Sejarah Perkembangan Kawasan TNLL Masyarakat

III. KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL LORE LINDU

3.1. Sejarah Perkembangan Kawasan TNLL

Taman Nasional Lore Lindu TNLL resmi ditetapkan sebagai salah satu taman nasional di Indonesia pada tanggal 23 Juni 1999 setelah mengalami beberapa perubahan status kawasan dan pengelolaannya. Pada awalnya TNLL merupakan penggabungan dari beberapa kawasan lindung meliputi: Suaka Margasatwa Lore Kalamata SK. Mentan No. 522KptsUm1973; Hutan Wisata dan Hutan Lindung Danau Lindu SK. Mentan No. 46KptsUm1978; dan Suaka Margasatwa Lore Lindu SK. Mentan No. 1012KptsUm1981. Dasar keputusan penentapan kawasan tersebut sebagai TNLL adalah deklarasi penggabungan kawasan lindung tersebut sebagai taman nasional pada waktu kongres taman nasional sedunia di Denpasar Bali tahun 1982, melalui SK Mentan No. 736MentanX1982. Selanjutnya ditunjuk oleh Menteri Kehutanan melalui SK. Menhut No.593Kpts-II1993 dengan luas 229.000 hektar. Keputusan tersebut dijadikan dasar untuk melakukan tata batas definitif dan dikukuhkan Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui SK. Menhutbun No. 464Kpts-II1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan luas 217.991,18 hektar. Kawasan TNLL memiliki nilai yang sangat tinggi, tidak hanya karena pesona alamnya yang khas atau budaya masyarakat di sekitarnya yang unik, akan tetapi kawasan ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. 3.2. Kondisi Fisik Kawasan 3.2.1. Letak Secara geografis TNLL terletak pada posisi koordinat 199°90’ - 120°16’ BT dan 1°8’ - 1°3’ LS. Berdasarkan administratif pemerintahan terletak di dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Donggala Kecamatan Kulawi, Sigibiromaru, Palolo dan Kabupaten Poso Kecamatan Lore Utara, Lore Selatan, Lore Tengah Propinsi Sulawesi Tengah. Di bagian utara TNLL dibatasi oleh dataran Palolo, bagian timur oleh dataran Napu, bagian selatan dibatasi dataran Bada, serta bagian barat oleh sungai Lariang dan hulu sungai Palu lembah Kulawi.

3.2.2. Topografi dan Tanah

TNLL terletak pada ketinggian 200-2610 meter di atas permukaan laut, puncak tertinggi adalah Gunung TokosaRorekatimbu 2610 mdpl. Bentuk topografi bervariasi mulai dari datar, landai agak curam, curam hingga sangat curam. Lapisan tanah di daerah pegunungan umumnya berasal dari batuan asam seperti gneisses, schists dan granit yang memiliki sifat peka terhadap erosi. Formasi lakustrin banyak ditemukan pada danau di bagian timur kawasan dangan bahan endapan dari campuran batuan sedimen, metamorfosa dan granit. Bagian barat ditemukan formasi aluvium yang umumnya berbentuk kipas aluvial. Sumber bahan aluvial ini berasal dari batuan metamorfosa dan granit. Jenis tanah di TNLL bervariasi dari entisol, inseptisol, alfisol dan sebagian kecil ultisol.

3.2.3. Iklim

Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Fergusson, bagian utara kawasan TNLL mempunyai tipe iklim CD dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 855-1200 mmtahun. Bagian timur bertipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 344-1400 mmtahun dan bagian barat bertipe iklim A dengan curah hujan rata-rata tahunan 1200 mmtahun. Secara keseluruhan curah hujan di TNLL bervariasi dari 2000-3000 mmtahun. Suhu berkisar antara 22°-34°C dengan kelembaban udara 98 dan kecepatan angin rata-rata 3,6 kmjam.

3.2.4. Hidrologi

TNLL mempunyai fungsi tangkapan air yang penting, didukung oleh dua sungai besar yaitu sungai Gumbasa di bagian utara yang bergabung dengan sungai Palu di bagian barat serta sungai Lariang di bagian timur dan selatan. Fungsi hidrologis ini sangat besar manfaatnya bagi masyarakat sekitar kawasan dan penduduk Sulawesi Tengah umumnya. 3.3. Kondisi Biotik 3.3.1. Vegetasi TNLL memiliki tingkat keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi di pulau Sulawesi. Diperkirakan 5000 spesies tumbuhan tinggi terdapat di dalamnya. Flora di dalam TNLL umumnya diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis vegetasi utama berdasarkan ketinggian, meskipun bentuk lahan, topografi dan iklim juga memegang peranan penting. Pada ketinggian 500-1000 mdpl, hutan dataran rendah berkembang dengan baik. Jenis-jenis yang dapat dijumpai antara lain: Mussaendopsis beccariana, Dysoxylum sp., Ficus sp., Myristica spp., Caryota spp., Elmerilia ovalis, Strychnos axillaris, Celtis sp., Pterospermum subpeltatum, Canangium odoratum, dan Durio zibethinus. Pada hutan pegunungan rendah dengan ketinggian 1000-1500 mdpl dijumpai jenis-jenis Castanopsis argentea, Lithocarpus spp., Dacrydium falcifolia, Phyllocladus hypophyllus, Tristania sp., Calophyllum spp., Garcinia spp., serta berbagai jenis epifit, termasuk di dalamnya puluhan spesies anggrek dan pakis yang tumbuh di dahan-dahan pohon. Pada ketinggian di atas 1600 mdpl, kanopi pohon menjadi semakin seragam dengan dominasi dari jenis Podocarpus neriifolia, Podocarpus imbricatus dan Nepthenes sp. Jenis herba yang umum dijumpai antara lain Orthosiphon aristatus, Curcuma longa, dan Pangium edule. Tumbuhan yang khas di TNLL salah satunya adalah Eucalyptus deglupta, dikenal dengan nama lokal leda. Pohon ini banyak ditemukan dan mudah dikenali dengan ciri kulit batang yang licin, berpola mencolok, berwarna hijau kemerahan serta mampu tumbuh hingga mencapai tinggi 60 m dengan lingkar batang 150 cm.

3.3.2. Satwaliar

TNLL memiliki berbagai tipe ekosistem yang merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Dari jenis mamalia langka dapat dijumpai Anoa quarlesi, Anoa depressicornis, Babyrousa babyrusa, Sus celebensis, Macaca tonkeana, Phalanger ursinus, Phalanger celebensis, Tarsius spectrum dan Cervus timorensis. Kawasan ini juga terkenal akan keanekaragaman jenis burungnya. Sekitar 224 jenis burung yang ditemukan, 97 diantaranya merupakan endemik di Sulawesi, seperti Tanygnatus sumatrana, Loriculus exilis, Trichoglossus platurus, Cacatua sulphurea, Buceros rhinoceros, Aceros cassidix, Anhinga rufa, Rallus plateni, Scolopax celebencis, Tyto inexspectata, Geomalia heinrichi, Macrocephalon maleo dan Megapodius freycynet. Selain itu, terdapat pula jenis reptil seperti Phyton reticulatus, Ophiophagus hannah dan Elaphe erythrura. Jenis serangga antara lain Papilio blumei, Graphium androcles dan Appies spp.

3.4. Masyarakat

Dari 117 desa di sekitar TNLL, 70 desa diantaranya secara fisik berbatasan langsung dan 1 desa terletak di dalam kawasan taman nasional. Desa-desa tersebut umumnya dihuni oleh keturunan para pendatang yang tiba sekitar 4000 tahun yang lalu, terdiri atas suku Bada, suku Behoa, suku Pekurehua Napu dan suku Kaili yang terbagi 7 berdasarkan dialeknya yaitu: Kaili Ledo, Kaili Ija, Kaili Ado’, Kaili Moma’, Kaili Tohulu, Kaili Uma dan Kaili Da’a. Semula masyarakat hidup dalam kelompok kecil yang sering berperang dan melakukan perladangan berpindah. Pada akhir abad ke-17, sistem menanam padi di sawah yang dialiri mulai dikenal, hingga saat ini kebanyakan penduduk melaksanakan pola pertanian menetap pada lahan rata di lembah- lembah. Pengenalan sistem bersawah yang sangat produktif diperkirakan telah menyelamatkan habitat-habitat alam pegunungan dari perambahan untuk perluasan pertanian ekstensif. Pada umumnya masyarakat sekitar kawasan taman nasional memiliki ketergantungan terhadap hutan dan menganggap wilayah mereka sebagai warisan leluhur yang harus dikelola secara arif dan berkelanjutan seperti yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya.

3.5. Obyek Wisata