petani per bulan. Pendapatan sebesar itu kebanyakan berasal dari panen jagung di lahan andil tumpangsari, dan panen pisang dari tepi-tepi sungai pada lahan
andil mereka. Sebaliknya pendapatan dari hutan bagi petani KPH Kedu Selatan termasuk paling sedikit, seperempat dari pendapatan total keluarga petani.
Petani KPH Kedu Selatan yang berasal dari BKPH Gombong Selatan, mempunyai lahan andil tumpang sari yang sempit hanya sekitar 0.3 ha, tandus
dan berupa pegunungan berbatu kapur. Proporsi besarnya pendapatan petani dari hutan pada tiga lokasi penelitian berbeda secara nyata. Kontribusi
pendapatan keluarga petani dari mengelola sumberdaya hutan dalam penelitian ini terlihat relatif lebih tinggi dibandingkan hasil kajian Kartasubrata et al.
1995 pada program Perhutanan Sosial yang dilakukan Perhutani di Jawa. Program tersebut dimaksudkan untuk membantu petani miskin dengan
penyediaan lahan untuk diolah, memberikan kontribusi pendapatan sebesar kurang dari 20 persen dari pendapatan total keluarga petani. Bagi petani yang
mendapat lahan andil kurang dari 0,25 ha memperoleh pendapatan jauh berkurang dari 20 persen tersebut. Lebih tingginya porsi pen-dapatan petani
pada saat ini terutama diakibatkan lebih luasnya kesempatan bagi petani dalam memanfkan sumberdaya hutan, misalnya adanya kesempatan mengolah lahan di
bawah tegakan selain lahan untuk tumpangsari rata-rata per keluarga petani 0,33 ha. Selain itu adanya bermacam-macam tanaman pangan yang bisa
dimanfaatkan petani dari lahan andil dan lahan di bawah tegakan.
5. Jumlah tanggungan keluarga. Jumlah tanggungan keluarga merupakan
jumlah jiwa yang menjadi anggota keluarga petani, yang mencerminkan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh kepala keluarga. Secara keseluruhan
rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani yaitu tiga sampai empat orang, sehingga dalam satu keluarga petani berjumlah empat sampai lima orang.
Jumlah tanggungan keluarga petani paling banyak di KPH Pekalongan Timur yaitu empat sampai lima orang, sehingga satu keluarga petani berjumlah lima
sampai enam orang. Jumlah tanggungan keluarga petani di KPH Pekalongan Timur berbeda nyata dengan dua lokasi lainnya Tabel 26.
6. Pendidikan formal. Pendidikan yang ditempuh melalui sekolah mencerminkan
wawasan dan pengetahuan yang dimiliki petani. Pendidikan formal yang
ditempuh petani sampel pada tiga lokasi penelitian secara umum relatif sama di mana lebih dari tiga perempatnya berpendidikan sampai tingkat SD. Petani
sampel KPH Kedu Selatan menempuh pendidikan formal relatif lebih tinggi dibandingkan dua lokasi lainnya, di mana hampir seperlimanya berpendidikan
sampai SLTP dan seper-sepuluhnya berpendidikan SLTA ke atas. Petani KPH Pekalongan Timur memiliki pendidikan formal yang paling rendah
dibandingkan dua lokasi lainnya Tabel 26.
7. Pendidikan non formal. Pendidikan non formal atau pelatihan dalam bidang
kehutanan yang pernah diikuti oleh petani sampel berhubungan dengan kemampuan mereka dalam mengelola sumberdaya hutan. Sebagian besar atau
88 persen petani sampel belum tidak pernah mengikuti pelatihan dalam bidang kehutanan. Petani sampel KPH Kedu Selatan relatif lebih banyak mengikuti
pelatihan dalam bidang kehutanan. Sedangkan petani di dua lokasi lainnya hampir semuanya jarang mengikuti pelatihan Tabel 26. Temuan informasi
lapangan menunjukkan bahwa kelompok tani belum mendapatkan program secara khusus untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan
bidang kehutanan. Beberapa pelatihan yang pernah diikuti petani, biasanya terdapat pada kelompok tani LMDH yang lebih maju. Para petani kadang-
kadang mendapatkan pelatihan persemaian atau usaha kehutanan lainnya. Petani yang terlibat dalam kegiatan tumpangsari biasanya mendapatkan
pengarahan tentang pelaksanaan kegiatan kehutanan dari Mandor Perhutani sebagai petugas lapangan.
8. Motivasi berkelompok. Motivasi berkelompok adalah seberapa kuat alasan