habitat tanaman bambu, lantai hutan sebagian besar tertutup oleh serasah daun bambu. Pada habitat ini lubang peneluran maleo dijumpai di antara akar-akar
dan batang pohon tumbang dibawah tajuk bambu yang rapat. Sarang maleo pada habitat tanaman coklat berada di bawah tegakan coklat yang terlindung dari
sinar matahari langsung. Sebagai kawasan perkebunan, pemeliharaan yang dilakukan oleh petani coklat pada habitat ini mengakibatkan permukaan tanah
lebih padat dan bebas dari vegetasi sekunder.
5.2. Pendugaan Populasi Maleo
Ukuran populasi merupakan suatu ukuran yang bisa memberikan informasi mengenai nilai rata-rata, nilai minimum, nilai maksimum dari jumlah individu di
dalam suatu jenis populasi satwaliar tertentu Caughley 1977. Menurut Jones et
al. 1995 jumlah telur maleo yang ditemukan dipengaruhi oleh musim bertelur. Di habitat bersumber panas bumi
geothermal, musim bertelur tampaknya berlangsung sepanjang tahun. Keragaman musim bertelur justru terjadi pada
habitat bersumber panas matahari, umumnya berlangsung selama musim kemarau. Pada tahun 1947 Uno 1949 mencatat perolehan telur burung maleo
sebanyak 9.705 butir di Cagar Alam Panua, Sulawesi Utara dengan jumlah terbanyak diperoleh pada bulan April bertepatan dengan musim kemarau
sebanyak 1.596 butir dan paling sedikit pada bulan Juli, awal musim penghujan, sebanyak 82 butir.
Berdasarkan hasil analisis data terhadap jumlah sarang maleo di lokasi peneluran pada 6 tipe habitat di dalam kawasan TNLL Tabel 3, diperoleh
dugaan populasi total maleo sebesar 4554,73 ± 8,55 ekor dengan kepadatan
181,32 ± 0,34 ekorha. Hasil yang diperoleh adalah dugaan populasi dan
kepadatan maleo pada kelompok kelas umur dewasa dengan perbandingan jumlah antara individu jantan dan betina sebesar 1 : 1 pada setiap sarang.
Populasi dan perbandingan jenis kelamin pada kelas umur anak dan muda sangat sulit diketahui dari jumlah dan keberadaan sarang.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak balai TNLL, musim bertelur maleo di TNLL mencapai puncaknya pada bulan Mei-Juli Yayasan
Jambata 2001 melakukan survey pada bulan April-Juni terhadap status maleo di TNLL dan memperkirakan populasi maleo yang ada dalam kawasan TNLL
berkisar antara 1.065-2.355 pasang. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian ini ada kecenderungan penurunan populasi walaupun tidak terlalu
drastis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain semakin sempitnya areal peneluran maleo akibat perluasan daerah pertanian dan perkebunan
masyarakat selama kurun waktu 2 tahun. Tabel 3. Dugaan populasi dan kepadatan maleo pada masing-masing tipe habitat
di kawasan TNLL
No Tipe
Habitat Luas
ha Jumlah
Sarang Populasi
ekor Kepadatan
ekorha Persentase
Populasi CV
1 HS 1.93 53
487,10 ± 62,38
252,38 ± 32,32
10.69 12,81 2 SB 2.91
51 471,14
± 122,78 161,90 ± 42,19 10.34 26,06
3 SP 7.31 150
1379,25 ± 114,64 188,68 ± 15,68
30.28 8,31 4 SS 9.52
155 1425,70
± 137,67 149,76 ± 14,46 31.30 9,66
5 TB 2.21 57
524,88 ± 57,98
237,50 ± 26,23
11.52 11,05 6 TC 1.24
29 266,37
± 107,91 214,81 ± 87,03 5.85 40,51
TOTAL 25.12 495
4554,73 ± 8,55
181,32 ± 0,34
100 0,19
Keterangan: HS=Hutan Sekunder, SB=Semak Belukar, SP=Semak dan Perdu, SS=Sempadan Sungai, TB=Tanaman Bambu, TC=Tanaman Coklat
Butchart et al. 1998 menggunakan 3 kriteria untuk menentukan ukuran
populasi maleo berdasarkan jumlah sarang yang ditemukan, yaitu 1 Besar, jika jumlah sarang lebih dari 200 lubang, 2 Sedang, jika jumlah sarang berkisar
antara 75-200 lubang, 3 Kecil, jika jumlah sarang kurang dari 75 lubang. Apabila kriteria tersebut diterapkan pada hasil penghitungan di lapangan maka tipe
habitat hutan sekunder, semak belukar, tanaman bambu dan tanaman coklat memiliki ukuran populasi kecil, sedangkan habitat semak dan perdu serta
sempadan sungai memiliki ukuran populasi sedang.
252,38 161,90
188,68 149,76
237,50 214,81
50 100
150 200
250 300
Hutan Sekunder Semak Belukar
Semak dan Perdu Sempadan Sungai
Tanaman Bambu Tanaman Coklat
Tipe Habitat K
epa da
tan ek
or h
a
Gambar 3. Kepadatan maleo pada masing-masing tipe habitat di kawasan TNLL
Kepadatan maleo pada setiap tipe habitat sangat dipengaruhi oleh luasan dan kondisi areal peneluran. Kepadatan populasi maleo tertinggi terdapat pada
lokasi peneluran dengan tipe habitat hutan sekunder sebesar 252,38 ± 32,32
ekorha dan terendah terdapat pada lokasi peneluran dengan tipe habitat sempadan sungai sebesar 149,76
± 14,46 ekorha. Dari hasil pengamatan di lapangan, luas dan kondisi habitat hutan sekunder yang digunakan maleo
sebagai lokasi peneluran semakin terancam dengan adanya usaha masyarakat memperluas areal perkebunan, keadaan ini diperburuk dengan mudahnya akses
menuju kawasan peneluran maleo yang secara langsung mengganggu usaha maleo dalam membuat sarang untuk meletakkan telurnya. Tingginya kepadatan
sarang maleo di habitat hutan sekunder kemungkinan terjadi karena habitat tersebut dianggap sesuai dan memenuhi syarat sebagai areal bersarang bagi
maleo untuk meletakkan telur, sementara luas areal yang tersedia terbatas.
5.3. Preferensi Habitat Peneluran Maleo