Karakteristik Pengelolaan dan Analisis Ketersediaan Lahan Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Bima.

(1)

KARAKTERISTIK PENGELOLAAN DAN

ANALISIS KETERSEDIAAN LAHAN

PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT

DI KABUPATEN BIMA

RATO FIRDAUS SILAMON

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Pengelolaan dan Analisis Ketersediaan Lahan Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Bima adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011 Rato Firdaus Silamon


(3)

RATO FIRDAUS SILAMON. Charactheristics of Private Forest Management and Suitable Land Analyze for Private Forest Development in Bima District. Under Supervision of HARDJANTO and M. BUCE SALEH.

This study aimed to analyze the characteristics of private forest management, the feasibility from business aspect, factor that influencing farmer preferences to entering private forest bussines, and land characteristics that motivating farmers to cultivate a perennials woody plant in Bima District. The study is a descriptive exploratory study using a combination of qualitative and quantitative approaches in answering the study goals. Qualitative approach used to describe the socioeconomic characteristics of farmer households and the practices of private forest management. Quantitative approach is used to answering the feasibility of private forest business, explaining the factors that influence farmers decisions to entering private forest business, and identify the distribution of suitable lands for private forest. Discounted Cash Flow Analysis (DCF), Logistic Regression, and Multi Criteria Analysis and Spatial Analysis are the analytical tools used in the quantitative approach. Private forests in Bima District is developed using monoculture model with Teak (Tectona grandis) as main crops. It was managed traditionally and autonomous, not well planned and documented, and without applying any modern technology to improve soil quality in orders to increase plants productivity. The private forest locates in stepish area, with high to moderate level of accesibility due to close to the settlements and water resources. From the business aspect, private forests in Bima District were profitable, feasible to develop, and has a high level of resilience to the effects of inflation. Ages, education, area of dry lands, policy, ecological and social motivation were the variables that affected farmer preferences to entered private forest bussines. Based on farmer preferences, there were areas amounting to 169 055 hectares identified as available and suitable land for private forest development in Bima District. The suitable lands were scattered in 18 sub-districts, where Soromandi sub-district having the highest distribution areas.

Key word: financial feasibility, preferences, private forest management, suitable lands.


(4)

RATO FIRDAUS SILAMON. Karakteristik Pengelolaan dan Analisis Ketersediaan Lahan Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Bima. Dibimbing oleh HARDJANTO dan M. BUCE SALEH.

Hutan rakyat dapat menjadi salah satu alternatif solusi penanganan masalah defisit kayu dan pemanfaatan lahan kritis. Di sisi lain, target pembangunan dan pengembangan hutan rakyat sering kali tidak berhasil dan menemui jalan buntu. Hal tersebut dapat terjadi karena perencanaan yang tidak optimal dan masih lemahnya basis data yang diperlukan dalam perencanaan pengembangan hutan rakyat itu sendiri. Melalui penelitian ini, penulis mencoba membangun basis data terkait pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bima, dengan jalan mengungkap bagaimana karakteristik dan praktek pengelolaannya, termasuk mengetahui apakah hutan rakyat layak untuk diusahakan dari segi bisnis, mengetahui faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat, dan pada karakteristik lahan seperti apa masyarakat bersedia untuk mengusahakan hutan rakyat dan membudidayakan tanaman keras berkayu. Basis data yang terbangun diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan masukan dalam merencanakan pembangunan dan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bima, termasuk untuk menetapkan model pengelolaan hutan rakyat yang sebaiknya dikembangkan.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif menggunakan kombinasi antara pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif dalam menjawab masalah penelitian. Pendekatan kualitatif lebih banyak digunakan untuk menggambarkan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga petani dan praktek pengusahaan hutan rakyat. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menjelaskan kelayakan pengusahaan hutan rakyat dari sisi bisnis, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat, dan mengidentifikasi sebaran lahan yang diinginkan oleh petani sebagai lokasi mengembangkan hutan rakyat dan membudidayakan tanaman keras berkayu. Discounted Cash Flow Analysis (DCF), Regresi Logistik, serta Multi Kriteria Analisis dan Analisis Spasial merupakan alat analisis yang digunakan dalam pendekatan kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan rakyat di Kabupaten Bima berkembang dengan model hutan rakyat murni atau sejenis, dengan Jati (Tectona grandis) sebagai tanaman pokok yang diusahakan secara monokultur. Alasan ekonomi merupakan alasan yang dikedapankan dalam mengusahakan hutan rakyat, dengan orientasi usaha bersifat semi komersil. Hutan rakyat dikelola secara sederhana, perorangan dan mandiri, tanpa perencanaan tanam, tidak terdokumentasi, serta tidak menerapkan teknologi untuk peningkatan produktivitas tanah dan tanaman. Lahan-lahan dengan karakteristik fisik agak curam, dekat dengan pemukiman dan sumber air, serta memiliki tingkat aksesibilitas tinggi sampai sedang adalah lahan-lahan yang pada umumnya diusahakan oleh masyarakat sebagai hutan rakyat dengan rata-rata luasan mencapai 0.9 ha.


(5)

Dari sisi finansial, usahatani hutan rakyat di Kabupaten Bima cukup menguntungkan, layak untuk dikembangkan, dan memiliki tingkat ketahanan yang cukup tinggi terhadap pengaruh inflasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai BCR sebesar 4.57, NPV sebesar Rp34 744 454, dan IRR sebesar 23.34%, dengan BI rate 6.5% sebagai acuan suku bunga investasi.

Umur, tingkat pendidikan, luas penguasaan lahan kering, ratio kebijakan insentif dan disinsentif, serta motivasi sosial dan motivasi ekologi merupakan peubah-peubah yang secara statistik mempengaruhi preferensi masyarakat untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat, dimana luas penguasaan lahan kering sebagai peubah dengan faktor pengganda terbesar yaitu sebesar 3 705.7.

Teridentifikasi seluas 169 055 ha lahan yang tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bima, yang dinilai berdasarkan preferensi petani terhadap karakteristik lahan yang diinginkan sebagai tempat membudidayakan tanaman keras berkayu dan diusahakan sebagai hutan rakyat. Lahan-lahan tersebut tersebar di 18 kecamatan, dengan Kecamatan Soromandi sebagai kecamatan dengan sebaran lahan terluas yaitu seluas 21 809 ha.

Model hutan rakyat yang sebaiknya dikembangkan di Kabupaten Bima adalah model hutan rakyat murni dengan kelas pengusahaan Jati, atau berbagai komoditas tanaman kehutanan dan tanaman keras berkayu dengan nilai ekonomi tinggi lainnya. Dengan mengesampingkan isu pemantapan kawasan hutan, maka selain model hutan rakyat murni, model Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dapat pula dijadikan sebagai salah satu model alternatif yang sebaiknya dikembangkan, khususnya pada lahan-lahan tersedia dan sesuai hutan rakyat yang berada di dalam kawasan hutan produksi yang tidak produktif.

Kata kunci: hutan rakyat, kelayakan finansial, ketersediaan dan kesesuaian lahan, praktek pengelolaan, preferensi.


(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

KARAKTERISTIK PENGELOLAAN DAN

ANALISIS KETERSEDIAAN LAHAN

PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT

DI KABUPATEN BIMA

RATO FIRDAUS SILAMON

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

NIM : E151070061

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S. Dr. Ir. Muhamad Buce Saleh, M.S.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(10)

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2010 ini adalah hutan rakyat, dengan judul Karakteristik Pengelolaan dan Analisis Ketersediaan Lahan Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Bima.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S dan Bapak Dr. Ir. Muhamad Buce Saleh, M.S selaku komisi pembimbing, serta kepada Bapak Dr. Ir. Supriyanto selaku penguji tesis luar komisi yang telah banyak memberi saran dan masukan. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Rektor Universitas Mataram dan Bapak Dekan Fakultas Pertanian Universitas Mataram, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi dan memperdalam ilmu tentang pengelolaan hutan. Tidak lupa penghargaan penulis sampaikan pula kepada Bapak Ahyar S.Hut. dari Dinas Kehutanan Kabupaten Bima, kepada Bapak Darsono, S.P. dari Dinas Pertanian Kabupaten Bima, serta kepada Bapak Arifin Saleh, S.E dan Ibu Nurhayatin dari KSP Flamboyan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada ayahanda Dr. Suwardie AH, SH., MPA. dan ibunda Dra. Siti Rosdiana, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya selama ini.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.

Bogor, Juli 2011 Rato Firdaus Silamon


(11)

Mataram pada tanggal 11 Oktober 1981 dari pasangan Suwardie, AH dan Siti Rosdiana. Pendidikan sarjana ditempuh oleh penulis di program studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2007, penulis diterima untuk meneruskan studi S2 di Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan pada Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa BPPS dari Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. Selama mengikuti program S2, penulis aktif di dalam kepengurusan Forum Wacana IPB periode 2007-2008 di bawah Departemen Kesejahteraan Mahasiswa.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian, Universitas Mataram sejak tahun 2005, dan ditempatkan pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Semenjak tahun 2007 sampai sekarang, penulis ditempatkan sebagai staf pengajar di Program Studi Kehutanan, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

1.4 Kerangka Pemikiran ... 4

1.5 Hipotesis ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Deskripsi dan Batasan Hutan Rakyat ... 6

2.2 Potensi Hutan Rakyat ... 6

2.3 Peranan Hutan Rakyat ... 7

2.4 Karakteristik Hutan Rakyat ... 8

2.5 Permasalahan Pengusahaan Hutan Rakyat ... 9

2.6 Analisis Biaya dan Kelayakan Finansial Hutan Rakyat ... 10

2.7 Analisis Kesesuaian Lahan ... 12

3. METODE PENELITIAN ... 14

3.1 Bahan dan Alat ... 14

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.3 Batasan dalam Penelitian ... 15

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 16

3.5 Analisis Data ... 16

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 27

4.1 Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan ... 27

4.2 Topografi, Tanah, dan Iklim ... 28

4.3 Tutupan Lahan ... 29

4.4 Kependudukan ... 31

4.5 Perekonomian ... 31

4.6 Sektor Kehutanan ... 33

4.7 Infrastruktur Transportasi dan Komunikasi ... 34

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

5.1 Karakteristik Rumah Tangga Responden ... 36

5.2 Penguasaan Lahan Hutan Rakyat ... 41

5.3 Praktek Pengelolaan Hutan Rakyat ... 52


(13)

5.5 Analisis Preferensi Pengusahaan Hutan Rakyat ... 77

5.6 Analisis Ketersediaan Lahan Pengembangan Hutan Rakyat ... 92

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 133

6.1 Kesimpulan ... 133

6.2 Saran ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 136


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Sebaran luas dan volume tegakan hutan rakyat di Kabupaten Bima ... 14

2. Faktor-faktor yang diasumsikan mempengaruhi keputusan petani dalam mengusahakan hutan rakyat ... 19

3. Kriteria dasar yang digunakan dalam analisis ketersediaan lahan ... 24

4. Kabupaten Bima dirinci berdasarkan kecamatan dan jumlah desa ... 27

5. Formasi tutupan lahan Kabupaten Bima per tahun 2006 ... 30

6. PDRB Kabupaten Bima atas dasar harga konstan tahun 2000, menurut lapangan usaha tahun 2005-2007 (dalam juta Rupiah) ... 32

7. Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima atas dasar harga konstan tahun 2000, menurut lapangan usaha tahun 2005-2007 ... 33

8. Luas kawasan hutan Kabupaten Bima sampai dengan tahun 2007 ... 33

9. Luas lahan kritis Kabupaten Bima sampai dengan tahun 2007 ... 34

10. Distribusi kelompok umur responden petani hutan rakyat ... 37

11. Distribusi kelompok umur responden petani non hutan rakyat ... 37

12. Rata-rata lamanya responden mengenyam pendidikan formal ... 40

13. Rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani responden ... 41

14. Asal-usul lahan hutan rakyat responden ... 42

15. Luas penguasaan lahan responden petani hutan rakyat ... 44

16. Ciri kekompakan lahan hutan rakyat responden ... 45

17. Distribusi kelerengan lahan hutan rakyat responden ... 46

18. Distribusi jarak lokasi hutan rakyat dari pemukiman responden ... 47

19 Aksesibilitas lahan hutan rakyat responden ... 48

20. Distribusi jarak lahan hutan rakyat responden dari sumber air ... 49

21. Legalitas lahan hutan rakyat responden ... 51

22. Distribusi sumber bibit jati hutan rakyat responden ... 55

23. Distribusi waktu responden memanen kayu ... 58

24. Saluran pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian ... 63

25. Distribusi jumlah konsumen kayu rakyat jati di lokasi penelitian ... 66

26. Posisi hutan rakyat sebagai sumber mata pencaharian responden ... 67

27. Kontribusi hutan rakyat terhadapa rata-rata pendapatan total rumah tangga responden per tahun ... 68

28. Rata-rata penggunaan input produksi dan pendapatan per hektar, pengusahaan hutan rakyat jati daur produksi 20 tahun ... 72

29. Analisis finansial pengusahaan hutan rakyat jati per hektar di lokasi penelitian ... 73


(15)

30. Respon usahatani hutan rakyat jati per hektar di lokasi penelitian terhadap 3 skenario pasar ... 76 31. Persentase penurunan keuntungan bersih usahatani hutan rakyat jati

per hektar di lokasi penelitian, ketika menghadapi 3 skenario pasar .... 77 32. Hasil analisis preferensi menggunakan regresi logistik ... 78 33. Jumlah dan frekwensi penggolongan kebijakan insentif dan

disinsentif ... 83 34. Pembobotan jabatan responden dengan pendekatan expert judgment ... 87 35. Hasil pembobotan kriteria dan indikator serta skor minimum

ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk pengembangan hutan rakyat, berdasarkan preferensi responden ... 95 36. Sebaran dan luas lahan tersedia dan sesuai untuk hutan rakyat,

dirinci per kecamatan ... 99 37. Sebaran dan luas lahan tersedia dan sesuai untuk hutan rakyat,

dirinci berdasarkan status lahan ... 99 38. Sebaran dan luas lahan tersedia dan sesuai untuk hutan rakyat,

dirinci berdasarkan formasi tutupan lahan ... 100 39. Sebaran dan luas lahan tersedia dan sesuai untuk hutan rakyat,

dirinci berdasarkan kelerengan lahan ... 100 40. Sebaran dan luas lahan tersedia dan sesuai hutan rakyat, dirinci

berdasarkan jarak lahan dari pemukiman ... 101 41. Sebaran dan luas lahan tersedia dan sesuai untuk hutan rakyat,

dirinci berdasarkan jarak lahan dari sungai ... 101 42. Sebaran dan luas lahan tersedia dan sesuai untuk hutan rakyat,

dirinci berdasarkan jarak lahan dari jalan kabupaten ... 102 43. Skenario dan kriteria lahan yang dapat diprioritaskan untuk

pengembangan hutan rakyat ... 112 44. Luas lahan prioritas pengembangan hutan rakyat, dirinci per skenario


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ... 4

2. Peta lokasi penelitian ... 15

3. Diagram alir analisis ketersediaan lahan pengembangan hutan rakyat berdasarkan preferensi responden ... 25

4. Diagram alir rangkaian analisis dalam penelitian ... 26

5. Peta tutupan lahan Kabupaten Bima ... 30

6. Peta kawasan hutan Kabupaten Bima ... 34

7. Karakteristik fisik lahan hutan rakyat responden ... 47

8. Kondisi lahan yang menyebabkan jarak tanam tidak beraturan ... 56

9. Kayu bakar hasil pemangkasan cabang dan penjarangan tegakan ... 57

10. Kayu jati hasil hutan rakyat responden ... 59

11. Diagram distribusi penggunaan tenaga kerja dalam subsistem produksi hutan rakyat di lokasi penelitian ... 60

12. Diagram aliran kayu rakyat jati di kokasi penelitian ... 62

13. Industri meubeler dan industri kecil perakitan dan reparasi kapal laut sebagai pelaku dalam pemasaran kayu rakyat ... 65

14. Diagram fungsi hubungan linear antara jumlah responden yang mengkategorikan hutan rakyat sebagai pekerjaan sampingan dengan rata-rata luas penguasaan sawah di 6 desa contoh ... 68

15. Diagram distribusi penggunaan faktor produksi per hektar dalam pengusahaan hutan rakyat jati di lokasi penelitian ... 73

16. Diagram alir rangkaian operasi spasial model ketersediaan dan kesesuaian lahan hutan rakyat ... 98

17. Peta sebaran lahan tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat, dirinci per kecamatan ... 103

18. Peta sebaran lahan tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat, dirinci berdasarkan status lahan ... 104

19. Peta sebaran lahan tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat, dirinci berdasarkan formasi tutupan lahan ... 105

20. Peta sebaran lahan tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat, dirinci berdasarkan kelas kelerengan lahan ... 106

21. Peta sebaran lahan tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat, dirinci berdasarkan jarak lahan dari pemukiman ... 107

22. Peta sebaran lahan tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat, dirinci berdasarkan jarak lahan dari sungai ... 108

23. Peta sebaran lahan tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat, dirinci berdasarkan jarak lahan dari jalan kabupaten ... 109


(17)

24. Diagram alir rangkaian operasi pembangunan model spasial lahan prioritas pengembangan hutan rakyat berdasarkan skenario A1 ... 114 25. Diagram alir rangkaian operasi pembangunan model spasial lahan

prioritas pengembangan hutan rakyat berdasarkan skenario A2 ... 115 26. Diagram alir rangkaian operasi pembangunan model spasial lahan

prioritas pengembangan hutan rakyat berdasarkan skenario A3 ... 116 27. Diagram alir rangkaian operasi pembangunan model spasial lahan

prioritas pengembangan hutan rakyat berdasarkan skenario A4 ... 118 28. Diagram alir rangkaian operasi pembangunan model spasial lahan

prioritas pengembangan hutan rakyat berdasarkan skenario B1 ... 119 29. Diagram alir rangkaian operasi pembangunan model spasial lahan

prioritas pengembangan hutan rakyat berdasarkan skenario B2 ... 120 30. Diagram alir rangkaian operasi pembangunan model spasial lahan

prioritas pengembangan hutan rakyat berdasarkan skenario B3 ... 122 31. Diagram alir rangkaian operasi pembangunan model spasial lahan

prioritas pengembangan hutan rakyat berdasarkan skenario B4 ... 123 32. Peta sebaran lahan prioritas untuk pengembangan hutan rakyat,

berdasarkan kriteria skenario A1 ... 125 33. Peta sebaran lahan prioritas untuk pengembangan hutan rakyat,

berdasarkan kriteria skenario A2 ... 126 34. Peta sebaran lahan prioritas untuk pengembangan hutan rakyat,

berdasarkan kriteria skenario A3 ... 127 35. Peta sebaran lahan prioritas untuk pengembangan hutan rakyat,

berdasarkan kriteria skenario A4 ... 128 36. Peta sebaran lahan prioritas untuk pengembangan hutan rakyat,

berdasarkan kriteria skenario B1 ... 129 37. Peta sebaran lahan prioritas untuk pengembangan hutan rakyat,

berdasarkan kriteria skenario B2 ... 130 38. Peta sebaran lahan prioritas untuk pengembangan hutan rakyat,

berdasarkan kriteria skenario B3 ... 131 39. Peta sebaran lahan prioritas untuk pengembangan hutan rakyat,


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Idientitas responden ... 140 2. Penguasaan lahan Responden ... 142 3. Rata-rata pendapatan per tahun responden petani hutan rakyat dirinci

per sumber pendapatan ... 144 4. Karakteristik usahatani hutan rakyat responden petani hutan rakyat ... 145 5. Praktek pengusahaan hutan rakyat ... 146 6. Analisis finansial (rataan 6 desa) pengusahaan hutan rakyat jati daur

20 tahun per hektar menggunakan BI rate 6.5% sebagai acuan suku bunga investasi ... 148 7. Analisis finansial pengusahaan hutan rakyat jati daur 20 tahun per

hektar di Desa Pesa Kecamatan Wawo, menggunakan BI rate 6.5% sebagai acuan suku bunga investasi ... 149 8. Analisis finansial pengusahaan hutan rakyat jati daur 20 tahun per

hektar di Desa Ntori Kecamatan Wawo, menggunakan BI rate 6.5% sebagai acuan suku bunga investasi ... 150 9. Analisis finansial pengusahaan hutan rakyat jati daur 20 tahun per

hektar Di Desa Roi Kecamatan Palibelo, menggunakan BI rate 6.5% sebagai acuan suku bunga investasi ... 151 10. Analisis finansial pengusahaan hutan rakyat jati daur 20 tahun per

hektar di Desa Nata Kecamatan Palibelo, menggunakan BI rate 6.5% sebagai acuan suku bunga investasi ... 152 11. Analisis finansial pengusahaan hutan rakyat jati daur 20 tahun per

hektar Di Desa Woro Kecamatan Madapangga, menggunakan BI rate 6.5% sebagai acuan suku bunga investasi ... 153 12. Analisis finansial pengusahaan hutan rakyat jati daur 20 tahun per

hektar di Desa Mpuri Kecamatan Madapangga, menggunakan BI rate 6.5% sebagai acuan suku bunga investasi ... 154 13. Analisis sensitivitas (rataan enam desa) pengusahaan hutan rakyat

jati daur 20 tahun per hektar ... 155 14. Regresi logistik preferensi pengusahaan hutan rakyat ... 157 15. Matriks model eksisting pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten

Bima ... 159 16. Matriks model hutan rakyat murni sebagai rekomendasi model

pengelolaan hutan rakyat yang sebaiknya dikembangkan di Kabupaten Bima ... 161 17. Matriks model Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sebagai salah satu

alternatif rekomendasi model pengelolaan hutan rakyat yang sebaiknya dikembangkan di Kabupaten Bima ... 163 18. Peta sebaran lahan yang dapat diusulkan untuk dicadangkan sebagai


(19)

1.1 Latar Belakang

Terhitung sejak tahun 2004, industri berbasis kayu di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) hanya mengandalkan pasokan kayu bulat dan kayu olahan dari daerah lain seperti Kalimantan, Sulawesi dan Papua sebesar 32 687 m3/tahun, serta dari pasokan lokal kayu rakyat melalui Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) sebesar 5 615 m3/tahun. Ketersediaan bahan baku tersebut masih jauh dari cukup jika dilihat dari konsumsi kayu perkapita di wilayah ini yang mencapai 0.05 m3, sehingga dengan jumlah penduduk sebesar 4 003 606 jiwa maka kebutuhan kayu akan mencapai 200 180 m3/tahun, yang berarti terdapat kesenjangan pasokan kayu sebesar 156 262 m3/tahun. (Dishut NTB 2006).

Kesenjangan pasokan kayu disinyalir turut berperan dalam peningkatan aktivitas illegal logging, dan secara tidak langsung turut berperan dalam penambahaan jumlah lahan kritis. Tingginya hamparan lahan kritis di Provinsi NTB menyebabkan pemanfaatan lahan kritis menjadi salah satu isu penting dalam perencanaan pembangunan di wilayah ini. Provinsi dengan Lombok dan Sumbawa sebagai dua gugusan pulau utama ini terkenal beriklim kering sehingga banyak ditemukan lahan-lahan dengan kriteria kritis. Kabupaten Bima merupakan salah satu kabupaten dengan luas lahan kritis yang tinggi yaitu sebesar 13 2248 ha, dimana diantaranya sebesar 59 702 ha terdapat di dalam kawasan hutan (Dishut NTB 2008).

Pembangunan dan pengembangan hutan rakyat dapat menjadi salah satu bagian dari usaha untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah kesenjangan pasokan kayu dan penanganan isu pemanfaatan lahan kritis. Semangat ini telah dituangkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai salah satu program prioritas. Pemerintah pusat dalam Rencana Strategis Departemen Kehutanan tahun 2005-2009, menempatkan fasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta hektar sebagai salah satu kegiatan pokok revitalisasi industri kehutanan. Lebih lanjut, pada tahun 2010 pemerintah pusat juga mendorong pengembangan industri kehutanan berbasis hutan rakyat melalui sisi permodalan yaitu berupa pemanfaatan dana Badan Layanan


(20)

Umum (BLU) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Demikian pula halnya pada tingkat pemerintah daerah, dimana pemerintah daerah Provinsi NTB meletakkan kegiatan pengembangan hutan rakyat sebagai salah satu program prioritas, yang ditunjukkan dari komitmen merealisasikan dana pengembangan pengusahaan perhutanan rakyat untuk tahun 2005 sebesar Rp635 939 700 (Dishut NTB 2005).

1.2 Perumusan Masalah

Hutan rakyat yang dibangun di atas tanah milik dapat menjadi komplemen yang sangat berarti dalam penyedian bahan baku kayu, mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan, sekaligus dapat merehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan (Setiadi 2006). Pembangunan hutan rakyat akan sulit dilakukan apabila tidak melalui perencanaan yang efektif dan optimal. Perencanaan akan muncul sebagai kendala atau faktor penghambat jika tidak didukung oleh data yang memadai yang memuat aspek-aspek teknis, fisik, sosial dan ekonomi. Kondisi tersebut merupakan salah satu karakteristik permasalahan pengembangan hutan rakyat di Indonesia, seperti yang diungkapan oleh Setiadi (2006) bahwa rendahnya penguasaan data dan informasi, tidak optimalnya sosialisasi program, belum mantapnya rancangan dan rencana pengembangan pada tingkat kabupaten, belum memadainya kesiapan aparat pemerintah, pemasaran hasil yang belum terorganisir dengan baik, rendahnya kualitas sumberdaya manusia petani target dan masih lemahnya kelembagaan kelompok tani yang terbentuk merupakan permasalahan-permasalahan utama dalam pengembangan hutan rakyat di Indonesia.

Karakteristik permasalahan pengembangan hutan rakyat seperti yang dijabarkan sebelumnya juga ditemukan di Kabupaten Bima, terutama berupa masalah keterhandalan basis data terkait hutan rakyat. Hal tersebut tergambar dari terbatasnya informasi dan referensi mengenai pengelolaan hutan rakyat di wilayah ini termasuk informasi mengenai potensi tegakan hutan rakyat, dimana data terbaru tentang potensi hutan rakyat di wilayah ini hanya tersedia untuk tahun 2003/2004. Berangkat dari


(21)

fakta tersebut, penelitian ini dilakukan untuk membangun basis data terkait pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bima, dengan jalan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi masalah dalam penelitian ini, yaitu: (1) bagaimana karakteristik dan praktek pengusahaan hutan rakyat di Kabupaten Bima? (2) layakkah hutan rakyat dikembangkan di Kabupaten Bima jika dinilai dari sisi bisnis? (3) bagaimana preferensi petani dalam menentukan pilihan untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat? dan (4) bagaimana sebaran lahan yang diinginkan oleh petani sebagai lokasi untuk mengusahakan hutan rakyat dan membudidayakan tanaman keras berkayu?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah membangun basis data terkait pengusahaan dan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bima dengan jalan:

1. Mengidentifikasi karakteristik dan praktek pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bima.

2. Menganalisis kelayakan finansial pengusahaan hutan rakyat di Kabupaten Bima. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi atau pilihan petani

sebagai subjek pengelola untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat. 4. Mengidentifikasi ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk pengembangan hutan

rakyat di Kabupaten Bima berdasarkan preferensi petani sebagai subjek pengelola.

Dari penelitian ini diharapkan diperoleh manfaat berupa data dan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan dan masukan dalam merencanakan pembangunan dan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bima, termasuk pula dalam menetapkan bagaimana model pengelolaan hutan rakyat yang sebaiknya dikembangkan.


(22)

1.4 Kerangka Pemikiran

Secara ringkas kerangka pemikiran disajikan dalam bentuk diagram alir berikut:

Keterangan: Prakondisi

Masalah penelitian Kegiatan penelitian

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian.

Kondisi Aktual:

✲ Defisit kayu

✲ Tingginya luas lahan kritis

yang belum dimanfaatkan

Dampak:

Over eksploitasi yang dapat mengancam kelestarian dan fungsi kawasan hutan serta meningkatkan terbentuknya lahan-lahan baru yang kritis dan tidak produktif

Solusi:

Pengembangan Hutan Rakyat sebagai salah satu alternatif upaya

mengatasi masalah defisit kayu dan isu lahan kritis Faktor Pendukung:

- Pangsa pasar kayu yang cukup besar - Ketersediaan lahan - Kebijakan pemerintah

Faktor Penghambat: - Belum ada

perencanaan yang baik - Lemahnya basis data

Pembangunan basis data terkait pengelolaan hutan

rakyat

- Analisis deskriptif karakteristik dan praktek pengelolaan hutan rakyat - Analisis ketersediaan

lahan hutan rakyat

Analisis preferensi pengusahaan

hutan rakyat

Analisis finansial pengusahaan hutan takyat

Sasaran

Model pengelolaan hutan rakyat yang sebaiknya dikembangkan

di Kabupaten Bima

1. Karakteristik dan praktek pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bima? 2. Kelayakan finansial pengusahaan hutan rakyat di Kabupaten Bima? 3. Preferensi petani untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat? 4. Sebaran lahan yang diinginkan untuk mengusahakan hutan rakyat dan


(23)

1.5 Hipotesis

Melalui pengumpulan data awal dan kajian literatur disusun jawaban sementara atau hipotesis atas tujuan penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Hutan rakyat di Kabupaten Bima berkembang dalam pola hutan rakyat sejenis dengan Jati sebagai komoditi utama, dengan rata-rata luasan yang dikuasai oleh setiap 1 orang petani mencapai lebih besar dari 0.25 ha.

2. Pengusahaan hutan rakyat di Kabupaten Bima menguntungkan secara finansial dengan nilai BCR > 1, NPV > 0, dan IRR > i.

3. Preferensi atau keputusan petani untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat akan dipengaruhi oleh 13 faktor, yaitu: usia, tingkat pendidikan, tanggungan keluarga, status sosial, penguasaan sawah, penguasaan lahan kering, curahan tenaga kerja, pendapatan di luar sektor pertanian, kekosmopolitan, kebijakan, motivasi ekonomi, motivasi sosial, dan motivasi ekologi.

4. Berdasarkan preferensi petani, lebih dari 25% dari total luas daratan Kabupaten Bima tergolong sebagai lahan tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat.


(24)

2.1 Deskripsi dan Batasan Hutan Rakyat

Undang-undang No. 41 tahun 1999, menyatakan hutan berdasarkan status kepemilikannya terbagi menjadi hutan negara dan hutan hak. Hutan negara merupakan kawasan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan hak adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik dan umumnya disebut hutan rakyat. Hutan rakyat dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997, didefinisikan sebagai hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0.25 ha, dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50%, dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektar.

2.2 Potensi Hutan Rakyat

Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya. Tercatat pada tahun 1999, kawasan hutan rakyat mampu memproduksi kayu mencapai 895 000 m3 dan mensuplai hingga 11% dari total kebutuhan kayu di pulau Jawa. Rata-rata produksi pada areal hutan rakyat mencapai 2.29 m3/ha/tahun, nilai tersebut 3 kali lebih besar dari rata-rata produksi tahunan pada areal-areal yang dikelola oleh pemerintah. Petani di Indonesia umumnya membudidayakan pohon secara intercropping dengan tanaman musiman untuk keperluan konsumsi sehari-hari maupun dijual untuk memperolah uang tunai (ESSC 2006).

Periode tahun 2003-2007 pembangunan hutan rakyat dan agroforestri di Indonesia oleh pemerintah pusat mencapai total luasan sebesar 220 321 ha (Dishut NTB 2008). Data potensi hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat sampai dengan tahun 2003 sebesar 39 564 003 m3 dengan luas areal mencapai 1 560 229 ha. Sampai dengan tahun 2003, di Provinsi NTB tercatat sebanyak 37 852 rumah tangga hutan atau rumah tangga yang membudidayakan tanaman kehutanan dengan jenis Jati, Bambu, dan Mahoni


(25)

sebagai komoditas utama, dengan populasi masak tebang Jati sebesar 1 315 577 batang, Bambu sebesar 762 669 batang dan Mahoni sebesar 85 930 batang (Dephut dan BPS 2004).

Darusman dan Hardjanto (2006) menyatakan bahwa tingginya potensi hutan rakyat secara nyata telah dapat merangsang tumbuhnya aktivitas lanjutan seperti usaha-usaha yang termasuk dalam backward dan forward linkages. Besarnya potensi hutan rakyat tersebut bukan berarti bahwa masalah produksi hasil hutan rakyat dapat diabaikan, namun masih menyisakan banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Permasalahan tersebut harus dan dapat dipecahkan melalui kegiatan-kegiatan penelitian, baik berupa penelitian dasar maupun penelitian terapan.

2.3 Peranan Hutan Rakyat

Hutan rakyat mempunyai kontribusi yang tidak bisa diremehkan dalam konteks potensi dan produksi. Kayu hasil hutan rakyat pada beberapa daerah, seperti Wonosobo dan Gunung Kidul, telah mampu menumbuhkan sentra-sentra industri pengolahan kayu dan mensuplai kebutuhan kayu industri di daerah lain. Selain berperan dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan peningkatan pendapatan, keberadaan hutan rakyat juga memiliki arti penting dari sisi lingkungan seperti mempercepat usaha rehabilitasi lahan kritis serta membantu mempertahankan dan bahkan meningkatkan proses peresapan air pada recharge area (Himmah 2002).

Hutan rakyat pada awalnya diarahkan sebagai salah satu upaya dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Hasilnya yang berupa kayu sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai tambahan penghasilan. Selain itu, hutan rakyat dapat memegang peranan yang sangat penting sebagai penghasil kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan energi bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat di pedesaan. Santosa (2006) menyatakan bahwa pada periode tahun 2002 sampai 2004, sekitar 47.7% dari 54.9 juta rumah tangga di Indonesia masih menggunakan kayu bakar untuk berbagai keperluan, dengan konsumsi sebesar 15.9 juta m3 per tahun. Selanjutnya dinyatakan bahwa konsumsi kayu bakar pada


(26)

masa yang akan datang diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk sebesar 1.34% per tahun.

Simon (2004) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat, akan memberikan sumbangan yang positif terhadap pembangunan nasional dalam bentuk: (1) meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan ikutan, (2) memperluas aksesibilitas dan kesempatan kerja di pedesaan, (3) memperbaiki sistem tata air dan meningkatkan perlindungan permukaan tanah dan bahaya erosi, (4) meningkatkan proses penguraian oksida karbon (CO2) dan polutan lain di udara karena adanya peningkatan proses fotosintesis di permukaan bumi, (5) menjaga kadar oksigen udara tetap pada tingkat yang menguntungkan bagi mahluk hidup, dan (6) menyediakan habitat yang dapat menjaga keragaman hayati flora dan fauna.

2.4 Karakteristik Hutan Rakyat

Predo (2003) menyatakan bahwa tujuan moneter dan ekonomi menjadi tujuan utama petani dalam menanam pohon di lahan miliknya, disamping tujuan-tujuan lain seperti tujuan-tujuan estetika, perlindungan dan restorasi lingkungan. Hardjanto (2003) mengidentifikasi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan hutan rakyat di Jawa, yaitu: (1) faktor tradisi, fungsi ekonomi rumah tangga, dan fungsi tata air sebagai faktor kekuatan internal, (2) luas pemilikan lahan, teknologi pemanenan dan pasca panen, serta keterbatasan modal dan informasi sebagai faktor kelemahan internal, (3) tingginya permintaan pasar, pertumbuhan industri kayu, dan infrastruktur jalan desa sebagai faktor kesempatan eksternal, dan (4) besarnya permintaan kayu, ketergantungan kepada agen pemasaran, pertumbuhan tenaga kerja, dan ketidakpastian pemanfaatan lahan terlantar sebagai faktor ancaman eksternal.

Nur (2005) menyatakan bahwa keputusan petani dalam mengelola lahan miliknya sebagai media membudidayakan tanaman keras berkayu dengan pola agroforestri dipengaruhi oleh faktor luas lahan, lokasi lahan, tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, usia, serta kontribusi pendapatan dan biaya produksi. Agussabti (1997) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam mempengaruhi motivasi petani dalam berusaha tani akan terkelompokan menjadi


(27)

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal akan terdiri dari faktor usia, pendidikan, pengalaman usaha tani, dan kebutuhan, sedangkan kelompok faktor eksternal akan terdiri dari jumlah tanggungan, luas lahan, jarak lahan dari rumah, ketersedian modal, penguasaan teknologi, dan intensitas penyuluhan.

Hutan rakyat memiliki ciri kawasan yang tidak kompak dan terpencar di lahan peruntukan lainnya. Bentuk usaha yang berkembang tidak selalu murni berupa kayu-kayuan tetapi bisa terpadu atau dikombinasikan dengan berbagai tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan pakan ternak. Menurut Hardjanto (2000), pengusahaan hutan rakyat memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) dilakukan oleh petani, tengkulak dan industri, dimana petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah, (2) petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik, (3) bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan secara sederhana, (4) pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total.

Berdasarkan bentuknya, Departemen Kehutanan (2004) membagi sistem pengelolaan hutan rakyat ke dalam dua bentuk utama yaitu hutan rakyat sejenis apabila tanaman pokok hanya satu jenis dan hutan rakyat agroforestri apabila ada kombinasi dengan cabang usaha tani lainnya. Berdasarkan jenis tanamannya, Darusman dan Wijayanto (2007) membagi sistem pengelolaan hutan rakyat di Indonesia ke dalam 3 pola pengelolaan, yaitu: (1) pola hutan rakyat sejenis atau pola hutan rakyat yang didominasi oleh satu jenis tanaman, (2) pola hutan rakyat campuran yang didominasi 2 atau lebih jenis tanaman kehutanan, dan (3) pola hutan rakyat wanatani atau agroforestri yang merupakan hutan rakyat campuran antara tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, hijauan pakan ternak, yang dipadukan dengan tanaman pangan semusim seperti ubi kayu dan jagung, atau dengan tanaman obat-obatan seperti kunyit dan jahe.

2.5 Permasalahan Pengusahaan Hutan Rakyat

Walaupun hutan rakyat mempunyai potensi dan peranan yang cukup besar, akan tetapi pada umumnya di Jawa hanya sedikit hutan rakyat yang memenuhi


(28)

luasan minimal sesuai dengan definisi hutan (0.25 ha). Hal tersebut disebabkan karena rata-rata pemilikan lahan di Jawa yang sangat sempit, sehingga mendorong munculnya usaha pemanfaatan ruang seoptimal mungkin oleh pemilik lahan dengan cara membudidayakan tanaman-tanaman yang dapat dikonsumsi sehari-hari, serta tanaman-tanaman bernilai tinggi dengan daur yang pendek. Karenanya, hamparan hutan rakyat yang kompak dengan luasan cukup biasanya ditemui pada petani yang memiliki lahan di atas rata-rata, pada lahan marginal serta pada lahan terlantar (Hardjanto 2000).

Teknologi, modal usaha, manajemen usaha tani, skill, kondisi fisik lahan usaha khususnya pada unit bisnis hutan rakyat, pemasaran, dan kebijakan pemerintah, merupakan kendala yang umumnya dihadapi oleh produsen dalam mengelola salah satu unit bisnis usaha perhutanan rakyat (Andayani 2003). Dudung dan Hardjanto (2006) mengungkapkan bahwa permasalahan hutan rakyat yang muncul sampai saat ini didominasi oleh empat aspek utama yaitu, aspek produksi, aspek pengolahan, aspek pemasaran, dan aspek kelembagaan. Dari aspek produksi, struktur tegakan kayu rakyat menunjukkan struktur hutan normal, namun di sisi lain ternyata pohon-pohon yang dijual mengalami penurunan kelas diameter sehingga dapat mengancam kelestarian tegakan yang berarti mengancam pula kelestarian usahanya. Ditinjau dari aspek pengolahan, masalah terbesar yang dihadapi saat ini adalah masalah jumlah dan kontinuitas sediaan bahan baku. Permasalahan pada aspek pemasaran meliputi sistem distribusi, struktur pasar, penentuan harga, perilaku pasar dan keragaan pasar. Kelembagaan yang mendukung pada setiap sub sistem juga masih perlu disempurnakan agar kinerja usaha hutan rakyat secara keseluruhan menjadi lebih baik.

2.6 Analisis Biaya dan Kelayakan Finansial Hutan Rakyat

Biaya adalah satu-satunya nilai yang dikorbankan untuk proses produksi. Pengorbanan ini hanya merupakan biaya jika nilai yang dikorbankan memiliki nilai ekonomis yang bertujuan untuk memproduksi barang-barang atau jasa. Biaya produksi dapat juga didefinisikan sebagai jumlah nilai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan barang atau jasa, yang dinyatakan dalam harga atau nilai tukar untuk setiap satuan produksi (Soekartawi 1989).


(29)

Pada prinsipnya biaya yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat dapat digolongkan menjadi dua tipe biaya yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Mubyarto (1989) mendefinisikan biaya tetap sebagai biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, seperti pajak dan sewa tanah, sedangkan biaya tidak tetap merupakan biaya yang besar kecilnya tergantung pada besar kecilnya produksi, seperti biaya bibit, pupuk dan tenaga kerja. Hayono (1996) menyatakan bahwa pada umumnya petani hutan rakyat menjual kayunya dalam bentuk pohon berdiri kepada para pedagang perantara, sehingga dengan demikian biaya-biaya pemanenan, pengolahan dan pemasaran ditanggung oleh pedagang perantara, sedangkan biaya produksi yang ditangung oleh petani terbatas pada biaya penanaman dan pemeliharaan, yaitu dari biaya sewa tanah, pembelian bibit, pupuk, tenaga kerja, sarana produksi serta bunga modal dan pajak.

Pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat diperoleh dari penjualan hasil hutan rakyat berupa kayu bulat, kayu olahan, maupun kayu bakar. Besarnya pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat dapat dihitung berdasarkan jumlah rata-rata panen persatuan luas dikalikan harga yang berlaku saat itu. Hadisapoetro (1978) menyatakan bahwa pendapatan petani merupakan besarnya keuntungan yang diperoleh petani dengan cara mengurangi jumlah penerimaan dengan total biaya yang di keluarkan. Penerimaan adalah nilai seluruh produksi baik yang dijual maupun di konsumsi oleh petani dan keluarganya, sedangkan pengeluaran adalah sejumlah pengorbanan berupa uang yang dikeluarkan petani untuk membiayai usaha tani.

Suatu usaha tani dapat dikatakan layak apabila secara finansial usaha tani tersebut menguntungkan dan memiliki ketahanan dan keberlanjutan usaha yang tinggi, dimana hal tersebut dapat dinilai menggunakan analisis finansial. Analisis finansial adalah analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut pandang lembaga atau individu-individu yang menanamkan modalnya atau berkepentingan langsung dalam proyek. Cara menilai suatu proyek yang paling banyak diterima untuk penilaian proyek jangka panjang adalah dengan menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau analisis aliran kas yang terdiskonto. Gittinger (1986) menyatakan bahwa teknik diskonto merupakan teknik untuk menurunkan manfaat


(30)

dan arus biaya yang diperoleh pada masa yang akan datang menjadi nilai biaya pada masa sekarang. Benefit Cost Ratio (BCR), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR) merupakan tiga kriteria umum yang biasa digunakan untuk menilai suatu proyek menggunakan teknik diskonto.

Beberapa penelitian tentang hutan rakyat menunjukkan bahwa usaha hutan rakyat menguntungkan dan layak untuk dikembangkan jika ditinjau dari sisi finansial. Hal tersebut tidak lepas dari keberadaan tanaman penghasil kayu yang memiliki nilai jual yang tinggi. Sebagai contoh, hasil analisis finansial pengusahaan hutan rakyat jati di Wonosobo oleh Waskito (2000) menunjukkan bahwa hutan rakyat layak untuk dikembangkan, demikian pula halnya untuk kasus pengelolaan hutan rakyat di luar Jawa, dimana Yusran (2005) menemukan bahwa hutan rakyat kemiri yang dikelola secara monokultur maupun campuran di kawasan pegunungan Bulusaraung Sulawesi Selatan secara finansial menguntungkan dan layak untuk dikembangkan.

2.7 Analisis Kesesuaian Lahan

Sumberdaya lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana pada batas-batas tertentu faktor-faktor tersebut memepengaruhi kemampuan dan potensi penggunaannya (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Evaluasi lahan merupakan suatu hal yang sangat penting karena lahan memiliki sifat fisik, sosial, ekonomi, dan geografis yang bervariasi, dimana variasi tersebut akan mempengaruhi peruntukan lahan. Rayes (2006) mendifinisikan evaluasi lahan sebagai suatu proses pendugaan keragaan lahan apabila lahan digunakan untuk tujuan tertentu. Evaluasi lahan dapat juga dipahami sebagai suatu metode yang menjelaskan atau memprediksi ketersediaan, kesesuaian, dan kegunaan potensial dari lahan.

Memprediksi ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk suatu tujuan tertentu dapat dilakukan dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG). Jaya (2002) mendefiniskkan SIG sebagai sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menganalisis dan menampilkan informasi yang bereferensi geografis. SIG merupakan suatu alat,


(31)

metode, dan prosedur yang mempermudah dan mempercepat usaha untuk menemukan dan memahami persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang ada dalam ruang muka bumi. Kemampuan SIG dalam memprediksi ketersedian lahan tidak lepas dari nilai lebih SIG dalam menjalankan fungsi-fungsi analisis spasial. Yusmur (2005) menyatakan bahwa nilai lebih SIG dalam analisis spasial dapat dilihat dari 5 fungsi utamanya, yaitu fungsi pengukuran dan klasifikasi, fungsi overlay, fungsi neighborhood, fungsi network, dan fungsi tiga dimensi.

Menurut Prahasta (2005), SIG memiliki 4 komponen utama dalam menjalankan prosesnya, yaitu: (1) input data, sebagai komponen yang bertugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber serta bertanggung jawab mentransformasikan data ke dalam format yang diminta piranti lunak, baik dari data analog maupun data digital, (2) manajemen data, sebagai komponen yang mengorganisasi data spasial maupun non-spasial ke dalam sebuah basis data sehingga mudah untuk dilakukan pemanggilan, updating dan editing, (3) manipulasi dan analisis data, sebagai komponen yang melakukan manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi sesuai dengan tujuan, dan (4) data output, sebagai komponen yang berfungsi menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk tercetak maupun digital.


(32)

3. METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (1) peta tematik Kabupaten Bima meliputi peta administratif, peta tutupan lahan, peta kawasan hutan, peta kelerengan lahan, peta jaringan sungai, peta mata air, peta jaringan jalan, dan peta tematik lahan kritis, (2) data observasi lapang, wawancara dan kuisioner, (3) data statistik kependudukan, (4) Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bima, tahun 2006-2025, dan (5) data pendukung dari literatur dan hasil penelitian terdahulu. Peralatan yang dipergunakan antara lain seperangkat komputer, piranti lunak SIG Arcview 3.3, piranti lunak pengolahan data statistik Microsoft Excel dan SPSS 13.0, alat perekam visual, kuisioner dan alat tulis.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 2 bulan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2010 di Kabupaten Bima, Provinsi NTB. Lokasi ditetapkan secara purposive atas dasar keberadaan hutan rakyat yang dicirikan oleh sebaran luas dan volume tegakan hutan rakyat. Kecamatan Wawo, Palibelo, dan Madapangga ditetapkan sebagai lokasi penelitian, dengan Desa Woro dan Mpuri sebagai desa contoh mewakili Kecamatan Madapangga, Desa Nata dan Roi mewakili Kecamatan Palibelo, serta Desa Ntori dan Pesa mewakili Kecamatan Wawo. Tabel 1. Sebaran luas dan volume tegakan hutan rakyat di Kabupaten Bima.

No. Kecamatan Luas (ha) Volume (m3) Tegakan Dominan

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Madapangga 331.93 21 720.89 Jati

2. Ambalawi 273 13 847.40 Jati

3. Palibelo 1 182 52 776 Jati

4. Wera 615 30 249.33 Jati

5. Wawo 1 185 31 529.37 Jati

6. Sape 290.14 20 060.90 Jati

7. Monta 501 9 048.99 Jati

8. Woha 50 900 Jati

9. Langgudu 150 800 Jati

10. Bolo 100 600 Jati

11. Donggo 100 600 Jati dan Kemiri

12. Lambu 140 750 Jati


(33)

(1) (2) (3) (4) (5)

14. Tambora 750 10 000 Campuran

Sumber: Inventarisasi Potensi Hutan Rakyat Dinas Kehutanan Kabupaten Bima Tahun 2003/2004.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

3.3 Batasan dalam Penelitian

1. Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik, yang terdiri dari tanaman keras berkayu yang diusahakan secara monokultur atau campuran. Kayu rakyat adalah komoditas utama hutan rakyat yang ditanam oleh pemiliknya atau tumbuh secara alami.

2. Preferensi atau selera adalah pilihan realitas atau imajiner antara alternatif-alternatif pilihan berdasarkan kesenangan, kepuasan, dan dorongan-dorongan lain, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri responden.

3. Lahan tersedia dan sesuai untuk hutan rakyat adalah lahan-lahan dengan kriteria pembatas berdasarkan preferensi masyarakat sebagai subyek pengelola. Lahan prioritas untuk hutan rakyat adalah lahan-lahan yang terbentuk sebagai bentuk resiko adanya faktor pembatas berupa rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang daerah dalam (RTRW) Kabupaten Bima Tahun 2006-2025.


(34)

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Jenis Data

Penelitian menggunakan dan menganalisis data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui observasi, pengisian kuisioner dan wawancara langsung terhadap responden terpilih dan informan kunci, terkait pengusahaan hutan rakyat di Kabupaten Bima. Data sekunder dikumpulkan dari beberapa instansi seperti Dinas Kehutanan, Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pusat Statistik (BPS), dan instansi terkait lainnya. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis baik secara kuantitatif maupun deskriptif kualitatif.

3.4.2 Penentuan Responden

Populasi contoh dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani yang mengusahakan hutan rakyat dan rumah tangga petani yang tidak mengusahakan hutan rakyat. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode pengambilan contoh purposive sampling. Purposive sampling menurut Patton (1990), Cochran (1991) dan Iskandar (2008) merupakan teknik pengambilan contoh secara sengaja berdasarkan penilaian subyektif peneliti atas dasar karakteristik tertentu yang dianggap memiliki sangkut paut dengan karakteristik populasi yang telah diketahui sebelumnya. Total jumlah populasi contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah 92 responden yang dibagi secara proporsional ke dalam kelompok petani hutan rakyat sebanyak 46 responden, dan kelompok petani non hutan rakyat sebanyak 46 responden.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Analisis Deskriptif Kualitatif

Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial ekonomi responden, serta menganalisis karakteristik dan praktek pengelolaan hutan rakyat berdasarkan hasil observasi lapang, wawancara, dan kuisioner. Peubah-peubah yang dianalisis antara lain: orientasi pengusahaan dan alasan mengusahakan komoditas tertentu, luas dan ciri kekompakan lahan yang diusahakan sebagai hutan rakyat, serta sistem pengelolaan yang diterapkan


(35)

meliputi subsistem produksi, subsistem pengolahan hasil, dan subsistem pemasaran.

3.5.2 Analisis Pendapatan

Analisis pendapatan dilakukan untuk menghitung kontribusi pendapatan dari hutan rakyat terhadap total pendapatan rumah tangga responden, sehingga didapatkan gambaran bagaimana peranan hutan rakyat terhadap perekonomian rumah tangga responden. Kontribusi hutan rakyat dihitung dengan pendekatan relatifitas terhadap pendapatan total rumah tangga responden.

3.5.3 Analisis Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk menilai kelayakan usaha tani hutan rakyat dilihat dari sudut pandang lembaga atau individu yang menanamkan modalnya. Cara menilai kelayakan suatu proyek yang paling banyak diterima untuk penilaian proyek jangka panjang adalah dengan menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau analisis aliran kas yang terdiskonto menggunakan parameterBenefit Cost Ratio (BCR), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR).

1. Benefit Cost Ratio (BCR)

BCR merupakan perbandingan atau ratio antara total pendapatan terdiskonto dengan total biaya terdiskonto. Suatu usaha tani dinyatakan layak apabila nilai BCR lebih besar dari satu (BCR > 1). Semakin tinggi suku bunga yang digunakan dapat menyebabkan kemungkinan nilai BCR lebih kecil dari satu.

ܤܥܴ ൌσ

ܤݐ

ሺͳ ൅ ݅ሻ௧

௡ ௧

σ௡ሺͳ ൅ ݅ሻܥݐ

dimana

n : daur ekonomis usaha tani; t : tahun proyek;

Bt : penerimaan kotor petani pada tahun t; Ct : biaya usaha tani pada tahun t;


(36)

2. Net Present Value (NPV)

NPV adalah nilai diskonto dari selisih manfaat dan biaya aliran keluar masuknya uang yang juga berarti nilai keuntungan bersih pengusahaan pada saat ini. Suatu usaha tani dinyatakan layak apabila nilai NPV positif (NPV > 0).

ܸܰܲ ൌ ෍ܤݐ െ ܥݐሺͳ ൅ ݅ሻ

௡ ௧

dimana

n : umur ekonomis usaha tani; t : tahun proyek.;

Bt : penerimaan kotor petani pada tahun t; Ct : biaya usaha tani pada tahun t;

i : suku bunga (discount rate).

3. Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah suatu tingkat suku bunga yang menunjukan NPV sama dengan biaya investasi pengusahaan usaha tani atau dapat juga diartikan sebagai tingkat suku bunga yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Suatu usaha tani dipandang paling baik dari sudut penanaman modal apabila IRR berada di atas suku bunga yang berlaku (IRR > i). Cara yang digunakan untuk menentukan tingkat suku bunga yang ideal ialah dengan melakukan percobaan-percobaan secara interpolasi diantara suku bunga yang masih menghasilkan NPV positif dan suku bunga yang menghasilkan NPV negatif.

ܫܴܴ ൌ݅ᇱ ܸܰܲᇱ

ܸܰܲᇱെ ܸܰܲᇱᇱሺ݅ᇱᇱെ݅ᇱሻ

dimana

i’ : suku bunga yang digunakan untuk percobaan pertama; i’’ : suku bunga yang digunakan untuk percobaan kedua; NPV’ : nilai NPV untuk percobaan pertama;

NPV’’ : nilai NPV untuk percobaan kedua.

4. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitifitas menurut Gittinger (1986) merupakan kegiatan pengukuran atau perhitungan ulang nilai kemanfaatan proyek dengan


(37)

menggunakan estimasi baru dari satu atau lebih komponen biaya atau hasil, sebagai salah satu usaha untuk mengantisipasi dan menghadapi ketidaktentuan yang dapat saja terjadi pada keadaan yang telah diramalkan. Melalui analisis ini, akan dilihat kesensitifan pengusahaan hutan rakyat apabila menghadapi fenomena pasar berupa penambahan biaya produksi dan pengurangan harga output sebesar 25%. Penambahan biaya produksi dapat terjadi karena adanya kecenderungan peningkatan biaya sarana produksi, sedangkan perubahan harga output dapat terjadi akibat fluktuasi keseimbangan neraca pasar.

3.5.4 Analisis Preferensi Pengusahaan Hutan Rakyat

Prefrensi merupakan pilihan realitas atau imajiner antara alternatif pilihan berdasarkan kesenangan, kepuasan, dan dorongan-dorongan lain, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang akan mempengaruhi keputusan responden untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat.

Tabel 2. Faktor-faktor yang diasumsikan mempengaruhi keputusan petani dalam mengusahakan hutan rakyat.

No Peubah Batasan Operasional Satuan

(1) (2) (3) (4)

1 Umur

responden

Usia responden kepala keluarga, terhitung sejak dilahirkan sampai saat wawancara dilakukan.

tahun 2 Tingkat

pendidikan

Lamanya responden menempuh pendidikan formal. tahun

3 Tanggungan

keluarga

Jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan kepala keluarga.

jiwa 4 Status sosial Kedudukan responden dalam masyarakat berdasarkan

total bobot jabatan formal dan informal yang dimiliki.

unit 5 Penguasaan

sawah

Luas lahan responden yang diusahakan sebagai sawah. ha 6 Penguasaan

lahan kering

Total luas lahan kering responden baik lahan yang dimanfaatkan maupun lahan yang tidak dimanfaatkan.

ha

7 Curahan

tenaga kerja

Jumlah tenaga kerja dalam keluarga. Ukuran disetarakan dalam hari kerja pria (HKP) dengan faktor konversi 1,00 untuk pria usia produktif (15-64 tahun), 0,7 untuk wanita usia produktif, dan 0,3 untuk anak-anak pada rentang umur 10-14 tahun (Rusli, 1995).

HKP

8 Pendapatan non pertanian

Pendapatan responden sebulan terakhir yang berasal dari luar sektor pertanian.


(38)

(1) (2) (3) (4) 9 Sifat

kosmopolit responden

Keterbukaan responden terhadap inovasi usaha tani yang diukur dari jumlah keikutsertaan responden dalam kegiatan penyuluhan dan pertemuan kelompok tani setahun terakhir terkait pengusahaan dan pengelolaan tanaman keras

unit

10 Kebijakan Ratio antara jumlah kebijakan insentif dan kebijakan disinsentif terkait pengusahaan hutan rakyat berdasarkan preferensi responden.

unit

11 Motivasi Ekonomi

Persepsi responden akan dorongan yang berkaitan erat dengan manfaat ekonomi yang dirasakan dari keberadaan hutan rakyat. Data diperoleh berdasarkan persepsi responden akan butir-butir pertanyaan yang diajukan dalam wawancara, sebagai berikut:

 usaha tani hutan rakyat (HR) dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga (RT)

Skala likert 5 tingkat yang ditransformasi menjadi data laten dengan pendekatan jumlah total. (1)Sangat tidak

setuju (2)Tidak setuju (3)Netral (4)Setuju (5)Sangat setuju

 HR dapat digunakan sebagai modal dalam pemenuhan kebutuhan insidentil keluarga

 tanaman keras/kayu memberikan keuntungan terbesar dibandingkan komoditi lain yang diusahakan di atas lahan milik

 usaha tani HR dapat memenuhi kebutuhan kayu (pertukangan) RT

 kayu hasil HR merupakan sumber energi (kayu bakar) RT

12 Motivasi Ekologi

Persepsi responden akan dorongan yang berkaitan erat dengan manfaat ekologi/lingkungan yang dirasakan dari keberadaan hutan rakyat. Butir pertanyaan yang digunakan:

 HR dapat menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah

 HR sebagai usaha untuk mencegah terjadinya erosi, longsor dan banjir

(1) Sangat tidak setuju (2) Tidak setuju (3) Netral (4) Setuju (5) Sangat setuju

 HR dapat memperbaiki dan mempertahankan sumber-sumber air

 HR dapat memperbaiki dan mempertahankan iklim mikro

 HR diusahakan agar lahan milik tidak terlantar 13 Motivasi

Sosial

Persepsi responden akan dorongan yang berkaitan erat dengan alasan dan manfaat sosial yang dirasakan dari keberadaan hutan rakyat. Butir pertanyaan yang digunakan:

 HR sebagai tanda atas penguasaan lahan

 mengusahakan HR karena merupakan kegiatan atau usaha yang diwariskan oleh orang tua

 mengusahakan HR karena dorongan warga sekitar atau rekan dalam kelompok tani yang juga mengusahakan HR

 HR dapat digunakan sebagai warisan dan tabungan hari tua

(1) Sangat tidak setuju (2) Tidak setuju (3) Netral (4) Setuju (5) Sangat setuju


(39)

Peubah berskala likert akan melalui pengujian validitas dan reliabilitas data untuk mengetahui konsistensi dan kelayakan butir pertanyaan terhadap nilai total. Kekonsistensian instrument diketahui dengan cara mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total menggunakan formula korelasi moment product pearson. Butir pertanyaan dinyatakan valid jika nilai koefisien korelasi (r-hitung) positif dan lebih besar dari nilai r-tabel. Butir pertanyaan yang tidak valid dikeluarkan dan tidak disertakan dalam uji reliabilitas. Reliabilitas instrumen diuji menggunakan pendekatan cronbach alpha. Instrumen dinyatakan reliable/handal/terpercaya jika nilai koefisien reliabilitas (r-hitung cronbach alpha) positif dan lebih besar dari nilai r-tabel. Jika hasil perhitungan menunjukan instrumen tidak reliable berarti instrumen tersebut tidak dimasukan sebagai faktor untuk menduga preferensi responden dalam mengusahakan hutan rakyat.

ݎܾ݅ ൌ

ሺேכσሺ௑௜௝כ௒Ǥ௝ሻሻିሺσ௑௜௝כ σ௒Ǥ௝ሻ

ቆටሺேכσ ௑௜௝మሻିሺσ௑௜௝ሻቇכቆටሺேכσ௒Ǥ௝ሻିሺσ௒Ǥ௝ሻ

dimana

rbi : koefisien korelasi skor butir ke-i dengan skor total (r-hitung) N : jumlah responden

Xij : skor butir ke-i responden ke-j

Y.j : skor total seluruh butir untuk responden ke-j

ݎ ൌቂሺ௞ିଵሻ௞ ቃ כቂͳ െቀσ ఙ௕ఙ௧మమቁቃ dengan,

ߪܾଶσሺ݆ܺ݅ሻ

െ൬ሺσ ݆ܺ݅ሻଶ ܰ ൰

ܰ ߪݐଶൌ

σሺܻǤ ݆ሻଶെ൬ሺσ ܻǤ ݆ሻଶ ܰ ൰ ܰ

dimana

r : koefisien reliabilitas instrumen (r-hitung cronbach alpha) k : jumlah butir pertanyaan

Óób2 : total varian butir

ót2 : total varian N : jumlah responden

Xij : skor butir ke-i responden ke-j


(40)

Peluang seseorang dalam memilih opsi tertentu dapat dinilai menggunakan model regresi logistik. Gasperz (1990), Santosa dan Ashari (2005), serta Geaghan (2005), menyatakan bahwa model regresi logistik merupakan salah satu model dalam analisis statistik yang digunakan untuk mencari fungsi hubungan dalam sebuah populasi data, dimana peubah terikatnya merupakan peubah kualitatif yang berbentuk kategoris (dikotomis/nominal/ordinal) dengan peubah bebas yang terdistribusi normal maupun tidak terdistribusi normal, yang dapat berupa peubah kontinu atau peubah kategoris atau kombinasi antara keduanya. Peubah terikat atau respon dalam regresi logistik merupakan kombinasi linier dari peubah bebas. Nilai peubah terikat selanjutnya akan ditransformasikan menjadi probabilitas dengan fungsi logit sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan nilai rasio peluang diterimanya suatu prediksi.

Geaghan (2005), menyatakan bahwa model logistik merupakan model yang didasarkan pada fungsi peluang logistik komulatif yang dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan pengaruh faktor bebas terhadap peluang munculnya respon yang bersifat dummy, yang diformulasikan sebagai berikut:

݌ ൌͳ ൅ ݁ݔ݌ͳ ି௓௜ͳ ൅݁ݔ݌ିሺఈାఉଵ௑ଵǥାఉ௜௑௜ሻͳ

Fungsi logistik kemudian diturunkan menjadi fungsi linear sehingga didapatkan formula untuk menduga peluang munculnya respon tertentu sebagai berikut:

൫ͳ ൅ ݁ݔ݌ି௓௜൯݌ ൌ ͳ݁ݔ݌ି௓௜ଵି௣

ଵି௣௣ ቁ ൌ ݁ݔ݌ሺఈାఉଵ௑ଵǥାఉ௜௑௜ሻ

dimana:

(p/1-p) = peluang responden untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat.

exp = bilangan natural (2,71828).

Zi = fungsi linear preferensi responden terhadap pengusahaan hutan rakyat

â0 = intersep


(41)

Hasil analisis akan diinterpretasikan dengan pendekatan nilai peluang atau probabilitas. Santoso (2000) mengungkapkan bahwa pengujian dan interpretasi model regresi logistik dapat terbagi ke dalam beberapa proses, yaitu: menilai kelayakan model, menilai kontribusi peubah bebas dalam model, menguji signifikasi pengaruh peubah bebas, dan menentukan nilai perbandingan peluang respon.

3.5.5 Analisis Ketersediaan Lahan

Analisis ketersediaan lahan adalah analisis yang difokuskan untuk mengetahui luasan dan sebaran lahan yang tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat berdasarkan preferensi responden sebagai subjek pengelola. Analisis ini menggunakan 6 kriteria dasar sebagai kriteria lahan yang diinginkan oleh responden sebagai lokasi membudidayakan tanaman keras berkayu dan mengusahakan hutan rakyat, yaitu: (1) status lahan, (2) jenis lahan, (3) kelerengan lahan, (4) jarak lahan dari pemukiman, (5) jarak lahan dari jalan kabupaten, dan (6) jarak lahan dari sumber air atau sungai. Tingkat kepentingan atau bobot kriteria ditentukan oleh responden menggunakan metode ranking.

Selanjutnya dilakukan analisis resiko terhadap lahan-lahan yang tergolong ke dalam lahan tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat, dengan faktor pembatas berupa rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang yang terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bima Tahun 2006-2025. Analisis resiko dilakukan untuk mendapatkan sebaran lahan-lahan prioritas untuk pembangunan dan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bima.


(42)

Tabel 3. Kriteria dasar yang digunakan dalam analisis ketersediaan lahan.

Kriteria Batasan

Operasional Indikator Keterangan

(1) (2) (3) (4)

Status lahan Status kepemilikan lahan

- Lahan milik / Non Kawasan Hutan - Lahan negara /

Kawasan Hutan

1.Bobot kriteria ditentukan dengan menggunakan metode ranking.

2.Rating indikator ditentukan berdasarkan prosentase terbesar (majority) dari tiap skor indikator.

3.Lahan tersedia yang dapat diprioritaskan sebagai lahan pengembangan hutan rakyat adalah area-area dengan nilai skor di atas nilai skor minimum yang ditentukan oleh responden

Jenis lahan Jenis lahan berdasarkan tipe penutupan lahannya.

- Pertanian lahan basah, - Pertanian lahan kering, - Padang rumput/savana, - Tanah terbuka dan

semak-belukar Kelerengan

lahan

Kelas kelerengan lahan

- Datar ( < 8%) - Landai (8 – 15%)

- Agak curam (16– 25 %)

- Curam (26 – 40%)

- Sangat curam (> 40%) Jarak

pemukiman

Jarak maksimum lahan dari pemukiman

- < 1 km - 1 – 10 km

- > 10 km Sumber air Jarak maksimum

lahan dari sungai

- < 200 m - 200 – 1000 m

- > 1000 m Aksesibilitas Jarak maksimum

lahan dari jalan Kabupaten.

- < 3 km - 3 – 6 km


(43)

Keterangan: Penetapan skor minimum Operasi spasial

Gambar 3. Diagram alir analisis ketersedian lahan pengembangan hutan rakyat berdasarkan preferensi responden.

Preferensi Responden Kriteria Lahan Indikator Pembobotan Nilai Minimum SKOR MINIMUM DATA INPUT Peta kawasan hutan Skoring status lahan Peta tutupan lahan Query jenis lahan Skoring jenis lahan Query pemukiman Peta tematik pemukiman Peta kelerengan lahan Skoring kelerengan lahan Peta pemukiman Buffering pemukiman Skoring jarak lahan dari pemukiman Peta jaringan jalan kabupaten Buffering jaringan jalan Skoring jarak lahan dari jalan kabupaten Peta jaringan sungai Buffering jaringan sungai Skoring jarak lahan dari sungai SKOR TOTAL Query lahan sesuai hutan rakyat Peta ketersediaan lahan untuk pengembangan hutan rakyat Analisis resiko Peta lahan prioritas untuk pengembangan hutan rakyat


(44)

Secara ringkas, rangkaian analisis yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram alir berikut:

Gambar 4. Diagram alir rangkaian analisis dalam penelitian. Data Primer Data Skunder

Analisis Karakteristik

dan Praktek Pengelolaan Hutan Rakyat

Analisis Kelayakan Usaha tani Hutan Rakyat

Analisis Preferensi Pengusahaan Hutan Rakyat

Analisis Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan

Hutan Rakyat

Model Pengelolaan Hutan Rakyat yang Sebaiknya Dikembangkan di


(45)

4.1 Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan

Kabupaten Bima merupakan salah satu kabupaten di Provinsi NTB dengan luas wilayah mencapai 22% dari total luas provinsi atau seluas 4 374 km2. Secara geografis, Kabupaten Bima berbatasan dengan Laut Flores di sebelah utara, Selat Sape di sebelah timur, Samudera Indonesia di sebelah selatan, dan Kabupaten Dompu di sebelah barat, atau tepatnya terletak pada garis 08➦08➈ ▲intan❣ ❯tara - 08➦57➈ Lintang Selatan, serta 117°40➈ - 119°24➈ Bujur Timur. Sejak tahun 2006, Kabupaten Bima telah mengalami pemekaran wilayah, dimana sebelumnya terdapat 14 wilayah kecamatan yang kemudian dimekarkan menjadi 18 kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 168 desa. Selain 168 desa tersebut, terdapat 9 wilayah setingkat desa yang merupakan unit pemukiman transmigrasi yang berlokasi di Kecamatan Madapangga, Langgudu, Lambu, dan Tambora.

Tabel 4. Kabupaten Bima dirinci berdasarkan kecamatan dan jumlah desa

Sumber: BPS Kabupaten Bima, 2010.

No. Kecamatan Jumlah

desa

Jumlah dusun

1. Ambalawi 6 38

2. Belo 8 41

3. Bolo 12 57

4. Donggo 8 34

5. Lambitu 5 17

6. Lambu 12 66

7. Langgudu 12 51

8. Madapangga 10 36

9. Monta 12 44

10. Palibelo 9 50

11. Parado 5 15

12. Sanggar 6 24

13. Sape 17 108

14. Soromandi 6 38

15. Tambora 5 11

16. Wawo 9 34

17. Wera 11 81


(46)

4.2 Topografi, Tanah, dan Iklim

4.2.1 Topografi

Wilayah Kabupaten Bima dikelilingi oleh beberapa pengunungan yaitu Gunung Tambora di Kecamatan Tambora, Gunung Sangiang di Kecamatan Wera, Gunung Maria di Kecamatan Wawo dan Gunung Soromandi di Kecamatan Donggo. Berdasarkan ketinggian dan kelerengan lahan, wilayah Kabupaten Bima dibedakan ke dalam 3 satuan morfologi utama yaitu morfologi pegunungan, morfologi perbukitan, dan morfologi dataran. Sekitar 32% dari wilayah Kabupaten Bima tergolong ke dalam morfologi perbukitan dan pegunungan. Satuan morfologi ini menyebar pada bagian tengah wilayah, membentang dari timur ke barat yang dicirikan oleh lahan berkelerengan lebih besar dari 40% dan ketinggian tempat lebih besar dari 500 mdpl. Satuan morfologi perbukitan dijumpai di wilayah bagian selatan Teluk Waworada yang dicirikan oleh dominasi lahan berkelerengan agak curam sampai curam. Satuan morfologi dataran menempati wilayah sekitar pantai Teluk Bima, dengan ciri ketinggian tempat antara 0-100 mdpl dengan kelerengan lahan datar sampai landai, dan menempati kurang lebih 22% dari luas wilayah Kabupaten Bima.

4.2.2 Tanah

Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Pulau Sumbawa, kelompok jenis tanah yang dijumpai di Kabupaten Bima terdiri dari kompleks Aluvial, Regosol, Litosol dan Mediteran. Masing-masing jenis tanah tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Kabupaten Bima, dengan kompleks Mediteran sebagai jenis tanah dominan mencapai luas 154 111 ha. Berdasarkan kedalaman efektif tanah, lebih dari 50% dari total wilayah Kabupaten Bima atau sebesar 225 920 ha digolongkan ke dalam kelompok solum atau kedalaman tanah antara 60-90 cm. Tingkat erosi yang tenjadi pada wilayah Kabupaten Bima relatif tinggi. Sebanyak 37.8% dari total luas Kabupaten Bima berada dalam kelas tingkat bahaya erosi berat dan 28.4% lainnya berada pada kelas tingkat bahaya erosi sangat berat.

4.2.3 Iklim dan Hidrologi


(1)

Lampiran 17. Matriks model Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sebagai salah satu alternatif rekomendasi model pengembangan hutan rakyat yang sebaiknya dikembangkan di Kabupaten Bima.

No. Komponen Karakteristik Uraian

(1) (2) (3) (4)

1. Tipe Hutan

Tanaman Rakyat (HTR)

Mengusahakan tanaman kehutanan dengan nilai ekonomi tinggi seperti Jati dan Mahoni, atau tanaman kehutanan dengan daur produksi yang pendek (fast growing) seperti Albizia dan Akasia secara monokultur.

2. Subjek pengelola

Masyarakat Perorangan, kelompok masyarakat atau koperasi yang berkedudukan di dalam atau disekitar kawasan hutan produksi.

3. Orientasi pengelolaan

Ekonomi dan ekologi

Dalam orientasi ekonomi, kayu hasil HTR akan dimanfaatkan oleh pengelola dengan jalan dijual (komersial) dan atau dimanfaatkan sebagian untuk keperluan rumah tangga pengelola (semi komersial). Dengan mengembangkan model HTR, selain memiliki fungsi ekonomi juga dapat memberikan manfaat ekologi berupa reboisasi dan rehabilitasi kawasan hutan produksi yang rusak.

4. Sumber pembiayaan

Pemerintah pusat

HTR dibangun dengan sumber pembiayaan dari dana reboisasi yang dikelola dan disalurkan oleh Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) bekerja sama dengan Bank BUMN. 5. Pola Mandiri, atau

kemitraan, atau developer

Dengan pola mandiri, masyarakat akan membentuk kelompok, kemudian pemerintah mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian kredit, pasar, dan pendampingan dari pemerintah daerah.

Dengan pola kemitraan, masyarakat akan membentuk kelompok yang kemudian diajukan oleh Bupati ke Mentri Kehutanan. Pemerintah menerbitkan SK IUPHHK-HTR ke individu dan menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar.

Dengan pola developer, BUMN/S sebagai developer akan membangun hutan tanaman rakyat dan kemudian diserahkan oleh Pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR. Selanjutnya biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit.

6. Manajemen pengelolaan

Menerapkan manajemen formal

Hutan rakyat model HTR dikelola sebagai suatu unit usaha formal, terencana dan terdokumentasi.

pdfM achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se ! Ge t your s now !

“ Thank you very m uch! I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobe's" A.Sar r as - USA


(2)

164

(1) (2) (3) (4)

7. Tenaga Kerja

Tenaga kerja keluarga dan komunal

Hutan rakyat model HTR dikelola dengan memanfaatkan tenaga kerja dalam keluarga atau tenaga kerja komunal jika dikelola oleh kelompok tani atau komunal.

8. Lokasi Tanah negara Hutan rakyat model HTR diusahakan di atas tanah negara di dalam kawasan hutan produksi yang tidak produktif (tutupan semak belukar dan tanah terbuka) yang dikonsesikan kepada masyarakat dengan luas minimum 15 ha, dan berbentuk kompartemen (kompak) untuk satu SK IUPHHK-HTR.

Tersedia seluas 18 201 ha lahan (Lampiran 18) yang dapat diusulkan untuk dicadangkan sebagai lokasi HTR di Kabupaten Bima

10. Pengolahan hasil

Menerapkan pengolahan hasil

Hutan rakyat yang dibangun harus mampu menerapkan pengolahan hasil untuk meningkatkan nilai tambah kayu , hingga minimal menjadi produk setengah pakai seperti kayu geregajian. Untuk itu, hutan rakyat harus dibangun dalam satu paket dengan industri kayu geregajian.

11. Pemasaran hasil

Bentuk jual kayu bulat dan kayu

geregajian

Masyarakat sebagai subjek pengelola diarahkan untuk menjual produk hutan rakyat dalam bentuk kayu bulat dan kayu geregajian. Pihak yang bertanggung jawab terhadap pemasaran hasil tergantung dari pola pengembangan yang ditetapkan (pola mandiri, pola kemitraan, atau pola developer).


(3)

Lampiran 18. Peta sebaran lahan yang dapat diusulkan untuk dicadangkan sebagai lokasi Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Bima.

pdfM achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se ! Ge t your s now !

“ Thank you very m uch! I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobe's" A.Sar r as - USA


(4)

165


(5)

RATO FIRDAUS SILAMON. Karakteristik Pengelolaan dan Analisis Ketersediaan Lahan Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Bima. Dibimbing oleh HARDJANTO dan M. BUCE SALEH.

Hutan rakyat dapat menjadi salah satu alternatif solusi penanganan masalah defisit kayu dan pemanfaatan lahan kritis. Di sisi lain, target pembangunan dan pengembangan hutan rakyat sering kali tidak berhasil dan menemui jalan buntu. Hal tersebut dapat terjadi karena perencanaan yang tidak optimal dan masih lemahnya basis data yang diperlukan dalam perencanaan pengembangan hutan rakyat itu sendiri. Melalui penelitian ini, penulis mencoba membangun basis data terkait pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bima, dengan jalan mengungkap bagaimana karakteristik dan praktek pengelolaannya, termasuk mengetahui apakah hutan rakyat layak untuk diusahakan dari segi bisnis, mengetahui faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat, dan pada karakteristik lahan seperti apa masyarakat bersedia untuk mengusahakan hutan rakyat dan membudidayakan tanaman keras berkayu. Basis data yang terbangun diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan masukan dalam merencanakan pembangunan dan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bima, termasuk untuk menetapkan model pengelolaan hutan rakyat yang sebaiknya dikembangkan.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif menggunakan kombinasi antara pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif dalam menjawab masalah penelitian. Pendekatan kualitatif lebih banyak digunakan untuk menggambarkan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga petani dan praktek pengusahaan hutan rakyat. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menjelaskan kelayakan pengusahaan hutan rakyat dari sisi bisnis, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat, dan mengidentifikasi sebaran lahan yang diinginkan oleh petani sebagai lokasi mengembangkan hutan rakyat dan membudidayakan tanaman keras berkayu. Discounted Cash Flow Analysis (DCF), Regresi Logistik, serta Multi Kriteria Analisis dan Analisis Spasial merupakan alat analisis yang digunakan dalam pendekatan kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan rakyat di Kabupaten Bima berkembang dengan model hutan rakyat murni atau sejenis, dengan Jati (Tectona

grandis) sebagai tanaman pokok yang diusahakan secara monokultur. Alasan

ekonomi merupakan alasan yang dikedapankan dalam mengusahakan hutan rakyat, dengan orientasi usaha bersifat semi komersil. Hutan rakyat dikelola secara sederhana, perorangan dan mandiri, tanpa perencanaan tanam, tidak terdokumentasi, serta tidak menerapkan teknologi untuk peningkatan produktivitas tanah dan tanaman. Lahan-lahan dengan karakteristik fisik agak curam, dekat dengan pemukiman dan sumber air, serta memiliki tingkat aksesibilitas tinggi sampai sedang adalah lahan-lahan yang pada umumnya diusahakan oleh masyarakat sebagai hutan rakyat dengan rata-rata luasan mencapai 0.9 ha.

pdfM achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se ! Ge t your s now !

“ Thank you very m uch! I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobe's" A.Sar r as - USA


(6)

Hutan rakyat pada umumnya oleh petani dikategorikan sebagai jenis pekerjaan sampingan, namun memiliki tingkat kontribusi yang cukup tinggi terhadap total pendapatan rumah tangga petani yaitu hingga mencapai 39.7%. Dari sisi finansial, usahatani hutan rakyat di Kabupaten Bima cukup menguntungkan, layak untuk dikembangkan, dan memiliki tingkat ketahanan yang cukup tinggi terhadap pengaruh inflasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai BCR sebesar 4.57, NPV sebesar Rp34 744 454, dan IRR sebesar 23.34%, dengan BI rate 6.5% sebagai acuan suku bunga investasi.

Umur, tingkat pendidikan, luas penguasaan lahan kering, ratio kebijakan insentif dan disinsentif, serta motivasi sosial dan motivasi ekologi merupakan peubah-peubah yang secara statistik mempengaruhi preferensi masyarakat untuk masuk ke dalam pengusahaan hutan rakyat, dimana luas penguasaan lahan kering sebagai peubah dengan faktor pengganda terbesar yaitu sebesar 3 705.7.

Teridentifikasi seluas 169 055 ha lahan yang tersedia dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bima, yang dinilai berdasarkan preferensi petani terhadap karakteristik lahan yang diinginkan sebagai tempat membudidayakan tanaman keras berkayu dan diusahakan sebagai hutan rakyat. Lahan-lahan tersebut tersebar di 18 kecamatan, dengan Kecamatan Soromandi sebagai kecamatan dengan sebaran lahan terluas yaitu seluas 21 809 ha.

Model hutan rakyat yang sebaiknya dikembangkan di Kabupaten Bima adalah model hutan rakyat murni dengan kelas pengusahaan Jati, atau berbagai komoditas tanaman kehutanan dan tanaman keras berkayu dengan nilai ekonomi tinggi lainnya. Dengan mengesampingkan isu pemantapan kawasan hutan, maka selain model hutan rakyat murni, model Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dapat pula dijadikan sebagai salah satu model alternatif yang sebaiknya dikembangkan, khususnya pada lahan-lahan tersedia dan sesuai hutan rakyat yang berada di dalam kawasan hutan produksi yang tidak produktif.

Kata kunci: hutan rakyat, kelayakan finansial, ketersediaan dan kesesuaian lahan, praktek pengelolaan, preferensi.