Faktor Menjelaskan dan Menafsirkan

96 1 Bergengsi 5 33,33 2 Status sosial 8 53,33 3 Memperlihatkan kekuasaan 2 13,34 JUMLAH 15 100 Sumber: Data Primer 2009 Berdasarkan tabel di atas tergambar bahwa sebagian besar responden yang berasal dari pendengar yakni sebesar 53,33 atau sebanyak 8 responden menyatakan bahwa penggunaan campur kode yang mereka lakukan lebih disebabkan karena alasan agar status sosial mereka dianggap tinggi. Sehingga dengan demikian gengsi mereka pun akan menjadi lebih tinggi didengar oleh pendengar lainnya atau para penyiar Pro 2 FM RRI stasiun Medan. Hal ini terlihat dari angka persentase yakni sebesar 33,33 atau sebanyak 5 responden menyatakan bahwa penggunaan campur kode dalam tindak tutur yang mereka lakukan adalah untuk lebih menaikkan gengsi mereka. Hanya 13,34 atau sebanyak 2 responden yang menyatakan bahwa penggunaan campur kode yang mereka lakukan adalah untuk memperlihatkan bahwa diri mereka juga mampu berkomunikasi menggunakan kosa kata asing sebagai perwujudan bahwa mereka juga memiliki kekuasaan atau kemampuan dalam bertindak tutur menggunakan kosa kata asing.

4.3.2 Faktor Menjelaskan dan Menafsirkan

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap para penyiar keempat mata acara Pro 2 FM RRI stasiun Medan terhadap penggunaan campur kode Universitas Sumatera Utara 97 sebagai wujud menjelaskan dan menafsirkan dalam membawakan keempat mata acara tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel-16 Distribusi respon penyiar terhadap penggunaan campur kode sebagai wujud menjelaskan dan menafsirkan No Alasan Penggunaan Campur Kode F 1 Lebih populer 5 33,34 2 Memudahkan komunikasi 3 20,00 3 Memberikan kesan berpendidikan 7 46,66 JUMLAH 15 100 Sumber: Data Primer 2009 Identifikasi keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak dalam sikap terhadap penutur. Penutur yang bercampur kode dengan unsur-unsur bahasa Inggris dapat memberi kesan bahawa si penutur “orang masa kini”, berpendidikan cukup dan mempunyai hubungan yang luas. Hal ini seperti yang terlihat pada tabel- 15 di atas yang menggambarkan situasi berbahasa penyiar dengan pendengar. Sebagian besar responden yakni sebesar 46,66 atau sebanyak 7 responden menyatakan bahwa penggunaan campur kode dalam konteks komunikasi non-formal antara dirinya dengan pendengar terjadi karena adanya keinginan penyiar untuk memperlihatkan kepada pendengar bahwa dirinya memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Ini ditandai dengan pemakaian kosa kata asing dalam tindak tutur antara penyiar dengan pendengar. Adapun sebagian responden penyiar lain yakni sebesar 33,34 atau sebanyak 5 responden menyatakan bahwa penggunaan campur kode yang mereka lakukan bertujuan untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Universitas Sumatera Utara 98 yang termasuk dalam kategori orang-orang yang mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan responden lain yakni sebesar 20,00 atau sebanyak 3 responden penyiar menyatakan bahwa penggunaan campur kode dalam konteks siaran yang mereka gunakan bertujuan untuk lebih memudahkan komunikasi dengan para pendengarnya karena para pendengarnya lebih didominasi oleh kaum remaja, terutama dalam mata acara cakep cakap dan request indonesia. Hal di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Kartomiharjo 1988 bahwa dalam konteks pembicaraan yang santai atau non-formal seringkali terjadi penyisipan kosa kata asing agar lebih memudahkan pembicaraan. Bahkan terkadang tindak tutur itu bertujuan untuk memperlihatkan atau mengkan diri dari sang penyiar agar terlihat berpendidikan tinggi. Ini seperti yang diungkapkan lebih jauh ole Kartomiharjo 1988:120 bahwa, Dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan ragam formal. Topik non-ilmiah disampaikan dalam situasi “bebas”, “santai” dengan menggunakan ragam non-formal. Dalam ragam non-formal kadang kadang terjadi “penyisipan” unsur bahasa lain, di samping itu topik pembicaraan non-ilmiah percakapan sehari-hari menciptakan pembicaraan yang santai. Pembicaraan yang santai juga dapat menimbulkan campur kode. Pada sisi lain, pembicara kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan Universitas Sumatera Utara 99 waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara kadang- kadang melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan. Tabel-17 Distribusi respon pendengar terhadap penggunaan campur kode sebagai wujud sikap menjelaskan dan menafsirkan No Alasan Penggunaan Campur Kode F 1 Bergengsi 6 40,00 2 Status sosial 5 33,34 3 Kebiasaan 4 26,66 JUMLAH 15 100 Sumber: Data Primer 2009 Pada sisi pendengar, seperti yang terlihat pada tabel-16 tergambar bahwa sebagian besar pendengar yakni 40,00 atau sebanyak 6 responden pendengar menggunakan campur lebih dipengaruhi oleh faktor gengsi saja. Faktor ini lahir dikarenakan adanya keinginan pendengar untuk lebih dihargai dan dihormati sebagai orang yang mampu memiliki pengetahuan bilingual sehingga dapat menaikkan citra dirinya. Sedangkan pada responden lainnya, yakni sebesar 33,34 atau sebanyak 5 responden pendengar berpendapat bahwa penggunaan bilingual atau campur kode dalam konteks tindak tutur yang mereka lakukan adalah untuk memperlihatkan bahwa mereka masuk ke dalam kelompok yang memiliki status sosial lebih tinggi Universitas Sumatera Utara 100 karena mampu berbahasa asing atau menggunakan kosa kata asing dalam setiap tindak tutur. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ervin-Trip dalam Grosjean 1982: 125 bahwa faktor status sosial seseorang turut mempengaruhi cara berbahasa seseorang. Bahkan terkadang faktor tidak melihat situasi sosial dari sebuah tindak tutur, apakah bersifat formal atau pun nonformal. Responden lainnya yakni sebesar 26,66 atau sebanyak 4 responden menyatakan bahwa penggunaan kosa kata asing dalam konteks tindak tutur antara dirinya dengan penyiar, tidak memiliki tujuan tertentu melainkan hanya merupakan faktor kebiasaan saja. Faktor kebiasaan ini lahir karena dalam keseharian mereka memang selalu menggu-nakan kosa kata asing bagi suatu pengertian atau kata yang tidak memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia. Jadi lebih disebabkan oleh faktor kebiasaan saja dan bukan karena ada tujuan lainnya. Dengan demikian juga maka komunikasi yang terjalin antara dirinya dengan penyiar akan lebih terasa akrab dan lebih mudah menyampaikan keinginan.

4.3.3 Faktor Kebiasaan