Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

(1)

Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

DWI ENDAH WIDYASIH

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

DWI ENDAH WIDYASIH

E 14080020

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(3)

DWI ENDAH WIDYASIH. Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Dibimbing Oleh HANDIAN PURWAWANGSA

Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Eksploitasi hutan yang berlebih seperti pencurian kayu disebabkan oleh besarnya potensi dan manfaat yang terkandung di dalam hutan yang ingin dimanfaatkan oleh manusia. Salah satu cara yang dilakukan oleh Perum Perhutani dalam mengatasi pencurian kayu adalah dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran PHBM dalam mengatasi masalah pencurian kayu di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan metode pengambilan contoh dengan cara stratification of random sampling dengan stratifikasinya berdasarkan golongan pendapatan dan mata pencaharian. Metode penentuan desa ditentukan dengan cara purposive sampling. Data yang digunakan adalah data primer (studi lapangan, wawancara 90 responden) dan data sekunder (buku, dokumen, thesis,disertasi).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pencurian kayu di KPH Jember, antara lain: (a) jenis kayu sengon, jati dan mahoni, (b) diameter pohon sekitar 10-30 cm, (c) alasan pemilihan diameter sebagian besar menyatakan bahwa kayu mudah diangkut, dan (d) alasan sebagian besar masyarakat mencuri kayu dijual untuk memenuhi kebutuhan. Intensitas pencurian kayu tahun 2008-2011 mengalami penurunan dari 226 kasus menjadi 118 laporan kasus pencurian kayu, kecuali di RPH Mumbulsari mengalami peningkatan. Peran serta masyarakat dalam menanggulangi pencurian kayu di RPH Mumbulsari, RPH Garahan dan RPH Jelbuk dilakukan dengan cara melakukan patroli dan pembuatan pos penjagaan hutan. Tingkat efektivitas penerapan pola PHBM, RPH Mumbulsari dengan pola penanaman jati dan palawija tidak efektif mengurangi intensitas pencurian kayu, sedangkan pola PHBM dengan menanam pinus yang dipadukan dengan palawija atau kopi (RPH Garahan dan RPH Jelbuk) lebih efektif mengurangi tingkat pencurian kayu.


(4)

DWI ENDAH WIDYASIH. The Forest Management based of Community as an Effort to Cut-down Illegal Logging: Case study in KPH Jember Perum Perhutani Unit II East Java. Supervised by HANDIAN PURWAWANGSA

Forest could simply be defined as a unified ecosystem in which the biological resources are dominated by trees that are tightly bound each other, in terms of environmental balances. Due to the various potential applications of any forestry resources, make forest prone to any missed-law exploitations (e.g., illegal logging). As a consequence, to negate the number of illegal logging, Perum Perhutani has initiated a program_Forest Management based of Community (PHBM). Hence, this study was aimed to evaluate the effectiveness of PHBM as an effort to cut-down illegal logging especially in the boundary of KPH Jember Perum Perhutani Unit II East Java.

This research was conducted by employing such stratification-of-random-sampling method, with group classifications of monthly income and occupation. Additionally, selection of the villages was according to the purposive–sampling method. There were two distinguishable data utilized such as: (i) primary data (field studies and interview of 90 respondents) and (ii) secondary data (information found in books, scientific journals, thesis, dissertation and other documentary resources).

The data showed several concluding remarks of illegal logging characteristics, such as (a) types of wood being stolen, likely sengon, teak and mahogany, (b) diameter of the tree of approximately 10-30 cm, (c) reason for selecting such diameter as it is easy to transport, and (d) the illegal logging becomes a major alternative way for the local people to fit out them necessaries. Furthermore, the number of the illegal logging in 2008-2012 decreased from 229 to 118 cases, except for the RPH Mumbulsari which was still increased. The main role of local people for tackling illegal logging located in RPH Mumbulsari, RPH Garahan and RPH Jelbuk was done by patrol activities including making such control-posts in certain locations. However, the data showed the effectiveness of PHBM program on the RPH Mumbulsari wherein a pattern of mixed-planting between teak and crops (palawija) implemented could not reduce the number of illegal logging significantly, whereas one that a pattern of mixed planting between pine and crops or coffee (RPH Garahan and RPH Jelbuk) carried out showed the positive impacts by the reduced number of illegal logging.


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Dwi Endah Widyasih E14080020


(6)

Judul Skripsi : Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu Studi Kasus di KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

Nama Mahasiswa : Dwi Endah Widyasih

NIM : E14080020

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Handian Purwawangsa S.Hut, M.Si NIP. 19790101 2005 011 003

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001


(7)

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu” yang berlokasi di KPH Jember Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Falkutas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dan bahan pertimbangan dalam pemberian kebijakan kehutanan.

Penyusunan skripsi ini bisa terlaksana atas bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dan Ibu Poncodriyo, Eka Juangga, Karunia Magdalena, Trias Novita, Bagus Karyo dan Agung Kriswiyanto serta keluarga besar Soebardjo yang selalu memberikan dukungan, doa dan semangat kepada penulis dalam mencapai kesuksesan.

2. Handian Purwawangsa S.Hut, M.Si, selaku Pembimbing yang telah sabar membimbing dan memberikan arahan dan saran, serta segenap staf pengajar dan karyawan Fakultas Kehutanan IPB

3. KPH Jember Perum Perhutani Unit II Jawa Timur; RPH dan Kantor Desa Lampeji, Garahan dan Jelbuk; LMDH Lampeji, Artha Wana Mulya dan Suger Subur dan para kelompok tani hutan beserta narasumber atas bantuan dalam pengumpulan data

4. Bapak Agus Sulaiman, Bapak Lukman, Bapak Saged dan rekan-rekan PHBM, PSDH dan KAM selaku pendamping dan pembimbing yang telah membagikan ilmu di lapangan 5. Fandi Wijaya Poesoko yang selalu memberi dukungan dan motivasi

6. Rekan-rekan Youth of Nation Ministry yang selalu memberikan saran dan motivasi.

7. Sahabat-sahabatku Afif Safariyah, Agum G.S, Dwi Oki, Eharapenta, Dien Andini, Moch. Zainur R, Devy M.C dan Tandila Arlen atas dukungan, doa, kepedulian dan kerja samanya dan rekan-rekan Manajemen Hutan 45 IPB selaku sahabat seguru-seilmu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan tulisan ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2013 Penulis


(8)

Penulis dilahirkan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 3 Januari 1990 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari keluarga pasangan Poncodriyo dan Panca Handayani.

Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 9 Ampenan (tahun 1996-2000), SD Negeri Patrang 1 Jember (tahun 2000-2002), SMP Negeri 4 Jember (tahun 2002-2005), SMA Negeri 5 Jember (tahun 2005-2008), dan tahun 2008 diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan, penulis mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu Forest Management Student Club (FMSC) Divisi Keprofesian tahun 2009-2011 dan Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (PMK IPB) Divisi Literatur (Desain, Fotografi dan Website) tahun 2009-2011. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan diantaranya divisi medis acara Forester Cup tahun 2010, divisi publikasasi, dekorasi dan dokumentasi acara Temu Manajer (TM) tahun 2010, bendahara acara Retreat Komisi Literatur tahun 2010, sekertaris acara Unlocking Potential College Conference (UPCC I) tahun 2010, divisi konsumsi acara Unlocking Potential College Conference (UPCC II) tahun 2011, dan divisi dana usaha acara Unlocking Potential College Conference (UPCC III) tahun 2012.

Tahun 2010 penulis melakukan Praktek Pengelolaan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang-Kamojang, Praktek Pengenalan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi tahun 2011, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Sarmiento Parakantja Timber (Sarpatim), Sampit, Kalimantan Tengah tahun 2012. Penulis juga mengikuti Magang Mandiri di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Bogor tahun 2011.

Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penyusunan skripsi yang berjudul Peran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Dalam Mengatasi Masalah Pencurian Kayu yang berlokasi di KPH Jember Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur dengan pembimbing Handian Purwawangsa S.Hut, M.Si.


(9)

Halaman

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan ... 4

2.2 Penebangan Liar ... 5

2.3 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ... 7

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12

3.2 Alat dan Bahan ... 12

3.3 Jenis Data ... 12

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 13

3.5 Analisis Data ... 13

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kesatuan Pemangkuan Hutan Jember ... 15

4.2 Lembaga Masyarakat Desa Hutan ... 20

4.3 Karakteristik Masyarakat ... 28

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 31

5.2 Intensitas Pencurian dan Kerugian Akibat Illegal Logging ... 34

5.3 Karakteristik Pencurian Kayu ... 37


(10)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 46

6.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(11)

No Halaman

1. Kepadatan penduduk Desa Lampeji, Sidomulyo dan Sukojember ... 18

2. Tingkat pendidikan penduduk Desa Lampeji, Sidomulyo dan Sukojember ... 18

3. Mata pencaharian penduduk Desa Lampeji, Sidomulyo dan Sukojember ... 19

4. Distribusi responden berdasarkan tingkat umur ... 28

5. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan ... 29

6. Mata pencaharian tetap responden ... 31

7. Mata pencaharian sampingan responden ... 31

8. Tingkat pendapatan responden ... 33

9. Data gangguan hutan KPH Jember tahun 2007 - 2011 (RPH Mumbulsari, RPH Garahan dan RPH Jelbuk) ... 35

10. Karakteristik Pencurian Kayu... 37

11. Penilaian Efektifitas PHBM dengan pola jati dan palawija (desa Lampeji) ... 43

12. Penilaian Efektifitas PHBM dengan pola pinus dan kopi (desa Sidomulyo) ... 43


(12)

No Halaman

1. Jumlah LA tahun 2007-2011 KPH Jember ... 34

2. Jumlah pohon tahun 2007-2011 KPH Jember ... 34

3. Besar Kerugian tahun 2007-2011 KPH Jember ... 34

4. Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Garahan ... 36

5. Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Jelbuk ... 36


(13)

No Halaman

1. Peta Kawasan KPH JemberPerum Perhutani Unit II Jawa Timur ... 51

2. Data gangguan hutan KPH Jember tahun 2007 sampai 2011 ... 52

3. Kuisioner ... 54


(14)

1.1Latar belakang

Hutan merupakan kekayaan alam sebagai aset multiguna yang tidak saja menghasilkan produk hutan seperti kayu, arang, pulp dan lain-lain, namun juga memiliki nilai lain seperti pelindung panas, pemecah angin dan penyelamat tanah terhadap bahaya erosi (Fauzi 2004, diacu dalam Wijanto 2008). Menurut UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Ekosistem hutan memberikan banyak manfaat baik secara langsung dan tidak langsung bagi masyarakat. Hutan memberikan kontribusi yang baik bagi pembangunan wilayah dan membantu mempertahankan lingkungan.

Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan menurut pasal 50 ayat 3 mengenai pencurian kayu antara lain: mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, membakar hutan, dan lain-lain. Pencurian kayu (illegal logging) meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini dapat terjadi pada semua tahapan produksi kayu mulai dari tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu, tahap pemerosesan dan tahap pemasaran, serta pelanggaran dalam mendapatkan akses ke dalam kawasan hutan. Fenomena ini tentu saja menimbulkan kerugian baik pemerintah, pengusaha kehutanan maupun masyarakat.

Tim Fakultas Kehutanan IPB (2003) menyatakan pencurian kayu yang dilakukan oleh masyarakat pun telah lama terjadi (termasuk pencurian jati di Pulau Jawa). Setelah kejatuhan rezim Soeharto (di era Reformasi), aktifitas pencurian kayu semakin marak. Masyarakat selama ini banyak mengetahui betapa kekayaan sumberdaya hutan Indonesia banyak dijarah oleh para pengusaha kehutanan yang berkolusi dengan para penguasa korup, dan didukung oleh (oknum) militer/polisi yang tentu saja juga mendapatkan rejeki dari kekayaan hutan Indonesia. Sementara itu, tingkat kesejahteraan penduduk di lokasi sekitar hutan tidak banyak mengalami perubahan yang berarti.

Berdasarkan Buku Statistik Perum Perhutani tahun 2002 hingga tahun 2006, tekanan masyarakat Pulau Jawa menunjukkan bahwa meskipun mengalami penurunan dari tahun ke


(15)

tahun, pencurian kayu masih cukup tinggi, yaitu pada tahun 2002 sebanyak 1.539.334 pohon dan pada tahun 2006 menjadi 126.024 pohon (Wijanto 2008). Kasus pencurian kayu pun masih dialami oleh Perum Perhutani Unit II Jawa Timur di KPH Jember. Berdasarkan data pencurian kayu Perum Perhutani KPH Jember dalam lima tahun terakhir pada tahun 2007 sebanyak 741 pohon dan tahun 2011 menjadi 716 pohon yang hilang. Dalam mengatasi pencurian kayu maka Perum Perhutani KPH Jember melakukan upaya pengendalian pencurian kayu dengan pendekatan kepada masyarakat. Upaya pendekatan yang dilakukan Perum Perhutani KPH Jember, salah satunya melalui program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Kegiatan dalam PHBM ini diadakan dalam rangka menjalin kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan, agar tercipta rasa ikut memiliki dan menjaga hutan sehingga masyarakat tidak menjadi pelaku kerusakan hutan serta menjadi rekan kerja dalam pengendalian masalah penebangan liar.

Peran program PHBM ini perlu dikaji mengingat masih terjadi kasus pencurian kayu di KPH Jember, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan efektifitas diterapkannya program PHBM sebagai solusi dalam masalah pencurian kayu. Jika hasil penelitian ini terbukti efektif, maka program PHBM ini merupakan salah satu upaya pengendalian pencurian kayu yang sangat baik diterapkan dalam KPH Jember khususnya.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana karakteristik pembalakan liar di KPH Jember?

2. Bagaimana intensitas terjadinya pembalakan liar/pencurian kayu pada kawasan hutan setelah penerapan program PHBM?

3. Bagaimana peran serta masyarakat dalam menanggulangi pencurian kayu?

4. Bagaimana efektifitas penerapan program PHBM dalam upaya pengendalian pencurian kayu di KPH Jember?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mempelajari karakteristik pembalakan liar di KPH Jember.

2. Mengetahui intensitas terjadinya pembalakan liar pada kawasan setelah penerapan program PHBM.


(16)

4. Menganalisis efektifitas penerapan program PHBM dalam upaya pengendalian pencurian kayu di KPH Jember.

1.4Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai intensitas dan karakteristik pencurian kayu di KPH Jember

2. Memberikan informasi mengenai efektifitas penerapan program PHBM dalam mengatasi pencurian kayu di KPH Jember


(17)

2.1Hutan

2.1.1 Pengertian Hutan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 pasal 1 ayat (2) “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Odum (1997) diacu dalam Wijanto (2008) mengemukakan bahwa hutan sebagai suatu ekosistem, bukan hanya terdiri dari komunitas dan hewan saja, akan tetapi meliputi juga keseluruhan interaksinya dengan faktor tempat tumbuh dan lingkungannya.

2.1.2 Fungsi Hutan

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999, fungsi hutan dibagi menjadi:

a. Hutan konservasi yaitu hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

b. Hutan Lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.

c. Hutan Produksi yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan

Menurut Gregory (1972) diacu dalam Hutajulu (2010), hutan selain berfungsi sebagai kawasan produksi yang berperan dalam produksi kayu dan produk hasil hutan non kayu yang memiliki fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat, juga berfungsi sebagai pelindung tanah, air, iklim, sumber plasma nutfah, dan biodiversitas.


(18)

2.1.3 Manfaat Hutan

Hutan sebagai suatu ekosistem memberikan manfaat bagi hidup dan kehidupan alam sekitarnya. Menurut Salim (2003) diacu dalam Wijanto (2008) manfaat hutan dibagi menjadi manfaat langsung dan tidak langsung.

a. Manfaat langsung memberikan pengertian bahwa hutan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat. Manfaat langsung dimaksud adalah bahwa masyarakat memanfaatkan hasil hutan secara langsung, misalnya mengambil kayu sebagai hasil utama hutan.

b. Manfaat tidak langsung yaitu manfaat yang secara tidak langsung dapat dinikmati oleh masyarakat. Manfaat secara tidak langsung antara lain dapat mengatur tata air, mencegah erosi, sebagai areal wisata, menyerap karbondioksida, meningkatkan devisa negara dan lainnya.

Berdasarkan sifat manfaatnya, Darusman (1989) diacu dalam Santoso (2008) manfaat hutan dibagi menjadi manfaat yang bersifat tangible dan intangible. Manfaat tangible adalah manfaat yang berbentuk material misalnya kayu, rotan, getah, daun dan lain-lain. Sedangkan manfaat intangible adalah manfaat yang berbentuk immaterial misalnya jasa lingkungan/pemandangan, pendidikan, tata air, plasma nutfah dan sebagainya. Menurut Barbier (1995) diacu dalam Hutajulu (2010), kehilangan keanekaragaman hayati memberikan konsekuensi hilangnya nilai ekonomi potensial dari hutan seperti: produk hutan non kayu, bahan genetik untuk industri farmasi, bioteknologi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta jenis-jenis kayu yang tidak dipasarkan.

2.2Penebangan Liar

Istilah penebangan liar (illegal-logging) muncul ketika banyak terjadi penebangan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap fungsi dan manfaat hutan. Illegal dalam bahasa Inggris artinya tidak sah atau dilarang atau bertentangan dengan hukum yang berlaku, sedangkan logging berarti menebang kayu dan selanjutnya dibawa ke tempat penggergajian. Dilain pihak illegal logging juga dapat diartikan sebagai kegiatan penebangan hutan liar, berarti bahwa melakukan penebangan hutan dengan tidak menggunakan kaidah atau norma yang berlaku dan mengabaikan kaidah silvikultur (Wijanto 2008).


(19)

Smith (2002) diacu dalam Wijanto (2008) menggunakan istilah illegal logging untuk menunjukkan adanya penebangan kayu yang dihubungkan dengan kegiatan yang tidak sesuai dengan hukum nasional dan daerah. Selanjutnya bahwa yang termasuk dalam kegiatan illegal logging adalah (1) melakukan perusakan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari hutan (2) melakukan penebangan tanpa ijin dan atau dari areal yang dilindungi (3) menebang spesies yang dilindungi dan atau kayu yang melebihi batas perjanjian dan (4) melakukan penebangan yang melanggar atau tidak sesuai dengan kewajiban didalam kontrak perjanjian. Sukardi (2005) diacu dalam Setianingsih (2009) mendefinisikan illegal logging adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan hukum yang berlaku atau berpotensi merusak hutan.

Conteras-Hermosilla (2002) diacu dalam Setianingsih (2009) menyebutkan beberapa faktor penyebab terjadinya pencurian kayu:

a. Kegiatan kehutanan melibatkan areal yang luas, dapat terjadi ditempat yang jauh, sehingga lolos dari keamanan publik dan badan pengawas. Walaupun adanya teknologi pengindraan jauh, tetapi kapasitas untuk memonitor dan menegakkan hukumnya rendah;

b. Di negara yang kaya sumberdaya hutan tetapi pembangunan ekonominya rendah jarang ditemukan informasi akurat tentang volume pohon yang ada, kualitas sumberdaya hutan, distribusi spesies, dan lokasi geografis lainnya. Kegiatan inventarisasi hutan dan rencana pengelolaan hutan tidak sempurna dilakukan, sehingga monitoring sulit dilakukan;

c. Pengelolaan sumberdaya alam lebih memprioritaskan aspek ekonomi, diantaranya dengan adanya pandangan bahwa keberadaan hutan kurang ekonomis dibandingkan dengan lahan yang digunakan untuk pertanian intensif;

d. Hak kepemilikan lahan hutan yang kurang jelas serta batas lahan hutan di lapanganpun kurang jelas diketahui;

e. Gaji pegawai pemerintah yang jauh lebih rendah harus mengawasi kayu yang bernilai ekonomi tinggi mendorong terjadi pelanggaran atas jabatan;


(20)

f. Hukuman bagi pelaku illegal logging sangat rendah, sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Faktor penyebab terjadinya pencurian kayu di Indonesia bukan ditentukan oleh faktor tunggal, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi. Ketimpangan supply dan demand kayu, masalah sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan, rendahnya apresiasi publik terhadap nilai ekosistem hutan, penegakan hukum dan tingkat ketaatan hukum yang masih lemah sampai maraknya korupsi dalam pembalakan liar merupakan beberapa faktor kunci terjadinya praktek illegal logging di Indonesia.

Sukardi (2005) diacu dalam Setianingsih (2009) menyebutkan modus operasi yang sering dilakukan dalam pencurian kayu adalah sebagai berikut : a. Modus di daerah hulu

1. Melakukan penebangan tanpa ijin, dilakukan oleh masyarakat dan hasil tebangannya dijual kepada cukong kayu atau oknum pengusaha industri kehutanan

2. Melakukan penebangan diluar ijin yang telah ditetapkan konsesinya oleh pemerintah, biasanya dilakukan oleh oknum pemegang konsesi HPH dan HTI.

b. Modus di jalur pengangkutan dan di daerah hilir

1. Pengangkutan kayu tanpa dilengkapi dokumen yang sah. 2. Pengangkutan kayu dilengkapi dokumen palsu

3. Jumlah kayu yang diangkut tidak sesuai dengan data yang ada dalam dokumen yang sah.

4. Penggunaan dokumen sahnya kayu yang berulang-ulang.

5. Penggunaan dokumen lain diluar dokumen yang telah ditetapkan, misalnya penggunaan faktur kayu sebagai pengganti dokumen sahnya kayu; hal ini disebabkan oleh terjadinya praktek kolusi antara oknum pejabat, pengusaha, dan penegak hukum.

2.3Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

2.3.1 Sejarah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)


(21)

polisional (security approach) atau pendekatan melalui penjagaan sistem keamanan yang kuat. Istilah ini sering digunakan Belanda saat menjajah Indonesia. Namun sejak abad 18 berubah menjadi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) hal ini disebabkan tuntutan perubahan lingkungan dan sosial masyarakat. Salah satu tindakan yang dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan ini yaitu dengan dimulainya reboisasi dengan sistem tumpang sari.

Tahun 1974 Perum Perhutani membuat program MA-LU (Mantri Lurah) yakni program yang bertujuan untuk menggalang kerjasama antara mantri dan lurah dalam memberikan informasi kepada pesanggem tentang agroforestery dan aspek pertanian lainnya. Tahun 1982 dikembangkan menjadi program pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), kemudian tahun 1995 disempurnakan menjadi program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) yang di dalamnya terdapat program pengembangan sumberdaya manusia secara terpadu.

Merespon tuntutan perubahan, perkembangan situasi reformasi, maka tahun 2001 lahirlah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan ciri bersama, berdaya dan berbagi yang berbasis lahan dan bukan lahan. Tahun 2007 PHBM dikembangkan menjadi PHBM Plus hingga sekarang demi mewujudkan visi dan misi Perhutani dalam meningkatkan pelaksanaan yang fleksibel, akomodatif, partisipatif dengan kesadaran tanggung jawab sosial serta mampu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menuju “Masyarakat Desa Hutan Mandiri dan Hutan Lestari” (Perum Perhutani 2010)

2.3.2 Pengertian Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

Menurut Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor: 682/KPTS/DIR/2009, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dengan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan jiwa berbagi. Pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam PHBM adalah pihak-pihak diluar Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya PHBM. Pihak lain tersebut diantaranya adalah Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta,


(22)

Lembaga Pendidikan, Lembaga Donor serta Forum komunikasi PHBM tingkat propinsi, kabupaten, dan kecamatan.

Prinsip-prinsip dasar Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang tertera di dalam keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 adalah :

1. Prinsip keadilan demokratis

2. Prinsip keterbukaan dan kebersamaan

3. Prinsip pembelajaran bersama dan saling memahami 4. Prinsip kejelasan hak dan kewajiban

5. Prinsip pemberdayaan ekonomi kerakyatan 6. Prinsip kerjasama kelembagaan

7. Prinsip perencanaan partisipatif

8. Prinsip kesederhanaan sistem dan prosedur 9. Prinsip perusahaan sebagai fasilitator

10. Prinsip kesesuaian pengelolaan dan karakteristik wilayah

Berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 682/KPTS/DIR/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat menyatakan bahwa Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dan profesional guna mencapai visi dan misi perusahaan. Sedangkan tujuan adanya Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah untuk:

a. Meningkatkan tanggung jawab perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan

b. Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan

c. Memperluas akses masyarakat desa hutan dalam pengelolaan sumberdaya hutan


(23)

d. Menselaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai kondisi dan dinamika sosial masyarakat desa hutan

e. Meningkatkan sinergitas dengan Pemerintah Daerah dan stakeholder

f. Meningkatkan usaha-usaha produktif menuju masyarakat desa hutan mandiri yang mendukung terciptanya hutan lestari.

g. Mendukung keberhasilan pembangunan daerah dengan IPM melalui indikator utama yaitu tingkat daya beli, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan. Kegiatan yang dilaksanakan PHBM terdiri dari kegiatan yang berbasis pada lahan hutan dan kegiatan berbasis bukan lahan hutan, yang dilakukan di dalam kawasan hutan negara serta dapat dikembangkan diluar kawasan hutan negara. Sistem kemitraan antara masyarakat desa hutan dengan Perhutani dilaksanakan dengan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang merupakan organisasi non-pemerintah berbasis desa.

2.3.3 Upaya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

Upaya mewujudkan keberhasilan program PHBM dalam menangani masalah gangguan hutan seperti pencurian kayu, memang sangat dibutuhkan adanya kerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan dengan segenap pihak yang berkepentingan (stakeholder). Peran LMDH dalam masyarakat desa hutan sangat penting karena fungsi dibentuknya lembaga ini adalah untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Upaya pemberantasan illegal logging menjadi prioritas kebijakan kehutanan yang harus dituntaskan mengingat dampak illegal logging sangat merugikan bagi kelestarian hutan, kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, juga menjadi ancaman terhadap moral bangsa, kedaulatan, dan keutuhan bangsa. Menurut Sanim (2000) diacu dalam Wijanto (2008) ketika kebijakan diluncurkan, maka kebijakan tersebut harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap kondisi semula. Oleh karena itu perlu adanya efektivitas dari kebijakan itu. Yang perlu diperhatikan dalam pengukuran efektivitas suatu kebijakan adalah:

1. Efisien, artinya bahwa kebijakan harus dapat meningkatkan efisiensi kondisi sekarang dibanding dengan kondisi yang lalu.


(24)

2. Fair, artinya adil yaitu bahwa kebijakan harus dapat ditempatkan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Ketidakadilan akan menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat.

3. Intensif, artinya bahwa kebijakan yang diambil harus dapat memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk dapat melakukan tindakan sesuai dengan kebijakan yang diputuskan.

4. Enforceability, artinya mempunyai kekuatan untuk menegakkan hukum. Kebijakan tidak akan berjalan secara efektif apabila kondisi penegakan hukum yang lemah (poor law enforcement).

5. Public acceptability, artinya dapat diterima masyarakat.

6. Moral, artinya bahwa kebijakan harus dilandasi dengan moral yang baik. Moral merupakan titik sentral dalam pengambilan suatu kebijakan dan moral merupakan aspek normatif yang dapat menciptakan aspek positif dari kebijakan.


(25)

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di KPH Jember, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2012. Penelitian ini dilakukan di Desa Lampeji RPH Mumbulsari, Desa Sidomulyo RPH Garahan dan Desa Sukojember RPH Jelbuk.

3.2Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, alat hitung, kuisioner, kamera, dan software pengolah data (software microsoft excell 2010).

3.2.2 Bahan

Data diperoleh dari Buku Laporan Keamanan dan Perlindungan Hutan Perum Perhutani KPH Jember, Buku Laporan Hasil PHBM KPH Jember dan Data Monografi Desa Lampeji RPH Mumbulsari, Desa Sidomulyo RPH Garahan dan Desa Sukojember RPH Jelbuk.

3.3Jenis Data

Data yang dibutuhkan terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud yaitu data-data yang diperoleh melalui wawancara serta pengamatan langsung di lapangan yang meliputi: kegiatan penanggulangan penebangan liar (illegal logging) di KPH Jember baik oleh LMDH sebagai pelaksana PHBM, maupun oleh pihak Perhutani sendiri, kondisi tegakan hutan serta masyarakat di salah satu BKPH di KPH Jember.

Sedangkan data sekunder yang diperlukan antara lain: data statistik terjadinya pembalakan/penebangan liar di wilayah KPH Jember dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2011, data-data mengenai kondisi kawasan KPH Jember, data kondisi sosial masyarakat sekitar hutan KPH Jember, perkembangan kegiatan LMDH, laporan pembalakan/penebangan liar dari BKPH serta data-data pendukung lainnya.


(26)

3.4Metode Pengumpulan Data

Metode pengambilan contoh golongan pendapatan dan mata pencaharian dilakukan dengan cara random sampling. Metode penentuan desa ditentukan dengan cara purposive sampling atau disengaja dengan 3 kriteria desa berdasarkan pola PHBM yang dikembangkan dan tingkat kerawanan akan pencurian kayu yaitu desa pertama dengan pola penanaman jati dan palawija (tingkat kerawanan tinggi), desa kedua dengan pola penanaman pinus dan kopi (tingkat kerawanan rendah), serta desa ketiga dengan pola penanaman pinus dan palawija (tingkat kerawanan sedang). Responden yang diambil berjumlah 90 responden dari 3 desa. Masing-masing responden di tiap desa yang diambil adalah 30 responden.

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut :

1. Studi pustaka yang dilakukan demi menambah kelengkapan data yang diperoleh. Pengumpulan literatur dilakukan dengan cara mempelajari, mengutip buku dan laporan yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Teknik wawancara yang dilakukan dengan melakukan tanya jawab langsung dengan responden dan pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan kuisioner.

3. Teknik observasi yang dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek peneliti.

3.5Analisis Data

Analisis data penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Data-data disajikan dalam bentuk tabulasi dan dijelaskan secara deskriptif. Efektifitas PHBM dalam mengatasi illegal logging dianalisis berdasarkan variabel-variabel: (1) Manfaat yang dirasakan dengan adanya PHBM, (2) Program PHBM telah sesuai keinginan, (3) Perhutani memberikan manfaat bagi masyarakat, (4) Harapan masyarakat telah tercapai dan (5) Program PHBM dapat mencegah illegal logging.

Menurut Wilder (2001) diacu dalam Sopar (2010) jawaban dari setiap pertanyaan dinilai dengan skoring berdasarkan tingkat kesesuaian antara harapan


(27)

yang ingin dicapai dengan kondisi di lapangan, seperti berikut: Sangat tidak sesuai : 1

Tidak sesuai : 2

Netral : 3

Sesuai : 4

Sangat Sesuai : 5

Skor dari setiap pernyataan dalam sebuah faktor dijumlahkan kemudian dicari rataannya.

Skor ≥ 4,0 memperlihatkan proses program telah berjalan baik dan

kemungkinan sudah tidak memerlukan perhatian lagi

Skor 3,0 – 3,9 merupakan garis batas dan perlu diadakan diskusi kelompok untuk melihat bilamana mereka membutuhkan perhatian

Skor ≤ 2,9 memperlihatkan keprihatinan dan harus menjadi pusat perhatian

Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur tanggal 20 November 2011 nomor : 81 Tahun 2012 perihal penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Jawa Timur Tahun 2012 untuk daerah Kabupaten Jember ditetapkan UMK sebesar Rp 920.000,00. Tingkat pendapatan responden dikelompokkan kedalam tiga kategori yaitu tingkat pendapatan kurang dari Rp 920.000,00 per bulan; antara Rp 920.000,00 - Rp 1.500.000,00 per bulan; dan lebih dari Rp 1.500.000,00 perbulan. Jika sebagian besar pendapatan responden diatas Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK ≥ Rp. 920.000,00), maka diasumsikan bahwa pola PHBM berhasil dalam memberdayakan masyarakat dan penurunan tingkat pencurian kayu/illegal logging.

Sumber pendapatan atau mata pencaharian responden diklasifikasikan ke dalam 4 kategori, yaitu : (1) hasil hutan, (2) pertanian, (3) jasa perdagangan, dan (4) jasa lain. Dalam menganalisis mata pencaharian menggunakan satuan persentase (%). Asumsi dilihat dari perbandingan antara persentase total penduduk bermata pencaharian dari hasil hutan dengan persentase mata pencaharian pada sektor lainnya. Dapat diasumsikan bahwa semakin besarnya penduduk yang bermata pencaharian dari hasil hutan maka illegal logging yang terjadi akan semakin tinggi.


(28)

4.1Kesatuan Pemangkuan Hutan Jember 4.1.1 Letak dan Luas

Secara geografis KPH Jember terletak pada 6˚27’29” - 7˚14’35” Bujur Timur dan 7˚59’6” - 8˚33’56” Lintang Selatan berbentuk dataran ngarai yang subur pada bagian Tengah dan Selatan, dikelilingi pegunungan yang memanjang sepanjang batas Utara dan Timur serta Samudera Indonesia. Luas KPH Jember adalah 71.556,34 ha, yang terbagi ke dalam 3 wilayah, yakni wilayah Lereng Yang Selatan (LYS) 24.725,54 ha, bagian Hutan Sempolan 18.305,8 ha dan wilayah Jember Selatan 28.525,0 ha. Hutan tersebut terbagi lagi atas tiga kelas perusahaan, yaitu Kelas Perusahaan Pinus, Kelas Perusahaan Jati dan Kelas Perusahaan Mahoni.

Secara administratif seluruh wilayah hutan KPH Jember berada di Kabupaten Jember. Batas-batas KPH Jember adalah:

Sebelah Timur : KPH Banyuwangi Barat dan Selatan Sebelah Barat : KPH Probolinggo

Sebelah Utara : KPH Bondowoso Sebelah Selatan : Samudera Indonesia

4.1.2 Pembagian Wilayah dan Topografi

Wilayah KPH Jember terbagi ke dalam 7 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) dan terbagi lagi atas 23 Resort Pemangkuan Hutan (RPH). Rincian luas kawasan hutan per BKPH :

1. BKPH Lereng Yang Barat : 10.008,7 Ha 2. BKPH Lereng Yang Timur : 14.610,9 Ha 3. BKPH Sempolan : 11.072,4 Ha 4. BKPH Sumberjambe : 7.107,2 Ha 5. BKPH Mayang : 9.355,5 Ha 6. BKPH Ambulu : 13.053,6 Ha 7. BKPH Wuluhan : 6.085,3 Ha


(29)

Kabupaten Jember memiliki luas wilayah 3.293,34 km2 atau 329.333,94 Ha. Dari luas wilayah tersebut dapat dibagi menjadi berbagai kawasan :

1. Hutan : 121.039,61 Ha

2. Perkampungan : 31.877 Ha

3. Sawah : 86.568,18 Ha

4. Tegal : 43.522,84 Ha

5. Perkebunan : 34.590,46 Ha 6. Tambak : 368,66 Ha

7. Rawa : 35,62 Ha

8. Semak/padang rumput : 289,06 Ha 9. Tanah rusak/tandus : 1.469,26 Ha 10. Lain-lain : 9.573,30 Ha

Jumlah : 329.333,94 Ha

Berdasarkan topografinya Jember di wilayah bagian Selatan merupakan dataran rendah yang relatif subur untuk pengembangan tanaman pangan, sedangkan di bagian Utara merupakan daerah perbukitan dan bergunung-gunung yang relatif baik bagi pengembangan tanaman keras dan tanaman perkebunan.

4.1.3 Iklim dan Tanah

Iklim di daerah Jember adalah iklim tropis, angka temperatur berkisar antara 23-31 ˚C, dengan musim kemarau terjadi pada Bulan Mei sampai Bulan Agustus dan musim hujan terjadi pada Bulan September sampai Bulan Januari. Sedangkan curah hujan cukup banyak, yakni berkisar antara 1.969 - 3.394 mm.

Wilayah KPH Jember dibagi menjadi tiga yaitu Wilayah Utara (Bagian Hutan Lereng Yang Selatan) memiliki iklim Tipe B, Wilayah Tengah (Bagian Hutan Sempolan) beriklim tipe C dan Wilayah Selatan (Bagian Hutan Jember Selatan) beriklim tipe D. KPH Jember berada pada ketinggian berkisar 10 – 1.500 m dpl, memiliki temperatur 24–26˚C dengan rata - rata curah hujan/th adalah 2.013 mm. Kondisi hidrologi di KPH Jember sangat dipengaruhi oleh air permukaan tanah dangkal, sumber-sumber mata air dan aliran-aliran sungai yang melintasinya. Sungai yang melintasi daerah Jember adalah Sungai Bedadung.

Dataran wilayah Jember banyak dibentuk oleh jenis tanah litosol dan regosol coklat kekuningan. Kondisi ini sangat menentukan tingkat kesuburan dan


(30)

kedalaman efektif tanah, dimana tingkat kesuburan tersebut adalah berkisar di atas 90 cm. Tipe tanah Wilayah Utara adalah vulkanik dan Wilayah Selatan tipe tanah campuran.

Adapun kekayaan alam yang terdapat di daerah Jember beserta luasannya adalah sebagai berikut:

Young Quartenary Vulcanic Product : 130.240,43 ha Miosen Sedimentary Fasies : 74.177,65 ha Miosen Limentone Fasies : 10.571,88 ha

Allumunium : 112.941,88 ha

Granite : 1.402,50 ha

Selain itu kekayaan alam berupa bahan galian terdapat juga pada wilayah Jember antara lain berupa:

Batu gunung/vulkanik : terdapat di Kecamatan Pakusari dan Kecamatan Kalisat

Mangaan dan batu gamping : terdapat di Kecamatan Puger dan Wuluhan Tanah liat : terdapat di Kecamatan Ledokombo, Arjasa dan

Rambipuji.

Batu kali/pasir : terdapat hampir di seluruh wilayah kecamatan. Batu piring : terdapat di Kecamatan Kalisat dan Pakusari.

4.1.4 Sosial dan Ekonomi Masyarakat

Sebagai Daerah Otonom, Kabupaten Jember memiliki batas-batas teritorial, luas wilayah, kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik dan sosial budaya, serta sumber daya manusia. Kabupaten Jember pada dasarnya tidak mempunyai penduduk asli, hampir semuanya pendatang. Mayoritas penduduk Kabupaten Jember terdiri atas Suku Jawa dan Suku Madura, selain itu terdapat warga Tionghoa dan Suku Osing, disamping masih dijumpai suku-suku lain serta warga keturunan asing sehingga melahirkan karakter khas Jember yang dinamis, kreatif, sopan, dan ramah tamah. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Bahasa Jawa dan Madura. Masyarakat Madura lebih banyak menetap di bagian Utara daerah Jember, sedangkan masyarakat Jawa lebih banyak menetap di bagian Selatan daerah Jember. Kebudayaan yang berkembang di Kabupaten Jember merupakan perpaduan Budaya Jawa dan Madura.


(31)

Tabel 1 Kepadatan penduduk Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember.

No Desa Luas Daerah

(ha)

Jumlah Penduduk (orang) Kepadatan

Penduduk Orang/ha Laki-laki Perempuan Total

1 Desa Lampeji 592 4.982 5.452 10.434 17,63

2 Desa Sidomulyo 973,9 4.987 5.332 10.319 10,59

3 Desa Sukojember 585,4 3.027 3.099 6.126 10,46

Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember tahun 2010

Berdasarkan data yang diperoleh, masyarakat penduduk Desa Lampeji, Desa Sidomulyo, dan Desa Sukojember mayoritas memiliki pendidikan terendah yaitu tamat SD. Tingkat pendidikan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tingkat pendidikan penduduk Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember.

No Tingkat Pendidikan

Desa Lampeji Desa Sidomulyo Desa Sukojember

Orang Persen

(%) Orang

Persen

(%) Orang

Persen (%)

1 Belum sekolah 206 1,97 1132 10,97 75 1,22

2 Tidak pernah

sekolah 673 6,45 402 3,90 35 0,57

3 SD tidak tamat 653 6,26 1367 13,25 - -

4 Tamat SD 1594 15,28 1894 18,35 930 15,18

5 SMP 1128 10,81 967 9,37 325 5,31

6 SMA 679 6,51 427 4,14 205 3,35

7 D1 - - 17 0,16 - -

8 D2 - - - - 6 0,10

9 D3 36 0,35 - - - -

10 S1 2 0,02 - - 8 0,13

Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember tahun 2010

Sebagian besar penduduk Desa Lampeji memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani sebanyak 3.756 orang (36%). Penduduk Desa Sidomulyo mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 5.162 orang (50,02%). Sebagian besar penduduk Desa Sukojember mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai peternak sebanyak 1.050 orang (17,14%). Mata pencaharian masyarakat desa di Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember dapat dilihat pada Tabel 3.


(32)

Tabel 3 Mata pencaharian penduduk Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember.

No Mata Pencaharian

Desa Lampeji Desa Sidomulyo Desa Sukojember

Orang Persen

(%) Orang

Persen

(%) Orang

Persen (%)

1 Petani 2939 28,17 5162 50,02 450 7,35

2 Buruh tani/Buruh 3756 36,00 1413 13,69 725 11,83

3 Karyawan Swasta 1 0,01 30 0,29 - -

4 PNS 38 0,36 74 0,72 6 0,10

5 Pedagang/Pengusaha 40 0,38 675 6,54 10 0,16

6 Peternak 11 0,11 1034 10,02 1050 17,14

7 Montir - - - - 1 0,02

8 TNI/POLRI 2 0,02 1 0,02

9 Penjahit - - 50 0,48 - -

10 Sopir 4 0,04 - - 3 0,05

11 Tukang Batu/Kayu 2 0,02 417 4,04 - -

12 Tukang Cukur 15 0,14 10 0,10 1 0,02

13 Tukang Ojek 5 0,05 - - 50 0,82

14 Tukang Becak 13 0,12 - - - -

15 TKI 73 0,70 - - - -

16 Pensiunan 5 0,05 103 1,00 1 0,02

Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Lampeji, Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember tahun 2010

Agama yang dianut mayoritas Islam, yang ditandai dengan berkembangnya pusat-pusat keagamaan khususnya pesantren. Kehidupan beragama pada sebagian masyarakat baru mencapai tataran simbol-simbol keagamaan dan belum sepenuhnya bersifat substansial.

Terdapat empat wilayah penyebaran penduduk berdasarkan pengetahuan dan keterampilan bertani-berkebun di Kabupaten Jember : (1) bagian utara ke timur merupakan daerah perbukitan kaki lereng pegunungan dengan variasi dataran untuk persawahan, (2) bagian Tengah merupakan kecamatan kota tempat pusat bisnis atau administrasi, (3) bagian Barat ke Utara merupakan daerah dataran perkebunan tebu hingga lereng kaki pegunungan untuk perkebunan kakao dan kopi serta karet, (4) bagian Barat ke Selatan merupakan dataran untuk pertanian sampai pesisir yang didiami penduduk bermata pencaharian nelayan.

Kabupaten Jember merupakan daerah yang mengalami perkembangan sangat pesat khususnya di bidang perdagangan, sehingga memberikan peluang bagi pendatang untuk berlomba-lomba mencari penghidupan di daerah ini.


(33)

Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Timur tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Jember mencapai 2.345.851 jiwa, dengan kepadatan penduduk 786 jiwa/km2, dengan sebagian besar penduduk berada pada kelompok usia muda. Sehingga kondisi demografi yang demikian menunjukkan bahwa potensi sumberdaya manusia yang dimiliki Kabupaten Jember cukup memadai sebagai potensi penyedia dan penawar tenaga kerja di pasar kerja.

4.2Lembaga Masyarakat Desa Hutan 4.2.1 Sejarah LMDH Lampeji

Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Lampeji terletak di Desa Lampeji yang berada dalam kawasan RPH Mumbulsari BKPH Mayang KPH Jember. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Lampeji baru memiliki legalitas hukum pada tanggal 11 September 2003 setelah diterbitkannya Akte Pendirian LMDH Lampeji yang disahkan dihadapan Notaris Hariyanto Imam Salwawi, SH. Dengan akta Notaris Nomor : L. 970/Not/IX/2003.

Pelaksanaan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) disepakati bersama antara pihak Perhutani KPH Jember dengan pemerintah desa dan masyarakat Desa Lampeji pada 17 Januari 2003 yang tertulis didalam Keputusan Dewan Pengawas PT. Perhutani No: 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Kerjasama ini dilakukan atas dasar kebutuhan dan manfaat masing-masing pihak secara timbal balik atas dasar kebersamaan dan persamaan derajat, pemberdayaan, berbagi dan saling menghormati sesuai dan dalam batas kemampuan masing-masing dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perjanjian kerjasama tersebut tercantum luas hutan pangkuan LMDH Lampeji adalah 479,6 ha. Penentuan luas dan lokasi lahan pangkuan sudah ditentukan langsung oleh Perum Perhutani. Aturan-aturan mengenai semua hal yang berkaitan dengan LMDH telah tercantum pada Akta Notaris dan Nota Kesepakatan Bersama/Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Lampeji.

Pemilihan pengurus LMDH dilakukan oleh anggota LMDH Lampeji. Saat ini LMDH Lampeji memiliki 450 anggota. LMDH Lampeji memiliki struktur kepengurusan yang terdiri dari:


(34)

Penasehat : A. Akarimullah Ketua : Sugiyono

Wakil Ketua : H. Imam Kurnaen Sekretaris : 1. Soegiharto Aries. S

2. Kyai Laely Jamal Bendahara : 1. Pak Her Asmudin

: 2. Suhartono Seksi-seksi :

a. Seksi Organisasi : 1. P. Im Karyoto

2. Imam Safi’i

3. Ali Yasin

b. Seksi Usaha : 1. Suripto

2. Abd. Muntahe

3. Suryadi

c. Seksi Umum : 1. Ashuri

2. P. Lut

d. Seksi Perencanaan : 1. P. Sri

2. Junaedi

e. Seksi Sarana Prasarana : 1. P. Mar. Moch. Romli

2. P. Lim

f. Seksi Budidaya : 1. P. Sawati 3. P. Tiarjo

2. P. Ilmi 4. P. Heri

Sebagian besar masyarakat yang merupakan anggota LMDH Lampeji menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam di hutan sekitar tempat tinggal mereka. Pekerjaan utama anggota LMDH Lampeji dan warga Desa Sidomulyo adalah buruh tani. Dari responden di LMDH Lampeji 12 orang memiliki pekerjaan utama sebagai buruh tani, 8 orang sebagai petani, 4 orang sebagai petani hutan, 2 orang pedagang, 2 orang wiraswasta, 1 orang tukang bangunan dan 1 orang kepala dusun.

Pembentukan LMDH Lampeji dilatarbelakangi oleh mayoritas masyarakat setempat yang memiliki aktivitas ekonomi dengan menggantungkan pada pemanfaatan hasil hutan yang menjadi wilayah pangkuan KPH Jember. Tentunya


(35)

aktivitas ekonomi tersebut memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap kelangsungan kelestarian hutan. Hal ini terbukti dengan adanya pencurian kayu hutan oleh oknum warga maupun oknum lainnya sebelum dilaksanakannya PHBM maupun sesudah dilaksanakannya program PHBM oleh pihak Perum Perhutani dan LMDH Lampeji.

4.2.2 Kegiatan LMDH Lampeji

Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Lampeji tentang penjagaan, perlindungan dan pengamanan hutan, kegiatan LMDH Lampeji diantaranya adalah :

1. Pengamanan Hutan a. Patroli secara aktif

Kegiatan pengamanan hutan, seluruh anggota terlibat patroli yang dilakukan secara bergilir bersama petugas dari Perum Perhutani pada malam hari secara rutin.

b. Patroli secara pasif

Pengamanan hutan dilakukan saat anggota melakukan kegiatan di dalam hutan seperti mengambil getah pinus, mencari kayu bakar, memelihara dan memanen tanaman kopi, serta hasil pertanian mereka yang lain. Anggota saling menjaga dan memantau apabila terdapat orang-orang yang mencurigakan dan melaporkan pada petugas Perum Perhutani.

2. Budidaya Palawija

Budidaya tanaman palawija/hortikultura dalam kawasan hutan dengan pola agroforestry dilakukan sejak adanya program PHBM ditetapkan. Adapun jenis-jenis tanaman palawija yang ditanam seperti: tembakau, kopi, padi, jagung, dan singkong tergantung pada musim tanam. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang diterima masing-masing pihak berupa tanaman hortikultura dan tanaman semusim hasil panen menjadi hak anggota sebesar 92,5% dan 7,5% untuk fasilitator. Pembagian hasil tanaman pokok berupa jati 75% menjadi hak Perhutani, 20% menjadi hak anggota dan 5% menjadi hak pihak ketiga (Pemdes, fasilitator dan Pemkec). Sharing hasil tanaman hutan dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah pohon per hektar dan dilakukan pada saat penjarangan dan pemanenan saat akhir daur tanaman.


(36)

3. Penanaman

Anggota LMDH Lampeji melakukan kegiatan penanaman yang dilakukan dengan sistem tumpang sari. Penanaman tanaman pokok berupa jati dengan jarak tanam 6 m x 2 m, tanaman pengisi kesambi dengan ukuran 6 m x 10 m, tanaman tepi berupa mahoni dengan ukuran 1 m, tanaman sela berupa rumput gajah dengan ukuran 6 m x 20 cm, tanaman pagar berupa tanaman nanas dengan ukuran 50 cm x 50 cm serta tanaman hortikultura dengan jarak 10 m.

4.2.3 Sejarah LMDH Artha Wana Mulya

Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Artha Wana Mulya terletak di Desa Sidomulyo yang berada dalam kawasan RPH Garahan BKPH Sempolan KPH Jember. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Artha Wana Mulya didirikan pada tanggal 22 Desember 2005 dan baru memiliki legalitas hukum pada tanggal 29 Desember 2005 setelah diterbitkannya Akte Pendirian LMDH Artha Wana Mulya yang disahkan dihadapan Notaris Elok Sunarningtyas. Dengan akta Notaris Nomor : C-579.HT.03.01-1999.

Pelaksanaan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) disepakati bersama antara pihak Perhutani KPH Jember dengan pemerintah desa dan masyarakat Desa Sidomulyo pada 17 April 2009 yang tertulis didalam Perjanjian Kerjasama Nomor: 26/Pengemb. Ush/JBR/II/2009. Dalam Perjanjian Kerjasama tersebut tercantum luas hutan pangkuan LMDH Artha Wana Mulya adalah 434,35 Ha. Penentuan luas dan lokasi lahan pangkuan sudah ditentukan langsung oleh Perum Perhutani. Aturan-aturan mengenai semua hal yang berkaitan dengan LMDH telah tercantum pada Akta Notaris dan Nota Kesepakatan Bersama/ Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Artha Wana Mulya.

Pemilihan pengurus LMDH dilakukan oleh anggota LMDH Artha Wana Mulya. Saat ini LMDH Artha Wana Mulya memiliki 876 anggota. LMDH Artha Wana Mulya memiliki struktur kepengurusan yang terdiri dari:

Pelindung : Kades Sidomulyo

Penasehat : 1. Asper/KBKPH Sempolan : 2. KRPH Garahan


(37)

Ketua : Rudi Santoso Wakil Ketua : Ali Prawoto Sekretaris : 1. Veni Fitriana

2. Ponidi Bendahara : 1. H. Zaenol

: 2. Ali Maki. Seksi-seksi :

a. Seksi Organisasi : 1. Darmanto 3. Misdin

2. P. Sugik 4. Hanan

b. Seksi Usaha : 1. Samuji 3. Ningrat

2. Sisworo 4. Irwan Budianto c. Seksi Umum : 1. Suwarno 3. Romyono

2. Bunadi 4. Tohet d. Seksi Produksi : 1. Yon 3. Sa’rawi

2. P. Basuni 4. Syafi’i

e. Seksi Keamanan : 1. P. Ririn 5. Sinal 9. P. Dul 2. P. Misnan 6. P. Tin 10. P. Im

3. Joko 7. P. Las

4. Salam 8. P. Lilik

Sebagian besar masyarakat yang merupakan anggota LMDH Artha Wana Mulya menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam di hutan sekitar tempat tinggal mereka. Pekerjaan utama anggota LMDH Artha Wana Mulya dan warga Desa Sidomulyo adalah sebagai petani kopi. Dari responden di LMDH Artha Wana Mulya 15 orang memiliki pekerjaan utama sebagai petani kopi, 5 orang sebagai penyadap getah pinus, 9 orang sebagai wiraswasta, dan 1 orang sebagai perangkat desa.

Pembentukan LMDH Artha Wana Mulya dilatarbelakangi oleh sebuah tuntutan realitas bahwa Desa Sidomulyo merupakan salah satu desa di Kecamatan Silo yang secara geografis merupakan desa pemangku hutan dan hampir 75% dari wilayah desa Sidomulyo berupa hutan pinus dan hutan heterogen yang mana dilihat dari aspek sosial, budaya, dan ekonomi, mayoritas masyarakat setempat mempunyai aktivitas ekonomi dengan menggantungkan pada pemanfaatan hasil


(38)

hutan yang menjadi wilayah pangkuan KPH Jember. Tentunya aktivitas ekonomi tersebut memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap kelangsungan kelestarian hutan. Hal ini terbukti dengan adanya pencurian kayu hutan oleh oknum warga sebelum dilaksanakannya PHBM oleh pihak Perum Perhutani dan LMDH Artha Wana Mulya.

4.2.4 Kegiatan LMDH Artha Wana Mulya

Adapun program kerja yang dilaksanakan oleh LMDH Artha Wana Mulya antara lain:

1. Mengembangkan ternak kambing sebagai upaya peningkatan kesejahteraan anggota LMDH.

2. Melaksanakan kegiatan pengawasan hutan secara intensif bersama pihak Perum Perhutani.

3. Melakukan evaluasi secara periodik terhadap seluruh hasil kegiatan yang telah dilaksanakan bersama pihak Perum Perhutani.

Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Artha Wana Mulya tentang penjagaan, perlindungan dan pengamanan hutan, kegiatan LMDH Artha Wana Mulya diantaranya adalah : 1. Pengamanan Hutan

a. Patroli secara pasif

Pengamanan hutan dilakukan saat anggota melakukan kegiatan di dalam hutan seperti mengambil getah pinus, mencari kayu bakar, memelihara dan memanen tanaman kopi serta hasil pertanian mereka yang lain. Anggota saling menjaga dan memantau apabila terdapat orang-orang yang mencurigakan dan melaporkan pada petugas Perum Perhutani.

b. Pembuatan gubug kerja

Setiap anggota memiliki gubug kerja di setiap lahan andil mereka. Gubug Kerja ini digunakan sebagai tempat peristirahat sekaligus tempat untuk menjaga dan mengawasi lahan milik mereka masing-masing.

2. Budidaya Kopi

Budidaya tanaman kopi dalam kawasan hutan dengan pola agroforestry sudah dilakukan sejak tahun 2000. Kegiatan penanaman kopi ini berawal dari masa penjarahan sekitar tahun 1999, ketika itu kawasan hutan di


(39)

sekitar desa banyak dijarah oleh masyarakat luar desa. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang diterima masing-masing pihak berupa kopi OC dari produksi tanaman kopi adalah 75% untuk pesanggem/petani kopi dan 25% untuk Perhutani. Besar bagi hasil didasarkan pada jumlah pohon dan jumlah produksi kopi per pohon setelah diadakan pendataan ulang kopi yang dipanen.

Kegiatan budidaya kopi ini dilakukan di 7 petak yaitu di petak 2a, 2d, 13a, 15b, 17b, 129a, 129e dengan total luas seluruh lahan 434,35 Ha. Tanaman kopi yang ada di petak-petak tersebut bersifat sporadis/tidak merata. Masa tanam kopi adalah 3-4 kali dalam setahun dengan jarak tanam 1 m x 3 m. Tanaman kopi ini ditanam di bawah tegakan pada kelas hutan lindung. Petani dapat menghasilkan sekitar 2,5 kwintal OC (Beras kopi) per hektar dengan harga OC kopi rata-rata berharga Rp 20.000/kg.

4.2.5 Sejarah LMDH Suger Subur

Desa Sukojember berada dalam kawasan RPH Jelbuk BKPH Lereng Yang Timur KPH Jember. Desa Sukojember merupakan desa yang belum ber-PHBM secara mandiri sehingga untuk pengelolaan hutan di desa ini diserahkan kepada LMDH Suger Subur yang berada di sebelah Desa Sukojember yaitu Desa Suger Kidul. Luas hutan yang berada dalam kawasan Desa Sukojember adalah 22,4 Ha. Penentuan luas dan lokasi lahan pangkuan sudah ditentukan langsung oleh Perum Perhutani.

Sebagian besar masyarakat yang merupakan anggota LMDH Suger Subur menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam di hutan sekitar tempat tinggal mereka. Pekerjaan utama anggota LMDH Suger Subur dan warga Desa Sukojember adalah sebagai petani. Dari responden di LMDH Suger Subur 23 orang memiliki pekerjaan utama sebagai petani hutan, 3 orang sebagai buruh tani, 2 orang sebagai wiraswasta, 1 orang penyadap getah dan 1 orang sebagai tukang bangunan.

Belum terbentuknya LMDH di Desa Sukojember dilatarbelakangi oleh pernyataan Kepala Desa Sukojember bahwa hutan seutuhnya adalah milik rakyat, baik pengelolaan dan seluruh hasilnya, sehingga beliau tidak ingin melakukan kerjasama dengan Perhutani dalam membangun PHBM di sekitar desa hutan


(40)

tersebut. Beliau berpendapat bahwa hasil sharing PHBM hanya untuk keuntungan Perhutani dan tidak memberi kesejahteraan bagi masyarakat seutuhnya.

4.2.6 Kegiatan LMDH Suger Subur

Kegiatan penjagaan, perlindungan, dan pengamanan hutan di LMDH Suger Subur Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember telah menjadi tanggung jawab LMDH Suger Subur serta pihak Perhutani, kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah :

1. Pengamanan Hutan a. Patroli secara aktif

Kegiatan pengamanan hutan, seluruh anggota terlibat patroli yang dilakukan secara bergilir bersama petugas dari Perum Perhutani pada pagi dan malam hari secara rutin yang dilakukan mulai pukul 07.00-19.00 WIB.

b. Patroli secara pasif

Pengamanan hutan dilakukan saat anggota melakukan kegiatan di dalam hutan seperti mengambil getah pinus, mencari kayu bakar, memelihara dan memanen tanaman kopi serta hasil pertanian mereka yang lain. Anggota saling menjaga dan memantau apabila terdapat orang-orang yang mencurigakan dan melaporkan pada petugas Perum Perhutani.

c. Pembuatan pos pengamanan

Dalam mempermudah patroli dan penjagaan hutan, maka dibuatlah pos pengamanan atau biasa disebut sebagai pos bayangan. Letak pos pengamanan dapat berupa tempat tinggal anggota yang dekat dengan hutan maupun rumah dinas.

2. Budidaya Palawija

Budidaya tanaman palawija/hortikultura dalam kawasan hutan dengan pola agroforestry dilakukan sejak adanya program PHBM ditetapkan. Adapun jenis-jenis tanaman palawija yang ditanam seperti: tembakau, kopi, padi, kacang-kacangan, kedelai, jagung, dan singkong tergantung pada musim tanam. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang diterima masing-masing pihak berupa tanaman hortikultura dan tanaman semusim hasil panen sebesar 100% menjadi hak anggota dan pihak ketiga.


(41)

Kegiatan penanaman yang dilakukan dengan sistem tumpang sari. Penanaman tanaman pokok berupa pinus dengan jarak tanam 3 m x 3 m, tanaman pengisi berupa manting dan johor, tanaman tepi berupa sengon, tanaman sela berupa rumput gajah, serta tanaman hortikultura yang menjadi lahan andil masyarakat adalah seluas 0,15 Ha dengan ukuran 15 m x 10 m.

4.3Karakteristik Masyarakat

Karakteristik keanggotaan didasarkan pada karakteristik responden yang meliputi umur dan tingkat pendidikan. Responden merupakan anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang dipilih secara acak, masing-masing 30 orang dari tiap LMDH. Jumlah anggota LMDH Lampeji sebanyak 450 orang, sedangkan jumlah anggota dari LMDH Artha Wana Mulya sebanyak 876 orang dan jumlah anggota LMDH Suger Subur sebanyak 90 orang.

4.3.1 Umur

Dalam penelitian ini pengelompokkan kategori usia penduduk dibagi menjadi 3 kategori yaitu kategori muda (≤ 51 tahun), kategori menengah (52 – 63 tahun) dan kategori tua ( ≥ 64 tahun). Pengelompokkan responden berdasarkan kategori umur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan tingkat umur

No Lembaga Masyarakat Desa Hutan Muda

(≤ 51 tahun)

Menengah (52-63 tahun)

Tua (≥ 64 tahun)

1 LMDH Lampeji 21 (70%) 8 (26,7%) 1 (3,3%)

2 LMDH Artha Wana Mulya 24 (80%) 6 (20%) 0 (0%)

3 LMDH Suger Subur 20 (66,7%) 8 (26,7%) 2 (6,7%)

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa umur responden dari anggota LMDH Lampeji mayoritas berada dalam kategori muda (≤ 51 tahun) sebanyak 21 orang (70%), sebanyak 8 orang (26,7%) berada pada kategori menengah (52 – 63 tahun) dan 1 orang (3,33%) berada dalam kategori tua. Usia anggota LMDH Artha Wana Mulya sebagian besar berada dalam kategori muda (≤ 51 tahun) sebanyak 24 orang (80%), sebanyak 6 orang (20%) berada pada kategori menengah (52 – 63 tahun) dan 0 orang (0%) berada dalam kategori tua. Pada umumnya usia anggota LMDH Suger Subur mayoritas berada dalam kategori muda (≤ 51 tahun)


(42)

sebanyak 20 orang (66,7%), sebanyak 8 orang (26,7%) berada pada kategori menengah (52 – 63 tahun) dan 2 orang (6,7%) berada dalam kategori tua.

Kategori usia penduduk dibagi menjadi 3 yaitu usia < 14 tahun (usia belum produktif), usia 14 - 64 tahun (usia produktif) dan usia > 64 tahun (usia tidak produktif). Masyarakat dari ketiga lokasi responden tersebut masuk dalam kategori usia produktif yang terlihat dari sebagian besarnya masyarakat yang masuk dalam kategori usia muda (≤ 51 tahun). Hal ini terlihat dari aktifnya masyarakat melakukan kegiatan pemanfaatan hutan, pemeliharaan dan penjagaan hutan adalah masyarakat dari golongan yang masih produktif.

4.3.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang terakhir ditempuh responden dan pendidikan informal (kursus/pelatihan) yang pernah diikuti responden yang dikategorikan menjadi 3 yaitu rendah (tidak sekolah–tamat SD/sederajat), sedang (tamat SMP/sederajat) dan tinggi (tamat SMA/sederajat-Perguruan Tinggi). Pengelompokan responden berdasarkan kategori tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

No Lembaga Masyarakat Desa Hutan

Rendah

(tidak sekolah- SD)

Sedang (SMP)

Tinggi

(SMA-Perguruan Tinggi)

1 LMDH Lampeji 28 (93,33%) 1 (3,33%) 1 (3,33%)

2 LMDH Artha Wana Mulya 15 (50%) 6 (20%) 9 (30%)

3 KTH Sukojember 27 (90%) 1 (3,33%) 2 (6, 67%)

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa dari ketiga lokasi responden tersebut tingkat pendidikan responden sebagian besar berada dalam kategori rendah (tidak sekolah-SD). Pada LMDH Lampeji mayoritas tingkat pendidikan berada dalam kategori rendah (tidak sekolah- SD) sebanyak 28 orang (93,33%), sebanyak 1 orang (3,33%) berada pada kategori Sedang (SMP) dan 1 orang (3,33%) berada dalam kategori Tinggi (SMA-Perguruan Tinggi). Pada LMDH Artha Wana Mulya mayoritas tingkat pendidikan berada dalam kategori rendah (tidak sekolah- SD) sebanyak 15 orang (50%), sebanyak 6 orang (20%) berada pada kategori Sedang (SMP) dan 9 orang (30%) berada dalam kategori Tinggi (SMA-Perguruan Tinggi). Pada LMDH Suger Subur mayoritas tingkat pendidikan berada dalam


(43)

kategori rendah (tidak sekolah- SD) sebanyak 27 orang (90%), sebanyak 1 orang (3,33%) berada pada kategori sedang (SMP) dan 2 orang (6,67%) berada dalam kategori tinggi (SMA-Perguruan Tinggi). Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat disebabkan letak sekolah lanjutan seperti SMP dan SMA yang jauh dari tempat tinggal warga serta tidak adanya dana untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.


(44)

5.1Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 5.1.1 Mata Pencaharian

Sumber pendapatan responden digolongkan menjadi empat yaitu sumber mata pencaharian yang berasal dari hasil hutan, pertanian, perdagangan dan bidang lainnya. Berikut ini kehidupan sosial masyarakat berdasarkan mata pencaharian pada RPH Mumbulsari, RPH Garahan dan RPH Jelbuk.

Tabel 6 Mata pencaharian pokok responden

Sumber Pendapatan/ Pekerjaan Pokok

Desa Lampeji RPH Mumbulsari Desa Sidomulyo RPH Garahan Desa Sukojember RPH Jelbuk Jumlah Pekerja/ KK Persen (%) Jumlah Pekerja/ KK Persen (%) Jumlah Pekerja/ KK Persen (%) Hasil hutan (Petani hutan, chainsawman/penebang, penyadap)

4 13 5 17 24 80

Pertanian

(Buruh tani, Petani, Pencari rumput gajah)

21 70 15 50 3 10

Jasa perdagangan

(Pedagang, pedagang kopi)

2 7 0 0 0 0

Jasa lain

(PNS, Perangkat desa, Wiraswasta, Peternak, Nelayan, Tukang bangunan, Kuli Pabrik)

3 10 10 33 3 10

Tabel 7 Mata pencaharian sampingan responden

Sumber Pendapatan Pekerjaan Sampingan

Desa Lampeji RPH Mumbulsari Desa Sidomulyo RPH Garahan Desa Sukojember RPH Jelbuk Jumlah Pekerja/ KK Persen (%) Jumlah Pekerja/ KK Persen (%) Jumlah Pekerja/ KK Persen (%) Hasil hutan (Petani hutan, chainsawman/penebang, penyadap)

22 73 2 7 1 3

Pertanian

(Buruh tani, Petani, Pencari rumput gajah)

1 3 9 30 10 33

Jasa perdagangan

(Pedagang, pedagang kopi)


(45)

Sumber Pendapatan/ Pekerjaan Sampingan

Desa Lampeji RPH Mumbulsari Desa Sidomulyo RPH Garahan Desa Sukojember RPH Jelbuk Jumlah Pekerja/ KK Persen (%) Jumlah Pekerja/ KK Persen (%) Jumlah Pekerja/ KK Persen (%) Jasa lain

(PNS, Perangkat desa, Wiraswasta, Peternak, Nelayan, Tukang bangunan, Kuli Pabrik)

2 7 2 7 2 7

Tidak ada pekerjaan sampingan

3 10 8 26 6 20

Masyarakat pada masing-masing RPH memiliki mata pencaharian ganda, yaitu pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan. Pada Desa Lampeji RPH Mumbulsari sebagian besar masyarakat bermata pencaharian pokok (70%) bekerja di bidang pertanian, dan sebagian besar (73%) mata pencaharian sampingan masyarakat berasal dari hasil hutan yaitu menebang hasil hutan kayu. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat RPH Mumbulsari sebagian besar sangat bergantung pada keberadaan hutan, terlihat dari pekerjaan sampingan mereka sebagian besar bekerja mengelola lahan di dalam hutan sebagai petani hutan. Ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan di Desa Lampeji dikarenakan pola pikir masyarakat di Desa Lampeji masih belum mengerti manfaat dari adanya PHBM yang menyebabkan kondisi hutan di RPH ini tidak terjaga dengan baik.

Pada Desa Sidomulyo RPH Garahan sebagian masyarakat bermata pencaharian pokok (50%) di bidang pertanian. Sebagian besar pekerjaan sampingan masyarakat di bidang pertanian dan perdagangan. Masyarakat di RPH Garahan sebagian besar bekerja tidak bergantung penuh pada hasil hutan. Hal ini sesuai dengan kondisi hutan di daerah ini yang jauh dari kerusakan hutan akibat pencurian kayu.

Desa Sukojember RPH Jelbuk sebagian besar masyarakat bermata pencaharian pokok (80%) mengandalkan keberadaan hasil hutan. Hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah hasil hutan bukan kayu, seperti kayu bakar dan getah pinus. Pekerjaan sampingan masyarakat Desa Sukojember sebagian besar di bidang perdagangan (37%). Kondisi hutan yang baik di RPH ini karena adanya pendekatan dan komunikasi yang baik dengan masyarakat serta pola pikir masyarakat yang mengerti manfaat dari adanya PHBM.


(46)

5.1.2 Tingkat Pendapatan

Pendapatan masyarakat desa sekitar hutan di golongkan menjadi tiga berdasarkan UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten) yaitu upah pendapatan kurang dari Rp 920.000,00 ; upah diantara Rp 920.000,00 - Rp 1.500.000,00 ; dan upah lebih dari Rp 1.500.000,00.

Tabel 8 Tingkat pendapatan responden

Tingkat Pendapatan (Rp/KK/bulan)

Desa Lampeji RPH Mumbulsari

Desa Sidomulyo RPH Garahan

Desa Sukojember RPH Jelbuk Jumlah Pekerja/K K Persen (%) Jumlah Pekerja/K K Persen (%) Jumlah Pekerja/K K Persen (%)

< 920000 12 40 15 50 26 87

920000-1500000 7 23,3 5 16,7 4 13

>1500000 11 36,7 10 33,3 0 0

Berdasarkan tingkat pendapatan, Desa Sukojember RPH Jelbuk memiliki tingkat pendapatan kurang dari Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK < Rp 920.000,00) lebih besar dari kedua RPH lainnya yaitu sebesar 87%. Pendapatan masyarakat di RPH Mumbulsari memiliki tingkat pendapatan (UMK > Rp 1.500.000,00) paling besar dari kedua daerah tersebut yaitu 36,7%. Tingkat pendapatan diatas UMK pada Desa Lampeji 60 %, Desa Sidomulyo RPH Garahan 50%, dan Desa Sukojember RPH Jelbuk 13%.

Tingkat pendapatan tinggi belum tentu memberikan pengaruh yang baik pada keamanan hutan. Hal ini terlihat dari Desa Lampeji daerah yang rawan akan pencurian kayu memiliki pendapatan lebih besar dari Desa Sidomulyo dan Desa Sukojember. Desa Lampeji memiliki tingkat pendapatan yang tinggi disebabkan mata pencaharian pokok masyarakat sebagian besar bekerja sebagai petani dan mata pencaharian sampingan mereka bergantung penuh pada hasil hutan berupa kayu sehingga pendapatan mereka lebih tinggi dan peluang terjadinya pembalakan liar pun dapat terjadi. Kelestarian hutan RPH Mumbulsari menjadi terganggu karena intensitas pemanfaatan hutan yang sering dilakukan di dalam hutan oleh masyarakat


(47)

5.2Intensitas Pencurian dan Kerugian Akibat Pencurian Kayu

Kerusakan hutan Indonesia akibat pencurian kayu hingga saat ini masih belum dapat diatasi secara tuntas, begitu pula dengan kondisi hutan yang dikelola oleh KPH Jember. Berdasarkan data kerusakan hutan Perum Perhutani KPH Jember akibat pencurian kayu dalam 5 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2011 total laporan pencurian kayu tertinggi (LA) terjadi pada tahun 2008 sebanyak 226 LA dengan total pohon yang telah dijarah adalah 1.133 pohon dengan total kerugian saat itu sebesar Rp 157.000.000,00. Secara garis besar intensitas kejadian pencurian kayu di KPH Jember mengalami penurunan dari tahun 2008 yang berjumlah 226 kasus menjadi 118 laporan kejadian kasus pencurian kayu di tahun 2011 (Gambar 2). Sedangkan untuk jumlah kayu yang hilang juga mengalami penurunan dari tahun 2007 sebanyak 741 pohon menjadi 716 pohon pada tahun 2011 (Gambar 3).

Gambar 1 Jumlah LA tahun 2007-2011 KPH Jember

Gambar 2 Jumlah pohon tahun 2007-2011 KPH Jember

Gambar 3 Besar kerugian tahun 2007-2011 KPH Jember

Besar kerugian tertinggi akibat pencurian kayu yang dialami Perum Perhutani KPH Jember terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar Rp 324.393.000,00 (Gambar 4). Kerugian pada tahun 2011 lebih besar dibandingkan pada


(48)

tahun-tahun sebelumnya, hal ini dapat terjadi karena volume kubikasi pohon yang besar dan jenis kayu yang memiliki nilai komersial tinggi yang dicuri. Hasil hutan kayu yang menjadi produk utama dari KPH Jember yaitu produksi kayu jati dan kayu rimba. Harga jual jati lebih mahal dibandingkan kayu rimba, oleh karena itu oknum pencuri cenderung lebih menyukai jati dari pada kayu rimba.

Berdasarkan data pencurian kayu yang terjadi dalam 5 tahun terakhir pada tahun 2007-2011 (Tabel 6), jumlah kasus pencurian kayu tertinggi terjadi pada RPH Mumbulsari sebanyak 67 LA, RPH Jelbuk sebanyak 21 LA dan terendah adalah RPH Garahan sebanyak 18 LA. Jumlah pohon yang hilang sejak 2007-2011 pada RPH Mumbulsari adalah sebanyak 693 pohon, RPH Jelbuk sebanyak 106 pohon sedangkan RPH Garahan sebanyak 60 pohon. Adapun besar kerugian yang dialami oleh RPH Mumbulsari dalam 5 tahun terakhir adalah sebesar Rp 52.469.000,00. Kerugian yang dialami RPH Jelbuk sebesar Rp 10.915.000,00 dan kerugian RPH Garahan adalah sebesar Rp 19.439.000,00. Kasus illegal logging hanya terjadi pada RPH tertentu, yaitu daerah yang memiliki potensi kerusakan hutan tinggi, akibat aktifitas masyarakat yang masih bergantung pada hasil hutan (pola mata pencaharian masyarakat) dan oknum yang mendukung pencurian kayu.

Tabel 9 Data gangguan hutan KPH Jember tahun 2007 - 2011 (RPH Mumbulsari, RPH Garahan dan RPH Jelbuk)

Tahun RPH Mumbulsari RPH Garahan RPH Jelbuk

LA Pohon Rp. (000) LA Pohon Rp. (000) LA Pohon Rp. (000)

2007 3 47 2.843 0 0 0 3 13 1731

2008 13 48 1.400 4 23 6.272 9 90 8.085

2009 8 13 755 5 14 5.588 8 3 1099

2010 26 347 20.565 7 18 1.625 0 0 0

2011 17 238 26.906 2 5 5.954 1 0 0

TOTAL 67 693 52.469 18 60 19.439 21 106 10.915

Sumber: Laporan Keamanan dan Perlindungan Hutan Perum Perhutani KPH Jember

RPH Mumbulsari merupakan salah satu daerah yang sangat rawan perusakan hutan akibat ulah manusia. Intensitas jumlah kasus pencurian kayu yang terjadi di RPH Mumbulsari tidak mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini terlihat dari jumlah LA yang makin meningkat di tahun 2010 dan hanya mengalami sedikit penurunan di tahun 2011 (Gambar 7). Dari gambar grafik


(49)

perbandingan jumlah LA dan jumlah pohon yang hilang RPH Garahan dan RPH Jelbuk (Gambar 5 dan Gambar 6) mengalami penurunan yang signifikan dan membuktikan bahwa intensitas pencurian kayu pada kedua RPH ini rendah dibandingkan dengan RPH Mumbulsari.

Gambar 4 Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Garahan

Gambar 5 Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Jelbuk

Gambar 6 Grafik perbandingan jumlah LA dan pohon RPH Mumbulsari

Terjadinya pencurian kayu memberi kerugian yang besar bagi Perum Perhutani KPH Jember. Selain merusak secara ekologi, pencurian kayu juga merugikan baik dari segi ekonomi dan sosial. Dalam mengatasi praktek illegal logging Perum Perhutani menerapkan program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) sebagai salah satu solusi dalam mengatasi masalah gangguan hutan dan peningkatan ekonomi sosial masyarakat sekitar hutan.

Jumlah

Jumlah

Tahun

Tahun

Jumlah LA dan Jumlah Pohon RPH Mubulsari


(50)

5.3 Karakteristik Pencurian Kayu

Karakteristik kayu yang biasa dicuri oknum masyarakat dapat dilihat dari 5 kriteria, yaitu jenis kayu, diameter, alasan pemilihan diameter, bentuk kayu dan penggunaan kayu tersebut.

Tabel 10 Karakteristik Pencurian Kayu

Karakteristik Jumlah Responden

A. Jenis Kayu

1. Sengon 9 (30%)

2. Jati 9 (30%)

3. Mahoni 2 (6,7%)

4. Semua Jenis (sengon, jati,mahoni) 10 (33,3%)

B. Diameter

1. < 10 cm 0 (0%)

2. 10 - 30 cm 18 (60%)

3. > 30 cm 2 (6,7%)

4. Seluruh Diameter 10 (33,3%)

C. Bentuk Kayu

1. Log 30 (100%)

2. Papan 0 (0%)

3. Balok 0 (0%)

D. Alasan Pemilihan Diameter

1. Mudah diangkut 15 (50%)

2. Mudah ditebang 5 (16,7%)

3. Kualitasnya baik dan mahal 10 (33,3%)

E. Alasan Mencuri Kayu

1. Dijual 26 (86,7%)

2. Digunakan sendiri 4 (13,3%)

Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa jenis kayu yang umumnya dicuri adalah jenis sengon, jati dan mahoni, dengan bentuk kayu umumnya berupa kayu log. Sebagian besar diameter pohon yang dicuri sekitar 10-30 cm, karena dengan diameter 10-30 cm kayu mudah diangkut oleh pelaku. Alasan masyarakat mencuri kayu adalah untuk dijual, tetapi ada juga yang menggunakan kayu tersebut untuk kebutuhan sendiri seperti penyangga rumah, kusen dan kandang. Berdasarkan data karakteristik ini, dapat digunakan oleh pihak Perhutani dalam meningkatkan keamanan pada jenis dan diameter yang rawan dicuri.


(51)

5.4 Peran Serta Mayarakat dalam PHBM dan Perlindungan Hutan 5.4.1 Desa Lampeji RPH Mumbulsari

Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Lampeji tentang penjagaan, perlindungan dan pengamanan hutan, kegiatan masyarakat dalam PHBM diantaranya adalah patroli secara aktif dan pasif. Patroli secara aktif yaitu seluruh anggota terlibat patroli yang dilakukan secara bergilir bersama petugas dari Perum Perhutani. Patroli secara pasif yaitu anggota saling menjaga dan memantau saat melakukan kegiatan di dalam hutan seperti mengambil getah pinus, mencari kayu bakar, memelihara dan memanen tanaman kopi, serta hasil pertanian mereka.

Budidaya yang dikembangkan dalam PHBM oleh LMDH Lampeji adalah tanaman palawija/hortikultura dengan pola agroforestry dilakukan sejak adanya program PHBM ditetapkan. Adapun jenis-jenis tanaman palawija yang ditanam seperti: tembakau, kopi, padi, jagung, dan singkong tergantung pada musim tanam. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang diterima masing-masing pihak berupa tanaman hortikultura dan tanaman semusim hasil panen menjadi hak anggota sebesar 92,5% dan 7,5% untuk fasilitator. Pembagian hasil tanaman pokok berupa jati 75% menjadi hak Perhutani, 20% menjadi hak anggota dan 5% menjadi hak pihak ketiga (Pemdes, fasilitator dan Pemkec). Sharing hasil tanaman hutan dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah pohon per hektar dan dilakukan pada saat penjarangan dan pemanenan saat akhir daur tanaman.

Berdasarkan hasil wawancara responden, 93% masyarakat kurang memahami pentingnya PHBM meskipun mereka sudah terlibat aktif dalam kegiatan PHBM. Dari 30 orang responden, 97% masyarakat di desa ini tidak merasakan manfaat yang lebih baik dari adanya PHBM dan menganggap bahwa program PHBM belum dapat mengatasi pencurian kayu, dikarenakan belum adanya pemahaman yang benar tentang PHBM pada 93% masyarakat.

Berdasarkan penjelasan yang diberikan ketua LMDH dan para stakeholder yang menyatakan bahwa pencurian kayu di Desa Lampeji memang sangat sulit diatasi meskipun telah dibentuk LMDH dan telah menerapkan pola PHBM sekalipun. Hal ini disebabkan oleh pola pikir dan perilaku masyarakat yang telah lama dan menjadikan sebagai suatu kebiasaan dalam melakukan sesuatu. Menurut


(52)

warga setempat, mereka telah lama bekerja di dalam hutan dengan mengolah lahan serta mengambil segala jenis hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini pun diungkapkan oleh Pak Sugiono sebagai ketua LMDH Lampeji:

“Warga ndek desa ini ya wes biasa ngambili kayu enggak ijin, istilahe jare wong madura iku neteli wit. Lah mau gimana lagi, wong menurut mereka ngambil kayu itu sudah jadi pekerjaan mereka sudah lama untuk makan mereka.” (Warga di desa ini sudah biasa mengambil kayu tanpa ijin, istilah dalam bahasa madura adalah menebang pohon. Hendak bagaimana lagi, karena menurut mereka menebang kayu telah menjadi pekerjaan mereka yang telah lama dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka).

Pencurian kayu di desa Lampeji tidak dilakukan oleh satu atau dua orang saja, tetapi oleh oknum. Hal ini diungkapkan oleh ketua LMDH Lampeji:

“Yang nyuri kayu-kayu itu bukan dari warga saja mbak, tapi warga yang mencuri itu dibacking sama anggota baju hijau. Dulu itu mereka sering menggunakan hutan untuk latihan. Ketika sudah akrab sama warga sekitar, mereka mengajak warga buat kerjasama untuk ngangkut kayu-kayu itu mbak.” (Pelaku pencuri kayu tidak hanya dari warga saja, tetapi warga tersebut dibantu oleh oknum TNI. Hutan telah lama digunakan sebagai tempat latihan mereka. Ketika telah akrab dengan warga sekitar, mereka mengajak warga untuk bekerjasama mengangkut kayu-kayu tersebut).

Kasus pencurian kayu di Desa Lampeji merupakan suatu kasus yang hingga saat ini belum dapat ditangani secara tuntas oleh Perhutani KPH Jember. Hal ini disebabkan kekuatan petugas keamanan yang terbatas sedangkan jangkauan pengamanan wilayah yang luas, kurangnya kemampuan yang kuat dalam menghadapi oknum pencurian, serta tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan masih kurang, sehingga saat ini kasus ini belum dapat terselesaikan. Hal ini diungkapkan oleh mantri dan polisi hutan RPH Mumbulsari:

“Kasus di Lampeji ini memang susah ditangani mbak, karena pelakunya juga sama-sama abdi negara. Kekuatan mereka ya juga lebih besar dibandingkan kita, warga desa ini memang wataknya keras juga, sulit bisa ngerti. Lah wong kami ae pernah dikejar-kejar pake arit sama warga, kalau kami cegah mereka.” (Kasus di Desa Lampeji sukar ditangani, karena pelaku pencurian pun adalah petugas/abdi negara. Kekuatan mereka lebih besar dibandingkan dengan kami petugas Perhutani, serta karakter warga di desa ini pun keras dan sulit untuk mengerti. Kami pun pernah dikejar dengan senjata tajam oleh warga, jika kami mencegah mereka).


(53)

Dengan demikian kasus pencurian kayu yang terjadi di RPH Mumbulsari menjadi sulit ditangani. Kondisi sosial masyarakat yang didukung oleh kekuatan aparat negara yang juga menginginkan hasil hutan kayu, serta tidak ada kerjasama dalam memerangi pencurian kayu menjadi faktor utama pencurian kayu.

5.4.2 Desa Sidomulyo RPH Garahan

Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Artha Wana Mulya tentang penjagaan, perlindungan dan pengamanan hutan, kegiatan masyarakat dalam PHBM diantaranya adalah patroli secara aktif dan pasif serta pembuatan gubug kerja. Pembuatan gubug kerja ini digunakan sebagai tempat peristirahat sekaligus tempat untuk menjaga dan mengawasi lahan milik mereka masing-masing.

Budidaya yang dikembangkan dalam PHBM oleh LMDH Artha Wana Mulya adalah tanaman kopi dengan pola agroforestry sudah dilakukan sejak tahun 2000. Besar proporsi bagi hasil/sharing yang diterima masing-masing pihak berupa kopi OC (beras kopi) dari produksi tanaman kopi adalah 75% untuk pesanggem/petani kopi dan 25% untuk Perhutani. Besar bagi hasil didasarkan pada jumlah pohon dan jumlah produksi kopi per pohon setelah diadakan pendataan ulang kopi yang dipanen.

Berdasarkan hasil wawancara responden, 60% masyarakat telah memahami pentingnya PHBM dan 50% dari mereka terlibat aktif dalam kegiatan PHBM. Dari 30 orang responden, 93% masyarakat di desa ini merasakan manfaat yang lebih baik dengan adanya PHBM dibandingkan sebelum adanya PHBM, dan 97% program PHBM dapat mengatasi pencurian kayu di daerah ini, dikarenakan manfaat dan pentingnya PHBM telah dipahami, diterima dan dirasakan dengan baik oleh masyarakat.

Desa Sidomulyo merupakan desa ber-PHBM yang sukses. Selain telah mampu menyejahterakan anggota dan warga sekitar hutan, tegakan hutan di sekitar desa pun sangat baik kondisinya. Hal ini diungkapkan oleh ketua LMDH dan warga sekitar hutan. Bapak Saget salah satu warga Desa Sidomulyo mengungkapkan perbedaan yang dirasakan dengan adanya PHBM:

“Sebelum ada PHBM, hutane ya enggak bagus nduk. Ya ekonomine mbiyen juga gak sebaik sekarang. Gara-gara kopi ini, ternyata cocok dikembangkan disini, makanya orang-orang di desa ini jadi sejahtera,


(1)

KUISIONER

Hari/Tanggal :

Desa/Kec./Kab. :

I. Karakteristik Responden

1. Nama Responden :

2. Umur :

3. Jenis Kelamin :

4. Pendidikan Terakhir :

5. Pekerjaan Tetap :

6. Pekerjaan Sampingan :

7. Jumlah Tanggungan :

8. Jarak tempat tinggal ke lokasi :

9. Pendapatan 1 bulan :

a. Pekerjaan Tetap :

b. Pekerjaan Sampingan : 10. Pengeluaran 1 bulan : a. Keperluan sehari-hari :

b. Transportasi :

c. Konsumsi :

d. Biaya sekolah anak :

e. Rekreasi :

f. Tagihan (listrik, air, lainnya) :


(2)

Lampiran 3 (lanjutan) Kuisioner II. Partisipasi Responden

1. Apakah bapak/ibu tahu tentang PMDH di desa bapak/ibu? -

2. Apakah bapak/ibu ikut terlibat dalam kegiatan PMDH? -

3. Jika ya, sebutkan apa saja kegiatan yang diikuti? -

- -

4. Adakah perbedaan yang dirasakan sebelum dan sesudah adanya PMDH? -

Jelaskan? -

-

5. Manfaat apa yang bapak/ibu rasakan dengan adanya kegiatan PMDH tersebut?

- - -

6. Adakah manfaat yang bapak/ibu rasakan dengan adanya kegiatan PMDH terkait dengan penanggulangan illegal logging/pencurian kayu?

-

Alasannya? -

- -


(3)

III. Karakteristik Pemanfaatan Hasil Hutan

1. Adakah manfaat hutan bagi bapak/ibu ? (ya / tidak) Jika ya, apa manfaatnya bagi bapak/ibu ?

- -

2. Hasil apa saja yang bapak/ibu peroleh dari hutan? -

-

3. Apakah harus melapor sebelum ke hutan? (ya/tidak) Kepada siapa?

-

Apa ada sanksi jika tidak melapor? (ya/tidak) -

4. Apakah ada aturan tertentu apabila memanfaatkan hasil hutan? -

-

5. Dalam memanfaatkan hasil hutan apakah masing-masing orang mengambil di daerah miliknya atau bebas dimana saja?

-

6. Apakah disekitar hutan masih sering terjadi pencurian kayu? (ya / tidak) Jika ya, kapan dan seperti apa peristwa pencurian terjadi?

- -

Alasan terjadi pencurian kayu? -

-

7. Kriteria kayu yang dicuri seperti apa?

a. Jenis kayu :

b. Diameter :

c. Bentuk (log,papan,balok) : d. Keunggulan atau keuntungan kayu :


(4)

Lampiran 3 (lanjutan) Kuisioner

IV. Persepsi Masyarakat Terhadap Perhutani

1. Adakah perbedaan yang dirasakan bapak/ibu dengan adanya Perhutani? a. sts b. ts c. n d. s e. ss

2. Apakah pelaksanaan program sesuai dengan keinginan bapak/ibu? a. sts b. ts c. n d. s e. ss

3. Apakah Perhutani memberi manfaat bagi kehidupan bapak/ibu? a. sts b. ts c. n d. s e. ss

4. Apakah harapan bapak/ibu dari Perhutani telah tercapai? a. sts b. ts c. n d. s e. ss

keterangan:

ss : Sangat setuju s : Setuju

n : Netral ts : Tidak setuju sts : Sangat tidak setuju


(5)

a. Tunggak sengon bekas pencurian kayu di RPH Mumbulsari (tahun tanam 2006)

b. Kondisi Hutan di RPH Mumbulsari

c. Tanaman kopi milik warga Desa

Sidomulyo RPH Garahan

d. Produk hasil kopi dari Desa

Sidomulyo RPH Garahan

e. Hutan pinus yang berada di pinggir

protokol jalan raya RPH Jelbuk

f. Rumput gajah tanaman pakan

ternak yang dikembangkan dengan palawija di RPH Jelbuk

g. Proses wawancara langsung dengan

stakeholder

h. Proses wawancara dengan


(6)

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERUM PERHUTANI DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN (Studi Di Wilayah Perum Perhutani KPH Malang)

1 8 17

Analisis finansial prospek pengelolaan hutan tanaman pinus di KPH Lawu Ds Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

0 10 111

Efektivitas kolaborasi antara perum perhutani dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan kasus PHBM di KPH Madiun dan KPH Nganjuk, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

0 32 102

Penentuan Daur Optimal dengan Faktor Pencurian Kayu di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

1 21 78

Peranan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah

1 41 109

Pemodelan spasial kerawanan pencurian kayu menggunakan sistem informasi geografis di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

0 9 85

Peran Perempuan dalam Kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Studi Kasus RPH Tanjungkerta BKPH Tampomas KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

0 13 203

Peningkatan Peran Masyarakat dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Malang Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

0 14 132

Partisipasi Masyarakat Desa Hutan dalam Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah

0 9 114

Peran Perempuan dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Studi Kasus di Desa Bareng, RPH Alasgung, BKPH Bareng, KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur)

0 4 135