100 karena mampu berbahasa asing atau menggunakan kosa kata asing dalam setiap
tindak tutur. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ervin-Trip dalam Grosjean 1982: 125 bahwa faktor status sosial seseorang turut mempengaruhi cara berbahasa
seseorang. Bahkan terkadang faktor tidak melihat situasi sosial dari sebuah tindak tutur, apakah bersifat formal atau pun nonformal.
Responden lainnya yakni sebesar 26,66 atau sebanyak 4 responden menyatakan bahwa penggunaan kosa kata asing dalam konteks tindak tutur antara
dirinya dengan penyiar, tidak memiliki tujuan tertentu melainkan hanya merupakan faktor kebiasaan saja. Faktor kebiasaan ini lahir karena dalam keseharian mereka
memang selalu menggu-nakan kosa kata asing bagi suatu pengertian atau kata yang tidak memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia. Jadi lebih disebabkan oleh faktor
kebiasaan saja dan bukan karena ada tujuan lainnya. Dengan demikian juga maka komunikasi yang terjalin antara dirinya dengan penyiar akan lebih terasa akrab dan
lebih mudah menyampaikan keinginan.
4.3.3 Faktor Kebiasaan
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap para penyiar keempat mata acara Pro 2 FM RRI stasiun Medan terhadap penggunaan campur kode
sebagai wujud dari faktor kebiasaan dalam membawakan keempat mata acara tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
101
Tabel-18 Distribusi respon penyiar terhadap penggunaan campur kode sebagai wujud kebiasaan bertindak tutur
No Alasan Penggunaan Campur Kode
F
1 Lebih populer
7 46,66
2 Memudahkan komunikasi
3 20,00
3 Sudah terbiasa
5 33,34
JUMLAH 15
100
Sumber: Data Primer 2009 Berdasarkan data tersebut di atas, pada umumnya para penyiar keempat mata
acara Pro 2 FM RRI stasiun Medan yakni sebesar 46,66 dari seluruh sampel yang dipilih secara acak menyatakan bahwa penggunaan campur kode lebih disebabkan
karena penggunaan kosa kata asing tersebut lebih populer di telinga para pendengar dan bukan karena ketidaktahuan mereka akan kosa kata bahasa Indonesia. Hal ini
seperti yang diungkapkan para penyiar mata acara Puisi Malam. Sedangkan yang memilih alasan faktor kebiasaan sebesar 33,34
menyatakan bahwa penggunaan kosa kata asing disebabkan karena faktor kebiasaan mereka dalam komunikasi. Para penyiar yang menyatakan ini adalah para penyiar
yang membawakan acara Cakap Cakep dan Request Indonesia serta serta para penyiar yang beralasan ‘lebih memudahkan’ dalam berkomunikasi adalah para
penyiar Suara Orang Medan yakni sebesar 20,00 . Berdasarkan data di atas tergambar bahwa penggunaan campur kode dalam
berkomunikasi oleh para penyiar Pro 2 FM RRI stasiun Medan lebih disebabkan karena faktor kepopuleran kosa kata asing tersebut dalam konteks komunikasi radio,
yakni antara penyiar dengan para pendengar. Status sosial yang lebih tinggi dari
Universitas Sumatera Utara
102 seorang penyiar karena dapat memenuhi keinginan para pendengar membuat
pendengar terpancing untuk juga ikut menggunakan kosa kata asing dalam bertindak tutur dengan penyiar. Status sosial ini mengisyaratkan bahwa kedudukan penyiar
yang lebih tinggi dari penyiar sehingga pengan perannya pun semakin dapat mempengaruhi pendengar dalam bertutur.
Selanjutnya dalam kajian, juga telah dilakukan wawancara dengan beberapa pendengar yang dijadikan responden dan dianggap representatif mewakili para
pendengar karena telah lama menjadi “pendengar setia” acara-acara Pro 2 FM RRI
stasiun Medan. Antara lain dengan seorang pendengar bernama Syamsudin Hasan
yang melakukan aktivitas usaha di kawasan pasar Petisah Medan dan setiap hari mendengarkan acara-acara Pro 2 FM RRI stasiun Medan sebagai “temannya” dalam
melaksanakan aktivitas kesehariannya sebagai pedagang. Syamsudin Hasan menyatakan bahwa “Selama ini saya mendengarkan acara Pro 2 dari pukul 09.00
sampai 17.00 Wib atau sampai saya menutup usaha saya”. Selanjutnya Hasan yang menghidupi seorang isteri dan dua orang putera serta menamatkan pendidikan pada
salah satu SMA swasta di Kota Medan menyatakan bahwa ia sering sekali mendengar para penyiar keempat mata acara tersebut dengan menggunakan bahasa asing
sehingga ketika ia menginginkan lagu-lagu kesukaannya untuk diperdengarkan juga menggunakan kosa kata bahasa asing agar terdengar lebih prestise dan lebih
komunikatif dengan penyiar yang juga menggunakan kosa kata asing. Hal senada
diungkapkan oleh Suriadi Ketaren yang berdomisili di kawasan Glugur Kotadi,
Universitas Sumatera Utara
103 ketika meminta lagu kesenangannya atau sekadar memberikan opini, juga sering
menggunakan kosa kata asing agar status sosialnya dianggap lebih tinggi karena banyak menggunakan kosa kata asing.
Hal yang berbeda diungkapkan oleh para pendengar dari kalangan remaja, bahwa mereka menggunakan kosa kata asing agar terdengar lebih gaul karena kosa
kata yang mereka gunakan adalah kosa kata yang telah populer di masyarakat,
sebagaimana yang disampaikan oleh Akoen seorang pelajar SMA Sutomo Medan.
Pemakaian kosa kata asing digunakannya selain sudah menjadi trend juga sudah menjadi kebiasaan para remaja sekarang menggunakan kosa kata asing. Selanjutnya
Ahie, seorang pelajar SMA Methodist 7 Medan menyatakan bahwa penggunaan kosa
kata asing sudah merupakan bagian dari sikap berbahasa anak muda sekarang karena hal itu sudah menjadi kebiasaan anak muda saat ini.
Hal senada diungkapkan oleh pelajar SMA Negeri 1 Medan, Popi Lestari dan Muhammad Arqan serta Saut Simanjorang, siswa SMA Cahaya Medan, bahwa
penggunaan kosa kata asing dalam berkomunikasi merupakan kebiasaan dan dapat menaikkan citra diri karena menggunakan kosa kata asing dalam bertindak tutur.
Dengan demikian maka peran mereka dalam situasi sosial di pergaulan lebih dihargai dan dihormati oleh komunikannya.
Selain itu, faktor identifikasi peran, faktor kebiasaan juga ternyata memainkan peranan penting dalam penggunaan campur kode pada konteks komunikasi di atas.
Hal ini terlihat dari tabel 13 di atas bahwa terdapat 5 orang penyiar atau sekitar 33,34
Universitas Sumatera Utara
104 menyatakan bahwa penggunaan campur kode tersebut karena adanya faktor
kebiasaan. Dengan demikian dalam konteks ini ada dua faktor terjadinya campur kode yakni peran dan kebiasaan. Campur kode terjadi karena adanya hubungan
timbal balik antara penutur, bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang tertentu cenderung memilih bercampur kode tertentu
untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk mewujudkan status sosial dan pribadinya dalam masyarakat.
Faktor yang tumpang tindih ini sering terjadi dalam konteks penggunaan campur kode. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Herman dalam Fasold, 1984
mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam memilih bahasa. Situasi yang dimaksud adalah 1 kebutuhan personal personal
needs, 2 situasi latar belakang background situation dan 3 situasi sesaat immediate situation. Dalam pemilihan bahasa salah satu situasi lebih dominan
daripada situasi lain. Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa
tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa sesorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang
sama pentingnya?. Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa suatu faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada
faktor lain. Gal 1982 menemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur merupakan faktor yang paling menentukan dalam
pemilihan bahasa dalam
Universitas Sumatera Utara
105 masyarakat tersebut, sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang
menentukan dalam pemilihan bahasa dibanding faktor partisipan.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
Universitas Sumatera Utara