Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens)

(1)

SKRIPSI

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F 24103121

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

Annisa Dian Nuraini. F24103121. Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens). Di bawah bimbingan : Made Astawan.

RINGKASAN

Areal rawa merupakan salah satu lahan yang belum banyak mendapatkan perhatian khusus, padahal lahan rawa di Indonesia mencapai 33,4 juta hektar dari luas lahan 162,4 juta hektar. Potensi rawa terbesar berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Salah satu potensi rawa yang belum luas pemanfaatannya adalah teratai. Teratai (Nymphaea pubescens) merupakan salah satu tanaman yang berhabitat di daerah perairan tawar, seperti rawa-rawa atau sungai dan danau yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Hingga saat ini pemanfaatan umum teratai hanya sebatas sebagai tanaman hias. Sedangkan penduduk yang bermukim di sekitar rawa memanfaatkan biji teratai sebagai bahan pangan bahkan sebagai obat. Oleh karena itu, perlu penelitian yang mendalam mengenai biji teratai, khususnya sebagai antibakteri dan antioksidan.

Dalam penelitian ini, dilakukan ekstraksi biji teratai dalam kondisi mentah dan dikukus dengan tiga pelarut yang berbeda kepolarannya (heksana, etilasetat, dan etanol) dengan metode maserasi bertingkat dimulai dengan pelarut yang paling tidak polar, kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri dan antioksidan. Uji aktivitas antibakteri ekstrak dilakukan terhadap empat jenis bakteri uji, yaitu

Escherichia coli, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus

aureus dengan metode uji difusi sumur. Sedangkan uji aktivitas antioksidan

dilakukan dengan metode ransimat terhadap semua jenis ekstrak biji teratai, untuk mendapatkan ekstrak terpilih yaitu ekstrak yang memiliki kandungan antioksidan tertinggi. Kemudian dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH free

radical scavenging activity.

Hasil ekstraksi biji teratai, baik mentah maupun kukus, dengan berbagai pelarut dihasilkan rendemen yang berbeda-beda. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji tidak berpengaruh nyata (p>0.05) pada hasil rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut. Secara umum aktivitas antibakteri ekstrak biji mentah lebih besar dari biji kukusnya. Analisis ragam terhadap nilai rendemen ekstrak biji teratai mentah antar pelarut menunjukkan bahwa jenis pelarut antar ekstrak pada biji teratai mentah berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen (p<0.05). Dan berdasarkan uji LSD, nilai rendemen ekstrak etanol biji teratai mentah memiliki nilai yang paling tinggi dan berbeda nyata dari ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut lainnya, yaitu sebesar 4.23%.

Berdasarkan pengamatan ekstrak heksana, baik biji mentah maupun kukus, tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Hasil analisis ragam, ekstraksi biji teratai mentah dengan pelarut berbeda secara bertingkat menunjukkan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap aktivitas antibakteri pada keempat bakteri uji. Selanjutnya berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat memiliki aktivitas antibakteri yang paling tinggi dan berbeda nyata (p<0.05) dengan ekstrak dari pelarut lainnya. Diameter penghambatan pertumbuhan oleh ekstrak etilasetat biji teratai mentah pada konsentrasi 30% terhadap E. coli adalah 23.10±0.00 mm, B. cereus 11.40±0.30 mm, S. aureus


(3)

12.83±0.16 mm, dan P. aeruginosa 12.85±0.25 mm. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji teratai berpengaruh nyata (p<0.05) pada aktivitas antibakteri terhadap keempat bakteri uji.

Uji aktivitas antioksidan pada metode ransimat menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat biji teratai mentah merupakan ekstrak yang paling tinggi kandungan antioksidannya, yaitu dengan nilai protection factor 29.91±1.49 % terhadap tokoferol. Berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat berbeda nyata (p<0.05) dengan ekstrak biji mentah dengan pelarut lainnya dan memiliki nilai protection factor yang terbesar. Sehingga ekstrak etilasetat biji mentah dipilih untuk dilakukan uji antioksidan metode DPPH free radical scavenging activity. Uji aktivitas antioksidan metode DPPH

free radical scavenging activity ditunjukkan dengan nilai IC50 dengan asam

askorbat sebagai pembanding. Nilai IC50 ekstrak etilasetat biji teratai mentah


(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F24103121

Dilahirkan pada tanggal 4 September1985 Di Cirebon, Jawa Barat

Tanggal lulus: 7 Agustus 2007

Bogor, Agustus 2007 Menyetujui,

Prof. Dr. Made Astawan, MS Dosen Pembimbing Akademik

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc


(5)

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F 24103121

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah subhanallahuwata’ala atas karunia yang tak terhingga dengan selesainya penyusunan skripsi yang berjudul “EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)”. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat berpartisipasi dalam membangun kemajuan ilmu pengetahuan bangsa dan dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih, terutama kepada :

1. Orang tua tercinta H. Sadik dan Hj. Masanah atas cinta dan kasih sayang yang tak terhingga, bakti seumur hidupku tak akan pernah cukup untuk membalas ketulusanmu, serta kakak-kakakku tercinta atas segala dukungan dan doa yang kalian berikan.

2. Prof. Dr. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing penulis selama ini. Semoga Bapak selalu mendapat rahmat dan lindungan Allah SWT.

3. Dra. Suliantari, MS dan Dr. Ir. Sukarno selaku dosen penguji, atas masukan, saran serta kritik yang telah diberikan demi kesempurnaan skripsi.

4. Ibu Yuspihana Fitrial, mahasiswa S3 IPN IPB, atas segala bantuan (terutama dalam penyediaan biji teratai) , dukungan, serta masukan mengenai penelitian. 5. Teza Permana, atas perhatian dan dorongan yang tulus.

6. Andreas Leomitro, atas kerja sama yang baik selama penelitian dan segala bantuan selama menyusun tugas akhir.

7. Sahabat-sahabat setiaku, Citra, Ikoq, Ocha, Ephen, Abdy, Bohay, Dini, Iin, Indach, Wati, dan Dian atas kasih sayang, dukungan, bantuan, kebersamaan, dan gosip. Jangan pernah lukai persahabatan kita dengan permasalahan apapun meski luka hati seringkali tak terhindari.

8. Sahabat-sahabat hidupku, Sunu, Aak, Abip, dan Iyan atas persahabatan sejati yang telah diberikan.


(7)

9. Cristine (ITP’40), Nene (ITP’39), Agnes (ITP’40), dan Meiko (ITP’40) yang telah banyak membantu penulis dalam analisis antioksidan. Serta teman-teman seperjuangan Onet, Tatan, Steph, Acha, Nooy, Tuti, dan Gol D.

10.Teman-teman ITP’40, ITP’39, dan ITP’41 atas bantuan dan dukungannya. 11.Kardhita Crew, Mba Zenab, Mas Aga, Mba Nanin, Mba Meirina, Selly, Wati,

Lina, Yuli, Cici, Fitri, Anna atas dukungan moril kepada penulis.

12.Laboran-laboran yang telah membantu selama penelitian terutama Pak Sob, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Mul, Pak Yahya, Mbak Darsih, Mbak Yane, Mba Ari, Teh Ida serta pustakawan Perpustakaan PAU dan PITP.

13.Pihak-pihak yang tak sempat disebutkan, atas bantuan dan dukungan yang tak terhingga, mohon maaf atas kekhilafan penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan riset di bidang pangan khususnya dan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Penulis menyadari akan kekurangan yang tak dapat dihindari pada skripsi ini, sehingga masukan kiritik dan saran sangat diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2007


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. B. Tujuan dan Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teratai ... 4

B. Kandungan Zat Gizi Biji Teratai ... 6

C. Teknik Ekstraksi ... 7

D. Senyawa Antimikroba ... 8

E. Bakteri Patogen dan Perusak Pangan ... 9

F. Antioksidan ... 13

G. Fitokimia ... 16

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat ... 22

B. Metode Penelitian ... 22

C. Metode Analisis ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen dan Proksimat Ekstrak Biji Teratai ... 35

B. Karakteristik Ekstrak ... 37

C. Persiapan Kultur Bakteri Uji ... 39

D. Aktivitas Antimikroba ... 40

E. Aktivitas Senyawa antioksidan ... 51


(9)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kandungan Gizi Tepung Biji Teratai... 6

Tabel 2 Hasil Uji Proksimat Terhadap Tepung Biji Teratai... 37

Tabel 3 Karakteristik Berbagai Ekstrak Biji Teratai... 38

Tabel 4 Total Mikroba Kultur Bakteri Uji... 40

Tabel 5 Aktivitas Antibakteri Berbagai Ekstrak Biji Teratai Pada Konsentrasi 30% terhadap Bakteri Uji... 42

Tabel 6 Perbandingan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Mentah... 45

Tabel 7 Kandungan Komonen Fitokimia pada Ekstrak Etilasetat Biji Teratai Mentah... 59


(11)

SKRIPSI

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F 24103121

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(12)

Annisa Dian Nuraini. F24103121. Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens). Di bawah bimbingan : Made Astawan.

RINGKASAN

Areal rawa merupakan salah satu lahan yang belum banyak mendapatkan perhatian khusus, padahal lahan rawa di Indonesia mencapai 33,4 juta hektar dari luas lahan 162,4 juta hektar. Potensi rawa terbesar berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Salah satu potensi rawa yang belum luas pemanfaatannya adalah teratai. Teratai (Nymphaea pubescens) merupakan salah satu tanaman yang berhabitat di daerah perairan tawar, seperti rawa-rawa atau sungai dan danau yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Hingga saat ini pemanfaatan umum teratai hanya sebatas sebagai tanaman hias. Sedangkan penduduk yang bermukim di sekitar rawa memanfaatkan biji teratai sebagai bahan pangan bahkan sebagai obat. Oleh karena itu, perlu penelitian yang mendalam mengenai biji teratai, khususnya sebagai antibakteri dan antioksidan.

Dalam penelitian ini, dilakukan ekstraksi biji teratai dalam kondisi mentah dan dikukus dengan tiga pelarut yang berbeda kepolarannya (heksana, etilasetat, dan etanol) dengan metode maserasi bertingkat dimulai dengan pelarut yang paling tidak polar, kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri dan antioksidan. Uji aktivitas antibakteri ekstrak dilakukan terhadap empat jenis bakteri uji, yaitu

Escherichia coli, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus

aureus dengan metode uji difusi sumur. Sedangkan uji aktivitas antioksidan

dilakukan dengan metode ransimat terhadap semua jenis ekstrak biji teratai, untuk mendapatkan ekstrak terpilih yaitu ekstrak yang memiliki kandungan antioksidan tertinggi. Kemudian dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH free

radical scavenging activity.

Hasil ekstraksi biji teratai, baik mentah maupun kukus, dengan berbagai pelarut dihasilkan rendemen yang berbeda-beda. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji tidak berpengaruh nyata (p>0.05) pada hasil rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut. Secara umum aktivitas antibakteri ekstrak biji mentah lebih besar dari biji kukusnya. Analisis ragam terhadap nilai rendemen ekstrak biji teratai mentah antar pelarut menunjukkan bahwa jenis pelarut antar ekstrak pada biji teratai mentah berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen (p<0.05). Dan berdasarkan uji LSD, nilai rendemen ekstrak etanol biji teratai mentah memiliki nilai yang paling tinggi dan berbeda nyata dari ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut lainnya, yaitu sebesar 4.23%.

Berdasarkan pengamatan ekstrak heksana, baik biji mentah maupun kukus, tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Hasil analisis ragam, ekstraksi biji teratai mentah dengan pelarut berbeda secara bertingkat menunjukkan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap aktivitas antibakteri pada keempat bakteri uji. Selanjutnya berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat memiliki aktivitas antibakteri yang paling tinggi dan berbeda nyata (p<0.05) dengan ekstrak dari pelarut lainnya. Diameter penghambatan pertumbuhan oleh ekstrak etilasetat biji teratai mentah pada konsentrasi 30% terhadap E. coli adalah 23.10±0.00 mm, B. cereus 11.40±0.30 mm, S. aureus


(13)

12.83±0.16 mm, dan P. aeruginosa 12.85±0.25 mm. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji teratai berpengaruh nyata (p<0.05) pada aktivitas antibakteri terhadap keempat bakteri uji.

Uji aktivitas antioksidan pada metode ransimat menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat biji teratai mentah merupakan ekstrak yang paling tinggi kandungan antioksidannya, yaitu dengan nilai protection factor 29.91±1.49 % terhadap tokoferol. Berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat berbeda nyata (p<0.05) dengan ekstrak biji mentah dengan pelarut lainnya dan memiliki nilai protection factor yang terbesar. Sehingga ekstrak etilasetat biji mentah dipilih untuk dilakukan uji antioksidan metode DPPH free radical scavenging activity. Uji aktivitas antioksidan metode DPPH

free radical scavenging activity ditunjukkan dengan nilai IC50 dengan asam

askorbat sebagai pembanding. Nilai IC50 ekstrak etilasetat biji teratai mentah


(14)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F24103121

Dilahirkan pada tanggal 4 September1985 Di Cirebon, Jawa Barat

Tanggal lulus: 7 Agustus 2007

Bogor, Agustus 2007 Menyetujui,

Prof. Dr. Made Astawan, MS Dosen Pembimbing Akademik

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc


(15)

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F 24103121

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(16)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah subhanallahuwata’ala atas karunia yang tak terhingga dengan selesainya penyusunan skripsi yang berjudul “EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)”. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat berpartisipasi dalam membangun kemajuan ilmu pengetahuan bangsa dan dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih, terutama kepada :

1. Orang tua tercinta H. Sadik dan Hj. Masanah atas cinta dan kasih sayang yang tak terhingga, bakti seumur hidupku tak akan pernah cukup untuk membalas ketulusanmu, serta kakak-kakakku tercinta atas segala dukungan dan doa yang kalian berikan.

2. Prof. Dr. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing penulis selama ini. Semoga Bapak selalu mendapat rahmat dan lindungan Allah SWT.

3. Dra. Suliantari, MS dan Dr. Ir. Sukarno selaku dosen penguji, atas masukan, saran serta kritik yang telah diberikan demi kesempurnaan skripsi.

4. Ibu Yuspihana Fitrial, mahasiswa S3 IPN IPB, atas segala bantuan (terutama dalam penyediaan biji teratai) , dukungan, serta masukan mengenai penelitian. 5. Teza Permana, atas perhatian dan dorongan yang tulus.

6. Andreas Leomitro, atas kerja sama yang baik selama penelitian dan segala bantuan selama menyusun tugas akhir.

7. Sahabat-sahabat setiaku, Citra, Ikoq, Ocha, Ephen, Abdy, Bohay, Dini, Iin, Indach, Wati, dan Dian atas kasih sayang, dukungan, bantuan, kebersamaan, dan gosip. Jangan pernah lukai persahabatan kita dengan permasalahan apapun meski luka hati seringkali tak terhindari.

8. Sahabat-sahabat hidupku, Sunu, Aak, Abip, dan Iyan atas persahabatan sejati yang telah diberikan.


(17)

9. Cristine (ITP’40), Nene (ITP’39), Agnes (ITP’40), dan Meiko (ITP’40) yang telah banyak membantu penulis dalam analisis antioksidan. Serta teman-teman seperjuangan Onet, Tatan, Steph, Acha, Nooy, Tuti, dan Gol D.

10.Teman-teman ITP’40, ITP’39, dan ITP’41 atas bantuan dan dukungannya. 11.Kardhita Crew, Mba Zenab, Mas Aga, Mba Nanin, Mba Meirina, Selly, Wati,

Lina, Yuli, Cici, Fitri, Anna atas dukungan moril kepada penulis.

12.Laboran-laboran yang telah membantu selama penelitian terutama Pak Sob, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Mul, Pak Yahya, Mbak Darsih, Mbak Yane, Mba Ari, Teh Ida serta pustakawan Perpustakaan PAU dan PITP.

13.Pihak-pihak yang tak sempat disebutkan, atas bantuan dan dukungan yang tak terhingga, mohon maaf atas kekhilafan penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan riset di bidang pangan khususnya dan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Penulis menyadari akan kekurangan yang tak dapat dihindari pada skripsi ini, sehingga masukan kiritik dan saran sangat diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2007


(18)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. B. Tujuan dan Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teratai ... 4

B. Kandungan Zat Gizi Biji Teratai ... 6

C. Teknik Ekstraksi ... 7

D. Senyawa Antimikroba ... 8

E. Bakteri Patogen dan Perusak Pangan ... 9

F. Antioksidan ... 13

G. Fitokimia ... 16

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat ... 22

B. Metode Penelitian ... 22

C. Metode Analisis ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen dan Proksimat Ekstrak Biji Teratai ... 35

B. Karakteristik Ekstrak ... 37

C. Persiapan Kultur Bakteri Uji ... 39

D. Aktivitas Antimikroba ... 40

E. Aktivitas Senyawa antioksidan ... 51


(19)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63


(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kandungan Gizi Tepung Biji Teratai... 6

Tabel 2 Hasil Uji Proksimat Terhadap Tepung Biji Teratai... 37

Tabel 3 Karakteristik Berbagai Ekstrak Biji Teratai... 38

Tabel 4 Total Mikroba Kultur Bakteri Uji... 40

Tabel 5 Aktivitas Antibakteri Berbagai Ekstrak Biji Teratai Pada Konsentrasi 30% terhadap Bakteri Uji... 42

Tabel 6 Perbandingan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Mentah... 45

Tabel 7 Kandungan Komonen Fitokimia pada Ekstrak Etilasetat Biji Teratai Mentah... 59


(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Biji Teratai Nympheae pubescens Willd... 5

Gambar 2 Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer terhadap Radikal Lipida... 14 Gambar 3 Antioksidan Bertindak Sebagai Prooksidan pada Konsentrasi Tinggi... 15 Gambar 4 Diagram Alir Penelitian... 23

Gambar 5 Diagran Alir Ekstraksi Biji Teratai... 24

Gambar 6 Rendemen Berbagai Ekstrak Biji Teratai... 36

Gambar 7 Ekstrak Biji Teratai Mentah Dalam Berbagai Pelarut... 39

Gambar 8 Penghambatan Ekstrak Heksan Biji Teratai Mentah... 43

Gambar 9 Penghambatan Ekstrak Etilasetat Biji Teratai Mentah... 44

Gambar 10 Penghambatan Ekstrak Etanol Biji Teratai Mentah... 46

Gambar 11 Perbandingan Penghambatan Ekstrak Pada Jenis Bakteri Uji… 48 Gambar 12 Nilai Protection Factor Berbagai Ekstrak Biji Teratai... 54

Gambar 13 Reaksi Penangkapan Radikal Bebas Stabil Oleh Antioksidan.... 56


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Nilai Rendemen Ekstrak Biji Teratai dan Contoh Perhitungan...

68

Lampiran 2 Analisis Statistik Rendemen Berbagai Ekstrak Biji Teratai... 69 Lampiran 3 Analisis Sidik Ragam Ekstrak Biji Teratai Mentah... 70 Lampiran 4 Contoh Perhitungan Diameter Penghambatan Ekstrak Uji

Difusi Sumur... 71

Lampiran 5 Diameter Penghambatan Ekstrak Terhadap Bakteri Uji... 72 Lampiran 6 Analisis Statistik Diameter Penghambatan Oleh Ekstrak

Etilsetat... 73

Lampiran 7 Analisis Sidik Ragam Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Mentah...

74

Lampiran 8 Analisis Statistik Diameter Penghambatan Oleh Ekstrak Etanol...

76

Lampiran 9 Hasil Uji Ransimat Terhadap α-tokoferol... 77 Lampiran 10 Hasil Uji Ransimat Terhadap Ekstrak... 78 Lampiran 11 Hasil Uji Ransimat Terhadap Kontrol... 90 Lampiran 12 Nilai Protection Factor Ekstrak Biji Teratai Pada Uji

Ransimat... 99

Lampiran 13 Analisis Statistik Aktivitas Antioksidan Berbagai Ekstrak Biji Teratai...

100

Lampiran 14 Analisis Sidik Ragam Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji Teratai Mentah...

101


(23)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah Indonesia memiliki potensi alam yang beragam dan sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, hingga saat ini banyak potensi alam di Indonesia yang belum sepenuhnya digali dan dimanfaatkan secara maksimal. Menurut Pradono et al. (2006), Indonesia memiliki kekayaan sumber daya hayati terbesar kedua setelah Brazil dengan lebih dari 28000 spesies tanaman. Meskipun demikian, baru sekitar 1000 spesies tanaman yang terdaftar dalam Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang telah digunakan untuk memproduksi pangan fungsional, terutama jamu.

Wilayah Indonesia terdiri dari daratan dan perairan yang masing-masing memiliki aneka ragam kekayaan alam yang sangat bermanfaat. Wilayah perairannya sendiri mencapai dua per tiga dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Wilayah perairan di Indonesia dibedakan menjadi wilayah laut dan perairan tawar. Potensi laut telah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan pangan. Selain laut, potensi dari perairan tawar juga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Akan tetapi, saat ini potensi dari perairan tawar belum dimanfaatkan secara maksimal.

Perairan tawar di Indonesia terdiri dari danau, sungai, payau, dan rawa. Daerah rawa di Indonesia cukup luas dan seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Menurut Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2002), luas rawa di Indonesia berkisar 33,4 juta hektar dari luas lahan 162,4 juta hektar. Rawa tersebut berupa rawa pasang surut dan rawa non-pasang surut. Dari luas rawa tersebut, 20,096 juta hektar diantaranya berupa rawa pasang surut dan 13,296 juta hektar berupa rawa non-pasang surut. Potensi rawa terbesar berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Di Sumatera, luas rawa pasang surutnya 6,6 juta hektar dan rawa non-pasang surutnya 2,7 juta hektar. Di Kalimantan rawa pasang surutnya mencapai 8,12 juta hektar dan rawa non-pasang surutnya 3,3 juta hektar.


(24)

Sedangkan di Sulawesi, rawa pasang surutnya mencapai 1,2 juta hektar sedangkan rawa non pasang surutnya mencapai 645 ribu hektar. Di Papua, rawa pasang surutnya 4,2 juta hektar sedangkan rawa non pasang surutnya 6,3 juta hektar.

Data-data tersebut menunjukkan bahwa wilayah perairan tawar di Indonesia sangat luas, terutama daerah rawa. Hal ini tentu harus dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu potensi rawa yang saat ini banyak dikembangkan adalah tanaman teratai (Nymphaea). Tanaman ini tumbuh subur di tanah berawa. Sentral tanaman ini banyak terdapat di Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan. Biji bunga teratai bagi masyarakat Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi. Selain karena khasiatnya sebagai obat diare, biji bunga teratai ini dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit hingga obat awet muda. Sehingga diperkirakan biji teratai mengandung komponen yang memiliki aktivitas antibakteri dan antioksidan.

Melihat manfaatnya, biji teratai seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan antibakteri dan antioksidan alami secara luas, mengingat pemanfaatannya hingga saat ini masih di sekitar daerah yang letaknya dekat dengan rawa. Padahal saat ini masyarakat Indonesia sangat membutuhkan sumber antibakteri maupun antioksidan alami. Senyawa antimikroba digunakan untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan dalam pangan atau untuk mencegah dan menghambat pertumbuhannya (Ray, 2001). Antimikroba alami dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet pangan alami yang kini sangat dibutuhkan untuk menggantikan bahan pengawet kimia yang memiliki resiko bagi kesehatan. Menurut Thongson et al (2004), salah satu strategi mengurangi jumlah kasus

food borne-illness dapat dilakukan dengan mengaplikasikan antimikroba pada

saat proses pengolahan pangan untuk menginaktifkan ataupun untuk mencegah pertumbuhan mikroba.

Selain sebagai antibakteri, biji teratai diduga memiliki potensi aktivitas antioksidan. Dewasa ini, telah banyak dipublikasikan manfaat antioksidan terhadap kesehatan, terutama dalam kaitannya dengan pencegahan


(25)

penyakit-penyakit degeneratif yang sangat berbahaya. Menurut Mukhopadhiay (2000), senyawa antioksidan memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Selain itu, senyawa antioksidan berfungsi menghambat reaksi oksidasi lemak pada bahan pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna dan rasa, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan. Oleh karena itu, eksplorasi sumber-sumber antioksidan alami sangat dibutuhkan oleh masyarakat mengingat bahaya radikal bebas semakin tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari.

B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan umum penelitian ini adalah mengekstrak komponene antibakteri dan antioksidan dari biji teratai (Nymphaea pubescens Willd). Sedangkan tujuan khusus penelitian antara lain adalah mendapatkan ekstrak dengan kandungan komponen antibakteri dan antioksidan terbaik, mengevaluasi pengaruh pemanasan biji teratai untuk ekstraksi komponen antibakteri dan antioksidan, serta menguji aktivitas ekstrak sebagai antibakteri dan antioksidan.

Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini antara lain adalah mendapatkan senyawa antibakteri dan antioksidan, menambah nilai ekonomi biji teratai, dan memanfaatkan sumber daya alam terutama botani yang hidup di rawa.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teratai

1. Botani Teratai

Teratai termasuk tanaman keluarga Nymphaceae dan tergolong jenis tanaman yang berbunga sepanjang tahun. Famili Nymphaceae terdiri dari tujuh genus yaitu : Nymphae (teratai), Nelumbo (lotus), Victoria

(teratai raksasa), Euryale, Barclaya, dan Ondinea. Menurut Marianto (2001), secara taksonomi (pembagian kelas berdasarkan sifat tumbuhan), teratai diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisio : Spermathophyta (tumbuhan berbiji) Kelas : Monocotyl (tumbuhan berbiji tunggal) Ordo : Nymphales

Familia : Nymphaceae Genus : Nymphae

Spesies : Nymphae alba, Nymphae odorata, Nymphae tuberosa, Nymphae pubescense, Nymphae stellata, Nymphae nouchali, dll.

Hingga saat ini tanaman teratai yang tersebar di seluruh dunia diperkirakan ada 40 sampai 200 varietas. Teratai-teratai tersebut tersebar luas dan merata di seluruh dunia, mulai dari daerah yang gersang seperti Afrika hingga daerah yang dingin di Eropa. Teratai merupakan salah satu tanaman yang berhabitat di daerah perairan tawar, seperti rawa-rawa atau sungai dan danau yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Perkembangbiakan tanaman teratai dibantu oleh peristiwa alam seperti angin, air, ataupun serangga (Don et al. 2000).

Teratai merupakan tanaman air yang tumbuh di daerah bersuhu 20-30°C. Ekologi tanaman ini adalah perairan tenang dan lembab, memerlukan banyak sinar matahari dengan pH air netral sampai asam. Teratai memiliki akar yang kuat, panjang dan berumbi. Daunnya


(27)

mengapung di atas air, bagian atas daun berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawahnya berwarna ungu kemerahan. Bentuk daun bundar dengan diameter antara 9 - 12 cm, bagian tepi daun melipat, dan daunnya mempunyai tangkai yang disebut petiola.

Seorang ahli botani berkebangsaan Belanda, Van Steenis, menemukan tiga jenis spesies teratai asli Indonesia yang banyak tersebar di daerah rawa-rawa dan sungai di Pulau Jawa dan Kalimantan. Spesies lokal tersebut adalah Nymphae pubescens, Nymphae stellata, dan

Nymphae nouchali (Marianto, 2001).

2. Biji Teratai (Nympheae pubescens)

Teratai dapat berbunga beberapa kali dalam setahun. Bunga muncul di permukaan air, mekar sekitar pukul 18.00-19.00, dan menutup kembali keesokan harinya sebelum tengah hari. Bunga akan menghasilkan buah yang bundar berdiameter sekitar 4–12 cm. Biji buah berwarna coklat kehitaman, dan tersimpan dalam daging buah serta memiliki kulit ari yang keras. Biji yang tua dan kering dapat diolah menjadi tepung atau dimasak seperti menanak nasi (Khairina dan Fitrial, 2002). Biji teratai putih

(Nymphae pubescens Willd) sering disebut ghol dan memiliki beberapa

manfaat terutama sebagai bahan makanan dan obat.

(a) (b)

Gambar 1. Biji teratai Nympheae pubescens Willd (a), Tepung biji teratai Nympheae pubescens Willd (b)


(28)

Biji teratai memiliki kandungan gizi yang tinggi terutama pati, lemak, dan protein (Marianto, 2001). Hal ini memungkinkan apabila biji teratai dicampur dengan serealia atau tanaman biji-bijian lain dapat dijadikan sebagai bahan pembuat kue dan makanan ringan. Di Filipina dan India, biji teratai diaplikasikan dalam bentuk tepung untuk bahan pembuatan roti (Sastrapradja dan Bimantoro 1981).

B. Kandungan Zat Gizi Biji Teratai

Kandungan zat gizi biji teratai bervariasi, tergantung pada spesies, tempat tumbuh serta musim. Menurut Fuaddi (1996), biji teratai mengandung karbohidrat sebesar 87,67 %. Angka tersebut hampir setara dengan kandungan karbohidrat pada beras dan tepung terigu. Selain mengandung karbohidrat, kandungan gizi biji teratai yang lainnya seperti pati, lemak dan proteinnya juga tinggi. Menurut Khairina dan Fitrial (2002), tepung biji teratai juga mengandung asam amino dan asam lemak esensial yang lengkap.

Tabel 1. Kandungan gizi tepung biji teratai

Komposisi (%b/k) Tepung biji teratai

a b

Karbohidrat 87,67 87,67

Protein 10,66 10,55

Lemak 1,11 0,99

Fosfor 0,032 -

Besi 0,0126 -

Serat Kasar - 2,75

Gula Pereduksi - 7,36

Abu - 0,79

Sumber : (a) Fuaddi (1996)


(29)

C. Teknik Ekstraksi

Menurut Nur dan Adijuwana (1989), ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur kandungan bahan dan jenis senyawa yang ingin didapat (Nielsen, 2003).

Penggunaan metode ekstraksi yang dilakukan bergantung pada beberapa faktor, yaitu tujuan dilakukan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstraksi, dan sifat-sifat pelarut yang akan digunakan (Hougton dan Raman, 1998). Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan adalah ekstraksi dengan pelarut, distilasi, super critical fluid

extraction (SFE), pengepresan mekanik, dan sublimasi. Metode ekstraksi yang

banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi dengan pelarut. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin lama waktu yang digunakan dan semakin tinggi suhu yang digunakan maka semakin sempurna proses ekstraksi. Semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan komponen yang diekstrak, semakin sempurna proses ekstraksi.

Teknik ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi dengan pelarut organik secara bertingkat. Ekstraksi secara bertingkat dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai pelarut adalah : (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, (2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa organik, dan (3) pelarut air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam ataupun basa (Achmadi, 1992). Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak dikontakkan langsung dengan pelarut selama selang waktu tertentu, sehingga komponen yang akan diekstrak terlarut dalam pelarut kemudian diikuti dengan pemisahan pelarut dari bahan yang telah diekstrak.

Secara umum teknik ekstraksi menggunakan pelarut organik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu maserasi, digestion, dan perkolasi. Maserasi


(30)

merupakan proses ekstraksi dengan penghancuran sampel menggunakan pelarut, perendaman beberapa hari dan dilakukan pengadukan, kemudian dilakukan penyaringan atau pengepresan sehingga diperoleh cairan. Digestion

adalah ekstraksi yang dilakukan dengan bantuan pemanasan sekitar 60°C dan lamanya ekstraksi dapat berlangsung selama 24 jam. Perkolasi merupakan teknik ekstraksi komponen terlarut dari suatu sampel menggunakan aliran pelarut dengan pemanasan atau tanpa pemanasan.

Pada penelitian ini, pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah heksan, etil asetat, dan etanol yang ketiganya berturut-turut merupakan senyawa nonpolar, semi polar, dan polar. Heksan merupakan pelarut yang bersifat nonpolar dan berfungsi melarutkan lemak. Heksan terdiri dari hidrokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14. Heksan yang digunakan

sebagai pelarut berupa cairan tak berwarna dan memiliki titik didih 69°C serta larut dalam air. Sedangkan etil asetat merupakan komponen organik semi polar dengan rumus molekul C4H8O2. Etil asetat bersifat volatil, nontoksik,

dan tidak higroskopis. Pelarut ketiga adalah etanol dengan rumus molekul C2H5OH bersifat volatil.

D. Senyawa Antimikroba

Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Menurut Fardiaz (1989), zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal, fungistatik atau menghambat germinasi spora bakteri. Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu : (1) konsentrasi zat antimikroba, (2) suhu lingkungan, (3) waktu penyimpanan, (4) sifat-sifat mikroba, meliputi jenis, jumlah, umur, dan keadaan mikroba, (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis, dan jumlah senyawa di dalamnya (Frazier dan Westhoff, 1988).

Kriteria ideal suatu antimikroba antara lain harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut : aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan flavor, citarasa dan aroma makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena


(31)

adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, sebaiknya bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Ray, 2001). Penghambatan aktivitas antimikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat disebabakan oleh beberapa faktor, antara lain : (1) gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, (2) peningkatan permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktifasi enzim metabolik, dan (4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Branen dan davidson, 1993).

Senyawa antimikroba yang berasal dari tanaman sebagian besar diketahui merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama dari golongan fenolik dan terpen dalam minyak atsiri. Sebagian besar metabolit sekunder dibiosintesis dari banyak metabolit primer seperti asam-asam amino, asetil ko-A, asam mevalonat, dan metbolit antara. Selain itu, beberapa senyawa yang bersifat antimikroba alami berasal dari tanaman di antaranya adalah fitoaleksin, asam organik, minyak esensial (atsiri), fenolik dan beberapa kelompok pigmen tanaman atau senyawa sejenis (Nychas dan Tassou, 2000)

E. Bakteri Patogen dan Perusak Pangan

Mikroba pada bahan pangan dapat memberikan dampak yang negatif bagi manusia. Hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan yang diakibatkan oleh keberadaan mikroba terutama pada bahan pangan, seperti kebusukan dan keracunan. Kebusukan disebabkan oleh aktivitas mikroba pembusuk, sedangkan keracunan disebabkan oleh adanya mikroba patogen atau racun yang dihasilkan mikroba patogen. Bakteri penyebab kerusakan pangan contohnya antara lain adalah Pseudomonas. Bakteri patogen dibedakan menjadi patogenik penyebab penyakit (infeksi) dan patogenik penyebab penyakit karena keracunan (intoksikasi). Intoksikasi disebabkan oleh konsumsi toksin (racun) yang dihasilkan bakteri. Pada intoksikasi, sekalipun makanan atau bahan pangan sudah dipanaskan, toksin yang sudah terbentuk akan tetap aktif dan bisa menyebabkan keracunan meski bakteri tersebut sudah tidak ada dalam makanan (Ardiansyah, 2006).


(32)

Bakteri yang yang akan diuji dalam penelitian ini mewakili bakteri patogen dan bakteri pembusuk pangan. Bakteri yang mewakili bakteri patogen adalah Escherichia coli, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus.

Sedangkan bakteri yang mewakili bakteri perusak pangan adalah

Pseudomonas aeruginosa.

1. Bacillus cereus

Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif yang mempunyai

ukuran sel yang besar, yaitu sekitar 1.0-1.2 µm dengan panjang 3.0-5.0 µm, bersifat anaerobik fakultatif dan dapat membentuk spora. Spora yang terbentuk tidak membengkak, berbentuk elips dan terletak di tengah atau agak di tengah sel (Fardiaz, 1989). Umumnya terdapat di dalam tanah dan pada tanaman, juga telah diisolasi dari berbagai makanan. Bakteri ini menyebabkan kebusukan makanan, tumbuh pada suhu 10-14°C dan pH 4.9-9.3. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 28-35°C dengan pH optimum 7.0-7.5 (Fardiaz, 1989).

B. cereus dapat menyebabkan intoksikasi. Jenis toksin yang

dihasilkan dapat digolongkan menjadi toksin emetik dan toksin diargenik (Fardiaz, 1989). Makanan yang berhubungan dengan gejala emetik adalah produk pangan berkarbohidrat seperti nasi dan pasta, sedangkan makanan yang berhubungan dengan diargenik adalah produk daging, sup, sayuran, puding, dan saus (Adam dan Moss, 1995). Untuk mencegah dampak buruk

B. cereus, makanan harus dijaga agar tingkat kontaminasinya tidak tinggi.

Batas aman konsumsi B. cereus adalah 1x 106 (Granum, 1994). Hal ini dapat dilakukan dengan pemasakan yang dapat membunuh sel vegetatif dan mencegah germinasi spora; pemanasan kemudian pendinginan secepatnya sehingga memberikan shok; dan penyimpanan pada suhu refrigerator.

2. Staphylococcus aureus

Staphilococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk


(33)

S. aureus hidup secara aerobik ataupun anaerobik fakultatif. Sifat lainnya adalah nonmotil dan tidak membentuk spora (Parker, 2000). S. aureus

tahan garam dan tumbuh baik pada medium yang mengandung 7.5% NaCl, serta dapat memfermentasi manitol.

Pada umunya S. aureus mampu memproduksi pigmen kuning keemasan dan koagulase, sehingga dapat dibedakan atas beberapa grup berdasarkan sifat imunitas koagulasenya, yaitu koagulase tipe I sampai VIII. Suhu optimum pertumbuhan S. aureus adalah 35-37°C, dengan suhu minimum 6.7 dan suhu maksimum 45.5°C. S. aureus dapat tumbuh pada pH 4.0-9.8 dengan pH optimum sekitar 7.0-7.5. Pertumbuhan pada pH mendekati 9.8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk pertumbuhannya.

Keracunan oleh S. aureus disebabkan tumbuhnya bakteri ini di dalam bahan pangan dan membentuk enterotoksin sebagai produk metabolitnya. Keberadaan S. aureus tidak wajar dalam makanan. Makanan yang terkontaminasi S. aureus biasanya berasal dari kulit manusia yang kontak dengan makanan (Adam dan Moss, 1995). Pada bahan pangan yang telah dimasak, S. aureus dapat terus berkembang mencapai tingkat yang membahayakan padahal bakteri lain akan terhambat.

Hampir seluruh strain S. aureus bersifat patogen dan dapat memproduksi 6 jenis enterotoksin (A, B, C1, C2, D, dan E) dengan tingkat toksisitas yang berbeda yang tahan panas, dimana ketahanan panasnya melebihi sel vegetatifnya. Sebagian besar kasus keracunan makanan disebabkan oleh enterotoksin tipe A. S. aureus sering menyebabkan orang yang mengkonsumsi susu dari sapi yang menderita mastitis stapilokoki menjadi sakit (Parker, 2000).

3. Escherichia coli

Echericia coli pada umumnya merupakan mikroba yang secara

normal terdapat dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Bakteri ini berbentuk batang atau koma, bersifat anaerobik fakultatif dan tergolong sebagai bakteri Gram negatif, bersifat motil dan nonmotil dengan flagella,


(34)

dan bersifat fakultatif anaerob. Nilai pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7.0-7.5, sedangakan kisaran suhu pertumbuhannya 10-40°C dengan suhu optimum 37°C. E. coli relatif sangat sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi makanan atau selama pemasakan makanan (Fardiaz, 1989).

E. coli disebut juga koliform fekal karena ditemukan pada saluran

usus hewan dan manusia. Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran (Fardiaz, 1992). Bakteri ini merupakan bakteri yang pertama dikenal sebagai penyebab gastroenteritis pada pekerja di Inggris dan penyebabnya adalah childhood diarrhoea di beberapa negara berkembang (Adams dan Moss, 1995). Tidak semua E. coli mampu memproduksi toksin yang dapat menyebabkan penyakit, tetapi hanya galur Enteropatogenik E. coli (EEC) saja. EEC menghasilkan dua enterotoksin, yaitu toksin yang tidak tahan panas yang hancur oleh pemanasan 60°C selama 15 menit, dan toksin yang tahan panas dan tetap aktif meskipun dipanaskan selama 30 menit pada suhu 100°C. Makanan yang sering terkontaminasi adalah daging ayam, daging sapi, ikan, dan makanan hasil laut, telur dan produk telur, sayuran, buah-buahan dan sari buah (Fardiaz, 1989).

4. Pseudomonas aeruginosa

Bakteri ini termasuk ke dalam famili Pseudomonadaceae, bersifat Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, dapat bergerak, umumnya mempunyai flagella polar tunggal dan tipe metabolismenya bersifat oksidatif. Pseudomonas aeruginosa tumbuh baik pada suhu rendah tapi dapat pula tumbuh pada suhu 37°C. Bakteri ini banyak ditemukan dalam air, tanah, tumbuhan, saluran usus manusia dan hewan.

Pseudomonas aeruginosa tidak tahan terhadap kondisi panas dan keadaan

kering, sehingga dengan perlakuan pemanasan dan pengeringan, bakteri jenis ini mudah untuk dicegah pertumbuhannya.

Bakteri ini dapat memproduksi pigmen piosianin yang berwarna biru dan merupakan salah satu jenis bakteri yang sering menimbulkan


(35)

kerusakan pada berbagai jenis makanan (Fardiaz, 1989). Kerusakan makanan yang ditimbulkan oleh bakteri ini sebagian besar berhubungan dengan kemampuannya dalam memproduksi enzim yang dapat memecahkan komponen lemak dan protein dalam makanan. Pseudomonas

dapat berkembang dengan cepat pada suhu rendah dan sering mengakibatkan terbentuknya lendir dan pigmen pada permukaan daging yang didinginkan.

E. Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang dapat mendonorkan satu atau lebih atom hidrogen. Menurut Schuler (1990), antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi. Senyawa antioksidan biasanya digunakan untuk mencegah kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh senyawa radikal bebas. Zat oksidan atau lebih dikenal senyawa radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil (mempunyai satu atau lebih elektron tanpa pasangan), sehingga untuk memperoleh pasangan elektron senyawa ini sangat reaktif dan merusak jaringan. Dengan adanya senyawa antioksidan, oksidan atau senyawa radikal bebas yang tadinya sangat tidak stabil dan bersifat merusak sel tubuh dapat menjadi stabil dan kerusakan sel tubuh dapat dicegah.

Radikal bebas dipercaya berkontribusi banyak pada penyakit manusia, terutama penyakit-penyakit kronis dan hubungannya dengan proses penuaan. Beberapa penyakit yang dapat timbul karena adanya radikal bebas antara lain kanker, atherosclerosis termasuk penyakit serangan jantung koroner, stroke, arthritis, Parkinson, Alzheimer, katarak, serta berbagai kasus penuaan dini. Reaksi pembentukan radikal bebas merupakan mekanisme biokimia tubuh normal. Radikal bebas umumnya hanya bersifat perantara yang dapat dengan cepat diubah menjadi substansi yang tidak lagi membahayakan tubuh. Tetapi jika radikal bebas berada dalam jumlah berlebihan sementara jumlah antioksidan seluler tetap atau lebih sedikit, maka kelebihannya tidak bisa dinetralkan dan berakibat pada kerusakan sel, antara lain : kerusakan DNA


(36)

pada inti sel, kerusakan membran sel, kerusakan protein, kerusakan lipid peroksida, dan dapat menimbulkan autoimun (Karyadi, 1997).

Gordon (1990) menjelaskan sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksiden primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk yang lebih stabil.

Inisiasi : R* + AH RH + A*

Propagasi : ROO* + AH ROOH + A*

Gambar 2. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990)

Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990).

Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Gambar 3). Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sampel yang akan diuji.


(37)

AH + O2 A* + HOO*

AH + ROOH RO* + H2O + A

Gambar 3. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon, 1990)

Berdasarkan sumbernya antioksidan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Antioksidan sintetik yang umumnya digunakan dalam produk pangan antara lain PG (propil galat), TBHQ (tert-butylhydroxyquinone), BHA

(butylated hydroxyanisole), BHT (butylated hydroxytoluene).

Antioksidan alami banyak terdapat dalam tanaman pada seluruh bagian dari tanaman seperti akar, daun, bunga, biji, batang dan sebagainya. Menurut Pratt dan Hudson (1990), senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol, dan asam organik polifungsi. Saat ini tokoferol sudah diproduksi secara sintetik untuk tujuan komersial.

Beberapa metode pengukuran aktivitas antioksidan yang dapat digunakan antara lain metode ß-karoten/linoleat, metode terkonjugasi, metode Ransimat, metode DPPH free radical scavenging activity, dan metode tiosianat. Pada penelitian ini, pengukuran antioksidan difokuskan pada metode Ransimat dan metode DPPH free radical scavenging activity.

Prinsip pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode Ransimat adalah proses oksidasi dipercepat dengan cara induksi aliran udara melewati minyak yang dipanaskan, yaitu pada suhu 100-140° C. Reaksi autooksidasi dapat menghasilkan hidroperoksida dan juga asam format yang dapat mengubah konduktivitas air bebas ion pada alat Ransimat. Pada awal reaksi oksidasi tidak ada peningkatan konduktivitas yang dapat diamati dan hanya pada tahap selanjutnya terjadi peningkatan konduktivitas secara cepat. Periode ini disebut periode induksi. (Loliger,1993)


(38)

Pada metode DPPH free radical scavenging activity, DPPH (1,1–

diphenyl–2–picrylhydrazil) digunakan sebagai model radikal bebas (Hatano et

al, 1988). Jika senyawa ini masuk dalam tubuh manusia dan tidak terkendalikan dapat menyebabkan kerusakan fungsi sel. Dalam uji ini metanol digunakan sebagai pelarut, sedangkan inkubasi pada suhu 370C dimaksudkan untuk mengoptimalkan aktivitas DPPH.

Aktivitas antioksidan pada metode DPPH dinyatakan dengan IC50

(Inhibition Concentration). IC50 adalah bilangan yang menunjukkan

konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara

spesifik, suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0.05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0.05-0.1 mg/ml, sedang

jika IC50 bernilai 0.101–0.150 mg/ml, dan lemah jika IC50 bernilai 0.151 –

0.200 mg/ml.

F. Fitokimia

Senyawa fitokimia merupakan senyawa-senyawa yang dihasilkan dari sintesis tanaman yang kebanyakan merupakan senyawa aktif yang memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh (Lin, 1994). Senyawa fitokimia berpotensi mencegah berbagai penyakit seperti penyakit degeneratif dan kardiovaskuler. Senyawa yang termasuk fitokimia antara lain senyawa fenol, flavonoid, tanin, alkaloid, steroid, dan triterpenoid (Harborne, 1987).

Uji fitokimia memiliki kegunaan dalam fisiologi tumbuhan, patologi tumbuhan, ekologi tumbuhan (interaksi antara tumbuhan dengan lingkungan), paleobotani (tumbuhan berperan dalam menguji hipotesis tentang fosil), dan genetika tumbuhan (Harborne, 1996). Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolit sekunder dari tumbuhan. Beberapa jenis metabolit sekunder memiliki aktivitas antimikroba (Naidu, 2000).

1. Fenol

Menurut Harborne (1987), senyawa fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri yang sama yaitu


(39)

cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Suradikusumah (1989), menambahkan fenol dan turunannya memiliki sifat cenderung larut dalam air. Senyawa fenol diantaranya adalah senyawa fenol sederhana seperti monofenol dengan satu cincin benzena (3-etilfenol, 3,4-dimetilfenol) yang banyak ditemukan pada kacang-kacangan, grup asam hidroksi sinamat (asam ferulat dan kafeat), flavonoid dan glikosidanya (katekin, proantosianin, antosianidin, dan flavonol) dan tanin yang merupakan senyawa fenol yang kompleks dengan berat molekul yang tinggi (Johnson, 2001).

Menurut Mukhopadhiay (2000), polifenol memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Polifenol memiliki sifat antioksidatif dan antitumor. Sedangkan menurut Bidlack dan Wang (2000), polifenol dapat digunakan sebagai pencegah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Senyawa fenol terbukti sebagai sumber antioksidan yang efektif, penangkap radikal bebas dan pengkelat ioin-ion logam (Shahidi dan Wanasundara didalam Bidlack dan Wang, 2000).

Menurut Meskin et al. (2002), aktivitas antioksidan dari senyawa fenol berhubungan dengan struktur senyawa fenol. Keberadaan grup hidroksil atau metoksi pada posisi orto atau para dari turunan asam benzoat, penilpropanoid atau flavonoid (isoflavon) diketahui dapat meningkatkan aktivitas antioksidan dari senyawa fenol. Sementara keberadaan dua grup hidroksil pada posisi orto atau para dapat menghasilkan struktur quinoid yang stabil, dan grup metoksi pada posisi orto atau para adalah elektron donor yang efektif dalam menstabilkan radikal bebas yang terbentuk, sehingga meningkatkan aktivitas dari senyawa fenol.

Menurut Beuchat (1994), komponen antimikroba yang terkandung dalam fraksi-fraksi minyak esensial rempah-rempah banyak mengandung komponen jenis fenol. Mekanisme antimikroba senyawa fenolik adalah mengganggu kerja di dalam membran sitoplasma mikroba. termasuk


(40)

diantaranya adalah mengganggu transpor aktif dan kekuatan proton (Davidson, 1993).

2. Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne, 1987). Jenis utama flavonoid yang terdapat dalam tanaman antara lain dihidrokalkon, kalkon, flavan, katekin (flavan-3-ol), leukoantosianidin (flavan-3,4-diol), flavanon, flavanonol (dihidroflavonol), flavon, flavonol, garam flavilium, antosianidin, dan auron. Berdasarkan struktur, flavonoid dapat diklasifikasikan menjadi flavoid (1,3-diaril propan), isoflavon (1,2-diarilpropan) dan neoflavonoid (1,1-(1,2-diarilpropan).

Menurut Middleton dan Kandaswami (1994), flavonoid memegang peranan penting dalam biokimia dan fisiologi tanaman, diantaranya berfungsi sebagai antioksidan, penghambat enzim, dan prekursor bagi komponen toksik. Flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja antimikroba dan antivirus, dan mengatur kerja anti-serangga (Robinson, 1995). Menurut Johnson (2001), flavonoid sangat efektif digunakan sebagai antioksidan. Senyawa flavonoid dapat mencegah penyakit kardiovaskuler dengan menurunkan oksidasi Low Density Lipid (LDL). Choi et al. (1991) menyatakan bahwa flavonoid dapat menurunkan hiperlipidemia pada manusia.

Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu, 2000). Isoflavon merupakan jenis flavonoid yang banyak terdapat pada tanaman dan memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi dibandingkan jenis flavonoid lainnya. Sebagai contoh isoflavon dapat menghambat pertumbuhan kapang dan membantu dalam mengontrol wabah penyakit (Naidu, 2000).


(41)

3. Tanin

Tanin merupakan salah satu senyawa fenol kompleks yang terdapat pada kacang-kacangan (Meskin et al., 2002). Senyawa yang tergolong tanin adalah senyawa polifenol yang mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya (misalnya karboksil), sehingga mampu membentuk kompleks kuat dengan protein. Tanin terkondensasi dihasilkan melalui polimerisasi flavonoid dan banyak terdapat pada tanaman kayu yaitu pada lapisan biji. Tanin dapat bersifat sebagai antioksida karena kemampuannya dalam menstabilkan fraksi lipid dan keaktifannya dalam penghambatan lipoksigenase (Zeeuthen dan Sorensen, 2003).

Tanin mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit. Tanin terdiri dari berbagai asam fenolat. Beberapa tanin dapat mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor, dan menghambat enzim seperti reverse transkripitase dan DNA topoisomerase (Robinson, 1995).

4. Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur. Senyawa alkaloid umumnya mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne, 1987). Berdasarkan cincin heterosiklik nitrogen, alkaloid dapat diklasifikasikan antara lain pirolidin, piperidin, isokuinolin, indol, kuinolin.

Alkaloid merupakan metabolit sekunder pada tanaman, misalnya kentang dan tomat. Senyawa alkaloid memiliki aktivitas fisiologis sehingga banyak digunakan dalam bidang pengobatan. Kuinin, morfin, dan striknin adalah contoh alkaloid yang memiliki aktivitas antikanker (Mukhopadhiay, 2000). Alkaloid memiliki efek farmakologi sebagai analgesik dan anaestetik. Alkaloid yang biasa digunakan sebagai analgesik dan anaestetik adalah morfin dan kodein.


(42)

5. Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena (Harborne, 1987). Penggolongan terpenoid didasarkan pada adanya molekul isopren. Secara kimiawi, terpenoid bersifat larut dalam lemak dan terdapat dalam sel tumbuhan (Suradikusumah, 1989). Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol (β -sitosterol), stigmasterol dan kampesterol. Senyawa terpenoid dapat digunakan untuk pengobatan dan terapi (Goldberg, 2003). Triterpenoid merupakan golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba. Selain itu senyawa ini banyak digunakan untuk menyembuhkan penyakit gangguan kulit. Triterpenoid memiliki sifat antijamur, insektisida, antibakteri, dan antivirus (Robinson, 1995).

6. Steroid

Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid (Harborne, 1987). Senyawa steroid dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21 (steroid sederhana) dan steroid dengan atom karbon lebih dari 21 seperti sterol, sapogenin, alkaloid steroid, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpen yaitu lanosterol dan sikloartenol. Pada umumnya, steroid tumbuhan berasal dari sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Hogiono dan Dangi, 1994).

7. Saponin

Menurut Meskin et al. (2002), saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang dihasilkan dari grup steroid atau triterpen yang berkaitan dengan gula. Gruiz (1996), menyatakan bahwa 76% dari jenis tanaman di Asia mengandung saponin. Saponin bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa (Harborne, 1987).


(43)

Senyawa ini memiliki pengaruh biologis yang menguntungkan yaitu bersifat sebagai hipokolesterolemik dan antikarsinogen serta dapat meningkatkan sistem imun (Meskin et al., 2002). Selain itu, saponin menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap bakteri adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari dalam sel-sel (Zablotowicz et al., 1996).


(44)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah biji teratai

(Nymphae pubescens), pelarut teknis heksana, pelarut teknis etil asetat, pelarut

teknis etanol, akuades, kertas saring Whatman no. 1, aluminium foil, spiritus, gas N2, minyak kedelai murni, α-tokoferol, asam askorbat, metanol, DPPH, air demineralisasi, minyak kedelai “Happy Salad Oil”, kultur Pseudomonas

aeruginosa, kultur Bacillus cereus, kultur Escerichia coli, kultur

Staphylococcus aerus, media Nutrien Broth (NB), dan media Nutrient Agar.

Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah blender kering,

shaker, rotary evaporator, penyaring vakum, cawan petri, ose, gelas

pengaduk, sudip, bunsen, tabung reaksi bertutup, gelas ukur, labu Erlenmeyer, gelas piala, pipet volumetrik, micropipet, botol gelap, vortex, alat ransimat, spektrofotometer, dan inkubator.

B. Metode Penelitian

Penelitian dibagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri dari persiapan sampel melalui proses ekstraksi bertingkat dan persiapan kultur bakteri uji. Sedangkan penelitian lanjutan terdiri dari analisis antimikroba dengan metode difusi sumur, analisis aktivitas antioksidan dengan metode ransimat dan metode DPPH free radical

scavenging activity. Selain itu dilakukan pula analisis senyawa fitokimia dan


(45)

Biji teratai

Mentah Kukus

Tepung biji teratai

Ekstrak

Ekstrak terpilih Ekstrak terpilih

Gambar 4. Diagram alir penelitian

1. Penelitian Pendahuluan a. Proses Ekstrasi

Pada penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi biji teratai yang kemudian akan diuji aktivitas antimikroba dan antioksidannya. Ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi bertingkat dengan tiga pelarut yang berbeda kepolarannya, yaitu heksana, etil asetat, dan etanol. Perbandingan antara bahan dan pelarut adalah 1:4 (w/v) dan proses ekstraksi dilakukan selama 24 jam dengan alat shaker. Ekstraksi biji teratai dilakukan terhadap biji yang masih mentah dan biji kukus berupa tepung biji. Tahapan ekstraksi biji teratai dapat dilihat pada Gambar 5.

Ekstraksi bertingkat

(heksana etil asetat etanol)

Uji aktivitas antioksidan (metode rancimat) Uji aktivitas antimikroba

(metode uji sumur)

Uji aktivitas antioksidan (metode DPPH)


(46)

Mentah Kukus

Diblender kering

Diekstrak dengan heksana, 24 jam

Disaring vakum

Diekstrak dengan etilasetat, 24 jam Dievaporasi, 550C

Disaring vakum Dihembus N2

Diekstrak dengan etanol, 24 jam Dievaporasi

Disaring vakum Dihembus N2

Dievaporasi, 550C

Dihembus N2

Gambar 5. Diagram alir ekstraksi biji teratai Padatan

Ekstrak etanol

Biji teratai

Tepung biji teratai

Padatan

Ekstrak etilasetat

Padatan Filtrat

Filtrat

Ekstrak heksana Filtrat


(47)

b. Persiapan Kultur Bakteri Uji

Persiapan kultur bakteri uji perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroba awal dari seluruh kultur bakteri uji, sehigga dapat diketahui pengenceran yang dibutuhkan untuk mendapatkan jumlah total mikroba yang diinginkan dalam metode uji difusi sumur, yaitu 1x105. Penghitungan total mikroba pada tahap ini menggunakan metode hitungan cawan.

Tahap pertama dalam penghitungan total mikroba (Total plate

count) ini adalah menyiapkan kultur murni bakteri uji. Kultur murni

bakteri uji yang berupa padatan (agar) diambil satu ose dan dimasukkan ke dalam tabung berisi 10 ml media pertumbuhan NB secara aseptis. Tabung tersebut diinkubasikan dalam suhu 37ºC selama 24 jam. Kemudian dari tabung tersebut, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer (larutan fisiologis 0.85%) sampai pengenceran ke-8. Pada pengenceran ke-5 sampai ke-8, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Cawan petri yang telah berisi kultur bakteri uji tersebut diberi media pertumbuhan NA dengan metode tuang. Cawan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam.

Cawan petri yang telah diinkubasi, diamati pertumbuhan bakteri uji. Kemudian dilakukan penghitungan mikroba dengan metode hitungan cawan. Setelah diketahui total mikroba awal pada bakteri uji, maka dapat diketahui pengenceran yang diperlukan untuk digunakan dalam uji aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur.

2. Penelitian Lanjutan

1. Uji aktivitas antimikroba (Metode Garriga et al., 1993)

Setelah didapatkan ekstrak biji teratai dari berbagai pelarut, baik biji mentah maupun kukus, serta telah diketahui jumlah total mikroba awal bakteri uji, maka dilakukan uji aktivitas antimikroba melalui metode uji difusi sumur. Uji difusi sumur merupakan uji kualitatif. Pada metode ini diukur diameter penghambatan


(48)

pertumbuhan bakteri uji oleh senyawa antimikroba (ekstrak biji teratai). Hasilnya kemudian diolah secara statistik.

Sesuai dengan hasil perhitungan total mikroba pada tahap persiapan kultur bakteri uji, maka untuk mendapatkan total mikroba yang seragam didalam cawan uji difusi sumur yaitu 1x105, maka kultur harus diencerkan. Pengenceran dilakukan sesuai dengan jumlah total mikroba awal.

2. Uji aktivitas antioksidan (Modifikasi Metode Beirao dan Bernardo-Gil, 2005)

Selain dilakukan pengujian aktivitas antimikroba terhadap sampel ekstrak biji teratai, dilakukan pula pengujian kemungkinan adanya aktivitas antioksidan. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan dua metode, yaitu metode rancimat dan metode DPPH.

Metode ransimat merupakan metode pengujian aktivitas antioksidan dengan cara mengukur waktu induksi sampel, semakin lama waktu induksi maka semakin baik kapasitas antioksidan yang terdapat dalam sampel. Sebagai faktor pembanding, dilakukan pula pengujian dengan metode ini terhadap tokoferol atau vitamin E yang kaya akan antioksidan.

Setelah dilakukan pengujian kapasitas antioksidan terhadap seluruh sampel, maka akan diketahui sampel ekstrak yang memiliki kapasitas antioksidan yang terbesar. Sampel ekstrak yang terpilih tersebut kemudian di uji dengan metode DPPH untuk mengetahui aktivitas antioksidan secara kuantitatif.

C. Metode Analisis

Ekstrak biji teratai dari berbagai pelarut, baik biji mentah maupun kukus, dilakukan beberapa analisis antara lain adalah analisis aktivitas antimikroba dengan metode uji sumur, analisis antioksidan dengan metode rancimat dan metode DPPH untuk sampel ekstrak terpilih, analisis fitokimia untuk sampel terpilih, dan analisis proksimat untuk sampel biji teratai.


(49)

1. Perhitungan Nilai Rendemen

Sebanyak 60 gram bubuk biji teratai (mentah mapun kukus) di ekstrak dengan tiga pelarut secara bertingkat (heksanaa, etilasetat, dan etanol) dengan metode maserasi. Kemudian dilakukan penyaringan sehingga didapatkan filtrat dari masing-masing pelarut yang selanjutnya dilakukan penghilangan pelarut dengan alat rotary evaporator dan dihembus dengan N2 sehingga didapatkan ekstrak biji teratai dari masing-masing pelarut yang bebas pelarut. Ekstrak murni tersebut ditimbang untuk perhitungan rendemen. Nilai rendemen dihitung dengan rumus berikut.

Dimana :

W = bobot ekstrak murni (g) W0 = bobot bahan yang diekstrak (g)

2. Uji Difusi Sumur (Metode Garriga et al., 1993)

Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur. Mikroba yang digunakan dalam pengujian adalah kultur mikroba pembusuk dan mikroba patogen yaitu B.cereus, E.coli, S.

Typhimurium, dan S. aureus.

Untuk melakukan analisis, kultur mikroba yang akan diuji harus disegarkan terlebih dahulu dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring Nutrien Agar (NA) ke dalam medium cair Nutrien Broth

(NB) sebanyak 10 ml secara aseptik. Kultur uji kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C.

Media NA steril dipersiapkan dan didinginkan sampai suhu 50°C. Kultur uji diinokulasikan ke dalam media NA dengan pengenceran yang telah dilakukan sebelumnya sehingga didapatkan jumlah total mikroba yang ditumbuhkan sebanyak 1x105 cfu. Setelah campuran media dan kultur uji membeku, dibuat lubang-lubang sumur (4 sumur per cawan) dengan diameter 6 mm dan ke dalam lubang sumur masing-masing diteteskan ekstrak biji teratai dengan konsentrasi yang berbeda (10%, 20%,


(50)

30%), sumur lainnya kontrol negatif (pelarut murni). Cawan tersebut diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Areal penghambatan diukur berdasarkan diameter areal bening yang terbentuk di sekitar sumur, yaitu selisih antara diameter areal bening dengan diameter sumur.

3. Uji Aktivitas Antioksidan Metode Ransimat (Modifikasi Metode Beirao dan Bernardo-Gil, 2005)

Sebanyak 200 mg sampel antioksidan (ekstrak biji teratai) dimasukkan ke dalam gelas piala berisi 4 gram minyak yang mempunyai ikatan rangkap banyak seperti minyak jagung atau minyak kedelai. Minyak yang dipakai harus berada dalam keadaan murni. Larutan tersebut diaduk sampai homogen. Masing-masing dari larutan diambil sebanyak 3 gram dan dimasukkan ke dalam alat Rancimat dengan suhu 120oC. Kontrol yang digunakan adalah minyak murni. Selain itu, antioksidan tokoferol juga ditambahkan ke dalam minyak dengan prosedur yang sama sebagai faktor pembanding.

4. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH free radical scavenging activity (Hatano et al, 1988)

Pada tahap ini dilakukan uji aktivitas antioksidan terhadap ekstrak biji teratai terpilih (berdasarkan hasil uji antioksidan metode ransimat). Pengujian aktivitas antioksidan lanjut ini dengan menggunakan metode DPPH (Hatano et al., 1988). Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode ini berdasarkan pada DPPH free radical scavanging activity.

Sebagai pembanding digunakan vitamin C (asam askorbat).

Sebanyak 2 ml buffer asetat dicampur dengan 3.75 ml metanol dan 200 μl DPPH, kemudian divortex. Larutan ditambah dengan 50 μl sampel. Pada kontrol negatif, diganti dengan 50 μl metanol, sedangkan pada pembuatan kurva standar diganti dengan asam askorbat dengan beberapa tingkat konsentrasi. Larutan kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit dan diukur absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm.

Aktivitas antioksidan dinyatakan dengan IC50. Presentase


(51)

absorbansi sampel. Persamaan garis diperoleh dari hubungan antara konsentrasi dengan aktivitas penghambatan. Sehingga nilai IC50 dapat

dihitung :

Persamaan regresi linier : Y * = Bx + A

Catatan : Nilai Y = 50 (penghamabtan 50 %), nilai A dan B diketahui sehingga nilai IC 50 (x) dapat dihitung.

5. Analisis Proksimat

Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat.

a. Analisis kadar air metode oven (AOAC, 1995)

Kadar air diukur dengan metode oven biasa karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak terdegradasi pada suhu 100ºC. Cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven suhu 105°C selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Lalu ditimbang sampel sebanyak 5 gram di dalam cawan tersebut. Dikeringkan sampel dalam oven sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.003 gram). Setelah itu didinginkan cawan yang berisi sampel kering di dalam desikator. Ditimbang berat akhirnya. Dihitung kadar air dengan persamaan sebagai berikut:

Kadar air (% b/b) 100% a)

-(x

y) -(x

× =

Keterangan:

x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g)

b. Analisis kadar protein, metode Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak ± 0.2 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01N/0.02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Lalu ditimbang 2 gram K2SO4, 50 mg HgO, 2 ml H2SO4 pekat dan


(52)

batu didih. Sampel didekstruksi (dididihkan) selama 1-1.5 jam hingga jernih, lalu didinginkan. Lalu ditambahkan 2 ml air secara perlahan dan didinginkan kembali. Cairan hasil dekstruksi (cairan x) dipindahkan ke dalam alat destilasi dan bilas labu dengan air. Air bilasan juga dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator (Methylen red : Methylen blue

= 2:1) diletakkan di ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang kondensor terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10

ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi dilakukan hingga larutan dalam

erlenmeyer ± 50 ml. Kemudian larutan dalam erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko.

Perhitungan:

Kadar N (%) 100%

W

14,007 C

Vb) -(Vs

× ×

× =

Kadar protein (%) = % N x faktor konversi

Keterangan:

Vs = Volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = Volume untuk titrasi blanko (ml) C = Konsentrasi HCl (N)

W = Berat sampel (mg)

c. Analisis kadar abu (AOAC, 1995)

Cawan porselin dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang di dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna putih dan beratnya tetap. Pengabuan dilakukan dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap pertama suhu 400°C lalu dilanjutkan pada suhu 550°C, kemudian didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang.


(53)

Perhitungan:

Kadar Abu (% b/b) 100% W

W

1

2 ×

=

Keterangan:

W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat abu (g)

d. Analisis kadar lemak metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang telah bebas lemak dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang setelah dingin. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dalam kertas saring kemudian ditutup kapas yang bebas lemak. Sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian pasang kondensor dan labu pada ujung-ujungnya. Pelarut heksanaa dimasukkan ke dalam alat lalu sampel direfluks selama 5 jam. Setelah itu pelarut didestilasi dan ditampung pada wadah lain. Labu lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh berat tetap. Kemudian labu lemak dipindahkan ke desikator, lalu didinginkan dan ditimbang.

Perhitungan:

Kadar Lemak (% b/b) 100% W

W

1

2 ×

= Keterangan:

W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat lemak (g)

e. Analisis kadar karbohidrat by difference (AOAC, 1995)

Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by

difference dilakukan dengan cara:


(54)

6. Uji fitokimia (Tim Materi Medika Indonesia, 1995) a. Pengujian golongan terpenoid dan steroid

Sebanyak 0.5 gram sampel dicampur dengan 2 ml etanol. Sampel kemdian dipanaskan sessat dan disaring. Filtrat yang dihasilkan kemudian diuapkan hingga kental da ditambah dengan eter dan tiga tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat. Sampel

positif mengandung triterpenoid bila terbentuk warna merah atau ungu. Sampel postif mengandung steroid bila terbentuk warna hijau.

b. Pengujian golongan saponin

Sebanyak 0.5 gram sampel dicampur dengan 10 ml air panas. Kemudian dinginkan dan kocok hingga muncul buih. Larutan didiamkan selama 2 menit, kemudian diteteskan HCL 2 N. Bila terdapat senyawa saponin dalam ekstrak maka akan terbentuk buih mantap selama 10 menit.

c. Pengujian golongan alkaloid

Sampel sebanyak 0.5 gram dicampur dengan 1 ml HCL 2 N dan 9 ml akuades panas. Larutan kemudian dipanaskan selama 2 menit, kemudian dinginkan dan disaring filtratnya dan dibagi ke dalam 4 tabung.

Tabung pertama direaksikan dengan pereaksi Bauchardat.

Sampel positif terdapat alkaloid bila ada endapan berwarna cokelat hitam. Kemudian tabung kedua direaksikan dengan pereaksi

Dragendrauf. Sampel positif terdapat alkaloid bila ada endapan putih.

Tabung ketiga juga direaksikan dengan pereaksi Hager. Sampel positif terdapat alkaloid bila ada endapan kuning. Tabung keempat direaksikan dengan pereaksi Mejer dan dicampur dengan methanol dan pereaksi Bauchadat. Sampel positif terdapat alkaloid bila ada endapan berwarna cokelat hitam.


(1)

3. Analisis sidik ragam ekstrak biji mentah terhadap B. cereus

ANOVA

DIAMETER

132,960 2 66,480 293,294 ,000

,680 3 ,227

133,640 5

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Multiple Comparisons

Dependent Variable: DIAMETER LSD

-11,4000* ,47610 ,000 -12,9151 -9,8849 -7,2000* ,47610 ,001 -8,7151 -5,6849 11,4000* ,47610 ,000 9,8849 12,9151

4,2000* ,47610 ,003 2,6849 5,7151

7,2000* ,47610 ,001 5,6849 8,7151

-4,2000* ,47610 ,003 -5,7151 -2,6849 (J) EKSTRAK

2 3 1 3 1 2 (I) EKSTRAK 1

2 3

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

The mean difference is significant at the .05 level. *.

4. Analisis sidik ragam ekstrak biji mentah terhadap S. aureus

ANOVA

DIAMETER

166,131 2 83,065 2694,014 ,000

,092 3 ,031

166,223 5

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Multiple Comparisons

Dependent Variable: DIAMETER LSD

-12,8250* ,17559 ,000 -13,3838 -12,2662

-7,5250* ,17559 ,000 -8,0838 -6,9662

12,8250* ,17559 ,000 12,2662 13,3838

5,3000* ,17559 ,000 4,7412 5,8588

7,5250* ,17559 ,000 6,9662 8,0838

-5,3000* ,17559 ,000 -5,8588 -4,7412

(J) PELARUT 2

3 1 3 1 2 (I) PELARUT 1

2 3

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval

The mean difference is significant at the .05 level. *.


(2)

Lampiran 8. Analisis statistik diameter penghambatan oleh ekstrak etanol

1. Uji T ekstrak etanol terhadap E. coli Paired Samples Statistics

11,2750 2 ,03536 ,02500

8,2000 2 ,07071 ,05000

MENTAH KUKUS Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

2 1,000 ,000

MENTAH & KUKUS Pair 1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

3,0750 ,03536 ,02500 2,7573 3,3927 123,000 1 ,005

MENTAH - KUKUS Pair 1

Mean Std. Deviation Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

2. Uji T ekstrak etanol terhadap P. Aeruginosa Paired Samples Statistics

8,0000 2 ,21213 ,15000

5,2500 2 ,07071 ,05000

MENTAH KUKUS Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

2 -1,000 ,000

MENTAH & KUKUS Pair 1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

2,7500 ,28284 ,20000 ,2088 5,2912 13,750 1 ,046 MENTAH - KUKUS

Pair 1

Mean Std. Deviation Std. Error

Mean Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

3. Uji T ekstrak etanol terhadap B. cereus Paired Samples Statistics

7,2000 2 ,70711 ,50000

6,6250 2 ,03536 ,02500

MENTAH KUKUS Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

2 -1,000 ,000

MENTAH & KUKUS Pair 1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

,5750 ,74246 ,52500 -6,0958 7,2458 1,095 1 ,471

MENTAH - KUKUS Pair 1

Mean Std. Deviation Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

4. Uji T ekstrak etanol terhadap S. Aureus Paired Samples Statistics

7,5250 2 ,17678 ,12500

7,8250 2 ,03536 ,02500

MENTAH KUKUS Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

2 -1,000 ,000

MENTAH & KUKUS Pair 1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

-,3000 ,21213 ,15000 -2,2059 1,6059 -2,000 1 ,295 MENTAH - KUKUS

Pair 1

Mean Std. Deviation Std. Error

Mean Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference Paired Differences


(3)

Lampiran 9. Nilai

Protection Factor

ekstrak biji teratai pada uji ransimat

Contoh perhitungan:

Protection facto

r = a-b x 100%

c

Ekstrak heksana biji teratai mentah U1 :

1.82-1.38 x 100% = 5.23%

9.96

Ekstrak heksana biji teratai mentah U2 :

2.48-1.67 x 100% = 9.63%

9.96

Rata-rata = (5.23+9.63)% = 7.43%

2

Sampel

Waktu Induksi Sampel (jam)

(a)

Waktu Induksi Minyak Kedelai (jam)

(b)

Protection Factor a-b x 100 % c

Rata-rata Protection Factor (%)

Alpha-tokoferol(c) 9.96 1.55 100 100

Ekstrak heksana biji teratai mentah (1)

1.82 1.38 5.23 7.43

Ekstrak heksana biji teratai mentah (2)

2.48 1.67 9.63

Ekstrak heksana biji teratai kukus (1)

2.59 1.57 12.13 11.12 Ekstrak heksana

biji teratai kukus (2)

2.52 1.67 10.11 Ekstrak etilasetat

biji teratai mentah (1)

3.94 1.55 28.42 29.91 Ekstrak etilasetat

biji teratai mentah (2)

4.42 1.78 31.39 Ekstrak etilasetat

biji teratai kukus (1)

3.59 1.55 24.26 22.89 Ekstrak etilasetat

biji teratai kukus (2)

3.96 1.67 13.61 Ekstrak etanol

biji teratai mentah (1)

1.69 1.57 1.43 2.38

Ekstrak etanol biji teratai mentah (2)

2.06 1.78 3.33

Ekstrak etanol biji teratai kukus (1)

2.26 1.57 8.2 9.39

Ekstrak etanol Biji teratai kukus (2)


(4)

Lampiran 10. Analisis statistik aktivitas antioksidan berbagai ekstrak biji teratai

1. Uji T aktivitas antioksidan ekstrak heksan

Paired Samples Statistics

7,4300 2 3,11127 2,20000

11,1200 2 1,42836 1,01000

MENTAH KUKUS Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

2 -1,000 ,000

MENTAH & KUKUS Pair 1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

-3,6900 4,53963 3,21000 -44,4769 37,0969 -1,150 1 ,456 MENTAH - KUKUS

Pair 1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed) 2. Uji T aktivitas antioksidan ekstrak etilasetat

Paired Samples Statistics

29,9100 2 2,09304 1,48000

18,9350 2 7,53069 5,32500

MENTAH KUKUS Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

2 -1,000 ,000

MENTAH & KUKUS Pair 1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

10,9750 9,62372 6,80500 -75,4907 97,4407 1,613 1 ,353 MENTAH - KUKUS

Pair 1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed) 3. Uji T aktivitas antioksidan ekstrak etanol

Paired Samples Statistics

2,3800 2 1,34350 ,95000

9,3900 2 1,68291 1,19000

MENTAH KUKUS Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

2 1,000 ,000

MENTAH & KUKUS Pair 1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

-7,0100 ,33941 ,24000 -10,0595 -3,9605 -29,208 1 ,022

MENTAH - KUKUS Pair 1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences


(5)

Lampiran 11. Analisis sidik ragam aktivitas antioksidan ekstrak biji teratai mentah

ANOVA ANTIOKS

858,836 2 429,418 81,045 ,002

15,895 3 5,298

874,731 5

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Multiple Comparisons Dependent Variable: ANTIOKS

LSD

-22,4750* 2,30184 ,002 -29,8005 -15,1495

5,0500 2,30184 ,116 -2,2755 12,3755

22,4750* 2,30184 ,002 15,1495 29,8005

27,5250* 2,30184 ,001 20,1995 34,8505

-5,0500 2,30184 ,116 -12,3755 2,2755

-27,5250* 2,30184 ,001 -34,8505 -20,1995

(J) EKSTRAK 2

3 1 3 1 2 (I) EKSTRAK 1

2 3

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval

The mean difference is significant at the .05 level. *.


(6)

Lampiran 12. Kurva aktivitas antioksidan

y = 81,901x - 1,8553

R2 = 0,9972

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2

konsentrasi as. askorbat (m g/m l)

a

k

ti

v

ita

s

a

n

ti

o

k

s

ida

n

(%

)

Kurva standar aktivitas antioksidan asam askorbat Aktivitas antioksidan ekstrak etilasetat biji teratai mentah

Konsentrasi sampel (mg/ml)

Absorbansi Aktivitas Antioksidan (%)

800 0.546 55.20

400 0.742 39.18

200 0.945 22.54

100 1.050 13.93

50 1.110 9.01

Kontrol negatif 1.220 0

Kapasitas antioksidan (%) = (A kontrol negatif – A sampel) x 100%

A kontrol negatif

y = 0,0614x + 8,9496

R2 = 0,9639

0 10 20 30 40 50 60 70

0 200 400 600 800 1000

konsentrasi ekstrak (mg/ml)

akt

iv

it

a

s an

ti

o

ksi

d

a

n

(

%

)