Tekstur Kekerasan Pengembangan Produk Pangan Berbahan Dasar Jagung Quality Protein Maize (Zea mays L.) dengan Menggunakan Teknologi Ekstrusi

59 produk tersebut akan sulit ditelan karena membutuhkan banyak kelenjar mulut atau saliva karena digunakan untuk membasahi produk supaya produk tersebut mudah ditelan, sehingga membutuhkan waktu untuk membasahi produk tersebut. Oleh karena itu, dapat diperkirakan panelis memilih produk yang dapat menimbulkan kelengketan apabila produk dikunyah dalam mulut. F. ANALISIS UJI FISIK

1. Tekstur Kekerasan

Hasil uji sidik ragam menunjukkan hasil uji kekerasan produk signifikan p0.05 Lampiran 9 artinya perlakuan pada formula atau fomulasi berpengaruh nyata terhadap kekerasan produk. Kekerasan produk ekstrusi dipengaruhi oleh kandungan amilopektin dan amilosa. Amilopektin dapat meningkatkan kerenyahan, sedangkan amilosa dapat meningkatkan kekuatan kekerasan produk Gimeno et al., 2004. Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert version 7 pada respon kekerasan terhadap formula yang dibuat, menunjukkan formula yang dibuat tidak berpengaruh nyata terhadap respon kekerasan p0.05, pada selang kepercayaan 95 dengan nilai p = 0.1026 Lampiran 18, artinya formula yang dibuat tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan produk apabila dinilai secara obyektif dengan menggunakan Texture Analyzer, sehingga untuk respon tekstur kekerasan tidak dipakai dalam proses optimasi untuk mendapatkan produk terpilih. Hasil uji Duncan terhadap uji kekerasan dengan selang kepercayaan 95 Lampiran 9, menunjukkan pada subset 1 formula 7, 10 dan 8 tidak berbeda nyata serta pada subset 2 formula 10, 8, 11 dan 14 tidak berbeda nyata, tetapi formula 7 berbeda nyata dengan formula 11 dan 14. Pengaruh protein terhadap teksturisasi produk ekstruder, yaitu protein yang berasal dari bahan produk sayuran atau kacang-kacangan telah dipelajari melalui TVP Textured Vegetable Protein Riaz, 2004. Ketika energi panas dan mekanik dialirkan melalui barrel selama proses ekstrusi, makromolekul 60 protein yang ada pada bahan mengalami kondisi strukutur kimia yang tidak stabil kemudian struktur protein menyusun kembali dan terbentuk secara kontinyu membentuk suatu zat yang bersifat elastis. Barrel, screw, dan die ekstruder mengumpulkan molekul protein dalam aliran bahan secara langsung Kearns, Rokey dan Huber, 2004. Protein dapat membantu pengembangan produk, serta menjadikan produk lebih renyah. Berikut merupakan hasil uji kekerasan. Tabel 10. Hasil uji kekerasan Formula Komposisi Formula Rata-rata 1 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 60 2281.1 2 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 60 2258.9 3 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 62.5 2024 4 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 75 : 25, suhu 62.5 2087 5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 65 2034.8 6 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 65 2103.9 7 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 75 : 25, suhu 67.5 1609 8 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau =100 : 0, suhu 70 1818 9 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 70 2876.3 10 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 60 1759.3 11 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 25 : 75, suhu 62.5 1868.1 12 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 65 2828.9 13 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 25 : 75, suhu 67.5 2315.4 14 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 70 1886.2 Pada uji kekerasan produk secara obyektif mengunakan alat, pengukuran diukur secara empiris, yaitu berdasarkan resistensi sampel atau produk terhadap tekanan yang dapat merubah bentuk produk tersebut 61 Lawless dan Heymann, 1999. Pengukuran tersebut tidak dapat memberikan suatu keputusan yang benar dan pengujian pada pengukuran tersebut tidak mempunyai hubungan kolerasi yang tinggi dengan pengukuran yang dilakukan secara organoleptik sensory Lawless dan Heymann, 1999. Proses tersebut mengakibatkan protein dapat menyusun kembali dengan membuka ikatan antar protein, sehingga mudah berikatan silang antara molekul yang lain dan memberikan struktur yang mengembang serta membentuk tekstur produk bersifat chewy atau kenyal Kearns et al., 2004. Pada subset 3 formula 8, 11, 14, 3, dan 5 tidak berbeda nyata, tetapi formula 10 berbeda nyata dengan formula 3 dan 5. Formula 10 memberikan kekerasan yang lebih rendah dari formula 3 dan 5, karena pada formula 10 merupakan formula kacang hijau 100, sehingga kandungan protein pada bahan akan lebih tinggi dari formula 3 dan 5. Protein dapat meningkatkan pengembangan produk ekstrusi dan menciptakan tekstur yang renyah Moraru dan Kokini, 2003. Formula 11, 14, 3, 5 dan 4 tidak berbeda nyata pada subset 4, namun formula 8 berbeda nyata dengan formula 4. Kekerasan pada formula 8 lebih rendah dibandingkan dengan formula 4, karena faktor suhu awal pemanasan yang terlalu tinggi, sehingga gelatinisasi kurang optimal Chinnaswamy dan Hanna, 1990. Hal tersebut akan berpengaruh pada kekerasan tekstur, sehinga menjadi kurang terbentuk serta rapuh Guy, 2001. Formula 14, 3, 5, 4 dan 6 tidak berbeda nyata pada subset 5, tetapi formula 11 berbeda nyata dengan formula 6. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena komposisi formula 11 mempunyai komposisi kacang hijau yang lebih daripada formula 11, sehingga protein pada bahan akan mempengaruhi kekerasan tekstur Moraru dan Kokini, 2003. Subset 6 formula 1, 2, 4, dan 6 tidak berbeda nyata, namun formula 14, dan 3 berbeda dengan formula 2 dan 1. Formula 1 dan 2 mempunyai suhu awal pemanasan yang optimal untuk proses gelatinisasi. Formula 1 lebih keras dari formula 14 dan 3 karenakan komposisinya tidak dicampur dengan kacang hijau, sehingga protein bahan kurang berpengaruh pada kekerasan 62 produk. Untuk formula 2 proses gelatinisasi yang optimal akan mengembangkan produk, sehingga dapat meningkakan kerenyahan dari segi organoleptik. Jika dilihat nilai kekerasan dari formula hasil uji Duncan menunjukkan formula 2 lebih keras dari formula jika dibandingkan dengan formula 14 dan 3. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan antara pengujian secara subyektif atau instrumental. Pengukuran kekerasan secara obyektif yaitu berdasarkan resistensi sampel atau produk terhadap tekanan yang dapat merubah bentuk produk tersebut, sehingga produk cenderung keras jika lebih mengembang Lawless dan Heymann, 1999. Formula 6, 2, 1, dan 13 tidak berbeda nyata pada subset 7, tetapi formula 4 berbeda nyata dengan formula 13. Perbedaan tersebut karena formula 4 memiliki suhu optimal untuk gelatiniasi, sehingga dapat meningkatkan pengembangan produk dan mengakibatkan kekerasan produk rendah Chinnaswamy dan Hanna, 1990. Sementara nilai kekerasan tertinggi terdapat pada formula 9 dan tidak berbeda nyata dengan formula 12, namun berbeda nyata dengan formula 6, 2 dan 1 dengan nilai kekerasan 2876.3. Kekerasan pada formula 9 memiliki suhu awal gelatinisasi yang tidak optimal, sehingga produk kurang mengembang Chinnaswamy dan Hanna, 1990. Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 7 berbeda dengan formula 11 dan 14, formula tersebut juga berbeda dengan formula 3 dan 14, juga akan berbeda dengan formula 4, berbeda dengan formula 6, berbeda dengan formula 2 dan 1, berbeda dengan 13 serta berbeda dengan formula 12 dan 9.

2. Derajat Pengembangan