Penguasaan Lahan Hutan Rakyat

produksi dalam usaha tani karena tersedianya tenaga kerja ➇ gratis ✁ dalam keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara komulatif, rata-rata jumlah tanggungan keluarga responden adalah sebesar 2.8 jiwa atau berkisar pada 3 jiwa per kepala keluarga. Rata-rata jumlah tanggungan pada kelompok petani hutan rakyat adalah sebesar 2.9 jiwa. Jumlah tersebut tidak berbeda jauh dengan rata- rata jumlah tanggungan pada kelompok petani non hutan rakyat yaitu sebesar 2.8 jiwa. Rendahnya rata-rata jumlah tanggungan keluarga disebabkan karena sebagian besar anak-anak mereka telah berumah tangga dan hidup mandiri. Tabel 13. Rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani responden Kecamatan Desa Rata-rata jumlah tanggungan jiwa Petani HR Petani non HR Total petani HR dan non HR Wawo Pesa 3.3 3.4 3.3 Ntori 2.1 2.0 2.0 Palibelo Roi 2.1 2.9 2.6 Nata 3.9 2.9 3.4 Madapangga Woro 2.6 2.4 3.0 Mpuri 2.9 2.4 2.7 Rata-rata 6 Desa 2.9 2.8 2.8 Sumber: Data Primer, 2010.

5.2 Penguasaan Lahan Hutan Rakyat

Berbeda dengan petani hutan rakyat di Pulau Lombok yang terkadang memanfaatkan pekarangan dan sebagian petak sawahnya untuk ditanami tanaman keras berkayu, maka petani di Kabupaten Bima, khususnya di lokasi penelitian memberi batasan yang jelas tentang lokasi membudidayakan tanaman keras. Petani di lokasi penelitian hanya menanam tanaman keras pada lahan-lahan kering dan membudidayakan tanaman padi pada lahan basah yang mereka kuasai. Hal tersebut dapat dipahami karena rendahnya luasan lahan teririgasi yang tersedia di Kabupaten Bima, sehingga ketika seorang petani menguasai sebidang lahan basah maka lahan tersebut akan dioptimalkan pemanfaatannya untuk budidaya padi dan tanaman pangan. Berikut disajikan beberapa karakteristik lahan hutan rakyat yang dikuasai oleh petani di lokasi penelitian, meliputi asal-usul lahan, luas dan ciri kekompakan lahan, karakteristik fisik lahan, serta aspek legal penguasaan lahan. pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA 5.2.1 Asal-usul Lahan Hutan Rakyat Mayoritas lahan hutan rakyat yang dikuasai oleh petani di lokasi penelitian merupakan lahan milik yang diwariskan oleh orang tua mereka. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebesar 76 responden menguasai lahan hutan rakyat yang berasal dari warisan orang tua, dimana selebihnya merupakan lahan-lahan kering yang berasal dari membuka lahan terlantar 13, membeli lahan 9 dan memanfaatkan lahan komunal atau tanah kas desa 2. Temuan tersebut dapat menjadi indikasi bahwa usaha tani hutan rakyat di Kabupaten Bima pada umumnya merupakan usaha yang telah menjadi tradisi turun-temurun. Tabel 14. Asal-usul lahan hutan rakyat responden Kecamatan Desa Asal lahan hutan rakyat a b c d Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Wawo Pesa 8 100 Ntori 2 25 6 75 Palibelo Roi 6 100 Nata 1 13 5 75 1 13 1

13 Madapangga

Woro 1 13 6 75 1 13 Mpuri 2 25 4 50 2 25 Jumlah 6 13 35 76 1 2 4 9 keterangan: a membuka lahan terlantar; b lahan warisan orang tua; c lahantanah kas desa; d membeli lahan. Sumber: Data Primer, 2010. Dari wawancara diperoleh informasi bahwa sistem pewarisan harta dan lahan hutan rakyat di lokasi penelitian didasarkan pada sistem pewarisan harta waris dalam Islam. Keturunan atau anak laki-laki mendapatkan bagian waris yang lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan. Lahan berupa sawah diprioritaskan untuk dibagi di antara anak-anak perempuan, rumah menjadi hak anak laki-laki bungsu dan lahan kering tempat menanam tanaman keras berkayu biasanya menjadi hak anak laki-laki sulung. Menurut Wolf 1983 dari sudut pandang antropologis, sistem tersebut dapat dikategorikan sebagai sistem waris partible inheritance yaitu sistem waris yang memecah-mecah harta waris yang ada rumah, tanah, dan hak atas hasilnya, sehingga setiap hak waris menerima sumberdaya yang lebih kecil daripada sumberdaya yang dikelola oleh kepala rumah tangga yang lama. Lebih lanjut, Wolf menyatakan bahwa sistem tersebut pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA dapat menjadi faktor ancaman jika ditinjau dari sudut keberlangsungan usaha tani, karena suatu usaha tani akan memiliki keberlanjutan usaha yang tinggi apabila didukung oleh kombinasi antara penguasaan lahan tegalan, tempat mengembalakan ternak, tanah hutan, dan tanah garapan. Tentunya teori tersebut tidak bisa seutuhnya diadopsi untuk menentukan tingkat keberlanjutan suatu usaha tani, karena keberlanjutan suatu usaha tani dapat pula ditinjau dari sisi kelayakan usaha tani tersebut secara finansial. 5.2.2 Luas dan Ciri Kekompakan Lahan Secara tidak langsung, tingkat kepadatan penduduk akan berbanding lurus dengan jumlah pengusaan lahan per individu. Semakin rendah kepadatan penduduk di suatu wilayah, maka peluang luas lahan yang dikuasai oleh seseorang akan semakin tinggi pula. Kepadatan penduduk di tiga kecamatan lokasi penelitian cukup rendah yaitu 23 jiwakm 2 untuk Kecamatan Wawo, 282 jiwakm 2 untuk Kecamatan Palibelo, dan 147 jiwakm 2 untuk Kecamatan Madapangga. Jika ditarik hubungan dengan penguasaan lahan hutan rakyat, maka terdapat kemungkinan bahwa rata-rata penguasaan lahan hutan rakyat per kepala keluarga di lokasi penelitian cukup tinggi. Berbeda dengan pengusahaan hutan rakyat di Pulau Jawa, dimana hanya sedikit yang dapat digolongkan sebagai hutan berdasarkan ukuran luasan lahan yaitu minimal 0.25 ha, maka hutan rakyat di Kabupaten Bima, khususnya di lokasi penelitian menunjukan ciri luasan yang jauh lebih besar. Rata-rata luas penguasaan lahan hutan rakyat di lokasi penelitian adalah sebesar 0.90 ha dengan kisaran 0.3-4 ha. Jumlah ini telah memenuhi persyaratan hutan rakyat dari sisi luasan seperti yang dinyatakan dalam Kepmenhut Nomor. 49Kpts-II1997 tentang pendanaan dan usaha hutan rakyat. Temuan tersebut dapat juga digunakan untuk mengkritisi standar luasan minimum hutan rakyat yang dinyatakan dalam Kepmenhut Nomor. 49Kpts-II1997. Hal tersebut berarti bahwa standar luasan dalam definisi hutan rakyat tidak dapat dipatok dalam nilai tertentu karena standar luasan lebih bersifat spesifik terhadap lokasi dimana hutan rakyat tersebut dikembangkan. pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA Rata-rata penguasaan lahan hutan rakyat terbesar tercatat di Desa Nata sebesar 1.23 ha per responden, sedangkan rata-rata terendah tercatat di Desa Roi yaitu sebesar 0.55 ha per responden. Jika ditinjau dari tipe lahan yang dikuasai, maka hutan rakyat merupakan jenis pemanfaatan lahan terbesar dibandingkan dengan pemanfaatan lahan sebagai sawah atau kebun. Sebesar 70 dari total lahan yang dikuasai oleh responden dimanfaatkan sebagai hutan rakyat, diikuti oleh pemanfaatan lahan sebagai sawah sebesar 26 dan kebun atau tegalan sebesar 5. Selain karena faktor lahan warisan, dimana sebagian besar responden menguasai lahan yang telah ditanami tanaman kayu dari orang tua mereka, faktor keterbatasan pengetahuan tentang pemanfaatan lahan juga turut menjadi faktor yang menyebabkan mengapa responden lebih banyak memanfaatkan lahan yang dikuasainya sebagai hutan rakyat. Tekanan pemenuhan kebutuhan hidup memaksa responden untuk mengusahakan lahan miliknya, walaupun lahan-lahan tersebut tandus, marjinal dan susah untuk diolah. Rendahnya pengetahuan responden tentang teknik pengolahan lahan kering, serta persepsi tentang tingginya biaya yang harus disediakan jika mengusahakannya secara intensif menyebabkan mereka lebih memilih untuk memanfaatkan lahan-lahan tersebut dengan jalan menanaminya dengan tanaman keras berkayu. Responden menganggap menanam tanaman keras berkayu merupakan cara termudah dan termurah dalam memanfaatkan lahannya. Mereka hanya perlu menggali lubang tanam, serta menanam dan memanen hasil pada akhir daur produksi. Tabel 15. Luas penguasaan lahan responden petani hutan rakyat Kecamatan Desa Luas lahan per tipe ha Jumlah ha Rata-rata luas lahan HR ha Sawah Kebun HR Wawo Pesa 4.80 0.00 7.70 12.50 0.96 Ntori 1.10 0.00 7.05 8.15 0.88 Palibelo Roi 0.75 0.00 3.30 4.05 0.55 Nata 1.00 1.10 9.80 11.90 1.23 Madapangga Woro 1.35 0.00 5.72 7.07 0.72 Mpuri 6.36 1.60 7.62 15.58 0.95 Total 15.36 2.70 41.19 59.25 0.90 Sumber: Data Primer, 2010. pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA Hamparan hutan rakyat yang kompak dengan luasan yang cukup biasanya ditemui pada petani yang memiliki luasan di atas rata-rata, pada lahan-lahan marjinal, serta pada lahan-lahan terlantar Hardjanto 2000. Hasil penelitian menunjukan bahwa 89 responden di lokasi penelitian memiliki lahan-lahan hutan rakyat yang kompak atau terpusat pada satu lokasi dan sebesar 11 responden menyatakan bahwa lahan hutan rakyat mereka menyebar. Selain karena kondisi given menerima warisan hutan rakyat yang terpusat pada satu lokasi, alasan utama lainnya yang menyebabkan responden mengusahakan hutan rakyat terpusat pada satu lokasi adalah agar lebih mudah dalam pengelolaan dan pengawasan. Tabel 16. Ciri kekompakan lahan hutan rakyat reponden Ciri kekompakan lahan hutan rakyat Persentase kekompakan lahan Kec. Wawo Kec. Palibelo Kec. Madapangga Total Pesa Ntori Roi Nata Woro Mpuri Kompak 88 100 100 63 88 100 89 Menyebar 13 38 13 11 Sumber: Data Primer, 2010. Responden dengan ciri lahan menyebar banyak ditemukan di Desa Nata dimana 38 dari total responden di desa tersebut menguasai lahan-lahan hutan rakyat dengan ciri menyebar. Responden menyatakan beberapa alasan yang menyebabkan lahan hutan rakyat mereka menyebar yaitu: 1. Karakteristik fisik alami lahan. Kondisi topografi lahan yang berat menyebabkan tidak semua bidang lahan yang dikuasai dapat ditanami. Responden hanya memanfaatkan bidang lahan dengan kondisi relatif mudah untuk ditanami dan membiarkan bidang-bidang lahan yang berat, curam, dan berbatu tidak ditanami. 2. Membeli lahan gadai. Sistem gadai lahan masih sering ditemui di Kabupaten Bima. Lahan-lahan gadai yang tidak bisa ditebus oleh penggadai sampai waktu yang telah ditentukan, menyebabkan status kepemilikan lahan berpindah tangan. Lokasi lahan gadai pada umumnya berjauhan dengan lahan asli milik responden. Lahan gadai yang telah berpindah kepemilikan tersebut pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA lebih lanjut dimanfaatkan oleh responden sebagai lahan baru untuk menanam tanaman keras berkayu. 3. Lahan waris istri. Lahan-lahan hutan rakyat yang diusahakan oleh responden selain berasal dari warisan orang tua, ada juga yang berasal dari lahan waris yang dibawa oleh istri ketika menikah. Lokasi lahan-lahan tersebut pada umumnya berjauhan sehingga menyebabkan lahan responden digolongkan ke dalam ciri menyebar. 5.2.3 Karakteristik Fisik Alami Lahan Hutan Rakyat Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya lahan yang diusahakan sebagai hutan rakyat adalah lahan-lahan dengan kelerengan agak curam. Sebanyak 54 responden menyatakan menguasai lahan hutan rakyat dengan kelerengan agak curam, diikuti dengan lahan-lahan pada kelas kelerengan landai sebanyak 28. Dari wawancara didapatkan informasi bahwa tingginya persentase pemanfaatan lahan-lahan dengan kelerengan agak curam sebagai hutan rakyat lebih disebabkan oleh alasan teknis dan orientasi pemanfaatan lahan. Responden cenderung meninggalkan lahan-lahan dengan kelerengan curam sampai sangat curam karena lahan-lahan tersebut sangat berat untuk dikerjakan. Lahan-lahan datar juga memiliki kecenderungan untuk tidak dimanfaatkan sebagai hutan rakyat, akan tetapi berbeda dengan alasan sebelumnya, lahan-lahan tersebut tidak dimanfaatkan sebagai hutan rakyat karena orientasi pemanfaatannya yang lebih ditujukan untuk membudidayakan padi dan tanaman pangan lainnya. Tabel 17. Distribusi kelerengan lahan hutan rakyat responden Kecamatan Desa Distribusi kelerengan lahan Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam Wawo Pesa 13 88 Ntori 38 63 Palibelo Roi 17 50 17 17 Nata 25 50 25 Madapangga Woro 50 38 13 Mpuri 25 38 38 Rata-rata 6 Desa 7 28 54 9 2 Sumber: Data Primer, 2010. pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA Gambar 7. Karakteristik fisik lahan hutan rakyat responden. Lahan-lahan yang dimanfaatkan sebagai hutan rakyat umumnya dekat dengan pemukiman namun tidak terintegrasi dengan pemukiman itu sendiri. Rata- rata jarak lahan hutan rakyat dari tempat tinggal responden adalah 1 808 m dengan kisaran jarak antara 300 m hingga 6.5 km. Sebanyak 78 responden menyatakan lahan hutan rakyat mereka berjarak antara 1-3 km dari tempat tinggal mereka, 13 responden menyatakan bertempat tinggal kurang dari 1 km dari lahan hutan rakyat mereka, dan 9 menyatakan bertempat tinggal lebih dari 3 km dari lahan hutan rakyat mereka. Data tersebut dapat menunjukan bahwa pada umumnya di Kabupaten Bima dan khususnya di lokasi penelitian, lahan-lahan yang dimanfaatkan sebagai hutan rakyat tidak terintegrasi atau menyatu dengan pemukiman responden sebagai subjek pengelola serta tidak tergolong sebagai hutan rakyat tipe pekarangan seperti yang banyak ditemukan pada tipe hutan rakyat di Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Tabel 18. Distribusi jarak lokasi hutan rakyat dari pemukiman responden Jarak lahan dari pemukiman Lokasi Jumlah dan frekwensi Kecamatan Wawo Kecamatan Palibelo Kecamatan Madapangga Pesa Ntori Roi Nata Woro Mpuri 1 Km 3 2 1 6 13 1 - 3 Km 7 8 5 5 5 6 36 78 3 Km 1 1 1 1 4 9 Jumlah 8 8 6 8 8 8 46 100 Sumber: Data Primer, 2010. pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA Berdasarkan aksesibilitas lahan yang dilihat dari jarak lahan hutan rakyat dari jalan kabupaten, maka lahan hutan rakyat di lokasi penelitian didominasi oleh lahan-lahan beraksesibilitas sedang sampai tinggi dengan rata-rata jarak lahan dari jalan kabupaten sebesar 740 m, dengan kisaran 10 m hingga 5 km. Sebanyak 41 responden menyatakan lahannya memiliki aksesibilitas tinggi jarak lahan dari jalan kabupaten kurang dari 1 km, 46 responden menyatakan lahannya memiliki aksesibilitas sedang jarak lahan dari jalan kabupaten antara 1-2 km, dan 13 responden lainnya menyatakan lahannya memiliki aksesibilitas rendah jarak lahan dari jalan kabupaten lebih besar dari 2 km. Aksesibilitas lahan sebagai media produksi komoditi pertanian pada umumnya secara tidak langsung akan mempengaruhi keberlanjutan suatu usaha tani, khususnya pada distribusi sarana produksi dan pemasaran hasil. Nurrochmat et al. 2008 menyatakan bahwa lokasi produksi komoditi agroforestri yang jauh dan dengan aksesibilitas kecil, akan memperpanjang waktu distribusi sarana produksi dan hasil produksi serta memperbesar resiko kerusakan sehingga dikompensasikan dengan biaya tinggi. Sehubungan dengan pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian, aksesibilitas lahan bersama beberapa faktor lain seperti kualitas kayu dan biaya panen secara langsung akan mempengaruhi harga jual kayu hasil hutan rakyat. Responden dalam wawancara menyatakan bahwa semakin berat medan dan semakin sulit lahan untuk diakses oleh kendaraan roda empat dapat menurunkan posisi tawar mereka dalam menetapkan harga jual kayu. Tabel 19. Aksesibilitas lahan hutan rakyat responden Jarak lahan hutan rakyat dari jalan kabupaten Lokasi Jumlah dan frekwensi Kecamatan Wawo Kecamatan Palibelo Kecamatan Madapangga Pesa Ntori Roi Nata Woro Mpuri 1 km 1 4 8 3 3 19 41 1 - 2 km 8 5 1 2 5 21 46 2 km 2 1 3 6 13 Jumlah 8 8 6 8 8 8 46 100 Sumber: Data Primer, 2010. Hasil penelitian lainnya menunjukan bahwa lahan hutan rakyat responden umumnya berjarak tidak jauh dari sumber air seperti sungai, mata air, maupun embung. Rata-rata jarak lahan hutan rakyat responden dari sumber air adalah pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA sebesar 960 m, pada kisaran 100 m hingga 5 km. Sebanyak 65 responden menyatakan lahan hutan rakyat mereka berjarak kurang dari 1 km dari sumber air, 24 menyatakan lahan hutan rakyat miliknya berjarak antara 1-2 km dari sumber air, dan 11 lainnya menyatakan lahan hutan rakyat miliknya berjarak lebih dari 2 km dari sumber air. Ketersedian air dan jaringan irigasi merupakan masalah utama dalam budidaya komoditi pertanian, dimana air seringkali menjadi faktor penentu dalam keberhasilan dan tingkat produktivitas suatu usaha tani. Hal berbeda ditunjukkan oleh industri kehutanan pada umumnya, khususnya pada usaha tani hutan rakyat di lokasi penelitian, dimana keberadaan dan ketersediaan air hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap produktivitas hasil berupa kayu. Responden menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman mereka, tingkat ketergantungan terhadap keberadaan air dalam membudidayakan tanaman keras berkayu di lahan milik mereka sangat kecil. Lebih lanjut dinyatakan bahwa hal tersebut dikarenakan tanaman keras berkayu yang mereka budidayakan yaitu jati, memiliki tingkat adaptasi yang cukup tinggi terhadap kondisi ekstrim berupa rendahnya ketersediaan air. Tabel 20. Distribusi jarak lahan hutan rakyat responden dari sumber air Jarak lahan dari sumber air Lokasi Jumlah dan frekwensi Kecamatan Wawo Kecamatan Palibelo Kecamatan Madapangga Pesa Ntori Roi Nata Woro Mpuri 1 km 8 1 2 8 6 5 30 65 1 - 2 km 5 1 2 3 11 24 2 km 2 3 5 11 Jumlah 8 8 6 8 8 8 46 100 Sumber: Data Primer, 2010. 5.2.4 Legalistas Lahan Hutan Rakyat Dalam Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor. 41 Tahun 1999, hutan berdasarkan status kepemilikannya digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara merupakan kawasan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan hak adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik dan lazim disebut sebagai hutan rakyat. Peraturan pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, menyatakan bahwa kepemilikan tanah yang dibebani hak milik atas tanah mengandung dua aspek pembuktian agar kepemilikan tersebut dapat dikatakan kuat dan sempurna, yaitu: 1 bukti formil berupa surat atau sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional dan atau bukti surat lainnya seperti girik dan SPPT yang merupakan dokumen tanda bukti pembayaran pajak untuk tanah-tanah garapan dan tanah-tanah milik adat, dan 2 bukti fisik, yaitu bukti-bukti yang menunjukan bahwa sesorang yang diberikan beban atas tanah benar-benar menguasai tanah atau sebidang lahan secara fisik. Lahan-lahan hutan rakyat yang dikuasai oleh responden umumnya merupakan lahan-lahan yang telah memiliki bukti formil kepemilikan tanah. Sebesar 61 responden memiliki bukti formil kepemilikan tanah baik berupa sertifikat tanah 26 maupun girik 35. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa sebesar 75 responden di Desa Mpuri menguasai lahan hutan rakyat dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat. Selain karena adanya peran aktif pemerintah daerah dan pemerintah desa dalam penataan agraria, adanya persepsi masyarakat yang cenderung mencoba mengindari timbulnya konflik tenurial, karena sebagian besar wilayah Desa Mpuri berbatasan langsung dengan kawasan hutan negara, menjadi alasan lain mengapa banyak ditemukan lahan-lahan hutan rakyat dengan bukti kepemilikan formil. Bebeda dengan kondisi yang ditemukan di Desa Mpuri, di Desa Nata sebanyak 75 responden menyatakan bahwa lahan-lahan hutan rakyat yang dikuasainya tidak memiliki bukti formil kepemilikan lahan. Lahan-lahan tersebut pada awalnya merupakan lahan kosong dan tanah terbuka yang dibuka dan dimanfaatkan oleh orang tua mereka untuk membudidayakan tanaman keras berkayu. Responden menganggap bukti formil kepemilikan lahan tidak terlalu penting karena sedari dulu sudah ada pengakuan tidak tertulis secara sosial yang menyatakan bahwa lahan tersebut memang benar lahan garapan dan milik mereka. Beberapa responden juga menyatakan keengganan untuk mengurus bukti formil karena menganggap pengurusan tersebut mahal, panjang, dan rumit. pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA Tabel 21. Legalitas lahan hutan rakyat responden Kecamatan Desa Legalitas kepemilikan lahan Sertifikat Tanah Girik Tidak Ada Wawo Pesa 25 75 Ntori 63

37 Palibelo

Roi 33 17 50 Nata 25 75 Madapangga Woro 25 25 50 Mpuri 75 25 Rata-rata 6 Desa 26 35 39 Sumber: Data Primer, 2010. Batas lahan merupakan salah satu bentuk bukti fisik kepemilikan lahan. Untuk mempertegas status lahan, responden memberi tanda yang menunjukkan batas areal hutan rakyat mereka. Tanda batas lahan tersebut pada umumnya berupa tanaman pagar. Tanaman pagar tersebut tidak kompak berbentuk pagar melainkan berbentuk tonggak soliter yang dikombinasikan dengan patok bambu dan perdu pada sudut dan sisi petak lahan yang berbatasan dengan lahan milik orang lain. Selain semak dan perdu, Selaara Bayur, Tula Pulai, dan Tanju Tanjung meupakan jenis-jenis tanaman yang umumnya digunakan sebagai tanaman-tanaman penanda batas lahan. Hutan rakyat sebagai unit pengelolaan hutan cenderung jauh dari konflik tenurial jika dibandingkan dengan unit-unit pengelolaan hutan lainnya seperti HPH dan HTI. Pada unit pengelolaan hutan rakyat tidak ditemukan masalah dan konflik tenurial karena kondisi property rights yang dapat dikatakan mendekati sempurna. Kejelasan property rights pada unit pengeloaan hutan rakyat menyebabkan masyarakat sebagai pemilik dan subjek pengelola akan mengusahakan lahannya secara optimal untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Biaya pemeliharaan, biaya transaksi dan biaya-biaya lainnya menjadi tanggungan pemilik lahan sehingga mengharuskan mereka bekerja dan mengelola hutan miliknya secara efisien. Pernyataan ini diperkuat oleh teori yang diungkapkan Alchian dan Demsetz 1973 dalam Ichwandi 2003 yang menyatakan bahwa private land atau lahan milik adalah property rights yang dianggap paling efisien karena mempunyai sifat-sifat hak yang mendekati sempurna, yaitu: a completeness, dimana hak-hak didefinisikan secara lengkap, b exclusivity, dimana semua manfaat dan biaya yang timbul menjadi tanggungan pdf M achine - is a pdf w r it e r t ha t pr oduce s qua lit y PD F file s w it h e a se Ge t your s now “ Thank you very m uch I can use Acrobat Dist iller or t he Acrobat PDFWrit er bu t I consider your product a lot easier t o use and m uch preferable t o Adobes A.Sar r as - USA secara ekslusif pemegang hak, c transferable, dimana hak dapat dialihkan kepada pihak lain secara penuh jual-beli maupun secara parsial sewa, gadai, dan d enforcebility, dimana hak-hak tersebut dapat ditegakkan.

5.3 Praktek Pengelolaan Hutan Rakyat