34 3.
Kedwibahasaan Subordinat Kedwibahasaan subordinat adalah kedwibahasaan yang berbentuk apabila
seseorang menguasai dua bahasa sebagai suatu sistem yang terpisah, tetapi masih terdapat proes penerjemahan dari bahasa pertama BI ke bahasa kedua B2. Jadi,
bagi penutur kedwibahasa subordinat, bahasa kedua digunakan dengan cara menerjemahkan suatu ungkapan dari bahasa pertamanya terlebih dahulu.
Kedwibahasaan subordinat banyak ditemukan pada orang-orang yang masih berada dalam tahap belajar kedua khususnya pada tahap belajar bahasa asing di sekolah.
Pada tingkat kedwibahasaan ini, seseorang akan mengalami kesulitan dalam menggunakan dan mengerti bahasa kedua karena ia masih dipengaruhi bahasa
pertamanya.
2.1.3. Sikap Bahasa
Chaer 1995 : 2000 membagi sikap bahasa atas dua macam yaitu 1 sikap kebahasaan dan 2 sikap non kebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap
estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini dapat menyangkut keyakinan mengenai bahasa. Dengan demikian, sikap bahasa adalah tata keyakinan yang relatif
berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara terentu
yang disenanginya. Namun, perlu diperhatikan bahwa sikap terhadap bahasa bisa positif dan bisa negatif.
Garvin dan Mathiot dalam Chaer, 1995 : 201 menyebutkan tiga ciri pokok dari sikap bahasa, yaitu 1 kesetiaan bahasa language loyality, yang mendorong
Universitas Sumatera Utara
35 masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah
adanya pengaruh bahasa lain 2 kebanggaan bahasa language pride, yang mendorong orang mengembangkan bahasana dan menggunakannya sebagai lambang
identitas dan kesatuan masyarakat dan 3 kesadaran adanya norma bahasa awareness of the norm, yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan
cermat dan santun ; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatna menggunakan bahasa language use. Ketiga ciri yang
dikemukakan di atas merupakan ciri-ciri positif terhadap bahasa. Sebaliknya, kalau ketiga ciri sikap bahasa itu sudah menghilang atau melema dari diri seseorang atau
diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri orang atau kelompok itu.
Penggunaan bahasa dalam situasi keanekabahasaan atau multilingualisme telah banyak mendapat perhatian dari ahli bahasa. Fishman, misalnya, mengkaitkan
penggunaan bahasa semacam itu dengan Who speaks What language to Whom and When 1972:244. Sementara Pride dan Holmes mengatakan bahwa speech act yang
terjadi pada masyarakat multilingual akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor non- kebahasaan seperti: partisipan, topik pembicaraan, setting, jalur, suasana dan maksud
1972:35. Gagasan dari kedua ahli itu sebenarnya mengandung maksud yang mirip.
Kemiripan itu dapat diilustrasikan sebagai berikut. Ungkapan who speaks penutur dan to whom lawan tutur menyaran pada orang yang melakukan speech act;
keduanya disebut partisipan. What language menyaran pada pemilihan bahasa yang
Universitas Sumatera Utara
36 dilakukan oleh partisipan. Pemilihan bahasa berkaitan dengan topik pembicaraan.
Artinya, seorang partisipan memilih bahasa tertentu dari sejumlah bahasa yang dikuasainya karena topik pembicaraannya lebih tepat diungkapkan lewat bahasa itu.
Pemilihan bahasa juga dipengaruhi oleh waktu dan suasana Fishman menyebut when dan setting. Menurut Pride dan Holmes, setting merujuk pada waktu dan
tempat. Penggunaan bahasa-bahasa setidak-tidaknya dua bahasa secara berselang-
seling dapat ditanggapi dari perspektif sosiolinguistiksosiologi bahasa. Penggunaan dua bahasa atau lebih gandabahasa atau multibahasa secara berselang seling
semacam ini menimbulkan fenomena alih-kode. Menurut Istiati Soetomo 1985, tindak berbahasa yang ideal adalah bahwa bila seseorang berbahasa, maka bahasa
yang digunakan adalah satu bahasa dari sekian bahasa yang dia kenal dan kuasai yang baik dan benar. Durdje Durasid 1990 menyatakan bahwa berbahasa yang baik
adalah berbahasa yang mengandung nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi penggunaannya, sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa yang secara
cermat mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Ini berarti bahwa bila seseorang berbahasa dalam situasi tertentu, dengan menggunakan bahasa tertentu bahasa
Indonesia, misalnya maka hendaknya unsur-unsur atau kaidah-kaidah dan sejenisnya dari bahasa-bahasa lain yang dikuasainya tidak dimasukkan dalam tuturan bahasa
Indonesia-nya. Bila dalam situasi lain, dia memanfaatkan bahasa lain bahasa daerah, maka hendaknya bahasa daerah itu tidak terselepi oleh simbol-simbol atau kaidah-
kaidah dari bahasa-bahasa lain.
Universitas Sumatera Utara
37 Dalam perspektif sosiolinguistiksosiologi bahasa ini, fenomena alih kode
dilihat dari pemakai bahasa sebagai makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat yang berbudaya. Dalam kaitan ini, seseorang yang melakukan alih kode mungkin
berwujud alih bahasa, alih dialek, alih register, alih gaya, alih nada dan sebagainya bukan berarti dia tidak mampu berbahasa dengan salah satu bahasa dari bahasa-
bahasa yang dikuasainya. Bahasa digunakan oleh manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak
bebas sama sekali. Sebab, ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota masyarakat
lain sesuai dengan tata nilai budaya yang menjadi pedoman hidup mereka. Dia “harus” melakukan alih kode lantaran nilai budaya masyarakatnya, misalnya,
“menghendaki” hal itu.
2.1.4. Pemilihan Bahasa dan Wujudnya