidak sanggup untuk menyewa lahan jadi dia hanya mengelolah
lahan pertaniannya yang dia miliki meskipun relatif sempit. 2.
Petani pemilik lahan sekaligus penyewa lahan Petani ini merupakan petani yang memiliki lahan dengan
kepemilikan tetap dan kepemilikan sementara, artinya disamping petani ini memiliki lahan sendiri, petani ini juga menyewa lahan dari petani pemilik
Universitas Sumatera Utara
lainnya yang tidak mengelolah lahannya. Hasil wawancara dengan Bapak Legino sebagai berikut :
“petani disini itu banyak yang nyewa. Nanti dia punya lahan cuma 5 rante, nanti dia nyewa 10 rante lagi. Kan sudah setengah hektar
yang dia kelolah. Tapi bagi petani yang punya modal. Kalau cuma 5 rante, berapalah padi yang dia dapat. Gak bisa dijual cuma untuk
makan”. Hasil wawancara tanggal 23 Januari 2012.
Tujuan petani penyewa ini adalah untuk memperluas lahan pertaniannya yang akan dikelolah dan mendapatkan penghasilan lebih. Petani
yang seperti ini adalah petani yang memiliki lahan pertanian seluas 5-10 rante dan memiliki biaya atau modal untuk menyewa lahan pertanian, sehingga
petani ini menyewa lahan pertanian lagi supaya lahan yang akan dikelolah bertambah luas.
3. Petani penyewa
Petani penyewa adalah petani yang memiliki lahan pertanian dengan kepemilikan sementara sesuai dengan kesepakatan antara penyewa
dan yang menyewakan. Dalam artian petani ini tidak memiliki lahan dengan kepemilikan tetap tetapi berdasarkan waktu yang telah ditetapkan. Petani ini
menyewa lahan milik petani yang lain yang tidak dikelolah oleh pemiliknya. Seperti yang dikatakan dengan bapak Said yaitu sebagai berikut :
“saya itu gak punya lahan, saya dari dulu nyewa sama orang luar yang punya lahan disini. Dari pertama saya bertani udah 20
tahunan, saya nyewa tempat orang ini aja, karena gak dipake lahannya. Kalau gak nyewa ya gak punya lahan”. Hasil wawancara
tanggal 23 Januari 2012.
4. Petani pemilik sekaligus buruh tani
Petani ini adalah petani yang memiliki lahan pertanian dengan kepemilikan tetap dan disamping mengelolah lahan pertaniannya petani ini
Universitas Sumatera Utara
juga bekerja sebagai buruh tani untuk menambah pendapatannya sebelum panen. Seperti yang dikatakan oleh Scott 1994 bahwa keharusan memenuhi
kebutuhan subsistensi keluarga yang mengatasi segala-galanya seperti kekurangan tanah, dan memiliki keluarga yang besar, seringkali memaksa
petani menambah penghasilannya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain seperti menjadi buruh tani. Scott, 1994 : 21. Petani ini merupakan
petani yang memiliki lahan pertanian seluas 3-10 rante sehingga ia harus bekerja sebagai buruh tani untuk dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu Gira sebagai berikut : “ibu punya lahan pun cuma sedikit, paling untuk makan. Kalau
untuk kebutuhan lain, ibu ya kerja. Ngupah di tempat orang. Ya nanam, ngaret, sedapatnya lah. Bapak kan juga punya mesin
grendel. Kalau musim sawah gini, ya bapak sama ibu ngupah. Kalau cuma mengharapkan 7 rante itu ya gak cukup”. Hasil
wawancara tanggal 11 Februari 2012.
5. Petani penyewa sekaligus buruh tani
Petani ini adalah petani yang memiliki lahan pertanian dengan kepemilikan sementara dan disamping mengelolah lahan pertaniannya petani
ini juga bekerja sebagai buruh tani untuk menambah pendapatannya sebelum panen. Petani ini merupakan petani yang menyewa lahan pertanian seluas 3-
10 rante karena keterbatasan kemampuan modal usaha yang dimiliki, sehingga dia bekerja sebagai buruh tani untuk memenuhi kebutuhannya. Hal
ini berdasarkan wawancara dengan Ibu Supriyang merupakan petani penyewa sekaligus menjadi buruh tani sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
“kadang-kadang ibu juga buruh kalau lagi gak ngerjain sawah. Ikut- ikut nanam di tempat orang kan dapat uang untuk belanja”. Hasil
wawancara tanggal11Februari 2012.
6. Buruh tani
Buruh tani adalah petani yang tidak memiliki lahan sama sekali baik itu kepemilikan tetap maupun sementara namun ia bekerja di bidang
pertanian untuk mendapatkan penghasilan agar ia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Di desa ini istilah buruh tani lebih dikenal dengan
“ngupah” artinya mencari upah dengan bekerja di lahan pertanian orang.
Bagan struktur petani di Tanjung Rejo berdasarkan kepemilikan lahan dapat diliahat pada bagan berikut ini :
Pemiliki Lahan
Pemilik Lahan Sempit + Tidak Penyewa
Pemilik Lahan Sempit
Pemilik Lahan Sempit + Penyewa
Pemilik Lahan Sempit + Buruh Tani
Penyewa Penyewa + Tidak
Memiliki Lahan Pemilik Lahan Luas
Universitas Sumatera Utara
Bagan 4.1 Pembagian Struktur Masyarakat Pertanian Desa Tanjung Rejo
4.4 Relasi Sosial Petani dan Buruh Tani