Pola Relasi Sosial Petani Dengan Buruh Tani Dalam Produksi Pertanian(Studi Deskriptif Masyarakat di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang)

(1)

POLA RELASI SOSIAL PETANI DENGAN BURUH TANI

DALAM PRODUKSI PERTANIAN

(Studi Deskriptif Masyarakat Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara)

SKRIPSI Diajukan Oleh SUGI ASTUTI

080901024

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Departemen Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pola Relasi Sosial Petani Dengan Buruh Tani Dalam Produksi Pertanian” (Studi Deskriptif Masyarakat di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang), disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara ringkas skripsi ini menceritakan tentang bagaimana pola relasi sosial petani dan buruh tani dalam produksi pertanian.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tiada henti-hentinya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda Sunardi dan Ibunda Tukinem yang telah merawat dan membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Akhirnya inilah persembahan yang dapat ananda berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti ananda.

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin Rangkuti, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, Selaku ketua Departemen Sosiologi dan Drs. T. Ilham Saladin, M.Sp., selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini, memberikan segenap ilmu pengetahuan semasa perkuliahan, dan nasehat serta pengarahan yang telah diberikan sebagai penguji seminar proposal dan penguji pada ujian sidang meja hijau penulis .

3. Rasa hormat dan terimakasih yang tidak akan dapat penulis ucapkan dengan kata-kata kepada Bapak Drs. Sismudjito, M.Si, selaku dosen pembimbing sekaligus dosen wali penulis yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.

4. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, dan Kak Betty yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi. 5. Paling teristimewa penulis ucapkan salam sayang terhangat dan terima kasih

bahkan tak terucap rasa bangga penulis kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda dan Ibundaku tercinta yang telah membesarkan saya dengan mencurahkan kasih sayangnya tiada terhingga dan tiada batasnya kepada saya, selalu memberikan doa’ dan nasehat, dan mendidik saya serta dukungan moril maupun materil kepada saya.

6. Secara khusus dan istimewa buat abang sulung saya Pipit Supriadi, abang satu-satunya dalam hidup saya yang selalu memberikan do’a, semangat, nasehat kepada saya dan masukan yang tidak ternilai harganya dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

7. Saudara-saudara dan sahabat-sahabat baik penulis yang bisa mengerti dan menerima penulis baik dalam keadaan suka maupun duka yang sangat penulis sayangi, terutama buat tiga serangkai “gebro”, Lucie D. Batu Bara dan Ririn Prastika yang selalu bersama-sama selama perkuliahan dan sampai saat ini dan akan datang. Terima kasih banyak untuk dua sahabat saya Rin dan Cie, semoga “ugirincie” menjadi sahabat abadi sepanjang masa. Terima kasih juga kepada Burhan Effendi S.Sos, Kak Niska, Bang Nanda Purba, dan Rida serta buat saudari-saudari saya dirumah 14 B, Kak Rin, Kak Rah, dan Mimi. Terimakasih atas doa, dukungan, dan perhatiannya. Terima kasih atas segala support, semangat, bantuan baik moril maupun materil yang telah diberikan. Penulis bangga mempunyai sahabat seperti kalian.

8. Secara khusus terima kasih saya ucapkan kepada Kakak senior saya yang baik hati dan sudah saya anggap sebagai Kakak kandung saya sendiri, Kak Dini Syahputri yang paling baik dan sabar menjadi tauladan bagi saya. Terima kasih atas dukungan dan bantuan kepada saya untuk pengumpulan data penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih banyak penulis ucapkan kepada Bapak Henri Sitorus M. Sc dan Kak Anastashia Bessie M. Si, sebagai dosen dan sosok guru yang mengajarkan saya banyak hal dalam penelitian serta semangat, masukan-masukan dan paling terpenting segenap pengetahuan mengenai penelitian yang telah diberikan sehingga mendukung peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Kawan-kawan Sosiologi angkatan 2008 yang solid. Terima kasih atas kebersamaan dan segala dukungannya selama menuntut ilmu di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara dan menjaddi teman seperjuangan dalam menuntut ilmu.


(6)

11.Para Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Terutama kepada Bapak Legino sebagai tokoh masyarakat di Desa Tanjung Rejo yang telah banyak membantu dan memberikan informasi dalam penelitian ini. Terimakasih banyak atas waktu dan kesediaan para informan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, April 2012 (Penulis)

NIM : 080901024 SUGI ASTUTI


(7)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “ Relasi Sosial Petani Dengan Buruh Tani Dalam Produksi Pertanian” (Studi Deskriptif Masyarakat Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang), berawal dari ketertarikan penulis terhadap permasalahan berbagai bentuk relasi sosial petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian di desa tersebut. Relasi yang yang terjalin antara petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian tidak hanya relasi kerja melainkan relasi tersebut telah meluas pada relasi-relasi sosial yang berbeda-beda diantara petani dengan buruh tani. Relasi sosial ini terjalin dalam berbagai bentuk yaitu relasi sosial petani dengan buruh tani bebas, relasi sosial petani dengan buruh tani langganan, dan relasi sosial petani dengan buruh tani tetap. Dan relasi sosial disini seakan sudah terpola dan sudah menjadi suatu kebiasaan yang terjadi secara turun temurun sejak lama.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi deskriptif dengan penelitian kualitatif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah petani dan buruh tani yang merupakan warga desa Tanjung Rejo. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi, wawancara, dan diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi petani dengan buruh tani terbagi tiga bentuk yaitu relasi sosial petani dan buruh tani bebas terjalin relasi pertemanan dan relasi kerja, relasi petani dengan buruh tani langganan terjalin relasi kekerabatan, dan relasi petani dengan buruh tani tetap terjalin relasi patronase, dimana relasi ini terjalin lebih intens dan mengarah pada hubungan yang saling terkait satu sama lainnya dan relatif sulit dipisahkan karena relasi ini didasari oleh relasi yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Dalam relasi petani dengan buruh tani tetap terikat dengan adat istiadat (keseganan), dengan hutang pinjaman, bantuan-bantuan, dan lainnya. Buruh tani tetap berkewajiban memberikan jasanya baik dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan pada saat kapanpun juga. Membalas budi merupakan salah satu moral dalam relasi patronase yang terjalin antaramereka. Pertukaran-pertukaran yang terjalin dalam relasi petani dan buruh tani di desa ini tidak hanya pertukaran ekonomi dalam pekerjaan tetapi juga terjalin pertukaran sosial. Alasan petani menggunakan jasa buruh tani langganan karena petani ingin membangun kedekatan emosional saling menguntungkan satu dengan yang lainnya dan menjaga keharmonisan dalam hubungan sosial sehingga mudah dalam pelaksanaan pekerjaan dan penetapan biaya atau upah buruh tani. Alasan petani menggunakan jasa buruh tani tetap yaitu karena lahannya terlalu luas dan membutuhkan perawatan yang rutin dalam produksi pertanian dan menciptakan pengawasan bagi buruh tani serta ingin menciptakan lapangan pekerjaan bagi buruh tani sebagai pekerja tetap.

Berbagai bentuk relasi yang terjalin antara petani dan buruh tani mempengaruhi munculnya berbagai bentuk sistem pengupahan dalam produksi pertaniannya. Adapun bentuk-bentuk sistem pengupahan di desa ini yaitu sistem pengupahan sukarela, sistem pengupahan borongan, sistem pengupahan mingguan, sistem pengupahan harian, sistem pengupahan persenan, dan sistem pengupahan bulanan. Sistem pengupahan di desa ini ada yang mengalami pergeseran yaitu sistem


(8)

pengupahan bawon menjadi sistem pengupahan persenan dan sistem sambatan menjadi sistem giliran yang lebih bersifat ekonomis.


(9)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Abstrak ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... x

Daftar Bagan ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penulisan ... 9

1.4Manfaat Penulisan ... 9

1.5 Defenisi Konsep ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Pola Relasi Sosial Masyarakat Agraris ... 12

2.2 Hubungan Patron –Klien ( Patron-Client Relationship) dalam Masyarakat Pertanian ... 20

2.3 Teori Pertukaran Sosial ... 28

2.4 Sistem Pengupahan dalam Hubungan Kerja pada Masyarakat Pertanian ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Jenis Penelitian ... 35


(10)

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 36

3.4 Tehnik Pengumpulan Data ... 37

3.5 Interpretasi Data ... 38

3.6 Jadwal Pelaksanaan ... 39

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 40

BAB IV TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA ... 42

4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian ... 42

4.1.1 Sejarah Desa ... 42

4.1.2 Keadaan Geografis Desa ... 45

4.1.3 Sarana dan Prasarana Desa ... 46

4.1.4 Penduduk. ... 49

4.1.5 Perekonomian ... 50

4.1.6 Kondisi Sosial Budaya ... 52

4.1.7 Pendidikan dan Angkatan Kerja ... 53

4.2 Profil Informan ... 55

4.3 Struktur Masyarakat Desa Tanjung Rejo ... 94

4.4 Relasi Sosial Petani Dan Buruh Tani ... 108

4.4.1 Relasi Petani dan Buruh Tani Bebas ... 113

4.4.2 Relasi Petani dan Buruh Tani Langganan ... 115

4.4.3 Relasi Petani dan Buruh Tani Tetap ... 117

4.5 Pola relasi Patron Klien Petani Dan Buruh Tani ... 120

4.6 Pertukaran Sosial Petani dengan Buruh Tani ... 126

4.7 Sistem Pengupahan dalam Produksi Pertanian ... 129 4.7.1 Pergeseran Sistem Pengupahan dalamProduksi


(11)

Pertanian di Desa Tanjung Rejo ... 129

4.7.2 Penentuan Tarif Upah Dalam Produksi Pertanian ... 134

4.7.3. Sistem- Sistem Pengupahan dalam Produksi Pertanian di Desa Tanjung Rejo ... 136

BAB V PENUTUP ... 142

5.1 Kesimpulan ... 142

5.2 Saran ... 144 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 39

Tabel 4.1 Penyebaran Luas Wilayah Desa Tanjung Rejo ... 46

Tabel 4.2 Sarana Kesehatan Desa Tanjung Rejo ... 47

Tabel 4.3 Sarana Pendidikan Formal Desa Tanjung Rejo ... 47

Tabel 4.4 Sarana Pendidikan Keterampilan Desa Tanjung Rejo ... 47

Tabel 4.5 Sarana Peribadatan Desa Tanjung Rejo ... 48

Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Desa Tanjung Rejo Menurut Golongan Usia DanJenis Kelamin Desa Tanjung Rejo ... 50

Tabel 4.7 Kepadatan Penduduk Desa Tanjung Rejo ... 50

Tabel 4.8 Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Tanjung Rejo ... 52

Tabel 4.11 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Tanjung Rejo ... 54

Tabel 4.12 Jumlah Angkatan Kerja Desa Tanjung Rejo ... 54

Tabel 4.13 Tarif Upah Pekerjaan Pertanian Persawahan Desa Tanjung Rejo ... 136


(13)

DAFTAR BAGAN


(14)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “ Relasi Sosial Petani Dengan Buruh Tani Dalam Produksi Pertanian” (Studi Deskriptif Masyarakat Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang), berawal dari ketertarikan penulis terhadap permasalahan berbagai bentuk relasi sosial petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian di desa tersebut. Relasi yang yang terjalin antara petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian tidak hanya relasi kerja melainkan relasi tersebut telah meluas pada relasi-relasi sosial yang berbeda-beda diantara petani dengan buruh tani. Relasi sosial ini terjalin dalam berbagai bentuk yaitu relasi sosial petani dengan buruh tani bebas, relasi sosial petani dengan buruh tani langganan, dan relasi sosial petani dengan buruh tani tetap. Dan relasi sosial disini seakan sudah terpola dan sudah menjadi suatu kebiasaan yang terjadi secara turun temurun sejak lama.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi deskriptif dengan penelitian kualitatif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah petani dan buruh tani yang merupakan warga desa Tanjung Rejo. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi, wawancara, dan diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi petani dengan buruh tani terbagi tiga bentuk yaitu relasi sosial petani dan buruh tani bebas terjalin relasi pertemanan dan relasi kerja, relasi petani dengan buruh tani langganan terjalin relasi kekerabatan, dan relasi petani dengan buruh tani tetap terjalin relasi patronase, dimana relasi ini terjalin lebih intens dan mengarah pada hubungan yang saling terkait satu sama lainnya dan relatif sulit dipisahkan karena relasi ini didasari oleh relasi yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Dalam relasi petani dengan buruh tani tetap terikat dengan adat istiadat (keseganan), dengan hutang pinjaman, bantuan-bantuan, dan lainnya. Buruh tani tetap berkewajiban memberikan jasanya baik dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan pada saat kapanpun juga. Membalas budi merupakan salah satu moral dalam relasi patronase yang terjalin antaramereka. Pertukaran-pertukaran yang terjalin dalam relasi petani dan buruh tani di desa ini tidak hanya pertukaran ekonomi dalam pekerjaan tetapi juga terjalin pertukaran sosial. Alasan petani menggunakan jasa buruh tani langganan karena petani ingin membangun kedekatan emosional saling menguntungkan satu dengan yang lainnya dan menjaga keharmonisan dalam hubungan sosial sehingga mudah dalam pelaksanaan pekerjaan dan penetapan biaya atau upah buruh tani. Alasan petani menggunakan jasa buruh tani tetap yaitu karena lahannya terlalu luas dan membutuhkan perawatan yang rutin dalam produksi pertanian dan menciptakan pengawasan bagi buruh tani serta ingin menciptakan lapangan pekerjaan bagi buruh tani sebagai pekerja tetap.

Berbagai bentuk relasi yang terjalin antara petani dan buruh tani mempengaruhi munculnya berbagai bentuk sistem pengupahan dalam produksi pertaniannya. Adapun bentuk-bentuk sistem pengupahan di desa ini yaitu sistem pengupahan sukarela, sistem pengupahan borongan, sistem pengupahan mingguan, sistem pengupahan harian, sistem pengupahan persenan, dan sistem pengupahan bulanan. Sistem pengupahan di desa ini ada yang mengalami pergeseran yaitu sistem


(15)

pengupahan bawon menjadi sistem pengupahan persenan dan sistem sambatan menjadi sistem giliran yang lebih bersifat ekonomis.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari mayoritas penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat menumbuhkan berbagai jenis tanaman. Pertanian di Indonesia terbagi dua yaitu pertanian tanaman keras dan pertanian tanaman pangan. Pertanian tanaman keras seperti tanaman kakao, sawit, dan lainnya sedangkan pertanian tanaman pangan seperti jagung, padi, sayur mayur, buah-buahan dan lainnya. Menurut data BPS dalam Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Februari 2011, jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2011 mencapai 111,3 juta jiwa, dan jumlah petani di Indonesia mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Lebih dari separuhnya merupakan petani gurem dan buruh tani dengan kepemilikan lahan dibawah 0,5 hektar atau mencapai 38 juta keluarga tani. Luas lahan pertanian padi di Indonesia pada tahun 2010 tinggal 12,870 juta hektar, menyusut 0,1% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 12,883 juta hektar. Luas lahan pertanian secara keseluruhan termasuk non-padi pada 2010 diperkirakan berjumlah 19,814 juta hektar, menyusut 13 % dibanding tahun 2009 yang mencapai 19,853 juta ha. ( BPS Indonesia, 2011).

Keberadaan sektor pertanian tanaman pangan dalam perekonomian di Indonesia saat ini tidak diprioritaskan karena strategi pembangunan yang dilakukan lebih memprioritaskan sektor perkebunan kelapa sawit disamping disebabkan oleh faktor-faktor lainnya. Pertanian kelapa sawit dianggap lebih penting sehingga


(17)

pembangunan di sektor pertanian pangan khususnya padi menjadi lambat dan terjadi penyusutan atau penyempitan luas lahan pertanian padi. Kecendrungan yang terjadi adalah menyempitnya skala usaha tani. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan petani yang hanya memiliki tanah sempit terpaksa harus menyewa tanah untuk lahan pertanian, dan mereka sendiri memilih menjadi buruh tani atau petani penggarap, yang tentu saja tidak memberi penghasilan yang mencukupi.(Raharjo,1986 : 23). Menyempitnya lahan pertanian merupakan masalah serius yang dihadapi oleh para petani. Hal ini terjadi karena semakin luas terjadi konversi lahan sawah untuk penggunaan lain seperti perkebunan sawit. Di tengah berlangsungnya pembangunan ekonomi yang tidak lagi menempatkan sektor pertanian pangan sebagai fondasi ekonomi nasional, berbagai persoalan mendasar masih dihadapi penduduk pedesaan yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Produktivitas tenaga kerja yang rendah, sempitnya lahan garapan, terjadinya alih fungsi lahan, meningkatnya penganguran, dan lainnya menyebabkan kesejahteraan penduduk pedesaan tidak kurung membaik.

Minimnya kemampuan penguasaan lahan ini juga menjadikan para petani sebagai petani gurem dan hampir semua petani di Indonesia ini adalah petani gurem. Petani gurem adalah petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Keadaan pelaku usaha pertanian tersebut setiap tahun semakin bertambah jumlahnya dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah. Masih rendahnya taraf kesejahteraan petani terlihat dari hasil sementara Sensus Pertanian (SP) menyatakan bahwarumah tangga petanigurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, pada tahun 1993 hanya 51,9 % dari 20,8 juta rumah tangga petani saat itu. Tahun 2003, atau 10 tahunkemudian, porsi petani gurem 53,9 % dari total


(18)

rumah tangga petani. Tahun 2008, persentase petanigurem sekitar 55,1 %

Salah satu provinsi di Indonesia yang mayoritas petaninya petani gurem adalah Sumatera Utara. Petani di Sumatera Utara tahun 2009 sekitar 58,7% adalah petani gurem yaitu petani yang memiliki luas lahan di bawah 0,5 hektar. Dari total jumlah petani di Sumatera Utara 66,0% diantaranya mengerjakan lahannya sendiri. Sedangkan buruh tani berjumlah 21,8%. Dan petani yang statusnya sebagai pemilik hanya mencapai 3,9% dari jumlah petani di Sumatera Utara yang mencapai 1,2 juta jiwa. Petani lahan sempit ini mendominasi pertanian di Sumut. Sementara petani berlahan 0,5 hektar hingga 0,75 hektar mencapai 198.385 orang dan berlahan 0,75 hektar hingga 1 hektar sebanyak 102.067 orang. (BPS Sumut, 2010). Menurut Jhon Tafbu dalam Indra Lubis menyatakan bahwa petani berlahan kurang dari 0,5 hektar di Sumut paling banyak ada di Deli Serdang, Simalungun, Serdang Bedagai, dan Langkat. Deli Serdang merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan buruh tani. Kepemilikan lahan petani rata-rata sekitar 5-7 rante (2000 m2 – 2800 m2

Penyempitan lahan juga mengakibatkan petani gurem harus menyewa lahan dari pemilik lahan pertanian supaya dapat mengolah lahan pertanian lebih luas lagi atau menjadi buruh tani. Petani gurem tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau meningkatkan produksi pertaniannya apabila tidak memperluas lahan pertanian mereka dengan menyewa lahan dari pemiliki lahan atau dengan memilih pekerjaan di luar pertanian. Penyempitan lahan persawahan ini juga menyebabkan banyaknya masyarakat pedesaan yang menjadi pekerja sebagai buruh tani. Dengan menjadi buruh

)/ orang. (Jhon Tafbu Ritonga, dkk dalam Indra Lubis, 2011).


(19)

tani, upah yang didapatkan dapat menjadi tambahan untuk memenuhi kelangsungan hidup selain dengan mengolah lahan pribadinya. Para buruh tani ini juga ada yang memang bermatapencaharian sebagai buruh tani yang mengharapkan upah dari pekerjaan pertanian sebagai penghasilannya tanpa memiliki lahan sedikit pun. Para buruh tani mengerjakan pekerjaan mulai dari menanam padi, merawat tanaman padi, dan memanen hasil. Adanya kontak langsung petani dan buruh tani dalam suatu masyarakat pertanian menimbulkan hubungan antara petani dan buruh tanibaik itu hubungan kerja yang ditandai dengan adanya hubungan pertukaran maupun hubungan sosial.

Hubungan kerja antara petani dan buruh tani terdapat hubungan pertukaran di dalamnya. Buruh tani bekerja dan petani memberikan upah. Buruh tani memberikan jasanya dan petani memberikan imbalannya berupa upah. Namun, manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan lainnya. Manusia tidak dapat hidup sendirian dan membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena itu manusia bermasyarakat. Dalam suatu masyarakat pasti tercipta suatu relasi sosial. Begitu juga relasi petani dan buruh tani yang tidak sebatas pada hubungan kerja namun meluas pada hubungan sosial atau relasi sosial seperti saling tolong menolong terhadap sesama dalam menyelesaikan pekerjaan. Tidak jarang relasi atau hubungan tersebut berkembang menjadi hubungan kerjasama, kekerabatan, persaudaraan, dan bahkan dalam waktu yang relatif lama relasi tersebut juga membentuk relasi patronase. Relasi-relasi tersebut sering terjadi pada struktur masyarakat pertanian. Salah satu desa di Kabupaten Deli Serdang yang memiliki struktur masyarakat pertanian yaitu desa Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan.


(20)

Penduduk di desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang bermatapencaharian sebagai petani tanaman padi dan buruh tani, dan hanya sebagian kecil masyarakat yang bekerja di luar sektor pertanian dan instansi pemerintahan. Tahun 2009, angkatan kerja sekitar 5772 jiwa terdiri dari 50 % bekerja di pertanian dan 30 % bekerja sebagai nelayan, dan 20 % bekerja di nonpertanian. Jumlah petani sekitar 33 % dan buruh tani sekitar 17 %. Di desa ini mayoritas petani di desa ini adalah petani gurem yang bekerja juga sebagai buruh tani. Pemilik lahan di desa ini bertempat tinggal di luar daerah ini. Luas sawah di desa ini sekitar 1.649 ha yang terdiri dari 600 Ha sawah setengah teknis dan 1049 ha tadah hujan. (Data Monografi Desa Tanjung Rejo, 2009).

Struktur masyarakat pertanian di desa ini terdapat tiga lapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas (petani pemilik atau pemilik lahan yang tidak mengolah lahannya), lapisan menengah (petani pemilik sekaligus penggarap) dan buruh tani (buruh tani yang memilikis sedikit lahan dan sama sekali tidak memiliki lahan). Para petani di desa ini sebagian besar petani yang menyewa lahan dari pemilik lahan sawah yang tidak dikelolahnya untuk memperluas lahan pertaniannya. Buruh tani di desa ini terdapat tiga kelompok buruh tani berdasarkan hubungan yang terjalin dengan petani pemilik yaitu buruh tani tetap (terikat dengan petani pemilik dan tidak bebas bekerja di lahan pertaniaan siapa saja), buruh tani langganan (buruh petani yang dipakai secara tetap apabila petani pemilik membutuhkannya untuk mengolah lahannya namun tidak terikat dan dapat bekerja di tempat lain), dan buruh tani bebas (tidak terikat dengan petani pemilik dan bebas bekerja di lahan pertanian siapa saja).

Dalam kehidupan bermasyarakat, antara petani dan buruh tani di desa ini tercipta suatu relasi. Relasi antara petani dan buruh tani tidak sebatas terjalin relasi


(21)

kerja dengan memberikan upah saja, tetapi meluas pada relasi sosial. Relasi antara petani dan buruh tani di desa ini berbeda-beda sesuai dengan bentuk buruh taninya. Relasi petani dan buruh tani bebas sebagian besar hanya terbentuk relasi atau hubungan ketetanggaan atau sebatas hubungan kerja atau hubungan pertukaran. Relasi petani dan buruh tani langganan terbentuk relasi atau hubungan kekerabatan, persaudaraan, dan lainnya. Sedangkan relasi antara petani dan buruh tani tetap terbentuk pada relasi yang amat rumit yaitu relasi patronase. Relasi patronase yang terjadi lebih bersifat assosiatif atau kerjasama antara petani dan buruh tani. Relasi antara buruh tani dan petani tidak memperlihatkan adanya kesenjangan sosial, perbedaan status dan sekat-sekat sosial. Masyarakat di desa ini saling berbaur satu dengan lain dan saling bekerjasama.

Struktur masyarakat pertanian di desa ini menyebabkan terjadinya relasi kerja yang berbeda. Perbedaan relasi kerja yang berbeda-beda antara petani dan buruh tani mempengaruhi terbentuknya sistem pengupahan yang berbeda-beda pula. Pengupahan merupakan pemberian imbalan kepada pekerja berupa material atau non material atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja. Inilah yang disebut dengan pertukaran. Ada beberapa sistem pengupahan dalam hubungan kerja pada masyarakat pertanian yaitu sistem bawon, upah harian, upah borongan, upah bulanan atau mingguan, dan lainnya. Semua sistem pengupahan ini merupakan bentuk pertukaran antara tenaga dan materi dalam hubungan kerja. Besarnya jumlah upah yang diperoleh oleh buruh tani ditetapkan berdasarkan kesepakatan masyarakat yang ada di desa tersebut. Besarnya jumlah upah yang ditetapkan atau yang diberikan oleh petani kepada hubungan tani juga dipengaruhi oleh relasi sosial yang terjalin diantara mereka. Bahkan dalam sistem pengupahan terdapat perbedaan upah berdasarkan jenis kelamin.


(22)

Seperti upah buruh tani harian, dimana upah perempuan lebih rendah daripada upah laki-laki. Perbedaan upah ini dipengaruhi oleh perbedaan pembagian pekerjaan pertanian.

Penetapan jumlah upah buruh tani juga belum mendapatkan perhatian yang serius oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari upah buruh tani yang lebih rendah dari upah buruh bangunan dan industri. Secara nasional, rata-rata upah nominal harian buruh tani selalu meningkat dari bulan ke bulan, namun secara riil rata-rata upah harian buruh tani cenderung mengalami penurunan. Secara nasional, ratarata upah nominal harian buruh tani pada periode Januari 2011 naik sebesar 0,18 persen dibanding upah buruh tani bulan sebelumnya, yaitu dari Rp38.577 menjadi Rp38.648. Sedangkan secara riil menurun sebesar 1,28 persen, yaitu dari Rp28.934 menjadi Rp28.565.(BPS Indonesia, 2011). Dilihat dari besarnya jumlah upah harian yang diterima buruh tani, terlihat betapa sulitnya buruh tani dalam memenuhi kebutuhan hidup melihat kondisi kenaikan harga pangan saat ini. Namun dalam masyarakat pedesaan dikenal dengan adanya sistem tolong menolong, gotong royong, dan kerjasama yang dapat membantu para buruh tani dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Begitu juga dalam hubungan kerja antara petani dan buruh tani, masih terdapat unsur tolong menolong dan kekeluargaan diantara masyarakat petani. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana relasi sosial antara petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian yang telah membentuk suatu pola relasi sosial dan apa saja bentuk-bentuk sistem pengupahan yang ada dalam hubungan tersebut yang telah disepakati di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.


(23)

Penyempitan lahan pertanian yang terjadi pada pertanian pangan menyebabkan para petani padi menjadi petani gurem yaitu petani yang berlahan sempit. Untuk menambah penghasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup, para petani gurem menyewa lahan dari pemilik lahan dan memilih pekerjaan sampingan seperti menjadi buruh tani. Adanya petani dan buruh tani dalam masyarakat pertanian menimbulkan suatu relasi diantara mereka sebagai makhluk sosial tidak hanya relasi atau hubungan pertukaran atau hubungan kerja tetapi juga terbentuk pola relasi kekerabatan, kekeluargaan, persaudaraan, dan relasi patronase. Di desa Tanjung Rejo terdapat tiga jenis buruh tani yaitu buruh tani tetap, langganan, dan bebas. Dengan keberagaman relasi kerja masyarakat tersebut maka mempengaruhi munculnya sistem pengupahan yang berbeda-beda sebagai hubungan pertukaran petani dan buruh tani.

Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini perumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pola relasi sosial antara petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian?

2. Bagaimana bentuk-bentuk sistem pengupahan dalam hubungan kerja antara petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui relasi sosial antara petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian.


(24)

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk sistem pengupahan dalam hubungan kerja antara petani dengan buruh tani.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu sosiologi pada khususnya sosiologi pedesaan dan kajian mengenai hubungan sosial.

2. Untuk menambah referensi hasil penelitian yang juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian bagi mahasisiwa sosiologi selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memperluas cakrawala pengetahuan.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Menjadi sumbangan pemikiran untuk kelembagaan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan para petani dan buruh tani.

2. Menjadi sumbangan pemikiran terhadap pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam menetapkan kebijakan upah minimum dan mempercepat penerapan kebijakan tersebut supaya kesejahteraan petani dan buruh tani lebih meningkat.

3. Untuk memberikan masukan-masukan kepada pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang membutuhkannya, terutama bagi petani dan buruh tani supaya memiliki kelompok tani yang bisa menjadi tenaga penghubung untuk menghilangkan kesenjangan antara pemilik lahan dan buruh tani dan


(25)

memberikan kontribusi bagi para LSM untuk meningkatkan produktivitas petani dan bargaining power para buruh tani.

1.5 Defenisi Konsep

Konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep merupakan variabel-variabel dimana dapat ditentukan ada hubungan empiris. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kerangka konseptual adalah rangkaian pengertian logis yang dipakai untuk menentukan jalan pemikiran dalam penelitian untuk memperoleh permasalahan yang tepat. Dengan kata lain, konsep adalah istilah yang mewaklili atau menyatakan suatu pengertian tertentu.

Adapun konsep-konsep dalam penelitian ini adalah :

1. Relasi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang terjadi antara satu individu dengan individu yang lain dan membentuk suatu pola hubungan. Relasi sosial dalam penelitian ini adalah relasi sosial antara petani pemilik dan buruh tani.

2. Pertanian adalah kegiatan pemanfaat

ini adalah pertanian padi atau sawah, dan sawah tersebut merupakan sawah setengah teknis (irigrasi).

3. Petani adalah seseorang yang memiliki atau mengusahakan sebidang tanah atau lahan untuk bercocok tanam. Dalam penelitian ini petani yang dimaksud adalah petani padi yang mengolah sawah setengah teknis (irigrasi) dan petani tersebut merupakan petani yang mengolah lahan sendiri maupun menyewa lahan dan mempekerjakan buruh tani dalam mengolah lahannya.


(26)

4. Buruh tani adalah petani yang memperoleh penghasilan terutama dari bekerja yang mengambil upah untuk para pemilik tanah atau para petani penyewa tanah. Dalam penelitian ini buruh tani yang dimaksud baik itu sebagai pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan.

5. Pengupahan adalah suatu bentuk kesepakatan untuk memberikan balas jasa dengan memberikan materi kepada pekerja sebagai balas jasa. Dalam penelitian ini pengupahan dilakukan dalam bentuk uang tunai.

6. Patron klien adalah suatu bentuk kerja sama antar dua orang yang berbeda statusnya dan dicirikan oleh adanya rasa saling percaya, saling membutuhkan, dan kedua belah pihak terlibat dalam keakraban.

7. Kepemilikan lahan adalah hak mutlak yang dimiliki oleh petani untuk memiliki dan menguasai lahannya baik itu menjualnya, menghibahkannya, menukarkannya, dan mewariskannya.

8. Penguasaan lahan adalah hak sementara yang dimiliki oleh petani untuk mengelolah lahan pertanian berdasarkan batas waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian antara petani pemilik dan petani peng


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Relasi Sosial Masayarakat Agraris 2.1.1 Pola Relasi Sosial

Hubungan antarasesama dalam istilah sosiologi disebut relasi atau relation. Relasi sosial juga disebut hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi. Suatu relasi sosial atau hubungan sosial akan ada jika tiap-tiap orang dapat meramalkan secara tepat macam tindakan yang akan datang dari pihak lain terhadap dirinya. Dikatakan sistematik karena terjadinya secara teratur dan berulang kali dengan pola yang sama. Menurut Spradley dan McCurdy dalam Ramadhan, relasi sosial atau hubungan sosial yang terjalin antara individu yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama akan membentuk suatu pola, pola hubungan ini juga disebut sebagai pola relasi sosial. (Spradley dan McCurdy, 1975 dalam Ramadhan, 2009 : 11).

Manusia ditakdirkan sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia berusaha mencukupi semua kebutuhannya untuk kelangsungan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia tidak mampu berusaha sendiri, mereka membutuhkan orang lain. Itulah sebabnya manusia perlu berelasi atau berhubungan dengan orang lain sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial dalam rangka menjalani


(28)

kehidupannya selalu melakukan relasi yang melibatkan dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Hubungan sosial merupakan interaksi sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok, ataupun antara individu dengan kelompok.

Hubungan sosial atau relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain, saling mempengaruhi dan didasarkan pada kesadaran untuk saling menolong. Relasi sosial merupakan proses mempengaruhi diantara dua orang atau lebih.Relasi sosial dalam masyarakat juga terdiri dari berbagai macam bentuk yaitu sebagai berikut :

Misalnya pada masyarakat agraris, terjalin relasi antara tuan tanah atau pemilik tanah dengan petani penggarap atau penyewa, petani penyewa dengan buruh tani, petani dengan pedagang, petani dengan pemberi modal, dan lainnya.

1. Relasi atau hubungan sosial assosiatif adalah proses yang berbentuk kerja sama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi serta

2. Relasi atau hubungan sosial dissosiatif adalah proses yang berbentuk oposisi. Misalnya persaingan, pertentangan, perselisihan dan lainnya.

proses interaksi yang cenderung menjalin kesatuan dan meningkatkan solidaritas anggota kelompok, misalnya kerja sama, kerukunan, asimilasi, akulturasi, persaudaraan, kekerabatan, dan lainnya.

diakses tanggal 3 November 2011).

2.1.2 Struktur Masyarakat Agraris

Menurut Sanderson dalam Wisadirana (2005), masyarakat agraris adalah masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik sebagai


(29)

pemilik lahan maupun bukan pemilik lahan. Sumberdaya agrarian atau lahan digunakan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, gambaran struktur masyarakat agraris yang merujuk pada peta hubungan sosial di kalangan anggota masyarakat agraris akan bertumpu pada posisi para petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik dalam penguasaan tetap maupun penguasaan sementara. Kemudian differensiasi struktur masyarakat agraris merujuk pada keberadaan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang posisinya dalam penguasaan sumberdaya agraria tidak sama.(Wisadirana, 2005 : 52).

Setiap masyarakat senantiasa memiliki penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu akan menciptakan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih banyak memiliki kekayaan material maka orang yang lebih banyak memiliki kekayaan materil akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat yang merupakan perbedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.(Soekanto, 2009 : 197). Misalnya masyarakat pertanian yang dianggap memiliki kedudukan tertinggi karena mereka dianggap sebagai pemilik lahan yang luas.

Berbasis hubungan sosial dalam penguasaan sumber daya agraria, hasil sensus terhadap seluruh rumah tangga petani di empat komunitas petani lokasi penelitian di Jawa Barat menunjukan bahwa bahwa struktur masyarakat agraris terdifferensiasi dalam banyak lapisan. Sebagian dari lapisan-lapisan tersebut


(30)

dibangun dengan status tunggal (status dimaksud merupakan basis dasar pelapisan masyarakat), sedangkan sebagian lapisan-lapisan lainnya dibangun dengan status jamak atau kombinasi. Secara lebih rinci, berbagai lapisan masyarakat agraris yang muncul dalam dua komunitas petani di lokasi penelitian adalah :

1. Petani pemilik. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agararia hanya melalui pola pemilikan tetap ( baik petani pemilik yang lahannya diusahakan sendiri dan atau petani pemilik yang lahannya diusahakan oleh orang lain).

2. Petani pemilik + penggarap. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria tidak hanya melalui pola pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara ( dengan cara mengusahakan pemilik mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa atau gadai).

3. Petani pemilik + buruh tani. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan tetap. Selain itu untuk menambah penghasilan keluarganya, mereka juga menjalankan peranan sebagai seorang buruh tani.

4. Petani penggarap. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain, umumnya melaui sistem bagi hasil).

5. Petani penggarap + buruh tani. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan sementara (dengan cara


(31)

mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa atau gadai). Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarga, mereka juga menjalankan peranan sebagai buruh tani. Sebagaimana lapisan petani penggarap, lapisan ini termasuk bukan pemilik lahan tetapi tidak mutlak.

6. Buruh tani. Para petani pada lapisan ini benar-benar tidak menguasai sumberdaya agrarian, sehingga dapat dikategorikan sebagai bukan pemilik lahan mutlak. Namun, mereka masih memperoleh manfaat sumberdaya agrarian dengan cara buruh tani.( Sihaloho, 2010 :163-164).

Struktur masyarakat pertanian di desa Tanjung Rejo menunjukan bahwa terdapat lapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas (petani pemilik), lapisan menengah (petani pemilik sekaligus penggarap) dan buruh tani. Para petani di desa ini sebagian besar petani pemilik menyewa lahan dari pemilik lahan sawah yang tidak dikelolah. Orang yang disebut sebagai petani di desa ini adalah petani yang memiliki lahan dan menggarap atau menyewa lahan pertanian. Keharusan memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga yang mengatasi segala-galanya seperti kekurangan tanah, dan yang memiliki keluarga yang besar, seringkali memaksa petani menambah penghasilannya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain seperti menjadi buruh tani. (Scott , 1994 : 21).

Di desa ini terdapat tiga kelompok buruh tani yaitu buruh tani tetap (terikat dengan petani pemilik dan tidak bebas atau tidak dapat bekerja di lahan pertaniaan siapa saja), buruh tani langganan (buruh petani yang dipakai secara


(32)

tetap apabila petani pemilik membutuhkannya untuk mengolah lahannya namun tidak terikat dan dapat bekerja di tempat lain), dan buruh tani bebas (tidak terikat dengan petani pemilik dan bebas bekerja di lahan pertaniaan siapa saja). Hasil kajian Kusyrono dalam Susilowati menyatakan bahwa di empat desa di Jawa Barat menemukan buruh tani yang mempekerjakan buruh tani tetap. Buruh tetap bekerja pada seorang pemilik lahan untuk berbagai macam kegiatan baik kegiatan pertanian maupun non pertanian. Penggunaan buruh tani tetap bagi pemilik lahan adalah kepastian untuk memperoleh tenaga kerja. Penggunaan buruh tani langganan mengandung tujuan yang sama dengan penggunaan buruh tani tetap. Penggunaan buruh tani langganan memperlihatkan peningkatan sistem upah harian, mingguan atau upah bulanan.(Susilowati,2005 : 10). Buruh tani di desa Tanjung Rejo merupakan buruh tani yang memang hanya mendapatkan penghasilan dengan bekerja di bidang pertanian tanpa mengolah lahan dan buruh tani yang sekaligus memiliki lahan relatif sempit sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga bekerja sebagai buruh tani. Dengan terjalinnya relasi kerja antara petani dan buruh tani, secara otomatis juga terjalinnya relasi sosial diantara mereka.

2.1.3 Pola Relasi Sosial Masyarakat Agraris

Dalam artikel Gusti Alif Prassojo (2011) yang berjudul“Pola Hubungan Petani dalam Masyarakat”, dikatakan bahwa relasi sosial atau hubungan sosial tersebut menciptakan suatu kelompok atau komunitas. Relasi yang terus menerus dalam komunitas tersebut lama kelamaan akan menciptakan suatu pola. Pola hubungan inilah yang membuat setiap manusia mendapat bagiannya sendiri-sendiri dalam komunitas. Petani adalah mahluk manusia dan manusia


(33)

adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak dapat lepas dari manusia lain. Dahulu sebagian besar petani, anggota keluarganya juga ikut bertani meski bukan pekerjaan utamanya. Antara petani dan keluarganya tersebut memiliki suatu pola relasi atau hubungan yang saling mendukung. Relasi yang saling mendukung tersebut yang membuat keluarga petani hidup dengan tentram. Begitu juga antara petani dan buruh tani juga memiliki suatu pola relasi yang sangat mendukung. Di desa-desa para petani menjunjung tinggi rasa persaudaraan. Itu terbukti dengan semangat gotong royong yang kuat, pembuatan rumah yang tidak perlu menyewa tukang bangunan, penanaman padi yang dilakukan secara beramai-ramai, panen yang juga dilakukan secara beramai-ramai, bila ada hajatan “terdengar suara sound yang keras” mereka langsung berbondong-bondong mengungkapkan rasa simpati mereka. Relasi antara petani satu dan yang lain sangat harmonis. Masalah memang ada dalam masyarakat pertanian, sebagai contoh saat petani kesulitan air dimusim kemarau mereka berebut mendapatkan jatah air, pertikaian antar kampung lantaran rasa solidaritas tinggi tanpa dibarengi logika, dan lain-lain.(Prassojo, 2011).

Pola relasi sosial antar petani dan buruh tani yang terjadi di desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang terdapat tiga relasi sosial yang terjalin yaitu relasi petani dengan buruh tani tetap, relasi petani dan buruh tani langganan dan relasi petani dengan buruh tani bebas. Ketiga relasi sosial ini memiliki bentuk relasi sosial yang berbeda-beda. Relasi petani dan buruh tani bebas ditandai dengan adanya relasi ketetanggaan dan bahkan hanya relasi kerja atau pertukaran sosial atau hubungan transaksi di


(34)

pasar tenaga kerja saja. Relasi petani dengan buruh tani langganan ditandai dengan adanya hubungan kekerabatan, persaudaraan, kekeluargaan, dan lainnya.Banyak petani yang hasil panen bersihnya (setelah dipotong sewa dan biaya produksi) dibawah subsistensi, pekerjaan-pekerjaan sampingan itu sudah merupakan bagian yang lazim dan tidak terpisahkan dan subsistensi secara keseluruhan. Seorang petani mungkin akan dibantu oleh sanak saudaranya, kawan-kawannya, warga desanya, seorang pelindung yang berpengaruh dan malahan jarang sekali olehnya untuk mengatasi satu masa yang sulit akibat gagal panen. Sanak saudaranya biasanya merasa berkewajiban untuk berbuat apa yang dapat diperbuat untuk menolong seorang kerabat dekat yang sedang dalam kesulitan, akan tetapi mereka tidak dapat menawarkan lebih dari sumber daya yang dapat mereka mampu di kalangan mereka sendiri.(Scott, 1994 : 40). Relasi petani dan buruh tani tetap ditandai dengan adanya relasi patronase yakni hubungan yang relatif lebih rumit. Relasi patronase yang terbentuk bervariasi tergantung kompleksitas hubungan yang telah terjadi dan perbedaan sosial budaya yang melatarbelakanginya. Dalam banyak hal, orang tidak dapat mengandalkan kepada sesama warga desanya untuk mendapat bantuan dalam jumlah dan dengan kepastian yang sama besarnya dengan apa yang bisa diperolehnya dari kerabat dan tetangga-tetangganya. Dengan demikian banyak buruh tani yang meminta tolong pada orang yang memiliki status sosial yang lebih atas yang dapat membantunya. Orang tersebut disebut dengan patron. Patron dianggap pelindung bagi kliennya karena patron dapat membantu klien-kliennya dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.


(35)

2.2 Hubungan Patron–Klien (Patron-Client Relationship) dalam Masyarakat Pertanian.

Istilah patron berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara entimologis berarti seseorang yang memilki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh, sedangkan klien berarti bawahan atau orang yang diperintah dan disuruh. Selanjutnya pola hubungan patron klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, wewenang, kekuasaan maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi. Berdasarkan paparan-paparan yang diulas dari pengertian diatas maka kemudian terdapat satu hal penting yang dapat digaris bawahi, yaitu bahwa terdapat unsur pertukaran barang atau jasa bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pola – pola relasi antara patron dan klien. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pola – pola relasi yang semacam ini dapat dimasukan kedalam bentuk dan pola hubungan pertukaran yang lebih luas.

Menurut Scott dalam Hariadi (1987), relasi patron klien merupakan hubungan yang antara dua pihak yang menyangkut persahabatan, dimana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien), dan sebaliknya si klien membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum termasuk pelayanan pribadi kepada patron. Dalam hubungan ini pertukaran tersebut merupakan jalinan yang rumit dan berkelanjutan, biasanya baru terhapus dalam jangka panjang. (Scott, 1976


(36)

dalam Hariadi, 1987: 48)). Imbalan yang diberikan klien bukan imbalan berupa materi melainkan dalam bentuk lainnya. Si patron tidak akan mengharapkan materi atau uang dari klien tapi mengharapkan imbalan lainnya yang dibutuhkan si patron.

Ikatan-ikatan sosial yang khas antara patron dan klien menekankan ide moral, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban timbal balik yang memberikan kekuatan sosial kepada ikatan-ikatan itu. Sudah tentu tidak mungkin barang dan jasa yang dipertukarkan antara patron dan klien itu akan identikan oleh karena sifat dari pola hubungan itu disesuaikan atas kebutuhan-kebutuhan mereka yang berbeda. Suatu sifat yang persis dengan pertukaran itu akan mencerminkan kekhasan dari kebutuhan-kebutuhan dan sumber-sumber kekayaan baik dari patron maupun dari klien dalam jangka waktu tertentu. Maka pada umumnya patron diharapkan untuk melindungi kliennya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan materinya. Sedangkan klien mengimbalinya dengan tenaga kerja dan loyalitasnya (Scott , 1994 : 257).

Scott dalam Ramadhan (2009), mengemukakan bahwa hubungan patronase mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan hubungan sosial lain. Pertama, yaitu terdapatnya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran; kedua, adanya sifat tatap-muka (face-to-face character), dan ketiga adalah sifatnya yang luwes dan meluas (diffuse flexibility) ( Ramadhan, 2009 : 15). Menguraikan ciri yang pertama Scott mengatakan bahwa terdapat ketimpangan pertukaran atau ketidakseimbangan dalam pertukaran antara dua pasangan, yang mencerminkan perbedaan dalam kekayaan, kekuasaan, dan kedudukan. Dalam pengertian ini seorang klien adalah seseorang yang masuk


(37)

dalam hubungan pertukaran yang tidak seimbang (unequal), di mana dia tidak mampu membalas sepenuhnya. Suatu hutang kewajiban membuatnya tetap terikat pada patron. Ketimpangan terjadi karena patron berada dalam posisi pemberi barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh klien beserta keluarganya agar mereka bisa tetap hidup. Rasa wajib membalas pada diri si klien muncul lewat pemberian ini, selama pemberian itu masih dirasakan mampu memenuhi kebutuhannya yang paling pokok atau masih dia perlukan.

Sifat tatap-muka relasi patronase menunjukkan bahwa sifat pribadi terdapat di dalamnya. Hubungan timbal-balik yang berjalan terus dengan lancar akan menimbulkan rasa simpati (affection) antar kedua belah pihak, yang selanjutnya membangkitkan rasa saling percaya dan rasa dekat. Dekatnya hubungan ini kadangkala diwujudkan dalam penggunaan istilah panggilan yang akrab bagi partnernya. Dengan adanya rasa saling percaya ini seorang klien dapat mengharapkan bahwa si patron akan membantunya jika dia mengalami kesulitan, jika dia memerlukan modal dan sebagainya. Sebaliknya si patron juga dapat mengharapkan dukungan dari klien apabila pada suatu saat dia memerlukannya.

Ciri terakhir yaitu sifat relasi yang luwes dan meluas. Seorang patron misalnya, tidak saja dikaitkan oleh hubungan sewa-menyewa tanah oleh kliennya, tetapi juga karena hubungan sebagai sesama tetangga, atau mungkin teman sekolah di masa yang lalu, atau orang-orang tua mereka saling bersahabat, dan sebagainya. Juga bantuan yang diminta dari klien dapat bemacam-macam, mulai dari membantu memperbaiki rumah, mengolah tanah, mengurus ternak, dan lain-lain. Di lain pihak si klien dibantu tidak hanya


(38)

dalam bentuk modal usaha pertanian saja, melainkan juga kalau ada musibah, mengalami kesulitan dalam mengurus sesuatu, mengadakan pesta-pesta atau selamatan tertentu dan berbagai keperluan lainnya. Pendeknya hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak, dan sekaligus juga merupakan semacam jaminan sosial bagi mereka.

Patron client relationship merupakan proses assosiatif yang terwujud dalam bentuk kerja sama antara dua orang yang berbeda statusnya, dengan ciri-ciri pihak patron melindungi klien dalam berbagai transaksi, serta adanya relasi saling membutuhkan, saling percaya, dan kedua belah pihak terlibat dalam keakraban. Hubungan ini telah menjadi subur dari masa lampau hingga dewasa ini di dalam masyarakat Indonesia. Si patron yang merupakan anggota masyarakat yang lebih beruntung dilihat dari status sosial ekonomi. Mereka inilah yang memiliki modal dan cara berfikir yang lebih baik. Dengan asset yang dimiliki, si patron mempekerjakan kepada anggota masyarakat lain yang status sosial ekonominya lebih rendah. Untuk menjalankan usaha yang diberikan kepada klien, si patron memberikan bimbingan saat klien mengalami kesulitan baik di bidang usaha maupun di bidang lain yang dianggap perlu. Hal ini dilakukan patron supaya klien menjadi terikat dan merasa enggan apabila ingin lepas dari patron. (Ibrahim, 2003, 24).

Hasil penelitian Rahmadayanti di Nagari Solok Bio-bio, Kecamatan Harau Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat (2009) mengenai “Relasi Sosial antara Pengampo dan Pemilik Lahan” menemukan bahwa adanya kerja sama antara pengampo dan pemilik lahan berlangsung terus menerus dan hubungannya didasarkan pada hubungan kekerabatan antara pemilik lahan dan


(39)

pengampo. Dan tidak ada organisasi formal yang mengikat hubungan ini. Hubungan ini akan berakhir apabila kegiatan pengampo selesai. Dalam hubungan tersebut, membuat pengampo terkukung hidupnya dan sulit menghindar dari hubungan yang terjalin. Penyebab pengampo tidak bisa keluar dari hubungan ini tidak hanya oleh faktor pemilik lahan sendiri tetapi juga faktor pengampo itu sendiri yang sangat membutuhkan. (Rahmadayanti, 2009: 23). Hal ini berarti relasi yang terjadi antara pengampo dan pemilik lahan telah meluas pada hubungan sosial dan membentuk suatu pola relasi sosial yaitu hubungan patron klien khususnya terhadap buruh tani tetap atau buruh tani langganan. Hubungan patron klien yang diciptakan oleh petani pemilik memiliki banyak tujuan, seperti untuk mempererat kekerabatan, melindungi buruh tani, menciptakan nuansa kekeluargaan sehingga buruh tani merasa betah bekerja padanya, mengikat buruh tani agar tidak berpindah kerja, dan lainnya.

Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan kekuatan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral sendiri dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan dipertahankan sejauh memberikan jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Dasar hubungannya adalah ketidakmerataan, menyangkut pertukaran pelayanan antara dua belah pihak dimana si patron melindungi klien. Hubungan itu meliputi banyak jenis transaksi dan interaksi diantara kedua belah pihak, ada perasaan saling membutuhkan, saling percaya, dan satu sama lain kenal mengenal secara mendalam. Transaksi yang dibuat tidak berdasarkan perjanjian yang ketat atau


(40)

formal. Patron klien merupakan sistem norma yang sudah mendarah daging pada anggota masyarakat pedesaan khususnya masyarakat pertanian.

Secara teoritis, dalam masyarakat pertanian, para pemilik lahan selain menggunakan sistem bonus dan penalty sebagai strategi untuk menekan terjadinya kecurangan dalam pekerjaan para buruh tani, serta melakukan sistem patron klien untuk menekan kecurangan yang terjadi. Hubungan patron klien merupakan hubungan yang menyangkut kedua belah pihak, dimana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk memberikan perlindungan atau keuntungan kepada seseorang yang status sosial ekonominya lebih rendah (klien) yang sebaliknya membahas dengan memberikan bantuan dan dukungan. Ikatan antara pelindung (patron) dan klien merupakan satu bentuk asuransi sosial yang terdapat dimana-mana di kalangan petani Asia Tenggara dan merupakan suatu langkah jauh lainnya dalam jarak sosial dan seringkali moral, khususnya apabila sang pelindung bukan warga desa. Apakah dia tuan tanah, pedagang, seorang patron menurut defenisinya adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya. Meskipun klien-klien seringkali berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan arti moral pada hubungan itu. Oleh karena itu kedudukan mereka dalam menghadapi patron seringkali lemah sekali. Patronase itu ada segi baiknya, bukan peraturan-peraturan karena dapat diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya. (Scott, 1994 : 41).

Hubungan patron klien antara majikan dan buruh pada umumnya melibatkan lebih dari satu aktivitas ekonomi yang sifatnya personal, seperti


(41)

majikan akan membantu buruh apabila mengalami kesulitan uang sekolah anaknya, dan buruh akan membantu majikan apabila majikan kerepotan. Dengan demikian buruh aakan merasa segan apabila ingin melakukan tindak kecurangan, karena dapat merusak hubungan buruh dan majikan. Dengan demikian hubungan patron klien dapat mengurangi kesempatan buruh melakukan tindakan yang tidak jujur. Dengan melakukan kerja sama dalam waktu yang relatif panjang, majikan akan mengetahui kemampuan dan kejujuran buruh.Hubungan patron klien tercermin dari pengunaan buruh langganan. Namun hubungan patron klien ini sangat bervariasi, mengikuti kompleksitas hubungan yang telah terjadi dan perbedaan sosial budaya yang melatarbelakanginya.(Susilowati,2005:8).

Hubungan antara petani pemilik dengan buruh tani terutama hubungan di dalam hubungan kerja, pada komunitas desa ada kecendrungan yang amat kuat untuk mengkaitkan berbagai transaksi menjadi hubungan yang amat rumit dan pribadi sifatnya. Seorang pemilik tanah tidak hanya memberi upah kepada buruh taninya, seringkali patron juga bertindak sebagai pelindung terhadap buruh tani, seperti memberikan beragam hadiah atau pemberian, dan mempergunakan pengaruhnya untuk memecahkan problema-problema buruh tani, terutama dalam masalah ekonomi. Sebaliknya, buruh tani membalasnya dengan kesetiaan dari dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk membantu di rumah majikan jika diperlukan. Pada masyarakat pertanian kewajiban membalas budi merupakan satu prinsip moral yang paling utama yang berlaku bagi hubungan, baik antara pihak-pihak yang sederajat maupun pihak-pihak


(42)

yang tidak sederajat. Dan pola hubungan itu biasanya berbentuk ikatan antara patron klien.

2.3 Teori Pertukaran Sosial

Asumsi dasar yang diajukan oleh teori ini adalah bahwa transaksi pertukaran akan terjadi apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari adanya pertukaran tersebut. Untuk melihat hubungan sosial yang terjadi antara petani pemilik dan buruh tani, penulis mencoba mengaitkannya dengan teori pertukaran sosial. Turner (1978) dalam Kamanto Sunarto meringkas pokok pikiran teori pertukaran sebagai berikut:

1. Manusia selalu berusaha mencari keuntungan dalam transaksi sosialnya dengan orang lain.

2. Dalam melakukan transaksi sosial manusia melakukan perhitungan untung rugi .

3. Manusia cenderung menyadari adanya berbagai alternatif yang tersedia baginya.

4. Manusia bersaing satu dengan yang lain.

5. Hubungan pertukaran secara umum antarindividu berlangsung dalam hampir semua konteks sosial.

6. Individu pun mempertukarkan berbagai komoditas tak terwujud seperti perasaan dan jasa. (Turner, 1978 dalam Sunarto, 2004 : 232).

Teori pertukaran sosial memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibault dan Kelley


(43)

dalam Jhonson (1990), dua orang pemuka utama dari model ini menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut : “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”. Ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini. Kemudian teori ini di kembangkan oleh George Homans dalam tingkat individu. Homans juga mengambil konsep dasar seperti biaya, imbalan dan keuntungan Homans memperluasnya hingga mencakup pertukaran sosial juga. Misalnya dukungan sosial seperti uang dapat dijelaskan sebagai suatu reward, dan berada dalam posisi bawahan dalam suatu hubungan sosial dapat dilihat sebagai cost. (Johnson, 1990: 65).

Homans berpendapat bahwa pertukaran yang berulang-ulang mendasari hubungan sosial yang berkesinambungan antara orang tertentu. Pandangan Homans dituangkan dalam sejumlah proposisinya dan salah satunya yaitu ‘seseorang akan semakin cenderung melakukan suatu tindakan manakala tindakan tersebut makin sering disertai imbalan”. Dalam pola-pola hubungan sosial atau hubungan patron klien anatar petani pemilik dan buruh tani dalam produksi pertanian terdapat unsur pertukaran barang atau jasa bagi pihak-pihak yang terlibat. Misalnya buruh tani memberikan tenaganya kepada petani pemilik, dan petani pemilik memberikan imbalannya berupa upah, dan bentuk-bentuk pertukaran lainnya.

2.4 Sistem Pengupahan dalam Hubungan Kerja pada Masyarakat Pertanian


(44)

Hubungan kerja pada masyarakat pertanian berbeda dengan hubungan kerja pada masyarakat industri. Hubungan kerja pada masyarakat pertanian antara petani pemilik dan buruh tani terdapat unsur hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Sedangkan dalam hubungan kerja masyarakat industri hanya berkisar pada hubungan ekonomi. Sistem pengupahan dalam masyarakat pertanian lebih condong pada pola kegotongroyongan. Adapun bentuk-bentuk hubungan ketenagakerjaan dan kelembagaan upah dalam masyarakat pertanian yaitu sebagai berikut :

1. Sistem Bawon

Bawon merupakan upah natural yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani, khususnya untuk kegiatan panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen. Collier at.al dalam Susilowati (2005) menyebutkan pada sistem bawon tradisional, panen padi merupakan aktivitas komunitas yang dapat diikuti oleh semua orang atau kebanyakan anggota komunitas dan menerima bagian tertentu dari hasil. (Susilowati, 2005 : 3). Menurut tradisi di beberapa tempat, petani tidak dapat membatasi jumlah orang yang ikut memanen. Sistem tersebut merupakan bawon yang “benar-benar terbuka” dalam artian setiap orang diijinkan untuk memanen. Sistem bawon yang lain yaitu sistem bawon yang lebih ketat adalah sistem bawon dengan peserta tertentu (yang diundang saja).

2. Sistem Kedokan

Kata kedokan berasal dari bahasa jawa yaitu “kedok” artinya bagian tertentu dari sawah. Istilah “kedokan” dibeberapa desa di Jawa Barat disebut sebagai “ceblokan” atau “ngedok-ngedok”. Kolf dalam Susilowati (2005)


(45)

mendefinisikan kedokan yaitu sistem pengupahan melalui perjanjian dan atau kesepakatan, pekerja akan melakukan pekerjaan tertentu dalam proses usaha tani padi tanpa dibayar. (Susilowati, 2005 : 3). Namun mereka akan memiliki hak untuk panen dan menerima bagian tertentu dari produksi. Tenaga kerja lain di luar kelompok pengedok tersebut tidak dapat ikut panen apabila tidak ada ijin dari kelompok pengedok, bukan dari pemilik lahan. Dengan demikian kelompok pengedok mempunyai hak untuk menentukan siapa orang-orang yang bisa terlibat dalam kegiatan panen tersebut. Dengan kata lain sistem kedokan merupakan suatu kesepakatan yang memeberikan hak berburuh panen secara terbatas kepada sekelompok pekerja terkait dengan kewajiban pekerjaan yang mereka lakukan pada proses usaha tani, seperti mencangkul oleh buruh laki-laki,memperbaiki galengan dan saluran air, dan lainnya.

Menurut Collier dalam Susilowati (2005), sistem kedokan awalnya digunakan petani agar kecukupan tenga kerja selama proses produksi dapat terjamin. (Susilowati, 2005 : 3). Dalam perkembangannya kemudian sistem tersebut banyak digunakan petani pemilik sawah untuk membatasi jumlah buruh pemanen dalam rangka menekan biaya panen. Dalam sistem kedokan, karena pemanen tidak dibayar dengan upah tunai maka pemilik lahan tidak mengeluarkan banyak biaya selama musim tanam. Besarnya bawon dan bagian kedokan bervariasi antara desa. Di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, pengedok menerima seperlima dari bagian hasil, sementara pembawon hanya menerima seperlimabelas bagian. Sedangkan di Jawa Timur, pengedok menerima sepersepuluh bagian hasil panen.


(46)

Dalam sistem upah harian, secara teoritis tingkat upah diperhitungkan berdasarkan rata-rata produktivitas tenaga kerja perhari. Lazimnya jumlah jam kerja per hari antara kegiatan maupun antar desa bervariasi demikian pula besarnya upah harian. Dalam hubungan ketenagakerjaan di pedesaan, sifat kekerabatan dan tenggang rasa antara pemilik lahan dan buruhnya umumnya masih kuat. Ini menjadikan upah harian yang diberikan tidak hanya berupa uang namun buruh juga diberi makan dan minum bahkan diberi rokok.

4. Sistem Upah Borongan

Besar upah borongan umunya sangat tergantung dari prestasi kerja buruh tani. Semakin tinggi produktivitas kerja, secara teoritis semakin tinggi pula upah yang diterima buruh tani. Variasi produktivitas antar individu buruh tani atau kelompok buruh tani merupakan determinan upah kerja buruh tani. Terdapat beberapa hal yang mendorong munculnya sistem upah borongan yaitu pertama, jadwal tanam harus serentak untuk menghambat serangan hama wereng dan tikus, sehingga pengolahan lahan juga harus serentak. Kedua, sistem pengairan yang semakin baik memaksa petani untuk mempercepat pengolahan lahan agar dapat melakukan penanaman tepat pada waktunya. Ketiga, penggunaan bibit unggul yang berumur pendek, sehingga pengolahan lahan harus cepat dilakukan. Keempat, penggunaan traktor dengan upah borongan akan mampu menyelesaikan kegiatan pengolahan tanah dengan cepat. Kelima, upah borongan dinilai lebih murah dibandingkan upah harian. Keenam, tidak merepotkan pemilik lahan untuk menyediakan makanan.


(47)

Sistem sambatan diartikan sebagai sistem saling membantu bekerja secara bergiliran atau sistem hubungan pertukaran tenaga kerja. Pada prinsipnya sistem sambatan adalah memobilisasi tenaga kerja dari luar keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga kerja dalam keluarga usaha tani padi, terutama saat musim sibuk. Dimana petani diminta untuk bekerja membantu pemilik lahan untuk kegiatan tertentu di sawah tanpa diberi upah. Pemilik lahan hanya menyediakan makanan tetapi pada gilirannya, mereka harus mengganti bantuan tersebut secara proposional pada waktu yang diperlukan (Susilowati, 2005 :3-4).

Petani dan buruh tani di Desa Tanjung Rejo memiliki relasi kerja dan relasi sosial yang berbeda-beda yakni relasi dengan buruh tani tetap, buruh tani langganan, dan buruh tani bebas. Adanya perbedaan relasi tersebut maka sistem pengupahan yang ada di desa ini juga berbeda-beda berdasarkan relasi tersebut. Bahkan di desa ini terdapat sistem upah mingguan bagi buruh tani tetap, dimana upah diberikan kepada burh tani dalam waktu satu minggu. Buruh tani tetap mengerjakan semua pekerjaan pertanian hingga gabah dapat disimpan di lumbung padi dan siap untuk digiling menjadi beras. Pekerjaan tersebut meliputi pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pengeringan. Berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani langganan dan buruh tani bebas.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan penelitian yang menghasilkann data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dan apa yang diamati dan juga untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian. Dengan menggunakan penelitian dengan pendekatan kualitatif peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam mengenai pola relasi sosial petani dengan buruh tani.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, dan sebagainya yang merupakan objek penelitian. Pelaksanaannya tidak terbatas kepada pengumpulan data saja melainkan juga meliputi analisa dan interprestasi dari data itu. Dengan demikian penelitian ini berusaha menurutkan, menganalisa, mengklasifikasi, memperbandingkan, dan sebagainya. Sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang bersifat deduktif. Penelitian deskriftif sering disejajarkan dengan penelitian pengembangan dan merupakan persiapan bagi penelitian selanjutnya. (Ginting,2005:14 ).

Pendekatan kualitatif dengan menggunakan penelitian deskriptif akan menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, situasi dan realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi pusat perhatian.


(49)

3.2 Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Desa ini dijadikan sebagai lokasi penelitian karena di desa ini merupakan masyarakat pertanian dimana mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai petani padi dan buruh tani. Dan diantara mereka terjalin relasi sosial yang sudah terpola karena sudah dilakukan secara turun temurun dalam waktu yang relatif lama, salah satu relasi sosial yang ada adalah relasi sosial antara petani pemilik dan buruh tani. Dalam relasi tersebut juga terdapat sistem pengupahan tersebut memiliki bentuk yang khusus dari desa Tanjung Rejo.

3.3Unit Analisis dan Informan 3.3.1Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Salah satu ciri atau karakteristik dari penelitian sosial adalah menggunakan apa yang disebut dengan “unit of analysis”. Ada dua sejumlah unit analisis yang lazim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial yaitu individu, kelompok dan sosial. Adapun yang menjadi unit analisis dan obek kajian dalam penelitian ini adalah para petani dan buruh tani.

3.3.2 Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian yang merupakan sumber informasi yang aktual dalam menjelaskan tentang masalah penelitian. Adapun informan yang menjadi subjek penelitian. Adapun informan dalam penelitian ini adalah petani yang mempekerjakan buruh tani untuk mengolah lahan dan buruh tani.


(50)

3.4.1 Data Primer

1. Observasi atau Pengamatan, adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya. Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data peneliian melalui pengamatan dan penginderaan. (Bungin,2007:115).Data yang akan dicari dengan observasi berupa aktivitas petani dan buruh tani dalam mengelolah pertanian, relasi sosial petani dan buruh tani dalm kehidupan sehari-hari, dan sebagainnya.

2. Wawancara Mendalam, adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Metode wawancara mendalam sama seperti metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara, tujuan wawancara, peran informan dan cara melakukan wawancara yang berbeda degan wawancara pada umumnya. Wawancara mendalam dilakukan berkali-kali dengan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di lokasi penelitian. (Bungin,2007:108). Data yang akan dicari dengan wawancara mendalam


(51)

berupa data mengenai pola relasi sosial petani dan buruh tani, sistem pengupahan yang diberlakukan di desa ini, dan sebagainya.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data atau informasi yang diperoleh yang diperoleh secara tidak langsung melalui studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi dari buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah, majalah dan internet yang dianggap relevan dan berhubungan dengan penelitian ini seperti Sumatera Utara dalam angka, Deli Serdang dalam angka, Percut Sei Tuan dalam angka, data monografi desa, dan sebagainya.

3.5 Interpretasi Data

Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia, yaitu pengamatan dan wawancara mendalam yang sudah dalam catatan lapangan. Data tersebut setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya ialah mangadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abtraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses sehingga tetap berada didalam fokus penelitian. Setelah data terkumpul dilakukan analisa data. Interpretasi data merupakan tahap penyederhanaan data, setelah data dan informasi yang dibutuhkan telah terkumpul. Data-data yang telah diperoleh dalam penelitian ini akan didinterpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam kajian pustaka, sampai pada akhirnya sebagai laporan penelitian serta data tersebut akan diatur, diurutkan, dikelompokkan ke dalam kategori, pola atau uraian tertentu. Disini peneliti akan mengelompokkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, dan sebagainya, selanjutnya akan dipelajari dan ditelaah secara seksama agar diperoleh hasil atau kesimpulan yang baik. Dengan kata lain, data


(52)

yang terkumpul akan disusun ke dalam pola tertentu. Kemudian data yang relevan dengan fokus permasalahan tersebut diorganisasikan dan diatur serta dikelompokan ke dalam kategori tertentu. Dan data tersebut diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. 3.6 Jadwal Pelaksanaan

Penelitian ini dilakukan dimulai dari Agustus 2011 sampai April 2012. Secara terperinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan penelitian

NO Jadwal Kegiatan

Bulan ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi √

2 Acc Judul √

3 Penyusunan Proposal Penelitian √ √

4 Seminar Proposalpenelitian √

5 Revisi Proposal Penelitian √ √

6 Operasional Penelitian √

7 Pengumpulan dan Analisis Data √ √

8 Bimbingan Skripsi √ √ √

9 Penulisan Laporan Penelitian √ √ √

10 Sidang Meja Hijau √

3.7 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menyadari masih terdapat keterbatasan-keterbatsan dalam penelitian. Untuk itu bagi para akademisi yang menggunakan hasil


(53)

penelitian ini sebagai dasar kajian ilmiah maupun bagi praktisi yang menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pengambilan keputusan diharapkan memperhatikan keterbatasan peneliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Penelitian ini hanya membahas relasi-relasi sosial yang terjalin antara petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian. Padahal masih banyak hal-hal lain yang berhubungan dengan penelitian ini misalnya aspek sosial ekonomi masyarakat pertanian, hak penggunaan dan penguasaan lahan pertanian, penyempitan lahan pertanian akibat konversi lahan, dan sebagainya.

2. Ruang waktu dalam penelitian ini hanya sekitar enam bulan untuk pencarian data di lapangan dengan observasi lapangan dan wawancara dengan para informan. Penelitian ini sebaiknya dilakukan dalam waktu yang relatif lebih lama supaya data-data lapangan dapat terkumpul lebih mendalam lagi.

3. Dalam melakukan wawancara, peneliti kesulitan untuk mencari informan karenabertepatan dengan waktu turun sawah sehingga petani sulit dijumpai di rumah. Petani hanya dapat dijumpai di waktu sore dan malam hari.Desa Tanjung rejo yang relative luas dengan keterbatasan waktu penelitimembuatpeneliti hanya mengambil informan dari 4 dusun di desa ini. Meskipun informan bersifat homogeny, peneliti merasa keterwakilan data dirasakan belum sepenuhnya diabndingkan apabila peneliti mengambil informan dari setiap dusun.


(54)

BAB IV

TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian

4.1.1 Sejarah Desa

Desa Tanjung Rejo sudah berdiri sejak tahun 1966 (46 tahun). Pada tahun 1950 wilayah ini mulai dihuni yang sebelumnya wilayah ini merupakan hutan belantara. Pada tahun 1952, lahan-lahan didesa ini masih banyak yang berupa hutan dan penduduknya sangat jarang. Jarak rumah penduduk yang satu dengan penduduk yang lain adalah 100 meter. Semakin hari semakin bertambah jumlah penghuni di daerah ini, sehingga tahun 1966 jumlah penduduk di desa ini sekitar 300 KK yang menempati luas wilayah seluas 1200 Ha.

Pada awalnya, nama wilayah ini sebelum menjadi sebuah desa adalah “Tebasan”, karena awal mula wilayah ini dibuka untuk dihuni merupakan hasil menebas hutan oleh para penghuni yang digunakan untuk lahan pertanian. Penghuni pertama di wilayah ini adalah karyawan atau pensiunan dari PTP Tembakau Deli di desa Saentis yang jaraknya 2 kilometer. Mereka menebas hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan perumahan atau gubuk mereka. Penghuni pertama wilayah ini adalah suku Jawa dan suku Melayu. Kemudian wilayah ini berubah nama menjadi “Tanjung Sambih”, dimana “tanjung” berarti wilayah ini terletak di sudutan perkebunan tembakau miliki PTP di Saentis dan “sambih” berarti sambilan atau pekerjaan sampingan para karyawan yang bekerja di perkebunan tersebut. Namun terjadi pro dan kontra akan pemberian nama ini di kalangan masyarakat, sehingga berkumpulah para petuah di wilayah ini atau pemuka masyarakat untuk memusyawarahkan nama


(55)

wilayah ini agar dapat menjadi sebuah desa. Penduduk di wilayah ini menganggap bahwa nama “sambih” tidak membawa berkah bagi penduduknya yang berdomisili di desa ini. Apabila wilayah ini menjadi sebuah desa, desa ini tidak akan maju seperti desa-desa lain. Setelah diadakan musyawarah, nama wilayah ini pun diganti dengan nama “Tanjung Rejo”. “Rejo” berarti mewah karena rata-rata penduduk di wilayah ini adalah petani padi dan jika masa panen datang maka para petani di wilayah ini dapat hidup mewah dan sejahtera, serta nama“Rejo” supaya wilayah ini kelak menjadi desa yang mewah dan maju. Jadi sejak itulah wilayah ini diberi nama Tanjung Rejo dan kemudian menjadi salah satu dusun di desa Percut Sei Tuan.

Desa Percut Sei Tuan memiliki beberapa dusun diantaranya Tanjung Rejo, Tanjung Selamat, Cinta Rakyat, dan Cinta Damai. Semakin hari semakin bertambah jumlah penghuni di desa ini, begitu juga penduduk di setiap dusun semakin bertambah. Kemudian wilayah ini mengalami pemekaran wilayah dimana dusun Tanjung Rejo berdiri sebagai sebuah desa dan Percut Sei Tuan menjadi kecamatan. Akhirnya, tahun 1966 berdirilah Desa Tanjung Rejo sebagai sebuah desa yang terletak di kecamatan Percut Sei Tuan. Kepala desa di desa ini dahulunya disebut dengan “penghulu”. Penghulu pertama di desa ini adalah Bapak Yahya Sinaga.

Kepemilikan lahan di desa ini didasarkan pada kemampuan calon penghuni desa ini untuk menebas hutan dan menjadikan lahan pertanian. Dengan kata lain, para calon penduduk di desa ini mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian dimana orang yang paling luas menebas hutan, dia-lah yang memiliki lahan pertanian yang luas. Namun sebagian besar orang yang menebas di desa ini atau yang memiliki lahan di desa ini tidak berdomisili di desa ini. Lahan di desa ini hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan mereka. Setelah semua lahan telah dikonversi menjadi lahan


(56)

pertanian lalu mendapatkan hak atas kepemilikan lahannya, kemudian mereka mewariskan kepada anak-anak mereka, sehingga kepemilikan lahan yang pada awalnya relatif luas untuk setiap kepala keluarga, kini menjadi lebih sempit. Selain itu, banyak lahan yang telah dijualbelikan kepada orang luar desa ini. Hal ini disebabkan karena desa ini dahulu sering dilanda banjir dan pemenuhan kebutuhan mereka sehingga mereka harus menjual lahan. Setiap banjir semua tanaman terendam, rumah terendam, dan lainnya. Ketinggian banjir pada waktu itu sekitar 80m-150m sehingga mereka lebih banyak yang memilih untuk menjual lahan mereka.

Sempitnya kepemilikan lahan oleh penduduk, mendorong penduduk di desa ini untuk memperluas lahannya dengan menebas daerah sebelah utara yang sekarang disebut Paluh Marbau. Pada tahun 1962, orang yang masuk sebagai anggota RTI (Rukun Tani Indonesia) sudah menebas di wilayah utara desa ini. Namun pada tahun 1964, penebasan di wilayah ini tidak diperbolehkan oleh Pemerintah karena lahan itu adalah milik Angkatan Laut dan akan diberi sanksi 6 bulan dipenjara apabila dilanggar. Sejak saat itu, semua penggarap di wilayah ini bergegas meninggalkan lahan tersebut. Namun pada tahun 1982, lahan ini diperbolehkan untuk digarap sebagai ganti tanah adat yang digunakan oleh PTPN II Saentis. Kemudian wilayah ini dibenteng oleh PU dari Dinas Perairan. Semakin lama semakin ramai penduduk di wilayah ini dan menamakan wilayah ini dengan Paluh Marbau yang secara administratif termasuk ke dalam desa Tanjung Rejo.

Adapun nama-nama kepala desa yang pernah menjabat di desa Tanjung Rejo adalah sebagai berikut :

1. Tahun 1966-1970 dijabat oleh Bapak Yahya Sinaga yang telah menjabat selama 4 tahun.


(57)

2. Tahun 1970-1995 dijabat oleh Bapak Saripin yang telah menjabat selama 25 tahun.

3. Tahun 1995-1996 dijabat oleh Bapak Sarino yang telah menjabat selama 1 tahun 8 bulan atau 1 1/2tahun.

4. Tahun 1999-2009 dijabat oleh Bapak Sahroni yang telah menjabat selama 13 tahun.

5. Tahun 2009 sampai sekarang dijabat oleh bapak Selamat. 4.1.2 Keadaan Geografis Desa

a. Batas Wilayah Desa

Desa Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang memiliki wilayah yang terdiri dari 13 Dusun yaitu dusun I, dusun II, dusun III, dusun IV, dusun V, dusun VI, dusun VII, dusun VIII, dusun IX, dusun X, dusun XI, dusun XII, dan dusun XIII. Desa ini terdiri dari 33 Rukun Tetangga (RT). Desa ini terbagi kedalam dua bagian wilayah yaitu wilayah selatan dan wilayah utara. Wilayah selatan disebut wilayah darat terdiri dari 10 dusun yaitu dusun dusun I, dusun II, dusun III, dusun IV, dusun V, dusun VI, dusun VII, dusun VIII, dusun IX, dan dusun X. Sedangkan wilayah utara disebut dengan Paluh Merbau terdiri dari 3 dusun yaitu dusun XI, dusun XII, dan dusun XIII. Adapun batasan wilayahnya adalah :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka b. Sebelah selatan berbatasan dengan PTP II N. Saentis c. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Tanjung Selamat d. Sebelah timur berbatsan dengan Desa Percut Sei Tuan


(58)

Desa Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang memiliki wilayah seluas 3.086 ha. Adapun penyebaran luas wilayah tersebut menurut penggunaannya adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1Penyebaran Luas Wilayah Desa Tanjung Rejo

No Penggunaan Luas (ha)

1 Pemukiman umum 461,1

2 Perkantoran 0,1

3 Tempat Peribadatan 0,5

4 Pemakaman 2,1

5 Jalan 14

6 Pertanian Sawah

- Sawah Pengairan Setengah Teknis/

Irigasi

- Sawah Tadah Hujan

650 1.000

7 Perkebunan 200

8 Hutan

-Hutan Sekunder

- Hutan Mangrove (Bakau)

3,2 300

9 Lapangan Sepak Bola 4

10 Perikanan Air Tawar 450

Luas Seluruhnya 3.086

Sumber : Profil Desa Tanjung Rejo 2010. 4.1.3 Sarana dan Prasarana Desa

a. Sarana Kesehatan

Pemenuhan kebutuhan kesehatan di desa Tanjung Rejo dilengkapi oleh beberapa prasarana kesehatan sebanyak 10 sarana kesehatan yang terdiri dari poliklinik, posyandu, dan puskesmas. Secara terperinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.2 Sarana Kesehatan Desa Tanjung Rejo

No Uraian Jumlah

1 Poliklinik 4

2 Posyandu 5

3 Puskesmas 1

Jumlah 10

Sumber : Profil Desa Tanjung Rejo 2010 b. Sarana Pendidikan


(59)

Desa Tanjung Rejo memiliki delapan sarana pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat desa Tanjung Rejo yaitu sarana pendidikan formal dan sarana pendidikan keterampilan. Sarana pendidikan formal yang tersedia di desa ini sebanyak empat sekolah yaitu terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Sarana pendidikan keterampilan yang tersedia di desa ini sebanyak dua buah yaitu terdiri dari kursus bahasa inggris dan kursus menjahit. Secara terperinci dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 4.3 Sarana Pendidikan Formal Desa Tanjung Rejo

No Uraian Jumlah

1 TK 1

2 SD 3

Jumlah 4

Sumber : Profil Desa Tanjung Rejo 2010

Tabel 4.4 Sarana Pendidikan Keterampilan Desa Tanjung Rejo

No Uraian Jumlah

1 Kursus Menjahit 1

2 Kursus Bahasa Inggris 1

Jumlah 2

Sumber : Profil Desa Tanjung Rejo 2010

c. Sarana Peribadatan

Desa Tanjung Rejo memiliki sarana peribadatan untuk memenuhi kebutuhan rohaniah masyarakat desa Tanjung Rejo sebanyak 29 buah yaitu mesjid, langgar, dan gereja. Secara terperinci dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :


(1)

11.Apa permasalahan lain yang dihadapi dalam buruh tani dalam hubungan kerja dengan petani?

12.Di lahan pertanian siapa saja bapak/ibu bekerja?

13.Apakah hubungan bapak/ibu dengan petani hanya sebatas hubungan kerja? Apakah ada hubungan lain selain hubungan kerja?

14.Bagaimana hubungan sosial bapak/ibu dengan petani sebagai warga masyarakat didesa ini dalam kehidupan sehari-hari?

15.Seberapa sering bapak/ibu bertemu atau berhubungan dengan petani? 16.Apakah ada perbedaan status sosial atau sekat-sekat sosial antara bapak/ibu

dengan petani yang mempekerjakan bapak?

17.Apakah bapak/ibu pernah mengalami perselisihan dengan petani?

18.Apakah bapak/ibu memiliki hubungan kekerabatan atau persaudaraan dengan petani?

19.Apabila bapak/ibu mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan, kemana ibu meminta bantuan?

20.Apakah bapak/ibu pernah ditolong atau dibantu oleh petani di luar pekerjaan pertanian?

21.Apa saja bantuan yang telah bapak/ibu terima? Apakah bantuan materil atau non materil?

22.Apakah petani meminta imbalan atau apa yang bapak/ibu berikan sebagai imbalan atas pertolongannya tersebut?

23.Apakah bapak pernah mendapatkan pinjaman dari petani? Apabila iya, apa saja bentuk pinjaman tersebut dan bagaimana sistem pengembaliannya? 24.Bagaimana apabila bapak/ibu tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut? 25.Mengapa bapak/ibu tidak meminta bantuan kepada sanak saudara?

26.Apakah bapak merasa diuntungkan atau dirugikan dalam relasi bapak dengan petani pemilik?

27.Bagaimana tanggapan bapak/ibu mengenai pemberian bantuan di luar hubungan kerja yang dilakukan petani?

28.Apakah bapak/ibu merasa terlindungi atau sangat terbantu oleh petani? 29.Apakah bapak/ibu selalu diawasi dalam bekerja oleh petani?


(2)

B. Sistem Pengupahan

1. Apa saja sistem pengupahan yang diterapkan dalam produksi pertanian di desa ini?

2. Dalam pekerjaan, apa imbalan yang diberikan petani kepa bapak/ibu?

3. System pekerjaan seperti apa yang diterapkan oleh petani di tempat bapak/ibu bekerja?

4. Sistem pengupahan apa yang diterapkan dalam hubungan kerja ini? 5. Apakah bapak/ibu setuju dengan sistem pengupahn tersebut? Apabila iya,

mengapa bapak/ibu setuju dengan sistem pengupahan tersebut? 6. Berapa besar upah yang bapak/ibu terima?

7. Siapakah yang menetapkan besarnya jumlah upah buruh tani? 8. Apakah petani pernah menaikan besarnya jumlah upah buruh tani?

9. Apakah bapak/ibu pernah mengeluh akan jumlah upah yang telah ditetapkan? 10.Apakah ada perbedaan pengupahan antara buruh tani laki-laki dan perempuan? 11.Apakah besarnya jumlah upah ditentukan berdasarkan jenis pekerjaannya? 12.Bagaimana pendapat bapak tentang besarnya jumlah upah terhadap buruh tani?


(3)

LAMPIRAN II

DOKUMENTASI LAPANGAN

Gambar I : Peneliti melakukan wawancara Gambar II: Peneliti melakukan wawancaradengan

Bapak Legino di kediamannya. dengan Bapak Said di kediamannya.

Gambar III: Peneliti observasi kelompok Gambar IV: Buruh tani menjemur buruh tani perempuan sedang menggrendel. gabah padi di halaman majikannya.


(4)

Gambar V: Buruh tani sedang bekerja Gambar VI : Penggiling padi keliling mengaret padi di lahan petani. sedang menggiling padi.

Gambar VII: Peneliti melakukan wawancara Gambar VIII: Kelompok buruh tani dengan Ibu Gira di tempat penjemuran padi. laki-laki melakukan pekerjaan


(5)

Gambar IX: Buruh tani sedang mengambil Gambar X: Pemandangan sawah yang sisa padi dari sampah padi setelah luas dengan padi yang siap untuk digrendelatau diurai dengan mesin. dipanen.


(6)