Praktek Pengelolaan Hutan Rakyat

secara ekslusif pemegang hak, c transferable, dimana hak dapat dialihkan kepada pihak lain secara penuh jual-beli maupun secara parsial sewa, gadai, dan d enforcebility, dimana hak-hak tersebut dapat ditegakkan.

5.3 Praktek Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengusahaan hutan rakyat di Kabupaten Bima, khususnya di lokasi penelitian telah berlangsung cukup lama yang ditunjukkan oleh rata-rata pengalaman petani mengusahakan hutan rakyat yang mencapai 26.3 tahun. Responden menyatakan bahwa sejak kecil telah diajarkan dan dilibatkan dalam budidaya tanaman kayu oleh orang tua mereka, sehingga diantara tanaman kayu yang tumbuh di lahan mereka pada saat ini terdapat beberapa batang yang ditanam bersama dengan orang tua mereka. Tujuan ekonomi, yaitu memperoleh uang tunai dalam rangka pemenuhan kebutuhan keluarga merupakan tujuan utama petani di lokasi penelitian dalam mengusahakan hutan rakyat. Hal tersebut sejalan dengan teori yang dinyatakan oleh Predo 2003 bahwa pada umumnya tujuan moneter menjadi tujuan utama petani dalam menanam pohon di lahannya, disamping tujuan-tujuan lain seperti tujuan estetika, perlindungan dan restorasi lingkungan. Inovasi dan ide pemanfaatan lahan dapat berasal dari dalam diri seseorang atau dari lingkungan sekitar. Sebanyak 65 responden di lokasi penelitian menyatakan bahwa ide memanfaatan lahan sebagai media membudidayakan tanaman keras lebih banyak berasal dari anjuran orang tua yang mewariskan lahan kepada mereka, 33 menyatakan atas kemauan mereka sendiri dan 2 karena pengaruh petani lain. Informasi tersebut menunjukkan bahwa kesadaran petani untuk menanami lahannya dengan jenis tanaman keras berkayu sudah cukup tinggi. Kesadaran tersebut memang sebagian besar didorong oleh motif ekonomi, namun disadari atau tidak hal tersebut secara tidak langsung turut berperan dalam upaya konservasi lahan dan rehabilitasi lahan-lahan kritis. Seluruh responden petani mengusahakan lahannya sebagai hutan rakyat secara monokultur dengan Jati Tectona grandis sebagai tanaman pokok yang dikelola secara sederhana. Kesederhanaan pengelolaan tersebut dapat terlihat dari tiga aspek berikut, yaitu: 1 tidak adanya perencanaan tanam yang jelas, 2 tidak ada usaha peningkatan produktivitas tanah dan tanaman melalui pengolahan tanah pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA dan pemberian pupuk, serta 3 tidak ada kegiatan pendokumentasian dan pembukuan arus kas. Responden tidak mengenal sistem silvikultur tertentu dalam mengelola hutan rakyat miliknya, namun dengan melihat kegiatan yang mereka lakukan terutama dalam pengadaan bibit dan penentuan tebangan, maka sistem pengelolaan yang mereka lakukan dapat dikategorikan ke dalam sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia TPTI dengan permudaan alam. Responden mengusahakan jati dengan pola tanam monokultur, karena dengan pola tersebut perawatan tegakan lebih mudah dilakukan. Pemilihan jati sebagai komoditi utama didasari oleh beberapa alasan, yaitu: 1 mewarisi lahan yang telah ditanami jati, 2 pasar yang terjamin karena selalu tersedia pembeli yang menampung hasil panen, 3 harga jual kayu jati yang cukup tinggi dan tidak terlalu berfluktuasi sehingga menguntungkan secara ekonomi, 4 bibit jati relatif mudah untuk didapatkan, dan 5 jati memiliki kemampuan adaptasi yang cukup tinggi terhadap kondisi lahan responden yang kering dan berbatu sehingga membudidayakan jati relatif mudah untuk dilakukan. Semi komersial merupakan orientasi produksi yang dikedepankan oleh petani responden, dimana tujuan utama pemanfaatan hasil berupa kayu adalah untuk dijual tetapi tetap membuka ruang untuk pemanfaatan sendiri oleh rumah tangga petani, baik untuk keperluan energi atau kayu bakar maupun untuk keperluan meubeler dan kayu pertukangan. Rata-rata jumlah tanaman Jati per hektar yang ditanam oleh responden adalah 542 batang dengan rata-rata diameter batang pada tanaman umur 20 tahun ke atas sebesar 22 cm dan tinggi pohon 7 m, sehingga taksiran volume mencapai 0.2 m 3 per batang. Nilai taksiran volume per batang tersebut tergolong rendah untuk tanaman Jati berumur 20 tahun yang berarti juga bahwa riap Jati yang diusahakan cukup rendah. Rendahnya nilai riap Jati hutan rakyat di lokasi penelitian, selain diduga disebabkan karena kondisi tapak dan bonita yang rendah, juga diduga terjadi karena tidak adanya penerapan teknologi silvikultur intensif, baik berupa penggunaan bibit unggul, pengaturan tanam jumlah dan jarak tanam, maupun penggunaan pupuk dalam tahapan pembinaan tanaman. Masalah utama pengelolaan yang sering dihadapi petani hutan rakyat adalah masalah transportasi dan pencurian kayu. Sebanyak 48 responden menyatakan transportasi sebagai masalah utama dalam mengelola hutan rakyat, terutama pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA ketika mereka memanen kayu. Karena keterbatasan tersebut, mereka lebih memilih memanen kayu miliknya dengan sistem borongan atau menjualnya dalam bentuk pohon berdiri. Selebihnya, sebanyak 15 responden menyatakan pencurian kayu sebagai sebagai masalah utama dalam pengelolaan, dan 37 lainnya menyatakan tidak menghadapi kendala berarti dalam pengelolaan hutan rakyat. Informasi lengkap praktek pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian akan dikelompokkan ke dalam subsistem produksi, subsistem pengolahan hasil dan subsistem pemasaran. 5.3.1 Subsistem Produksi Subsistem produksi dalam pengelolaan hutan rakyat dapat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. 1. Penanaman Kegiatan penanaman di lokasi penelitian merupakan rangkaian kegiatan persiapan lahan sampai penanaman bibit pada areal tanam yang dilakukan pada awal musim hujan, setelah sawah-sawah milik responden selesai digarap dan ditanami padi. Rangkaian kegiatan tersebut dilakukan sendiri oleh resonden dan dibantu oleh beberapa anggota keluarga. Responden memulai kegiatan penanaman dengan melakukan persiapan lapang. Kegiatan persiapan lapang di lokasi penelitian hanya berupa kegiatan pembersihan lahan, tanpa kegiatan pengolahan tanah. Responden melakukan pembersihan lahan dengan sistem tebas tanpa bakar. Dari wawancara diketahui bahwa teknik piringan merupakan teknik pembersihan lahan yang paling banyak digunakan oleh responden. Sebanyak 72 responden melakukan pembersihan lahan dengan teknik piringan, 24 responden membersihkan lahan dengan teknik total dan sisanya sebesar 4 responden menggunakan teknik jalur. Adanya variasi teknik pembersihan lahan di lokasi penelitian lebih disebabkan oleh faktor karakteristik fisik alami lahan. Pembersihan lahan dengan teknik piringan dipilih apabila pada lahan yang akan ditanami banyak terdapat singkapan batu. Teknik total dilakukan jika lahan yang akan ditanami relatif bersih dan hanya ditutupi oleh beberapa rumpun rumput dan pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA belukar. Sedangkan teknik jalur digunakan apabila lahan yang akan ditanami relatif datar dan hanya sedikit ditemukan singkapan batu. Tahap selanjutnya setelah persiapan lapang adalah tahap pengadaan bibit. Teridentifikasi empat sumber dimana responden memperoleh bibit tanaman jati yaitu melalui pembibitan sendiri, membeli bibit, permudaan alam, dan bantuan pemerintah. Bibit permudaan alam merupakan bibit yang paling banyak digunakan dan di tanam oleh responden. Sebesar 81 responden menyatakan memperoleh bibit dari permudaan alam. Bibit-bibit permudaan alam tersebut banyak ditemukan responden pada lahan miliknya atau diperoleh dengan jalan meminta dari petani lain. Tingginya jumlah responden yang mengandalkan sumber bibit dari permudaan alam dapat menjadi salah satu indikator bahwa di lokasi penelitian penerapan sistem silvikultur intensif belum berkembang dengan baik. Karakteristik bibit jati yang ditanam oleh responden cukup bervariasi. Umur bibit jati yang ditanam bervariasi antara 1sampai 12 bulan dengan rata-rata umur bibit 4 bulan. Bibit-bibit yang ditanam didominasi oleh bibit-bibit jati pada kelas umur kurang dari 5 bulan 59 dan kelas umur antara 5 sampai 10 bulan 35, dimana sisanya sebesar 7 merupakan bibit-bibit jati dengan umur lebih dari 10 bulan. Rata-rata tinggi bibit jati yang ditanam adalah 21 cm dengan kisaran tinggi antara 5 sampai 40 cm. Sebanyak 85 responden menyatakan bahwa bibit jati yang ditanam adalah bibit-bibit jati pada kisaran tinggi 10 sampai 30 cm, 9 dengan tinggi kurang dari 10 cm, dan 7 dengan tinggi lebih dari 30 cm. Tabel 22. Distribusi sumber bibit jati hutan rakyat responden Sumber memperoleh bibit Jati Lokasi Jumlah dan frekwensi Kecamatan Wawo Kecamatan Palibelo Kecamatan Madapangga Pesa Ntori Roi Nata Woro Mpuri Membeli 1 1 2 Pembibitan Sendiri 2 2 4 Permudaan Alam 8 8 6 8 3 4 37 81 Bantuan Pemerintah 3 3 6 13 Jumlah 8 8 6 8 8 8 46 100 Sumber: Data Primer, 2010. pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA Responden petani hutan rakyat tidak membuat jalur tanam dan melakukan pengajiran sebelum membuat lubang tanam. Lubang tanam dibuat dengan ukuran bervariasi dengan rata-rata ukuran panjang 15 cm, lebar 15 cm dan tinggi 17 cm. Bibit jati tidak langsung ditanam setelah lubang tanam digali. Lubang tanam akan dibiarkan terbuka selama 3 sampai 4 hari dengan tujuan untuk meningkatkan kelembaban tanah dan menampung air hujan. Pola tanam yang digunakan adalah pola monokultur dengan jarak tanam bervariasi pada jarak 1,5 m x 2 m, 2 m x 2 m dan 2,5 m x 2 m. Dalam prakteknya, variasi jarak tanam tersebut bersifat tidak mengikat karena adanya batasan kondisi karakteristik fisik lahan. Ketika bidang tanam tidak memungkinkan untuk dibuat lubang tanam karena kondisi singkapan batuan dan kelerengan lahan, maka responden tidak akan membuat lubang tanam pada bidang tersebut. Hal ini menyebabkan jarak tanam terlihat tidak beraturan. Gambar 8. Kondisi lahan yang menyebabkan jarak tanam tidak beraturan. 2. Pemeliharaan dan Pembinaan Tanaman Pemeliharaan dan pembinaan tanaman yang dilakukan oleh responden terbatas pada kegiatan penyulaman, pemangkasan cabang, dan penjarangan. Responden tidak melakukan kegiatan pemupukan dengan alasan tanpa dipupuk jati yang ditanam tetap akan tumbuh. Responden juga tidak melakukan kegiatan pemberantasan hama dan penyakit karena sangat jarang ditemukan tanaman Jati mereka terserang hama dan penyakit. Lebih lanjut dinyatakan bahwa masa kritis lebih banyak ditemukan ketika tanaman berumur 1 sampai 2 tahun. Pada masa tersebut banyak tanaman ditemukan mati dan kering karena kekurangan air sehingga pada periode tersebut sering dilakukan penyulaman. Responden tidak pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA mengalokasikan waktu tertentu untuk melakukan penyulaman. Penyulaman dilakukan secara insidental oleh petani ketika tersedia waktu luang untuk mengontrol lahannya. Pemangkasan cabang biasa dilakukan oleh responden. Sebanyak 85 responden melakukan tahapan ini. Pemangkasan cabang dilakukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman Jati mereka. Responden mengontrol pertumbuhan cabang dengan cara memangkas cabang dan hanya menyisakan sekitar 30 cabang dari pucuk tanaman. Pemangkasan umumnya dilakukan oleh responden ketika tanaman berumur 5 sampai 6 tahun, dimana cabang-cabang hasil pemangkasan dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Penjarangan merupakan upaya menurunkan persaingan ruang tumbuh di antara pohon dalam rangka meningkatkan pertumbuhan dan kualitas kayu tegakan tinggal. Romansyah 2007 menyatakan bahwa frekwensi kegiatan penjarangan pada kelas hutan rakyat sangat bervariasi tergantung pada keadaan hutan rakyat itu sendiri. Semakin tinggi kerapatan tegakan maka diperlukan frekwensi dan intensitas penjarangan yang lebih banyak. Di lokasi penelitian, tidak ditemukan kegiatan penjarangan dengan alasan teknis untuk menurunkan persaingan ruang tumbuh. Responden melakukan penjarangan tegakan lebih disebebkan oleh alasan ekonomi, dimana penjarangan tegakan akan dilakukan jika sewaktu-waktu membutuhkan uang tunai dan kayu bakar. Selain itu, tidak ditemukan pula pendekatan teknis dalam menentukan jumlah tanaman yang dijarangi. Jumlah tanaman yang dijarangi akan tergantung dari seberapa besar kebutuhan mereka akan uang tunai dan kayu bakar. Gambar 9. Kayu bakar hasil pemangkasan cabang dan penjarangan tegakan. pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA 3. Pemanenan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan meliputi perencanaan pemanenan, pembukaan wilayah hutan, penebangan, penyaradan, operasi landing, dan pengangkutan, yang merubah pohon dan biomassa lain menjadi bentuk yang dapat dipindahkan sehingga bermanfaat bagi kehidupan dan ekonomi masyarakat Elias 2008. Awang 2007 menyatakan bahwa dalam pengelolaan hutan rakyat terkadang petani menerapakan sistem tebang butuh ketika memanen hasil berupa kayu. Dalam sistem tebang butuh, pemanenan pohon-pohon penghasil kayu dilandasi pada kebutuhan ekonomi keluarga yang bersifat insidentil. Pohon-pohon akan dipanen ketika petani dihadapkan pada keadaan harus memenuhi kebutuhan keluarga yang tidak terduga seperti biaya kesehatan, biaya pendidikan, atau biaya seremonial dalam menghitankan dan menikahkan anak. Penerapan sistem tebang butuh juga ditemukan di lokasi penelitian. Hal tersebut dapat dilihat dari distribusi waktu responden dalam memanen kayu. Sebanyak 57 responden menyatakan memanen kayu saat seketika waktu membutuhkan uang tunai walau pohon belum memasuki umur masak tebang, 28 menyatakan memanen kayu ketika harga sedang tinggi walau pohon belum memasuki umur masak tebang, dan sisanya sebanyak 15 menyatakan memanen kayu hanya ketika pohon telah memasuki umur masak tebang. Tabel 23. Distribusi waktu responden memanen kayu. Distribusi waktu memanen kayu Lokasi Jumlah dan frekwensi Kecamatan Wawo Kecamatan Palibelo Kecamatan Madapangga Pesa Ntori Roi Nata Woro Mpuri Ketika pohon memasuki umur masak tebang 1 2 1 1 1 1 7 15 Ketika harga tinggi walau pohon belum memasuki umur masak tebang 5 2 1 1 2 2 13 28 Seketika waktu membutuhkan uang walau pohon belum masak tebang 2 4 4 6 5 5 26 57 Jumlah 8 8 6 8 8 8 46 100 Sumber: Data Primer, 2010. Pemanenan hasil hutan rakyat berupa kayu pada umumnya tidak dilakukan sendiri oleh pemilik hutan rakyat, melainkan dilakukan oleh pihak pembeli kayu. Begitu pula halnya yang terjadi di lokasi penelitian, sebanyak 83 responden pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA menyatakan pemanenan hasil hutan rakyat mereka dilakukan oleh pihak pembeli kayu, dan selebihnya sebanyak 17 responden menyatakan melakukan pemanenan hasil sendiri. Dimensi minimum pohon yang dijual biasanya pada kelas diameter 20-30 cm atau ketika dirasakan bisa diolah untuk menjadi kayu kaso bangunan. Menjual hasil dalam bentuk pohon berdiri, kondisi lahan yang berat, ketersediaan waktu, serta keterbatasan tenaga kerja dan biaya merupakan alasan yang mendasari keputusan responden untuk menyerahkan kegiatan pemanenan pada pihak pembeli. Pada kelompok responden yang melakukan pemanenan sendiri, keputusan memanen sendiri disebabkan oleh alasan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Selain itu, alasan kondisi lahan yang tidak terlalu berat dan dekat dengan jalan sehingga mudah untuk diakses juga menjadi pertimbangan responden dalam pengambilan keputusan tersebut. Pohon-pohon dipanen bersama anggota keluarga responden atau diborongkan kepada orang lain. Dalam sistem borongan, responden rata-rata menggunakan 4 sampai 5 tenaga borongan untuk satu kali panen dengan biaya panen berkisar antara Rp45 000 sampai Rp50 000 per pohon. Biaya tersebut sudah mencakup biaya penebangan, penyaradan, dan pengangkutan sampai tempat penimbunan yang biasanya berlokasi di pekarangan atau di tepi jalan di depan rumah responden. Gambar 10. Kayu jati hasil hutan rakyat responden. Curahan dan penggunaan tenaga kerja pada usaha tani hutan rakyat relatif jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan usaha tani intensif seperti budidaya padi dan tanaman pangan. Dengan meniadakan penggunaan tenaga kerja pada kegiatan pemanenan, maka rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam subsistem produksi pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA hutan rakyat di lokasi penelitian adalah sebesar 24.88 OHha. Nilai tersebut jauh di bawah nilai penggunaan tenaga kerja untuk budidaya pertanian intensif yang pada umumnya membutuhkan curahan kerja lebih dari 50 OHha untuk satu periode produksi. Proporsi penggunaan tenaga kerja terbesar ditemukan pada kegiatan penanaman termasuk pembuatan lubang tanam yaitu sebesar 39 dengan rata-rata penggunaan tenaga kerja sebesar 11.05 OHha, diikuti oleh kegiatan penjarangan tegakan sebesar 29 8.13 OHha, pruning atau pemangkasan cabang sebesar 17 4.74 OHha, persiapan lahan sebesar 11 3.06 OHha, dan penyulaman tanaman sebesar 4 1.10 OHha. Gambar 11. Diagram distribusi penggunaan tenaga kerja dalam subsistem produksi hutan rakyat di lokasi penelitian. 5.3.2 Subsistem Pengolahan Hasil Pengolahan hasil merupakan suatu upaya peningkatan nilai tambah hasil produksi. Pengolahan hasil hutan rakyat umumnya berupa kegiatan merubah bentuk kayu bulat sebagai produk hulu menjadi bentuk produk setengah jadi dan produk siap pakai seperti kayu geregajian, kayu pertukangan dan meubeler. Di lokasi penelitian tidak ditemukan responden yang melakukan pengolahan kayu pasca pemanenan untuk tujuan komersil atau di jual. Responden mengolah hasil panen hanya jika membutuhkannya untuk keperluan kayu pertukangan keluarga. Untuk keperluan tersebut, selain mengolah kayu bulatnya sendiri secara sederhana, responden terkadang juga menggunakan jasa penggeregajian yang berada pada satu desa atau satu kecamatan yang sama dengan responden. Biaya jasa penggeregajian berkisar antara Rp60 000m 3 sampai Rp100 000m 3 , tergantung pada jenis dan ukuran kayu pertukangan yang dibutuhkan. pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA 5.3.3 Subsistem Pemasaran Kegiatan pemasaran hasil produksi terutama pada tataran sistem pemasaran, stabilitas harga, serta saluran dan kelembagaan pemasaran merupakan masalah yang sangat penting dan dapat menentukan keberhasilan dan keberlanjutan kegiatan pengusahaan hutan rakyat Hayono 1996. Sistem pemasaran secara eceran merupakan sistem pemasaran hasil hutan rakyat yang berkembang di lokasi penelitian. Kayu hasil hutan rakyat umumnya dipasarkan secara eceran dalam bentuk pohon berdiri dan kayu bulat. Harga jual dalam bentuk pohon berdiri berkisar antara Rp200 000pohon sampai Rp400 000pohon, dengan kisaran diameter batang 20-30 cm dan tinggi 6-8 m. Untuk hasil dalam bentuk kayu bulat, responden memasarkannya pada kisaran harga Rp300 000batang sampai Rp. 500 000batang. Selain dipengaruhi oleh faktor dimensi kayu, harga jual pohon berdiri dan kayu bulat juga dipengaruhi oleh kondisi lahan hutan rakyat responden. Semakin berat kondisi lahan akan meningkatkan biaya pemanenan yang harus dikeluarkan, hal tersebut menyebabkan responden menaikan harga jual kayu dalam rangka mempertahankan tingkat keuntungan yang akan diperolehnya. Kestabilan harga komoditas hasil hutan rakyat pada tingkat yang wajar dapat merangsang dan mendorong petani hutan rakyat sebagai produsen untuk terus mengupayakan keberlanjutan usahanya. Responden mengungkapkan dalam wawancara bahwa harga jual jati mereka relatif stabil. Harga yang berlaku selama ini, oleh responden dirasakan cukup memberikan keuntungan. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah daerah Kabupaten Bima yang menetapkan kebijakan harga dasar untuk jenis-jenis barang yang dikenai pajak termasuk kayu Jati sebagai salah satu hasil hutan rakyat. Dalam SK Bupati Bima Nomor. 429 Tahun 2001, telah ditentukan limit harga terendah dan tertinggi untuk kayu bulat Jati, yaitu sebesar Rp900 000m 3 limit bawah dan Rp1 500 000m 3 limit atas. Jika mengasumsikan satu batang pohon yang dijual oleh responden memiliki rata-rata volume kayu bulat sebesar 1,6 m 3 , maka harga jual maksimum per m 3 untuk bentuk pohon berdiri hanya sebesar Rp640 000m 3 dan sebesar Rp800 000m 3 untuk bentuk jual kayu bulat. Tingkat harga tersebut masih berada di bawah harga terendah untuk jenis Jati dalam bentuk kayu bulat. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat ruang yang bisa dimanfaatkan oleh petani hutan rakyat untuk pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA meningkatkan atau minimal mempertahankan posisi tawar mereka ketika memasarkan kayu. Romansyah 2007 menyatakan bahwa lancarnya pemasaran dan aliran kayu hasil hutan rakyat dari petani ke konsumen sangat didukung oleh keberadaan pelaku, agen, dan lembaga-lembaga pemasaran. Dari wawancara dengan responden dan beberapa informan kunci, teridentifikasi 7 pelaku pemasaran yang mengalirkan produk kayu rakyat di lokasi penelitian, yaitu: 1 petani, 2 pedagang pengepul, 3 industri penggeregajian, 4 meubeler, 5 toko bangunan, 6 industri kecil perakitan dan reparasi kapal laut, dan 7 konsumen akhir. Gambar 12. di bawah ini menunjukan sebelas saluran pemasaran yang mengalirkan kayu rakyat dari petani sebagai produsen sampai ke konsumen akhir. Gambar 12. Diagram aliran kayu rakyat jati di kokasi penelitian. Saluran pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran atau banyaknya perantara yang dilalui oleh suatu produk. Limbong dan Sitorus 1985 serta Amir 2005 menyatakan bahwa berdasarkan jumlah perantara yang dilalui oleh suatu produk dari produsen ke konsumen, maka Petani Pedagang Pengepul Industri Penggeregajian Kayu Meubeler Toko Bangunan Industri Kecil Perakitan dan Reparasi Kapal Konsumen Pbi Kb Pbi Kb Kb Kp Kp Kp Kp Kp Pm Kk Kb Pbi Keterangan: Pbi = Pohon berdiri Kb = Kayu bulat Kp = Kayu pertukangan Pm = Produk meubel Kk = Kapal kayu Kp pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA saluran pemasaran dapat dikategorikan ke dalam 4 tingkat saluran, yaitu: 1 saluran non-tingkat zero level channel dimana produsen langsung menjual produknya ke konsumen, 2 saluran satu tingkat one level channel dimana saluran terbentuk menggunakan satu perantara, 3 saluran dua tingkat two level channel dimana saluran terbentuk menggunakan dua perantara, dan 4 saluran tiga tingkat three level channel dimana saluran terbentuk menggunakan tiga perantara. Tabel 24. Saluran pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian. Saluran pemasaran Tingkat saluran pemasaran Uraian Saluran 1 zero level channel Petani – Konsumen Saluran 2 one level channel Petani - Pedagang Pengepul - Konsumen Saluran 3 one level channel Petani - Industri Penggeregajian Kayu - Konsumen Saluran 4 two level channel Petani - Pedagang Pengepul - Toko Bangunan - Konsumen Saluran 5 two level channel Petani - Pedagang Pengepul - Industri Penggeregajian Kayu - Konsumen Saluran 6 two level channel Petani - Industri Penggeregajian Kayu - Toko Bangunan - Konsumen Saluran 7 two level channel Petani - Industri Penggeregajian Kayu - Meubeler - Konsumen Saluran 8 two level channel Petani - Industri Penggeregajian Kayu - Industri Kecil Perakitan dan Reparasi Kapal Laut - Konsumen Saluran 9 three level channel Petani - Pedagang Pengepul - Industri Penggeregajian Kayu - Toko Bangunan - Konsumen Saluran 10 three level channel Petani - Pedagang Pengepul - Industri Penggeregajian Kayu - Meubeler - Konsumen Saluran 11 three level channel Petani - Pedagang Pengepul - Industri Penggeregajian Kayu - Industri Kecil Perakitan dan Reparasi Kapal Laut - Konsumen Sumber: Data Primer, 2010. Berdasarkan jumlah perantara yang terlibat dalam pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian, maka saluran dua tingkat saluran 4, 5, 6, 7, dan 8 merupakan jenis saluran pemasaran yang paling banyak ditemui. Saluran tiga tingkat saluran 9, 10, dan 11 merupakan saluran terbanyak kedua, yang seterusnya diikuti oleh saluran satu tingkat saluran 2 dan 3 dan saluran non-tingkat saluran 1. Pada saluran 1, petani menjual kayunya secara langsung kepada konsumen akhir dalam bentuk pohon berdiri dan kayu bulat. Dari wawancara diperoleh pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA informasi bahwa konsumen akhir yang membeli kayu dalam bentuk pohon berdiri dan kayu bulat adalah konsumen yayasan pendidikan swasta seperti Madrasah yang memerlukan kayu untuk keperluan pembangunan gedung sekolah. Ada kearifan tersendiri yang diterapkan oleh responden untuk menyikapi jenis konsumen ini. Dengan mengedepankan alasan ibadah, responden memberikan potongan setengah harga untuk kayu-kayunya dan bahkan memberikannya secara cuma-cuma apabila kayu diperuntukan untuk pembangunan Masjid. Pada saluran 2 dan 3, petani menjual kayunya dalam bentuk pohon berdiri dan kayu bulat kepada pedagang pengepul dan industri penggeregajian. Peran industri penggeregajian sebagai perantara adalah mengolah kayu menjadi kayu geregajian dan kayu pertukangan yang selanjutnya dijual kepada konsumen akhir. Pedagang pengepul juga menjual kayu kepada konsumen akhir dalam bentuk kayu geregajian dan pertukangan. Pedagang pengepul memanfaatkan jasa penggeregajian rental sewa untuk mengolah kayu yang dibelinya dari petani sebelum dijual kepada konsumen akhir. Pada saluran 4, 5, 6, 7, dan 8, petani menjual kayunya dalam bentuk pohon berdiri dan kayu bulat. Pedagang pengepul berperan sebagai perantara pertama pada saluran 4 dan 5, yang kemudian menjual kayu kepada industri penggeregajian dalam bentuk kayu bulat, serta menjual kayu dalam bentuk kayu pertukangan kepada toko bangunan. Selanjutnya, industri penggeregajian kayu dan toko bangunan sebagai perantara tingkat dua melepas kayu dalam bentuk kayu pertukangan kepada konsumen akhir. Pada saluran 6, 7, dan 8, industri penggeregajian kayu berperan sebagai perantara pertama yang melepas kayu kepada perantara tingkat dua toko bangunan, meubeler, dan industri kecil perakitan dan reparasi kapal laut dalam bentuk kayu pertukangan. Selanjutnya toko bangunan menjual kayu kepada konsumen akhir dalam bentuk kayu pertukangan, meubeler menjual kayu kepada konsumen akhir dalam bentuk produk meubeler, dan industri kecil perakitan dan reparasi kapal laut menjual kayu dalam bentuk produk kapal laut kepada konsumen akhir nelayan. Seperti halnya pada saluran-saluran sebelumnya, pada saluran 9, 10, dan 11, petani juga melepas kayu kepada pedagang pengepul sebagai perantara pertama dalam bentuk pohon berdiri dan kayu bulat. Tidak ada perbedaan dari saluran- pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA saluran ini saluran 9, 10, dan 11 dengan saluran-saluran sebelumnya saluran 4 sampai saluran 8, jika didasarkan pada bentuk kayu yang diterima oleh tiap perantara sampai ke konsumen akhir. Yang menjadi faktor pembeda hanyalah jumlah perantara yang mengalirkan kayu rakyat dari petani sampai ke konsumen akhir, dimana pada saluran 9, 10, dan 11 terdapat 3 perantara yang terlibat dalam aliran kayu. Gambar 13. Industri meubeler dan industri kecil perakitan dan reparasi kapal laut sebagai pelaku dalam pemasaran kayu rakyat. Proses terbentuknya harga pasar dan kuantitas produk yang beredar di pasar ditentukan oleh struktur pasar yang berkembang. Struktur pasar berkaitan dengan suasana kompetitif antar produsen dan antar konsumen. Sudiyono 2002 mendifinisikan struktur pasar sebagai sifat, bentuk, dan karakteristik suatu pasar atas dasar keadaan supply dan demand, ukuran konsumen dan produsen, keadaan dan aksesibilitas produk, serta tingkat pengetahuan terhadap harga dan struktur biaya produksi. Pada kasus kayu rakyat, Setyawan 2002 menyatakan bahwa pada daerah-daerah terpencil struktur pasar kayu rakyat yang terbentuk cenderung monopsoni, namun pada beberapa kasus banyak ditemukan persaingan semu antar perantara atau pelaku pasar sehingga menunjukkan kecenderungan struktur pasar yang lebih kompetitif atau oligopsoni. Berdasarkan jumlah konsumen yang terlibat, maka struktur pasar kayu rakyat yang terbentuk di lokasi penelitian menunjukkan kecenderungan struktur pasar oligopsoni. Sebanyak 78 responden menyatakan melayani 1 sampai 5 pembeli kayu, 13 melayani lebih dari 5 pembeli, dan 9 lainnya menyatakan hanya melayani 1 orang pembeli. Posisi konsumen atau pembeli kayu tersebut pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA pada umumnya terkonsentrasi atau berada pada satu desa yang sama dengan responden. Responden menyatakan sebanyak 63 konsumen kayu rakyat berada pada satu desa yang sama dengan mereka, dan selebihnya sebanyak 37 menyatakan bahwa konsumen mereka bertempat tinggal di luar desa mereka namun masih berada pada satu kecamatan yang sama. Tabel 25. Distribusi jumlah konsumen kayu rakyat jati di lokasi penelitian. Jumlah konsumen Lokasi Jumlah dan frekwensi Kecamatan Wawo Kecamatan Palibelo Kecamatan Madapangga Pesa Ntori Roi Nata Woro Mpuri Hanya 1 pembeli 1 3 4 9 1 sampai 5 pembeli 7 8 6 4 5 6 36 78 Lebih dari 5 pembeli 4 2 6 13 Jumlah 8 8 6 8 8 8 46 100 Sumber: Data Primer, 2010. Kecenderungan terbentuknya struktur pasar kayu yang bersifat oligopsoni di lokasi penelitian tidak lepas dari daya tarik kayu Jati itu sendiri sebagai produk hutan rakyat. Kayu Jati merupakan jenis kayu pertukangan dengan kelas awet dan kelas kuat I dan II. Selain karena teksturnya yang indah, kayu Jati sering menjadi pilihan utama sebagai material bangunan dan bahan baku meubeler, sehingga permintaan terhadap kayu ini cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan cukup banyak pelaku yang tertarik melibatkan diri dalam saluran pemasaran kayu Jati hasil hutan rakyat. Peminat-peminat tersebut menangkap peluang mendapatkan margin keuntungan yang cukup tinggi dengan membeli kayu dari petani dengan harga di bawah harga dasar kayu bulat jenis Jati yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bima, dan menjualnya kembali dalam bentuk yang sama atau dalam bentuk kayu olahan pada tingkat harga yang jauh lebih tinggi.

5.4 Analisis Kelayakan Usaha Tani Hutan Rakyat