E. Aktivitas Senyawa antioksidan
Ekstrak biji teratai selain berpotensi sebagai antibakteri, diduga memiliki aktivitas antioksidan. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan penduduk
daerah di sekitar Kalimantan yang mengkonsumsi biji ini dengan khasiat sebagai penunda penuaan obat awet muda selain sebagai obat antidiare,
insomnia, penambah stamina, dan lain-lain. Salah satu zat yang berpotensi sebagai komponen aktif yang dapat mempertahankan hidup sel dari kerusakan
oleh berbagai senyawa asing seperti radikal bebas adalah antioksidan. Antioksidan merupakan suatu senyawa yang aktif menghambat kerja radikal
bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan sel di dalam tubuh. Resiko yang ditimbulkan oleh kerusakan sel akibat radikal bebas adalah kematian oleh
berbagai penyakit degeneratif. Oleh karena itu, saat ini banyak dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan sumber antioksidan alami
sehingga penyakit degeneratif yang mematikan tersebut dapat dicegah. Kebiasaan penduduk di Kalimantan yang mengkonsumsi biji teratai
dengan klaim obat awet muda ini perlu dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Senyawa aktif yang diduga beraktivitas sebagai obat awet muda tersebut
adalah antioksidan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, selain pengujian aktivitas senyawa antibakteri, dilakukan pula pengujian aktivitas senyawa
antioksidan terhadap ekstrak biji teratai mentah maupun kukus dalam berbagai pelarut. Metode yang digunakan dalam uji aktivitas antioksidan ini adalah
metode Ransimat dan metode DPPH free radical scavenging activity. Metode Ransimat dilakukan terhadap seluruh ekstrak biji teratai
hingga didapatkan ekstrak terpilih, yaitu ekstrak yang memiliki kapasitas antioksidan tertinggi. Kemudian ekstrak terpilih tersebut diujikan dengan uji
lanjut yaitu uji DPPH untuk mengetahui aktivitas antioksidannya dan selanjutnya dihitung nilai IC
50.
1. Metode Ransimat
Kapasitas antioksidan pada ekstrak biji teratai diuji dengan metode Ransimat dengan tujuan untuk mengetahui ekstrak yang memiliki
kapasitas antioksidan yang tertinggi. Semua ekstrak dari ketiga pelarut
heksanaa, etilasetat, etanol, baik dari biji mentah maupun kukus, diuji dengan metode rancimat dan dibandingkan dengan sumber antioksidan
yaitu tokoferol. Metode ransimat dilakukan dengan cara memasukkan sejumlah ekstrak ke dalam tabung ransimat yang berisi minyak yang
banyak mengandung ikatan rangkap dalam penelitian ini dipilih minyak kedelai murni. Kontrol negatif yang digunakan adalah tabung berisi
minyak kedelai murni tanpa sampel sedangkan kontrol positif berisi α-
tokoferol dan minyak kedelai murni. Kontrol positif berfungsi sebagai faktor pembanding mengingat
α-tokoferol merupakan sumber antioksidan alami.
Metode ransimat ini dapat diaplikasikan untuk produk pangan lemak atau minyak sayur kedelai, bunga matahari, jagung, kelapa,
kacang, sawit, dan lain-lain, lemak atau minyak hewan mentega, ikan, lard
, dan lain-lain, dan produk yang mengandung minyak atau lemak seperti pengukuran langsung: margarin, dan setelah ekstraksi lemak:
sereal, biskuit, kacang, daging, dan lain sebagainya. Selain itu, metode ransimat ini dapat digunakan untuk penelitian antioksidan, kestabilan
oksidatif biodiesel dan asam lemak metil ester, dan kestabilan oksidasi minyak pemanasan ringan dengan katalis Cu Anonim 2, 2007.
Prinsip metode ransimat adalah oksidasi dipercepat dengan cara induksi aliran udara melewati minyak yang dipanaskan, misalnya pada
suhu ± 100°C. Produk oksidasi sekunder dari autooksidasi adalah senyawa
volatil dan ionik menghasilkan asam format. Reaksi autooksidasi biasa menghasilkan hidroperoksida dan juga asam format atau lebih umum lagi
adalah pembentukan senyawa ionik yang dapat mengubah konduktivitas dari air bebas ion pada alat rancimat Loliger, 1993.
Pengujian menggunakan metode Ransimat memiliki kesamaan prinsip dengan metode Active Oxygen Method AOM. AOM memiliki
prinsip bahwa laju oksidasi dipercepat oleh pengaliran udara dan pemberian panas dengan suhu 100°C pada minyak. Perbedaannya yaitu
pada pendeteksian waktu induksi atau periode induksi. Pada standar AOM
waktu induksi ditandai oleh pembentukan peroksida, sedangkan pada metode ransimat waktu induksi dideteksi oleh konduktor.
Pada awal reaksi oksidasi tidak ada peningkatan konduktivitas yang dapat diamati dan hanya pada tahap selanjutnya terjadi peningkatan
konduktivitas secara cepat periode induksi. Umumnya pada suhu ruang, periode induksi dihasilkan pada hitungan minggu atau bulan. Oleh karena
itu, perlu uji yang dipercepat, biasanya dilakukan pada suhu 100°C atau sampai 140°C untuk minyaklemak yang sangat stabil Loliger, 1993.
Besarnya aktivitas antioksidan dapat diketahui dari besarnya penghambatan terhadap pembentukan senyawa oksidan periode induksi
yang disebabkan oleh pemanasan minyak. Semakin lama waktu yang dibutuhkan dalam proses oksidasi
sampel oleh minyak mengindiaksikan kandungan antioksidan dalam sampel semakin baik.. Aktivitas antioksidan dalam metode ransimat
dinyatakan dalam persentase protection factor. Menurut Schwartz dan Ernst 1996, protection factor merupakan aktivitas antioksidan relatif
sampel dibandingkan dengan kontrol. Nilai protection factor dihitung dari rumus berikut.
Dimana : A
= waktu induksi sampel B
= waktu induksi kontrol C
= waktu induksi antioksidan murni kontrol positif Gambar 12 menunjukkan nilai protection factor masing-masing
ekstrak pada metode ransimat yang dilakukan pada ekstrak konsentrasi 80. Ekstrak etil asetat biji teratai mentah memiliki nilai protection factor
sebesar 29.91 ±1.49 dengan faktor pembanding
α-tokoferol yang bernilai 100. Meskipun nilai ini lebih kecil dibandingkan tokoferol, akan tetapi
dibandingkan dengan waktu kontrol minyak kedelai tanpa sampel, waktu induksi ekstrak etilasetat biji tertai mentah berpotensi memiliki aktivitas
A – B x 100 C
antioksidan. Nilai protection factor berbagai ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 12.
7,43
a,a
29,91
a,b
2,38
a,a
11,2
a
22,89
a
9,39
b
5 10
15 20
25 30
35
ekstrak heksan ekstrak etilasetat
ekstrak etanol
p rot
e c
ti on f
ac tor
biji mentah biji kukus
Gambar 12. Nilai protection factor berbagai ekstrak biji teratai Keterangan : 1 huruf superscript pertama menunjukkan perbandingan
antara ekstrak pada masing-masing pelarut 2
huruf superscript kedua menunjukkan perbandingan ekstrak biji mentah antar pelarut.
Selain menunjukkan nilai protection factor berbagai ekstrak biji teratai, Gambar 12 juga menunjukkan perbandingan nilai protection factor
antar ekstrak. Berdasarkan uji T terhadap ekstrak biji teratai menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan biji teratai tidak berpengaruh nyata p0.05
terhadap nilai protection factor pada ekstrak dengan pelarut heksana dan etilasetat Lampiran 9. Selain itu, analisis ragam menunjukkan bahwa
ekstraksi dengan pelarut yang berbeda secara bertingkat berpengaruh nyata p0.05 terhadap nilai protection factor pada ekstrak biji teratai mentah.
Selanjutnya, berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat berbeda nyata p0.05 dari ekstrak biji mentah dengan
pelarut lainnya dan memiliki nilai protection factor yang terbesar Lampiran 10-11. Dengan demikian, didapatkan jenis ekstrak terpilih
untuk uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH free radical scavenging activity
yaitu ekstrak etilasetat biji teratai mentah.
Aktivitas antioksidan yang terdapat dalam ekstrak biji teratai mentah berkaitan dengan kandungan senyawa flavonoid dan tanin
berdasarkan uji fitokimia pada ekstrak tersebut. Menurut Harbone 1987, flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Menurut
Johnson 2001, flavanoid sangat efektif digunakan sebagai antioksidan. Menurut Choi et al 1991 menyatakan bahwa flavanoid dapat
menurunkan hiperlipidemia pada manusia. Pada kasus penyakit jantung, penghambatan oksidasi LDL dapat mencegah pembentukan sel-sel busa
dan mencegah kerusakan lipid Meskin et al, 2002.
2. Metode DPPH