Pengalaman berusaha tani. Pengalaman berusaha tani responden dibagi Umur. Umur responden pada tiga lokasi penelitian masih termasuk usia Pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga mencerminkan pemenuhan

teh, rumput gajah dan ketela karet untuk pakan ternak, serta pisang dan pepaya di tepi andil dan sungai. Sebagian besar responden di KPH Pekalongan Timur adalah petani sadap penyadap, dengan andil berupa petak tanaman Pinus yang dimanfaatkan getahnya. Tanaman lain yang tumbuh di tepi-tepi sungai atau jurang dan dimanfaatkan petani misalnya jengkol, pucung, aren, dan lain-lain. Lokasi Purworejo dengan tanaman pokok pinus di pegunungan, dan BKPH Gombong Selatan dengan tanaman pokok akasia dan jati. Para petani di KPH Purworejo menanam ketelaubi, jagung, dan kapulogo. Petani LMDH Rimba Lestari pada wilayah KPH Purworejo juga menanam nilam untuk disuling minyaknya, serta rumput gajah untuk pakan ternak. Di wilayah BKPH Gombong Selatan, para petani menanam jagung, ketelaubi, padi dan kacang tanah. Kondisi di KPH Gundih agak berbeda, di mana tanaman pokok yang dominan adalah jati. Petani sebagian besar menanam jagung pada lahan tumpang sari, dan sebagian kecil menanam ketelaubi. Petani juga menanam pisang yang tumbuh baik pada tepi-tepi sungai kecil. Tabel 28. Hasil tabulasi jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan petani hutan pada lahan andil Jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan pada lahan andil KPH orang Total orang Persen Pekalongan Timur Kedu Selatan Gundih jagung 0 38 135 173 42 ketelaubi 2 66 16 84 21 padi 34 1 35 9 pisangpepaya 52 19 69 140 34 kapulogolengkuas 1 38 39 10 jahe,cabe,kacang tanah,kemukuslada hitam 25 25 6 kopi,teh,nilam 89 19 108 26 rumput gajah,ketela karet 72 11 9 92 23 jengkol, pucung, petai, salam, durian, cengkeh, aren, melinjo, sedayu 39 4 43 11 Total 136 136 136 408 100

2. Pengalaman berusaha tani. Pengalaman berusaha tani responden dibagi

menjadi pengalaman berusaha tani pada lahan hutan dan pengalaman bertani pada lahan sendiri atau di luar lahan hutan. Hasil survei lapangan Tabel 26 menunjukkan bahwa rata-rata responden telah mempunyai pengalaman bertani selama 21 tahun dan setengah dari waktu tersebut merupakan pengalaman berusaha tani pada lahan hutan. Dengan kata lain, responden mempunyai pengalaman bertani pada lahan miliknya dahulu baru kemudian berusaha tani pada lahan hutan. Pengalaman bertani responden di KPH Gundih relatif lebih lama dan berbeda nyata dengan pengalaman bertani responden pada dua lokasi lainnya.

3. Umur. Umur responden pada tiga lokasi penelitian masih termasuk usia

produktif, yaitu rata-rata 43 tahun di mana petani di KPH Pekalongan Timur relatif lebih muda dan berbeda nyata dibandingkan dua lokasi lainnya Tabel 26. Apabila dilihat dari sebaran umur maksimal, ternyata petani hutan pada tiga lokasi penelitian ada yang berusia di atas 70 tahun, yaitu petani hutan KPH Kedu Selatan 79 tahun, KPH Pekalongan Timur 74 tahun dan KPH Gundih 70 tahun. Sedangkan umur minimal responden ternyata masih ada yang sangat muda yaitu 17 tahun petani KPH Pekalongan Timur, umur 20 tahun petani KPH Kedu Selatan dan 22 tahun petani KPH Gundih.

4. Pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga mencerminkan pemenuhan

terhadap kebutuhan fisik berupa sandang, pangan dan tempat tinggal keluarga petani. Pendapatan keluarga petani dibedakan menjadi dua macam, yaitu total pendapatan rata-rata keluarga petani per bulan, dan pendapatan rata-rata per bulan yang diperoleh keluarga petani dari mengelola lahan hutan. Tabel 26 menunjukkan bahwa pendapatan keluarga petani sampel relatif sama, dengan rata-rata sebesar Rp 1.061.077,-bulan. Sepertiga pendapatan keluarga petani berasal dari mengelola lahan hutan. Pendapatan mengelola hutan yang utama berasal dari tanaman pangan pada lahan andil tumpangsari, bagi para penyadap berasal dari pembagian hasil sadapan getah pinus, dan tanaman lain yang tumbuh pada lahan hutan seperti kopi, pisang, kayu bakar, rumput pakan ternak dan lain-lain. Bagi petani KPH Pekalongan Timur, proporsi pendapatan keluarga dari hutan mencakup hampir tiga perempat dari pendapatan total keluarga tani. Hal ini berarti bahwa sebagian besar pendapatan keluarga petani responden di KPH Pekalongan Timur berasal dari mengelola sumberdaya hutan, terutama berasal dari sadapan getah pinus. Bagi petani di KPH Gundih, pendapatan dari hutan mencakup lebih dari setengah pendapatan total keluarga petani per bulan. Pendapatan sebesar itu kebanyakan berasal dari panen jagung di lahan andil tumpangsari, dan panen pisang dari tepi-tepi sungai pada lahan andil mereka. Sebaliknya pendapatan dari hutan bagi petani KPH Kedu Selatan termasuk paling sedikit, seperempat dari pendapatan total keluarga petani. Petani KPH Kedu Selatan yang berasal dari BKPH Gombong Selatan, mempunyai lahan andil tumpang sari yang sempit hanya sekitar 0.3 ha, tandus dan berupa pegunungan berbatu kapur. Proporsi besarnya pendapatan petani dari hutan pada tiga lokasi penelitian berbeda secara nyata. Kontribusi pendapatan keluarga petani dari mengelola sumberdaya hutan dalam penelitian ini terlihat relatif lebih tinggi dibandingkan hasil kajian Kartasubrata et al. 1995 pada program Perhutanan Sosial yang dilakukan Perhutani di Jawa. Program tersebut dimaksudkan untuk membantu petani miskin dengan penyediaan lahan untuk diolah, memberikan kontribusi pendapatan sebesar kurang dari 20 persen dari pendapatan total keluarga petani. Bagi petani yang mendapat lahan andil kurang dari 0,25 ha memperoleh pendapatan jauh berkurang dari 20 persen tersebut. Lebih tingginya porsi pen-dapatan petani pada saat ini terutama diakibatkan lebih luasnya kesempatan bagi petani dalam memanfkan sumberdaya hutan, misalnya adanya kesempatan mengolah lahan di bawah tegakan selain lahan untuk tumpangsari rata-rata per keluarga petani 0,33 ha. Selain itu adanya bermacam-macam tanaman pangan yang bisa dimanfaatkan petani dari lahan andil dan lahan di bawah tegakan.

5. Jumlah tanggungan keluarga. Jumlah tanggungan keluarga merupakan