4.5.3. Preferensi Habitat Peneluran Maleo
Svardson 1949 dalam Bailey 1984 menyatakan bahwa seleksi habitat
merupakan spesialisasi. Bagi suatu spesies, memilih habitat tertentu berarti membatasi diri pada habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama
kesesuaian dalam penggunaan sumberdaya yang ada. Menurut Cody 1964 evolusi preferensi habitat ditentukan oleh struktur
morfologi, fungsi-fungsi tingkah laku, kemampuan memperoleh makanan dan perlindungan. Faktor-faktor yang mendorong satwa untuk memilih suatu habitat
antara lain adalah ciri struktural dari lansekap, peluang mencari pakan dan bersarang atau keberadaan spesies lain.
Dalam kaitannya dengan ketersedian daya dukung, satwaliar seringkali memilih habitat yang preferensial sesuai bagi kelangsungan hidupnya dari
sekian banyak tipe habitat yang ada. Untuk menentukan habitat preferensial bagi maleo untuk bersarang di TNLL digunakan metode Indeks
Neu. Indeks ini merupakan salah satu indeks yang paling umum digunakan karena memiliki
keuntungan berupa penghitungan selang kepercayaan untuk nilai indeks. Indeks Neu memiliki persamaan sebagai berikut:
a. Total sarang N N =
∑
= m
1 i
i
n
keterangan :
n
i
= jumlah sarang pada habitat ke-i
b. Proposi jumlah sarang pada habitat ke-i u
i i
u
= N
n
i
c. Indeks pemilihan habitat ke-i w
i i
w
=
i i
p u
d. Indeks pemilihan habitat yang distandarkan SDI SDI =
∑
= h
1 i
i i
w w
=
∑
= h
1 i
i i
i
w p
u
Penentuan preferensi satwa terhadap tipe habitat diuji menggunakan Chi-
Square dengan persamaan sebagai berikut:
2
χ =
∑
=
−
h 1
i i
2 i
i
E E
O keterangan:
O
i
= Jumlah sarang pada habitat ke-i E
i
= Harapan jumlah sarang pada habitat ke-i h
= Jumlah tipe habitat
Kriteria uji yang digunakan adalah: 1. Jika
2
χ ≤
2 05
.
χ , maka tidak terdapat pemilihan habitat
2. Jika
2
χ
2 05
.
χ , maka terdapat pemilihan habitat
4.5.4. Pola Sebaran Spasial Sarang Maleo
Connell 1963 menyatakan bahwa pola sebaran spasial merupakan karakteristik yang penting dari komunitas ekologi. Pola ini merupakan salah satu
sifat dasar dari suatu kelompok organisme kehidupan. Alikodra 1990 mengemukakan bahwa penyebaran satwa liar dapat
dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, fasilitas untuk berkembang biak, pemangsaan, kondisi cuaca, sumber air, maupun adanya perusakan lingkungan.
Ludwig dan Reynolds 1988 menyatakan pola penyebaran satwa liar di alam bebas dapat berbentuk acak
random, kelompok clumped dan seragam uniform, penentuan pola sebaran spasial horizontal suatu komunitas ekologi
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan indeks penyebaran ID, yaitu:
ID = x
s
2
keterangan: s
2
= keragaman
contoh
x
= rata-rata contoh
Penentuan bentuk pola sebaran dengan kasus ukuran contoh kurang dari 30
n 30 digunakan uji Chi-Square dengan persamaan sebagai berikut:
2
χ = ID.n–1
keterangan: n
= ukuran contohjumlah kontak ID =
indeks penyebaran
Kriteria uji yang digunakan adalah: 1. Jika
2
χ ≤
2 975
.
χ , maka pola sebaran seragam
uniform. 2. Jika
2 975
.
χ
2
χ
2 025
.
χ , maka pola sebaran acak
random. 3. Jika
2
χ ≥
2 025
.
χ , maka pola sebaran kelompok
clumped. Pada kasus dengan ukuran contoh lebih dari atau sama dengan 30 n
≥30 digunakan uji statistik dengan persamaan sebagai berikut:
d = 1
1 n
2 2
2
− −
− χ
keterangan:
2
χ
= Chi-Square
n
= ukuran contohjumlah kontak
Kriteria uji yang digunakan adalah: 1. Jika d -1.96, maka pola sebaran seragam
uniform 2. Jika d 1.96, maka pola sebaran acak
random 3. Jika
d 1.96, maka pola sebaran kelompok clumped
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Umum Habitat Peneluran Maleo
Areal yang termasuk ke dalam lokasi penelitian hanya kawasan TNLL yang diduga terdapat sarang maleo. Luas areal TNLL adalah 217.991,18 Ha, akan
tetapi luas wilayah yang digunakan maleo untuk bertelur hanya 25,12 Ha dan mencakup 6 tipe habitat yakni hutan sekunder, semak belukar, semak dan perdu,
tanaman bambu serta tanaman coklat. Dengan mempertimbangkan kondisi lapangan, intensitas sampling yang digunakan adalah 21,74. Luas daerah yang
teramati sebesar 5,46 Ha. Luasan masing-masing areal penelitian di setiap tipe habitat dan unit contohnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Luasan masing-masing tipe habitat dan unit contoh berdasarkan luas secara proposional pada areal penelitian
No Tipe Habitat
Luasan ha
Luas Unit Contoh ha
1 Hutan Sekunder
1,93 0,42
2 Semak
Belukar 2,91
0,63 3
Semak dan Perdu 7,31
1,59 4
Sempadan Sungai 9,52
2,07 5
Tanaman Bambu
2,21 0,48
6 Tanaman
Coklat 1,24
0,27 TOTAL 25,12
5,46
Kawasan peneluran maleo di TNLL sebagian besar terletak dekat dengan pemukiman penduduk dan telah mengalami degradasi akibat pola penggunaan
lahan yang kurang tepat dan usaha konversi hutan untuk penggunaan lain. Kondisi topografi datar hingga landai dan tanah yang subur seringkali memicu
masyarakat untuk melakukan perluasan areal perkebunan, terutama coklat, hingga melewati batas taman nasional. Aktivitas manusia di lokasi peneluran
merupakan gangguan yang memberikan pengaruh terhadap berkurangnya kualitas dan jumlah lokasi peneluran yang sebelumnya dianggap sesuai bagi
maleo untuk membuat sarang. Dari hasil pengamatan, maleo di TNLL menggunakan sumber panas bumi
geothermal untuk mengerami telurnya. Hal tersebut diindikasikan oleh adanya mata air panas di dekat lokasi peneluran. Menurut Gunawan 2000 sifat
temperatur tanah sarang yang bersumber panas bumi adalah semakin dalam sarang semakin meningkat temperaturnya karena semakin mendekati sumber