Pengaruh taklik talak terhadap keutuhan rumah tangga : studi pada warga kelurahan Pisangan Ciputat

(1)

PENGARUH TAKLIK TALAK

TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA

(STUDI PADA WARGA KELURAHAN PISANGAN CIPUTAT)

Oleh

RONIKA PUTRA NIM. 104044101441

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1429 H / 2008 M


(2)

TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA

(STUDI PADA WARGA KELURAHAN PISANGAN CIPUTAT)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh

RONIKA PUTRA

Di bawah Bimbingan

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH Sri Hidayati, M.Ag

NIP : 150 268 783 NIP : 150 282 403

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1429 H / 2008 M


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PENGARUH TAKLIK TALAK TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA (STUDI PADA WARGA KELURAHAN PISANGAN CIPUTAT) telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 30 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 30 Juni 2008

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Amin Suma, SH,MA,MM

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQOSAH

Ketua Sekertaris

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA Kamarusdiana, SHI, MA

NIP : 150 169 102 NIP : 150 285 972

Penguji I Penguji II

Dr. KH. A. Djuaini Syukri, Lc, M.Ag Drs. H. Odjo Kusnara NS, M.Ag

NIP : 150 256 969 NIP : 150 060 388

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Asep Syarifuddin H, SH, MA Sri Hidayati, M.Ag NIP : 150 268 783 NIP : 150 282 403


(4)

KATA PENGANTAR

Penulis menghanturkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena tanpa nikmat dan hidayah-Nya, penulisan skripsi ini tentu tidak akan dapat selesai seperti sekarang ini. Selanjutnya, shalawat dan salam semoga selalu dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan seluruh umat manusia di muka bumi ini.

Rasa syukur yang sedalam-dalamnya penulis berikan untuk kedua orang tua penulis yang dengan sabar serta curahan kasih sayangnya dalam membesarkan penulis dan tak lupa dengan doanya agar penulis berhasil dalam setiap urusan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk meraih gelar Sarjana Hukum Islam. Dan juga tidak lupa untuk kakak-kakak penulis atas dorongan dan motivasinya dan juga kepada seluruh keluarga.

Secara khusus penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA selaku Kepala Jurusan Ahwal Syakhshiyyah yang telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dan administrasi.

3. Bapak Kamarusdiana SHI, MA, selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhshiyyah atas dukungan dan dorongannya.


(5)

4. Bapak Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MA dan ibu Sri Hidayati, M.Ag atas bimbingannya dalam penulisan skripsi ini. Serta semua dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu-ilmunya.

5. Bapak Dr. KH. A. Djuaini syukri, Lc, M.Ag dan Bapak Drs. H. Odjo Kusnara NS, M.Ag sebagai tim penguji, terima kasih atas kelulusan yang di berikan kepada penulis.

6. Bapak Kepala Kelurahan Pisangan Ciputat beserta staff atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

7. Kepada seluruh kakak-kakak, kawan-kawan, adik-adik yang tergabung dalam HIMAPOKUS terima kasih atas dorongan, sokongan, serta motivasinya serta kepada teman-teman di Peradilan Agama angkatan 2004/2005.

8. Kawan-kawan di GEMAKUSI Jakarta, terima kasih atas dukungan dan motivasinya

Semoga segala bentuk bantuan yang diberikan dalam bentuk apapun di nilai sebagai ibadah oleh Allah SWT, amiinn!!!.

Jakarta, 23 Mei 2008 M

17 Jumadil Ula 1429 H


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Sistematika Penyusunan ... 11

BAB II: HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI A. Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Isteri ... 13

B. Hak dan Kewajiban Isteri Terhadap Suami ... 25

C. Hak dan Kewajiban Bersama Suami Isteri ... 30

BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG TAKLIK TALAK A. Pengertian dan Dasar Hukum Taklik Talak ... 35

B. Sejarah Perkembangan Taklik Talak Di Indonesia ... 40

C. Shigat Taklik Talak dan Akibat Hukumnya ... 44


(7)

BAB IV: PENGARUH TAKLIK TALAK TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA.

A. Gambaran dan Letak Geografis RT 01/08 Pisangan Ciputat ... 54 B. Pengaruh Taklik Talak Terhadap Keutuhan Rumah Tangga Warga RT

01/09 warga RT 01/08 Kelurahan Pisangan Ciputat ... 55 C. Hasil Penelitian ... 59

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71 B. Saran-saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA ... 74 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah akad yang menghalalkan hubungan antara dua pihak yang berakad dengan aturan-aturan yang ditetapkan syara’. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan menyebutkan bahwa pernikahan adalah; “ Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”1. Menurut agama Islam perkawinan merupakan salah satu ajaran agama yang dasar hukumnya terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Secara sepintas dapat digambarkan bahwa pernikahan merupakan lembaga perjodohan antara laki-laki dan perempuan. Kedua belah pihak sepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri menurut aturan-aturan agama. Kesepakatan hidup bersama mesti diartikan secara totalitas, yakni perpaduan yang tidak hanya terbatas secara lahiriyah saja, akan tetapi suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Al-Qur’an menggambarkan bahwa istri sebagai pakaian suami dan suami sebagai pakaian isteri. Pernyataan ini dapat ditemui pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187.

1

A. Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan Agama, Jakarta: PT. Intermasa, 1997, cet. I, h. 187


(9)

!

"

Artinya : “... mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi mereka... (Q.S. Al-Baqarah:187)

Ayat ini mengisyaratkan supaya antara suami isteri terdapat kerja sama yang bulat untuk memikul tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 disebutkan bahwa; “ Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

rahmah”. Ketiga sifat ini (sakinah, mawaddah, dan rahmah) merupakan pra-kondisi untuk menuju kepada kehidupan keluarga yang bahagia dan sejahtera, dan sangat ditekankan oleh Islam.

Sakinah, sesuai dengan asal katanya yaitu sakana yang berarti diam setelah bergejolak. Dalam konteks keluarga, sakinah adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, karena biasanya kerisauan antara pria dan wanita beralih menjadi tenang setelah terjadinya ikatan perkawinan. Sifat sakinah akan terjalin dengan mawaddah.

Mawaddah yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan, jadi

mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Orang yang mencintai kadang-kadang hatinya dihinggapi perasaan kesal sehingga cintanya menjadi pudar dan bahkan putus. Namun jika dalam hatinya telah bersemai sifat mawaddah, ia tidak akan lagi memutuskan cintanya, hal ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga tertutup kemungkinan dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya).


(10)

Sedangkan sifat rahmah merupakan kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat menyaksikan ketidak-berdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Oleh karenanya dalam kehidupan keluarga suami dan isteri akan bersungguh-sungguh dan bahkan bersusah payah untuk mendatangkan kebahagiaan bagi pasangannya serta menolak bagi segala yang mengganggu dan mengeruhkannya2.

Akan tetapi jika salah satu unsur dari ketiga sifat tadi tidak tertanam secara kuat dalam suatu keluarga, maka kelangsungan keluarga tersebut akan sangat rapuh. Al-Qur’an menggaris bawahi hal ini, sebab betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, namun demikian betapapun lemahnya seseorang tentu ada juga unsur kekuatannya. Dimana upaya untuk tetap mempertahankan kebahagiaan rumah tangga seringkali tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, tidak jarang suatu kehidupan rumah tangga mengalami hambatan-hambatan, sehingga sukar mempertahankan keutuhannya. Jika melihat anjuran agama, maka adanya perceraian adalah sangat tidak diharapkan di dalam sebuah perkawinan. Tetapi ada saat-saat dalam kehidupan manusia ketika tak mungkin baginya melanjutkan hubungan yang akrab dengan istrinya atau sebaliknya.

Perceraian tidak akan pernah ada jika tidak ada perkawinan. Jika perkawinan adalah sebagai awal untuk hidup bersama suami dan istri, maka perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami dan istri.

2

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind-Hill, 1990, h. 3


(11)

Sebelum Islam lahir, perceraian dikalangan orang Arab Jahiliyah sangat mudah dan sering kali terjadi. Para suami menceraikan istrinya dengan melakukan talak dan rujuk di dalam iddah yang tidak ada batasnya. Begitu suami marah, begitu dengan mudah ia melakukan talak. Tetapi begitu marahnya hilang, maka ia akan melakukan rujuk dan hidup sebagai suami istri lagi. Perbuatan itu dilakukan tanpa kenal batas, bahkan jika ia menyakiti istrinya, setiap hampir habis masa iddahnya suami melakukan rujuk lagi kemudian melakukan talak kembali. Begitulah perbuatan suami terhadap istrinya tanpa mengenal batas. Terjadilah pada waktu itu pasaran talak. Wanita atau istri tidak berharga, ia laksana bola permainan laki-laki belaka. Bahkan fenomena penguburan hidup-hidup anak perempuan adalah fakta sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi.

Jadi secara historis, hukum perceraian telah dikenal dan dipraktekkan umat manusia sepanjang masa yang pada awalnya dilakukan dengan cara yang tidak adil bahkan semena-mena. Islam datang meluruskan hukum perceraian itu, dan melaksanakannya menjadi adil dan benar antara suami dan istri yang bertikai.

Seperti diketahui bahwa perceraian adalah tidak diharapkan. Banyak penjelasan Allah SWT dan Rasul-Nya mengenai hal itu. Ada pula penjelasan itu dalam bentuk sindiran-sindiran dan dalam kesimpulan-kesimpulan dari ayat-ayat tersebut. Seperti dalam surat An-Nisa’ ayat 19 Allah SWT berfirman :

# $

% &

'()

*

+

, &)

'

*

./ #

0&1ی

34

3 )

. 5

. 6+

7 8

!

"

Artinya : “...dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin


(12)

kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Q.S. Al-Baqarah: 19)

Pada ayat di atas dapat disimpulkan bahwa kalau ada perasaan tidak senang dari suami kepada istrinya, hendaklah ia tetap menggauli istrinya dengan baik dan jangan menceraikan istrinya.

Meskipun pada awalnya suami dan istri sudah berusaha untuk menjaga keharmonisan keluarga, tetapi terkadang ada faktor-faktor yang dapat merubah keharmonisan itu. Faktor-faktor itu antara lain faktor psikologis, biologis, pandangan hidup, perbedaan kecendrungan, dan lain sebagainya.

Dalam keadaan seperti ini, tidaklah mustahil dijumpai banyak kasus perkawinan terkadang dengan sesuatu sebab atau beberapa sebab menjadi buruk, bahkan sampai parah, sehingga dirasakan bahwa kehidupan suami istri dalam berumah tangga tidak mungkin untuk dilanjutkan lagi. Inilah yang menjadi alasan pokok perceraian. Oleh karena itu harus dipahami bahwa perceraian adalah menjadi jalan terakhir setelah segala macam jalan perdamaian tidak berhasil.

Ketika keutuhan rumah tangga sudah tidak dapat lagi dipertahankan, maka jalur yang ditempuh adalah mengakhiri perkawinan dengan jalan perceraian atau talak.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 117 disebutkan bahwa; “Talak adalah ikrar suami dihadapan pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan”. Ini dimaksudkan bahwa putusnya sebuah perkawinan salah satu sebabnya melalui institusi talak, yang diikrarkan oleh seorang suami dihadapan pengadilan agama. Jadi kewenangan talak ada pada suami. Dalam Al-Qur’an akan


(13)

kita dapati bahwa talak semuanya dihadapkan pada laki-laki (suami), karena ditangan merekalah diletakkan wewenang tersebut.

Ucapan talak yang diikrarkan suami kepada istrinya ada yang menunjukkan jatuhnya talak pada waktu itu juga, seperti kata suami kepada istrinya; “kamu aku talak”. Perkataan yang menunjukkan pengertian yang demikian disebut Sighat al-Munjazah (perkataan yang berlaku langsung). Kemudian ada juga ucapan talak suami yang digantungkan pada sesuatu, misalnya ucapan suami kepada istrinya; “kalau kamu pergi ketempat anu, maka kamu tertalak”. Ucapan semacam ini disebut al-Sighat al-Muallaqoh (lafaz yang berkait atau bergantung). Ucapan talak yang demikian dinamakan talak taklik atau yang kita kenal dengan taklik talak.

Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bagaimana posisi suami-istri serta peran yang dimiliki masing-masing. Oleh sebab itu menjadi penting kiranya adanya perjanjian atau jaminan yang bisa dijadikan patokan agar perkawinan dapat berjalan dengan baik. Perjanjian atau jaminan dalam hal ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 45 dan 46 yaitu perjanjian taklik talak. Terlepas dari perbedaan peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 29 yang menyatakan bahwa taklik talak bukanlah suatu perjanjian. Hal ini disebabkan karena penulis tidak membahas ketentuan taklik talak sebagai perjanjian secara yuridis.

Melihat bahwa taklik talak adalah sebagai jaminan dari suami yang menyatakan ia sanggup melaksanakan kewajiban terhadap istri dan keluarga. Kalaupun tidak, ia sanggup menerima akibat sesuai dengan apa yang ia ucapkan dalam shigat taklik talak sesudah akad pernikahan.

Dari deskripsi diatas dapat dilihat bahwa kaitan antara taklik talak dengan keutuhan rumah tangga sangatlah erat. Oleh karenanya penulis sangat tertarik untuk


(14)

membahas tentang taklik talak ini dan kaitannya dengan pengaruhnya terhadap keutuhan rumah tangga. Maka kemudian penulis mengambil judul “Pengaruh Taklik Talak Terhadap Keutuhan Rumah Tangga; Studi Pada Warga Kelurahan Pisangan Ciputat”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penyusunan skripsi ini, agar tidak terlalu luas, penulis akan membatasi masalah hanya pada permasalahan taklik talak dan pengaruhnya terhadap keutuhan rumah tangga, dan penulis hanya memfokuskan hanya pada satu RT saja yaitu RT 01/08 yang ada Kelurahan Pisangan Ciputat.

Dalam permasalahan ini penulis kemudian kaitkan dengan adanya shigat taklik talak yang sudah dilembagakan pemerintah. Artinya penulis mencoba membahas pengaruh adanya taklik talak terhadap keutuhan rumah tangga. Apakah selama ini dengan adanya taklik talak tersebut berpengaruh mengatasi atau mengurangi konflik yang terjadi dalam rumah tangga.

Selain itu penulis juga akan menyertakan situasi dan kondisi warga RT 01/08 kelurahan Pisangan Ciputat yang mana sebagai tempat permasalahan ini berada.

Kemudian penulisan skripsi ini difokuskan untuk menjawab persoalan-persoalan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh taklik talak terhadap keutuhan rumah tangga?

2. Bagaimana tanggapan masyarakat dengan adanya taklik talak dalam pernikahan?


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh taklik talak terhadap keutuhan rumah tangga.

b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang fungsi taklik talak dalam sebuah pernikahan.

2. Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah penulis ingin memberi gambaran bagaimana sebenarnya pengaruh taklik talak ini terhadap keutuhan rumah tangga. Karena banyak suami isteri yang tidak paham sama sekali apa sebenarnya taklik talak itu sendiri.

D. Metodelogi Penelitian

Untuk memperoleh data, fakta dan informasi yang akan mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriiftif. Penelitian deskriftif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi obyek sesuai dengan apa adanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode penelitian deskriptif adalah memaparkan secara utuh dan obyektif terhadap obyek penelitian melalui penelitian lapangan.


(16)

Penulis melakukan penelitian langsung ke RT 01/08 kelurahan Pisangan Ciputat sebagai obyek penelitian untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam skripsi ini.

Cara ini ditempuh dengan teknik pengumpulan data: 1. Observasi

Yang dimaksud dengan observasi adalah pengamatan dan pencatatan tentang fenomena-fenomena yang diselidiki. Fenomena-fenomena yang diselidiki ini akan dilakasanakan secara bertahap sesuai dengan keadaan lapangan.

2. Dokumentasi

Mengamati dan menyelidiki dokumen-dokumen untuk memperoleh data mengenai permasalahn ini.

3. Angket

Yaitu alat penelitian berupa daftar pertanya yang sudah dipersiapkan sebelumnya3, untuk memperoleh keterangan responden, dan responden yang dimaksud adalah pasangan suami isteri yang ada di RT 01/08 Kelurahan Pisangan Ciputat.

4. Penentuan populasi dan sampel

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian4, hal ini dimaksudkan apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah

3

Anas Subjiono, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 1991, h. 27

4


(17)

penelitian, adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat RT 01/08 kelurahan Pisangan Ciputat.

Sampel adalah sebagian populasi yang hendak diteliti dan dianggap bisa mewakili keseluruhan populasi (jumlahnya lebih sedikit dari populasi)5. Jadi yang dimaksud sampel adalah sebagian populasi yang dijadikan wakil dari seluruh populasi yang jumlahnya besar yang tidak mugkin semuanya.

Dalam pengambilan sampel pada penelitian ini penulis berpedoman pada apa yang dikemukakan oleh Suharsini Arikunto bahwa: "Untuk sekedar encer-encer apabila subyeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semuanya sehingga penelitiannya adalah penelitian populasi. Selanjutnya jika subyeknya besar dari 100, dapat diambil antara 10-15 % atau 20-25 % atau lebih6.

Setelah penulis mengadakan penelitian terhadap jumlah populasi yang dilapangan ternyata jumlah populasinya lebih dari 100, sehubungan dengan adanya keterbatasan waktu, tenaga serta biaya yang ada, maka penulis menetapkan sejumlah sampel sebanyak 50 orang, pengambilan sampel ini dari rumus yang apabila di prosentasikan adalah sebagai berikut:

P = N F

X 100

Dimana P = Persentase yang dicapai untuk setiap jawaban F = Frekuensi (jumlah jawaban responden)

5

Djarwanto dan Pangestu Subagyo, Metodologi Induktif, Yogyakarta: BPFE, 1990, h. 95

6


(18)

N = Jumlah Responden7

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan oleh UIN Jakarta Press, dengan pengecualian bahwa terjemahan dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis.

E. Sistematika Pembahasan

Untuk memperoleh bentuk penulisan yang benar dan sistematis, maka penulis akan membagi skripsi ini dalam empat bab, yang secara lengkapnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Bab I, Berisi Pendahuluan. Didalamnya dikemukakan mengenai latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah yang memfokuskan arah pembahasan, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian yang menguraikan bagaimana proses penelitian ini dilakukan serta dilengakapi dengan sistematika pembahasan yang menggambarkan bagian alur atau tahap-tahap pembahasan penelitian ini.

Bab II, Hak dan kewajiban suami isteri. Mencakup hak dan kewajiban suami terhadap isteri, hak dan kewajiban isteri terhadap suami, dan hak dan kewajiban bersama suami isteri

Bab III, Membahas kajian teoritis tinjauan umum tentang taklik talak pengertian dan dasar hukum talak, sejarah perkembangan taklik talak di indonesia,

7

Sutrisno Hadi, Metode Riset, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1981, jilid III, h. 246


(19)

shigat taklik talak dan akibat hukumnya, dan tujuan diadakan taklik talak

Bab IV, Merupakan jawaban dari masalah yang telah dirumuskan, maka di dalamnya membahas tentang pengaruh taklik talak terhadap keutuhan rumah tangga, menguraikan sekilas tentang RT 01/08 Kelurahan Pisangan Ciputat, letak geografis, pengaruh taklik talak terhadap keutuhan rumah tangga dan hasil penelitian.

Bab V, Adalah bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan bagaimana tinjauan hukum Islam tentang taklik talak dan pengaruhnya terhadap keutuhan rumah tangga.


(20)

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI A. Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Isteri

Apabila akad nikah telah berlangsung dan telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan juga hak dan kewajiban selaku suami isteri secara bersama.

Dalam mengatur dan melaksanakan kehidupan suami isteri untuk mencapai perkawinan, agama mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami isteri. Hak ialah sesuatu yang harus diterima, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dengan baik8. Apa yang menjadi kewajiban suami terhadap isterinya merupakan hak bagi isteri, dan begitu juga sebaliknya apa yang menjadi kewajiban isteri terhadap suami merupakan hak bagi suami9. Hak dan kewajiban itu meliputi; hak dan kewajiban suami isteri, kewajiban suami atas isteri, serta hak dan kewajiban isteri atas suami.

Jika suami dan isteri bersama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketenteraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup rumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

8

Sidi Nazar Bakry, “Kunci Keutuhan Rumah Tangga”, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993. Cet ke. I, h. 37

9

Firdaweri, “ Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan Kewajibannya”, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989, Cet ke. I, h. 12


(21)

Seorang suami harus menjalankan hak dan kewajibannya, dan wajib mempergunakan haknya secara benar dan dilarang menyalahgunakan haknya, di samping itu ia wajib menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.

Apabila suami telah melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana yang telah dianjurkan oleh agama dan begitu pula isteri, maka akan tercipta rumah tangga yang bahagia, dapat memperoleh keturunan yang sholeh dan sholehah dan menjalani kehidupan yang harmonis, penuh dengan kasih sayang, cinta-mencintai dan tolong-menolong antara keluarga yang satu dengan yang lainnya.

Adapun kewajiban suami terhadap isterinya ada dua macam, yang pertama kewajiban berupa materiil yaitu mahar dan nafkah sehari-hari. Kemudian yang bersifat non materi yaitu mempergauli isterinya dengan sebaik-baiknya dan melaksanakan keadilan antara isteri-isteri apabila mempunyai isteri lebih dari satu. Suami juga wajib menjaga kehormatan isteri, dan mengatur hubungan seksual antara suami isteri. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Mahar

Dalam perkawinan jika telah terlaksana akad perkawinan, maka suami diwajibkan untuk memberikan sesuatu kepada isteri da inilah yang dinamakan dengan mahar atau mas kawin, kewajiban ini hanya diwajibkan satu kali saja. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam surat An-Nisa / 4 ayat 4 yang berbunyi:


(22)

*ﺕ

7 98

:;<

=4>

...

7 8

( 4 : 4

artinya:“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kami nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan...”

Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda:

$

=?ﺉ $

AB<

8$

'

<

C*ﺱ

,4E

3 4$

4ﺱ

C :

:

'F

G$

H 98

=+

I ی

= Jﻡ

)

I <

L

(

10

Artinya:“Dari Aisyah r.a Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda, nikah yang paling besar berkahnya yaitu yang paling ringan maharnya” (H.R. Ahmad)

Sedangkan menurut Firdaweri, maskawin bukanlah untuk menghargai atau menilai wanita, melainkan sebagai bukti bahwa calon suaminya sebenarnya cinta kepada isterinya, sehingga dengan suka rela ia mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada isterinya, sebagai tanda suci dan sebagai pendahuluan bahwa si suami akan terus menerus memberi nafkah kepada isterinya11.

Mahar ini merupakan hak isteri yang menjadi milik isteri sendiri, dan tidak ada seorang pun yang boleh menghalang-halangi isteri untuk mempergunakan mahar tersebut. Mahar itu dapat berupa apa saja, asalkan mempunyai nilai dan halal lagi bermanfaat.

2. Nafkah (mencukupi keperluan ekonomi)

Seorang suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya, karena kewajiban seorang memberikan nafkah disebabkan

10

Al-Shan’ani, Nailul Authar; Kitab Ash-Shadaaq, Bab Jawaazu At-Tazwij ‘Ala Qalil Wal Kasir Waas Tijbaabual-Qashdu Fiihi, juz 6, h. 189

11


(23)

oleh tiga hal: hubungan perkawinan, hubungan keluarga dan hubungan memiliki. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Hubungan perkawinan

Suami wajib memberikan nafkah kepada isterinya yang taat, baik makanan, pakaian, maupun tempat tinggal, perkakas rumah tangga, dan sebagainya sesuai dengan kemampuannya. Banyaknya sesuai dengan kebutuhan dan adat kebiasaan yang berlaku ditempat masing-masing, dengan mengingat tingkatan dan keadaan suami. Sebagaimana firman Allah SWT:

06ﻡ

MN

4$

% &

O

228

:

"

artinya:“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang, dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (Q.S Al-Baqarah 2: 228)

b. Hubungan keluarga

Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya, atau ibu apabila ayah telah tiada. Begitu juga wajib kepada cucu apabila ia tidak mempunyai ayah. Wajibnya memberi nafkah bagi ayah dan ibu kepada anak dengan syarat apabila anaknya masih kecil dan miskin, atau sudah besar tetapi tidak kuat berusaha dan miskin. Demikian juga sebaliknya, anak wajib memberi nafkah kepada kedua orang tua, apabila keduanya tidak mampu dan tidak memiliki harta. c. Hubungan memiliki


(24)

Binatang yang dimiliki seseorang misalnya, maka mendapatkan makanan dan wajib menjaga agar tidak diberi beban yang berlebihan melebihi kemampuannya.

Akan tetapi di dalam skripsi ini penulis hanya menerangkan karena sebab hubungan perkawinan dan diklasifikasikan kepada makanan, pakaian dan tempat tinggal.

Kewajiban seorang suami untuk memenuhi keperluan ekonomi istri secara syar’i telah diatur dalam firman Allah SWT:

4$

P* *

:;<

ﺕ* :

% & 4

233 : 2

"

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 233)

Maksud dari ayat tersebut yaitu bahwa suami mempunyai kewajiban memenuhi nafkah dan pakaian kepada isterinya sesuai dengan kemampuan dan kondisi. Menurut Ibnu Kasir, tidak boleh boros dan tidak boleh kikir tetapi harus bersikap bijaksana di antara dua kutub yaitu boros dan kikir12. Ayat ini diperjelas dengan hadits Nabi SAW:

12

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, cet. Ke.I, h. 113-115


(25)

$

L $

C :

:

C :

C*ﺱ<

,4E

3 4$

4ﺱ

4$

:;<

ﺕ* +

% &

I <

4 ﻡ

"

13

Artinya: “Dari Ibnu Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah SAW telah bersabda, “...kamu wajib memberi nafkah kepada mereka dan memberi pakaian kepada isteri dengan baik”. (Riwayat Muslim)

Itulah seruan Nabi kepada para suami untuk memberi nafkah kepada isteri berupa makan dan pakaian. Hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwa betapa pentingnya kewajiban nafkah bagi nafkah yang harus diberikannya kepada isteri dan keluarganya. Karena itu merupakan kewajiban bagi suami walaupun isterinya berkecukupan14.

Adapun kewajiban suami berupa non materi seperti 1. Memimpin, memelihara, dan bertanggung jawab

Secara qur’ani mengenai kewajiban memimpin, memelihara dan bertanggung jawab seorang suami terhadap isterinya, tertuang antara lain dalam firman Allah SWT:

C ﺝ

'*ﻡ *:

,4$

7 98

0R)

R&

,4$

ST&

* U

*

...

7 8

34:4 13

Shahih Muslim, Kitab Al-Hajj, Bab: Hijatin Nabiyyi SAW, Beirut: Daar Al-Kitab Ilmiah, t.th, juz 4, h. 512

14

Al-Afifi, et.al, Hak Suami Atas Isteri Dan Hak Isteri Atas Suami, Beirut: Daar El-Fikr, cet. Ke I, h. 8


(26)

artinya:“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka...” (Q.S. An-Nisa / 4 : 34)

Pada ayat lain Allah SWT menegaskan dalam surat Al-Baqarah 2 : 228

...

9 4

C ﺝ

4$

=ﺝ<P

..

228:2

"

Artinya: “... akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya...”(Q.S. Al-Baqarah:228)

Menurut Abdul Qadir Djaelani, kelebihan derajat ini bukan pada derajat kekuasaan dan pemaksaan, tetapi kelebihan ini terletak pada derajat kepemimpinan rumah tangga yang timbul akibat adanya akad nikah dan kepentingan hidup bersama sebagai suami isteri. Ia adalah derajat kepemimpinan yang dibebankan kepada laki-laki sebagai derajat yang melebihkan tanggung jawab laki-laki atas wanita. Segala persoalan isteri, anak, dan rumah tangga, semua diserahkan dan dikembalikan kepada suaminya. Isteri akan meminta pada suaminya kebutuhan belanja rumah tangga dan segala sesuatu yang berada di luar kesanggupan dan upaya isteri15

Dan dalam hadits juga dikatakan:

$

SV)

$

$

AB<

34

8$

$

9A 8

,4E

34

3 4$

4ﺱ

C :

W4+

SX <

W4+

C*/ ﻡ

$

3 $<

15


(27)

ﻡY

SX <

0ﺝ

SX <

,4$

0

3

= $ <

,4$

Z

ﺝ ;

IL

W4 )

SX <

W4+

C*/ ﻡ

$

3 $<

I <

[< \

"

16

Artinya: “Dari Nafi’ dari Ibnu Umar ra. Dari Rasulullah SAW berkata: “setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya kepemimpinannya itu, seorang laki-laki adalah pemimpin dalam (urusan) pada anggota keluarganya, dan seorang isteri pemimpin atas diri dan anak-anaknya, kepadanya diminta pertanggungjawaban atas pimpinannya itu” (HR. Bukhari)

2. Memenuhi keutuhan biologis

Suami berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis terhadap isterinya dengan cara melakukan hubungan seks. Hal ini telah diatur oleh Allah sebagaimana dalam firman-Nya:

+7

]

*ﺕY)

,

/#

*ﻡ9L:

U Y

(

223 : 2

Artinya: “Isteri-isterimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 223)

Penjelasan dari ayat ini yaitu mengandung perintah dan perintah itu ditujukan kepada suami, maka suami wajib menggauli isterinya. Isteri diibaratkan sebagai tanah tempat kamu bercocok tanam. Jadi suami disuruh memelihara tanahnya itu dengan cara yang baik. Maksudnya adalah dalam melakukan hubungan suami

16

Shahih Bukhari, Kitab Al-Hajj Bab: Al-Maratu Raa’iyatun Fi Baiti Zaujiha, Beirut-Lubnan: Daar El-Fiqr, t.th, juz 5, h. 5200


(28)

isteri supaya dapat melakukannya dengan cara yang baik, tidak boleh egois tanpa memelihara diri seorang isteri. Dan hendaklah suami memikirkan supaya jangan sampai terjadi kegelisahan-kegelisahan yang mengakibatkan pertengkaran yang akhirnya sampai pada perceraian17. Karena itu hubungan seks antara suami isteri harus dilakukan dengan cara yang sopan dan berseni, tidak bagaikan hewan layaknya18. Dalam hadits juga dijelaskan bahwa:

_

ی

+L

,4$

3ﺕ ﻡ

+

V ﺕ

= >

8

C*ﺱ<

0 :

:

C*ﺱ

ی

C*ﺱ<

`

C :

:

=4

ab

I <

یL

A 4

*

8ﻡ

"

19

Artinya: “Janganlah diantara kamu yang mencampuri (coitus) isterinya seperti kelakuan binatang, melainkan adakanlah diantaranya salah satu tanda. Bertanya salah seorang sahabat: “apa tanda itu ya Rasulullah?” jawab Rasulullah, “cium dan berkata yang manis-manis”. (H.R Ad-Dailami hadits munkar)

3. Suami wajib menjaga dan memelihara isterinya

Maksudnya ialah menjaga kehormatan isteri, tidak menyia-nyiakannya dan menjaganya agar selalu melaksanakan semua perintah Allah dan menghentikan segala yang dilarang-Nya, Allah SWT telah berfirman surat At-Tahriim ayat 6 yaitu:

Wی ی

یN

8ﻡ

*

*:

U

4

.<

)…

ی >

c ! cc

"

17

Firdaweri, “Hukum Islam Tentang Fasakh, h. 28

18

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, h. 127-128

19

Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Minhajul Muslim, Madinah: Daar Al-Bayaan al-Arabi, 1384, h. 415


(29)

Artinya: “hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...(Q.S. At-Tahrim 66 : 6)

4. Suami berkewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kemampuan dan penghasilannya berupa: nafkah hidup, kiswah (pakaian), dan tempat tinggal, serta biaya pendidikan bagi anak20.

5. Kewajiban berlaku adil di antara beberapa orang isteri

Kalau suami mempunyai isteri lebih dari seorang, maka hendaklah ia berlaku adil terhadap isteri-isterinya itu21. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:

...

'()

U5

_

* L&

L *)

Z 4ﻡ

ی

d e

, P

_

* *&ﺕ

7 8

f ! g

"

Aryinya: “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) perempuan seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. An-Nisa 4 : 3)

Selain itu kewajiban suami yang lainnya ialah memberi perhatian penuh kepada isteri, setia dengan menjaga kesucian nikah dimanapun berada, membimbing isteri sebaik-baiknya, selalu bersikap jujur kepada isteri, memahami kekurangan isteri, dan memberikan kemerdekaan kepada isteri untuk bergaul di tengah-tengah masyarakat dan lain-lain22.

Adapun menurut KHI kewajiban suami terhadap isteri dijelaskan secara rinci dalam pasal 80, 81 dan 82, yang berbunyi sebagai berikut:

20

Slamet Abidin et.al, Fiqh Munakahat I, h. 162

21

Firdaweri, “Hukum Islam Tentang Fasakh, h. 31

22


(30)

Pasal 80:

(1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.

(2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.

(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak

c. Biaya pendidikan anak

(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.

(2) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

(3) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (2) gugur apabila isterinya nusyuz.

Pasal 81:

(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya, atau bekas isterinya yang masih dalam iddah.


(31)

(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat. (3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan

anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.

(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Pasal 82:

(1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya keluarga yang ditanggung masing-masing isteri kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

(2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

B. Hak dan Kewajiban Isteri Terhadap Suami 1) Hak dan Kewajiban Isteri Terhadap Suami


(32)

Kewajiban isteri kepada suami mempunyai ikatan yang tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban suami terhadap isteri. Adapun kewajiban isteri terhadap suami tidak ada yang berupa materi, di antaranya yaitu: a. Taat kepada Allah dan suami

Kewajiban seorang isteri untuk taat kepada Allah dan taat kepada suami, antara lain tertuang dalam firman Allah SWT:

...

h > i )

h :

ZG)

j k4

lU

) ...

7 8

(

4 : 34

“...karena itu wanita yang sholehah adalah yang taat kepada allah, lagi memelihara dirinyadisaat suaminya tidak ada, karena allah telah memelihara (mereka)...” (Q.S. An-Nisa: 34)

Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa kewajiban isteri yang baik yaitu mentaati allah dan suami secara utuh, baik disaat suaminya dirumah atau pada saat suaminya bepergian. Pengertian taat kepada Allah adalah menerapkan segala ketentuan-ketentuan Islam, dan menjauhkan segala nilai dan ajaran yang tidak Islami, demikian juga taat kepada suami adalah menerapkan ajaran Islam dan menjauhkan segala larangannya dalam kehidupan rumah tangga sehingga rumah tangga itu benar-benar berada dijalan Allah. Hal ini dipertegas lagi dalam sebuah hadits yang berbunyi:

_

=$ m

A)

= i&ﻡ

)

I <

L

(

23

“tidak boleh taat mendurhakai allah” (HR. Ahmad)

23

Al-Imam Ahmad Ibn Hambal, Al-Musnad Lil Imam Ahmad Ibn Hambal, Beirut: Daar el-Fikr, 1911/1411, cet. Ke I, juz I, h. 202


(33)

Maksudnya adalah ketaatan pada suami hanya bisa dilaksanakan apabila perintah dan suruhannya tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah. Isteri hanya wajib kepada perintah dan suruhan suami, apabila perintah itu tidak menyalahi syari’at Islam24.

b. Menjaga kehormatan diri

Seorang isteri selain diperintahkan untuk taat kepada Allah dan suaminya, isteri juga harus menjaga kehormatan dirinya, baik disaat suaminya berada dirumah ataupun tidak. Seperti yang terdapat dalam hadits Rasulullah SAW:

$

A

ی

C :

0 :

C*ﺱ

34

,4E

34

3 4$

4ﺱ

WM

7 98

5

C :

A

IW ﺕ

eF

G

3& nﺕ

eF

3U \ﺕ

A)

U

I ی

I <

Aﺉ 8

"

25

“Dari Abu Hurairah ra Rasulullah SAW bersabda: “sebaik-baik perempuan itu ialah yang menggembirakanmu bila engkau memandangnya, dan taat kepadamu apabila engkau memerintahkannya dan memelihara kehormatan dirinya dan hartamu pada saat engkau tidak ada dirumah”. (HR. An-Nasai)

c. Kewajiban mengurus rumah tangga

Perbedaan fisiologi dan fungsi antara suami dan isteri, menyebabkan perbedaan kewajiban dan tanggung jawab. Apabila suami bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga secara keseluruhan baik keluar maupun kedalam, maka isteri bertanggung jawab terhadap kehidupan rumah tangga secara intern, seperti yang terdapat dalam hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

24

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, h. 143-145

25


(34)

...

<

= $

,4$

Z

ﺝ ;

IL

W4 )

SX <

W4+

C*/ ﻡ

$

3 $<

)

I <

< \

M

(

26

“Tiap-tiap wanita (isteri) adalah pengurus bagi rumah tangga suaminya, dan akan ditanyakan (diminta pertanggung jawabannya) tentang kepemimpinannya itu”. (HR. Bukhari)

d. Isteri harus memenuhi hasrat seksual suaminya

Isteri harus memenuhi hasrat seksual suaminya kecuali bila sedang haid dan nifas. Ini diterangkan oleh hadits Rasulullah SAW dibawah ini:

$

A

ی

AB<

38$

$

8

A

E

4

,

$

4

3

4

:

C

:

eF

$P

0ﺝ

3ﺕ

, F

3# )

Z Y)

'

7A1ﺕ

h )

' Ro

8&

= ﺉb

,

p iﺕ

qU ﻡ

3 4$

"

27

“Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW beliau bersabda: “apabila suami membawa isterinya ketempat tidur (bersetubuh) lalu isteri tadi tidak mau datang, lantas si suami marah, maka malaikat mengutuk isteri itu sampai waktu subuh”, (Muttafaqun ‘Alaih)

Begitulah Rasul sangat menekankan agar isteri mengabulkan permintaan suaminya, bahkan malaikat ikut serta melaknat seorang isteri yang tidak mau diajak suaminya untuk bersetubuh28

Dalam riwayat Muslim dikatakan bahwa:

...

' +

[N

,)

7

.r5 ﺱ

4$

,

,B ی

8$

I <

4 ﻡ

"

29

“... maka yang ada dilangit marah kepadanya sehingga dia (suami) mau merelakannya” (HR. Muslim)

26

Bukhari, Kitab Al-Hajj Bab: al-Mar’atu, h. 5200

27

Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari Bab Jum’ah, Beirut, al-Maktabah al-Ashriyah, 1997/1417, juz I, Cet ke I, h. 267

28

Firdaweri, “Hukum Islam Tentang Fasakh, h. 38

29


(35)

Hadits ini memberitahukan bahwa seorang isteri wajib mengabulkan ajakan suaminya, jika suami mengajaknya bersenggama. Karena kata-kata “mengajak ketempat tidur” adalah ungkapan kiasan yang berarti “bersetubuh”. Alasan lain yang menunjukkan wajibnya ialah adanya “malaikat melaknatnya”, karena para malaikat tidak akan melaknat kalau bukan karena meninggalkan perintah Allah, dan juga sebagai hukuman. Sedangkan tidak akan ada hukuman kecuali karena meninggalkan kewajiban30.

e. Isteri mesti jujur memelihara amanah suami

Seorang isteri harus memelihara kamarnya, jangan membiarkan seseorang masuk kedalamnya sebelum mendapat izin suaminya, jika suaminya tidak berada dirumah. Karena hak suami harus dipelihara oleh isteri pada tiap-tiap waktu sekalipun suaminya pergi. Mengenai izin suami, isteri dapat mengetahui asal diketahui redhonya31.

Dalam hukum positif kewajiban seorang isteri diatur juga dalam KUHPer yaitu pasal 106:

“Setiap isteri harus tunduk patuh kepada suami”.

Kata patuh disini termasuk mengenai patuh pada suami dalam hal penentuan tempat tinggal. Apabila tempat tersebut baik untuk

30

M. Bukhari, Hubungan Seks Menurut Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, cet I, h. 73-74

31


(36)

kehidupan keluarganya dan disertai dengan alasan yang masuk akal, maka isteripun harus ikut tinggal denga suaminya32.

Di dalam KHI, kewajiban isteri terhadap suami dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 83:

1. Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Islam. 2. Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga

sehari-hari dan sebaik-baiknya.

C. Hak dan kewajiban bersama suami isteri

1. Suami isteri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual. Perbuatan ini merupakan kebutuhan bersama suami siteri yang dihalalkan secara timbal balik. Jadi bagi suami halal berbuat kepada isterinya sebagaimana isteri berbuat kepada suaminya33, dan tidak dibenarkan apabila hubungan seksual tersebut dilakukan tidak atas dasar suka sama suka, dalam arti kedua pasangan tersebut bisa saling menikmatinya, tidak boleh ada unsur paksaan, karena dalam hubungan suami isteri, justru harus saling melindungi dan menyayangi serta menutupi segala kekurangan dari kedua belah pihak (pasangan). Hal tersebut sesuai dengan firman allah SWT Q.S Al-Baqarah /2 : 187

32

R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, “KUHPer (BW)”, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001, Cet ke 31, h. 27

33

Abd. Rahman Ghazaly, “Fiqh Munakahat”, Jakarta: Prenada Media, 2003, ed. 1, Cet ke. 1, h. 155-156


(37)

...

s

)...

(187:2

Artinya: “isteri-isteri kamu (para suami) adalah untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka”.(Q.S. Al-Baqarah:187)

Allah SWT menerangkan pula bahwa suami isteri sama dengan pakaian, isteri pakaian suami dan suami pakaian isteri. Oleh sebab itu hendaklah pakaian tersebut dapat dipergunakan, dipakai serta dipelihara dengan baik agar dapat tahan lama34.

2. Haram melakukan perkawinan, ialah isteri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakek, anak dan cucunya. Begitu juga ibu isterinya, anak perempuannya dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.

3. Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah, bila mana salah seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan perkawinan, yang lain dapat mewarisi hartanya, sekalipun belum pernah melakukan hubungan seksual.

4. Anak mempunyai nasab (keturunan) yang jelas bagi suami.

5. Kedua belah pihak wajib bergaul (berperilaku) yang baik, sehingga dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup35.

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT

...

# $

&

%

)…

7 8

( 19 :4

Artinya:“... dan bergaullah dengan mereka (isteri) dengan patut...”

(Q.S. An-Nisa 4 : 19)

34

Firdaweri, “Hukum Islam Tentang Fasakh, h. 29

35


(38)

Kata-kata

# $

(

# &

)

ialah mengandung pengertian

musyarakat (saling melakukan seperti itu) maksudnya suami wajib bergaul dengan isterinya dengan cara yang baik, dan begitu pula isterinya wajib pula memperlakukan suaminya dengan cara demikian36.

Dalam hukum positif perihal hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi :

Pasal 30:

“Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.

Pasal 31:

(1) Hak dan kewajiban isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama didalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga

Pasal 32:

(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33:

36


(39)

“Suami isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”.

Pasal 34:

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan37.

Dalam KHI kewajiban suami isteri dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

Pasal 77:

(1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

(3) Suami isteri wajib memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

(4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

37

Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta: PT: Intermasa, 1991), h. 193


(40)

(5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.

Pasal 78:

(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami isteri bersama-sama38.

38


(41)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG TAKLIK TALAK

A. Pengertian Taklim Talak dan Dasar Hukumnya 1. Pengertian Taklik Talak

Kalimat taklik talak secara etimologis berasal dari dua suku kata, yaitu kata taklik dan kata talak. Kata taklik talak adalah bentuk mashdar dari kata :

. 4&ﺕ q94&ی q4$, yang bermakna menggantungkan sesuatu dengan suatu atau

menjadikannya tergantung dengan sesuatu39. Para ulama memberikan defenisi dengan :

<

r

i

*

C

R

*

S'

4

S=

>

i

*

SC

R

*

S'

4

S=

5

[

*

'

1

4

=

,

4

=

1

t

7

6

=

4

=

?

u

40

Artinya: “Menggantungkan hasil kandungan jumlah yang dinamakan jaza’ (akibat) dengan kandungan jumlah yang lain yang dinamakan syarat”.

Sedangkan kata Talak berasal dari kata:

.:bm q94nی q4m

, yang berarti meninggalkan, memisahkan, melepaskan ikatan41. Para ulama memberikan defenisi Talak secara bahasa adalah:

>

<

:

L

I

>

*

I

Artinya: “Melepaskan dari ikatan dan semisalnya”42.

39

Louis Ma’luf, Al-Munjid, Beirut: Darul Masyriq, tth, h 549

40

Mahmud Syalthut dan Ali Al-Sayis, Muqaranah al-Madzahib fil Fiqhi, Terjemahan Zakiy al-Kaaf, Bandung : Pustaka Setia, 2000, h. 210

41

Louis Ma’luf, Al-Munjid, h. 488

42


(42)

Abdurrahman Jaziri dalam kitabnya Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, mengatakan bahwa pengertian talak menurut bahasa adalah:

W0

L

*

7

+

'

9

.

+

L

U

:

L

_

&

8

*

sی.

+

L

98

H

43

Artinya: “Melepaskan ikatan, baik secara indrawi (hakiki) seperti melepas kuda atau tahanan, maupun secara maknawi seperti melepaskan perkawinan”.

Al-Kahlani dalam kitabnya Subulus Salam mengatakan bahwa talak menurut bahasa adalah :

_

<

C

v

44

Artinya : “Melepaskan perjanjian atau meninggalkannya”.

Adapun taklik talak secara terminologi sebagaimana yang dikemukakan Wahbah al-Zuhaily adalah:

<

j

:

*

$

3

$

,4

i

*

C

S

)

,

0

Y

P

S

P

h

?

u

[

&

4

q

6

0

F

'

w

Fe

w

,

w

*

>

*

+ w

Y

'

ی

*

C

0

t

3

!

F

'

P

5

4

Z

P

<

)

b

S'

)Y

Z

m

q

Artinya : “Suatu rangkaian pernyataan yang pembuktiannya dimungkinkan terjadi diwaktu yang akan datang dengan memakai kata-kata syarat, seperti jika, ketika, kapanpun, dan sebagainya, seperti perkataan suami pada isterinya “jika kamu memasuki rumah fulan, maka kamu tertalak”45.

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya juga memberikan defenisi taklik talak sebagai berikut:

43

Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah Kairo:Darul Hadits, jilid 4, h. 274

44

Al-Kahlani, Subul al-Salam, Bandung: Dahlan, tth, jilid 3, h. 168

45

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Damaskus: Darul Fikr, 1997, jilid 9, h. 6968


(43)

&

0

t

x

)

3

i

*

C

n

b

y

&

4

.

$

,4

#

Su

ﻡ w

6

0

'

ی

*

C

*

C

t

3

!

F

'

e

Z

F

,

S'

+

N

) w

Y

Z

m

q

46

Artinya: “Suami dalam menjatuhkan talak digantungkan kepada sesuatu syarat, umpamanya suami berkata: “jika engkau pergi kesuatu tempat, maka kamu tertalak…”.

Kemudian dalam kamus istilah fiqh disebutkan bahwa taklik talak adalah menggantungkan jatuhnya talak atas suatu hal, maka talak jatuh bila hal itu terjadi. Contohnya suami berkata kepada isterinya “Engkau tertalak bila saya tidak memberimu belanja dalam masa tiga bulan”. Maka jika suami genap tiga bulan tidak memberi nafkah kepada isterinya, jatuhlah talak suami47.

Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah dirumuskan bahwa taklik talak adalah suatu rangkaian pernyataan talak yang diucapkan oleh suami, dimana pernyataan tersebut digantungkan pada suatu syarat yang pembuktiannya dimungkinkan terjadi diwaktu yang akan datang.

Sedangkan pengertian taklik talak yang dipraktekkan di Indonesia berbeda dengan pengertian taklik talak yang ada dalam kitab fiqh. Sebagaimana yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian taklik talak adalah : “perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan

46

Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah, Beirut: Daar el-Fikr, 1983, jilid 2, Cet ke 4, h. 222

47

M. Abdul Mujid, Mabruru Thalhah Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, Cet ke I, h. 366


(44)

pada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang”48.

2. Dasar Hukum Taklik Talak

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam pembahasan mengenai hukum taklik talak. Mereka ada yang membolehkan dan ada yang menolaknya, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Perbedaan tersebut sampai sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam yang disebabkan oleh banyak macam dan sifat dari taklik talak itu sendiri. Selain disebabkan oleh macam dan sifat taklik talak, para ulama yang tidak setuju dengan adanya taklik talak juga berpendapat bahwa dasar hukum taklik talak tidak terdapat dalam Al-Quran dan al-Hadits. Hal itu diungkapkan oleh Abu M. Ibn Hazm Ibn Yahya Ibn Aziz dan al-Syafi’i49.

Sedangkan jumhur ulama berpendapat apabila seorang telah mentaklikkan talaknya kepada seseorang yang ada dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai yang dikehendaki oleh mereka masing-masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik talak, baik taklik itu berupa sumpah (taklik talak qasami) maupun berupa syarat (taklik talak syarthi)50. Dalil yang digunakan oleh jumhur ulama untuk memperkuat pendapat mereka tersebut adalah Firman Allah SWT:

y 4n

' ﺕ ﻡ

v ﻡ()

S% &

pی ﺕ

S'

(

!

"

48Kompilasi Hukum Islam

, Ditbinbapera Depag RI, 2000, h. 13

49

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 223

50


(45)

Artinya : “Talak yang dapat dirujuki adalah dua kali, setelah itu boleh dirujuk kembali dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik…” (QS. Al-Baqarah 2:229)

Ayat yang diturunkan mengenai disyari’atkannya talak semuanya adalah mutlak, dan yang mutlak itu menjadi hujjah selama tidak ada dalil lain yang shahih.

Ayat di atas tidak membedakan talak yang langsung atau yang di taklikkan. Dalam KHI, taklik talak dimasukkan dalam bentuk-bentuk pejanjian perkawinan (KHI Pasal 45). Perjanjian yang mengikat menurut lazimnya mencakup semua yang mengikat dan taklik talak merupakan bentuk perjanjian. Jadi dalam hal ini taklik talak adalah sebuah perjanjian yang mengikat di antara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut Allah SWT berfirman:

ی

یN

*8ﻡ 7

*)

P* &

Lﺉ

!

"

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah semua perjanjian yang mengikat”. (QS. Al-Maidah, 5:1)

B. Sejarah Perkembangan Taklik Talak Di Indonesia.

Sesuai dengan pengertian taklik talak itu sendiri, yaitu suatu rangkaian talak yang diucapkan oleh suami yang digantungkan oleh suatu syarat pembuktian yang dimungkinkan terjadi pada waktu yang akan datang, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa bentuk kepentingan dari isi shigat taklik talak tersebut ada dua macam:


(46)

1. Shigat taklik talak yang berupa kepentingan dari hak suami, misalnya ucapan suami: “jika engkau pergi kerumah si fulan, maka engkau tertalak”. Isi dari shigat taklik talak tersebut adalah kepentingan untuk mentaati perintah suami dan tidak ada hubungannya dengan hak isteri.

2. Shigat taklik talak yang berupa kepentingan hak isteri, misalnya ucapan suami kepada isterinya: “jika aku tidak menafkahi engkau selama tiga bulan, maka engkau tertalak”. Isi dari shigat taklik talak kedua ini adalah menyangkut hak isteri.

Tetapi perkembangannya yang terjadi kemudian, khususnya di Indonesia, shigat taklik talak adalah shigat yang berisi kepentingan untuk menjaga atau menjamin hak-hak isteri. Menurut catatan sejarah, perkembangan taklik talak di Indonesia dimulai pada masa Kerajaan Islam Mataram, tepatnya pada masa Sultan Agung Hanyakrukusuma (1630 M). Pada saat itu sultan mengeluarkan sebuah titah atau perintah berupa keharusan untuk melakukan taklik talak kepada setiap mempelai pria yang melangsungkan pernikahan51.

Taklik talak itu dikenal dengan “taklik janji dalem” atau “taklik janji ning ratu”, yang berarti taklik talak dalam kaitan dengan tugas Negara52. Perintah taklik talak itu bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi seorang wanita (isteri) untuk dapat melepaskan ikatan perkawinan dari suami yang telah meninggalkan pergi dalam jangka waktu tertentu, artinya hak isteri diperteguh,

51

Zaini Ahmad Noeh, Pembacaan Shigat Taklik Talak Sesudah Akad Nikah, Mimbar Hukum, Jakarta : Ditbinbapera no. 30 Th. VII, 1997, h. 64

52

Peunoh Dally, Talak, Rujuk, Hadhonah Dan Nafkah Kerabat Dalam Naskah Mir’at al-Thullab: Suatu Studi Perbandingan Hukum Isteri Menurut Ahlussunnah, Disertasi Provendus Doctor, Jakarta: Perpustakaan Syari’ah UIN Syahid, 1983 h. 85


(47)

dan sekaligus memberikan kemudahan bagi sang hakim dalam menjatuhkan talak yang digantungkan. Selain itu pelembagaan taklik talak waktu itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan bagi seorang suami apabila kepergiannya dalam menjalankan tugas Negara, artinya suami dilindungi dan kepergiannya menjadi

udzur syar’i.

Adapun bunyi taklik talaknya adalah sebagai berikut:

“Mas penganten, pakenira tompo taklik janji dalem, samongso pakenira nambang (ninggal) rabi pakenira… lawase pitung saso lakon daratan, hutawa nyabrang sagara rong tahun, saliyane ngelakoni hayahan dalem, tan taimane rabi pakenira nganti darbe hatur rapak (sawan) hing pengadilan hukum, sawuse terang papriksane runtuh talak paprikane sawiji”53.

(Wahai pengantin pria, engkau menerima taklik janji dalem, sewaktu-waktu engkau menambang (meninggalkan pergi) isterimu bernama… selama tujuh bulan perjalanan darat, atau menyebrang lautan selama dua tahun, kecuali dalam menjalankan tugas Negara, dan isterimu tidak rela sehingga mengajukan rapak (menghadap) ke pengadilan hukum, setelah pemeriksaannya, maka jatuhlah talak satu untukmu)

Pada waktu itu shigat taklik talak diucapkan oleh penghulu naib, bukan oleh mempelai pria. Mempelai pria hanya cukup menjawab dengan jawaban

“hinggi sandika” (ya, saya bersedia). Bentuk taklik talak semacam ini, pada waktu itu berlaku di daerah Surakarta dan berjalan sangat lama hingga menjelang kemerdekaan.

53


(48)

Sedangkan menurut C. Von Vollenhoven, pelaksanaan taklik talak yang dalam bahasa Belanda disebut voorwaardelijke verstoting adalah diungkap oleh Snouck Hurgronje dalam pembahasan hukum adat.

Dalam suasana Hindia Belanda, sejak Deandels mengeluarkan instruksi bagi Bupati (1808), maka timbul gagasan para penghulu dan ulama dengan persetujuan untuk melembagakan taklik talak sebagai sarana pendidikan bagi suami agar lebih mengerti kewajibannya terhadap isteri, yaitu dengan tambahan rumusan shigat tentang kewajiban pemberian nafkah dan tentang penganiayaan jasmani. Sesuai dengan pengertian talak, maka taklik talak tidak lagi diucapkan oleh pegawai pencatat nikah, akan tetapi dibaca sendiri oleh suami sesudah akad nikah.

Melihat bahwa format taklik talak di Jawa itu bermanfaat dalam menyelesaikan perselisihan antara suami isteri, maka banyak penguasa dari luar Jawa dan Madura memberlakukannya di daerahnya masing-masing. Ini menjadi lebih merata dengan berlakunya Ordonansi pencatatan nikah untuk luar Jawa dan Madura, yakni melalui Stbl 1932 No. 482. Ini terbukti dengan berlakunya taklik talak di daerah Minang Kabau (1925) bahkan di Muara Tembusi (1910), begitu pula di daerah Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Selatan, serta Sulawesi Selatan54.

Para ulama kemudian menyarankan agar dalam shigat taklik talak ditambahkan ketentuan tentang pemberian iwadh (uang pengganti). Ini dimaksudkan untuk menjamin agar jatuhnya talak karena pelanggaran taklik talak

54Ibid


(49)

menjadi talak ba’in atau talak khul’i sehingga seorang suami yang mempunyai niat buruk tidak dapat serta merta merujuk kembali terhadap bekas isterinya yang selama itu telah menderita akibat perbuatan suami.

Adapun usulan penambahan redaksi dalam format taklik talak dengan ketentuan memberi iwadh dipelopori oleh ulama dari daerah Banten dan menjadi

pembahasan yang ramai di kalangan ulama Sumatra Selatan pada tahun 1970-an. Format taklik talak yang mengandung unsur-unsur : (1) meninggalkan

pergi, (2) tidak memberi nafkah, (3) penganiayaan jasmani, dan (4) isteri membayar uang iwadh, berkembang menjadi pola umum yang berlaku diseluruh daerah sekalipun rumusannya berbeda-beda sesuai dengan bahasa daerah masing-masing.

Dalam suasana kemerdekaan, dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946, jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1952, maka ketentuan tentang shigat taklik talak diberlakukan seragam di seluruh Indonesia, dengan pola diambil dari saran sidang khusus Biro Peradilan Agama pada Konferensi Kementrian Agama di Tretes-Malang (1956)55, dan terakhir setelah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan shigat taklik talak yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990.

C. Shigat Taklik Talak dan Akibat Hukumnya 1. Shigat Taklik Talak

55Buku Laporan Kementrian Agama


(50)

Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa dalam kitab-kitab fiqh klasik, konsep shigat taklik talak berisi kepentingan-kepentingan dari dua belah pihak antara suami dan isteri di dalam perkawinan. Hal ini berbeda dengan shigat taklik talak yang ada di Indonesia. Shigat taklik talak di Indonesia, baik dari segi bentuk, syarat dan motivasi dibuatnya, berbeda dengan konsep shigat taklik talak yang ada dalam kitab-kitab fiqh klasik. Isinya bukan lagi merupakan suatu ancaman suami terhadap isteri, namun berupa janji suami untuk berbuat baik dan mempergaulinya dengan

mu’asyarah bi al-ma’ruf sesuai dengan syari’at Islam56.

Konsep tersebut diambil oleh para ulama Indonesia dengan mengadopsi konsep taklik talak dalam fiqh klasik yang dijadikan satu rangkaian dengan akad nikah dengan beberapa modifikasi di dalamnya, antara lain:

a. Dari segi waktu, taklik talak tidak bisa diucapkan lagi sebebas dan sekehendaknya, tetapi pengucapannya ditentukan setelah akad dan dalam bentuk tertulis serta harus ditandatangani.

b. Dari segi isi, taklik talak ditentukan sebelumnya yaitu menurut rumusan yang telah ditentukan oleh Menteri Agama dengan Ketetapan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990.

c. Terjadinya persetujuan bersama antara suami dan isteri dalam pembacaan shigat taklik talak, sehingga keduanya terikat oleh perjanjian tersebut.

56


(51)

d. Adanya penggabungan materi hukum kedalam taklik talak sehingga implikasinya tidak lagi jatuh talak satu (talak raj’i), melainkan talak ba’in sughra dengan adanya pembayaran uang iwadh dari pihak isteri kepada suami ketika gugatannya atas pelanggaran taklik talak diterima oleh Majlis Hakim. Dalam hal ini posisi taklik talak mendapatkan tambahan materi dengan konsep talak khul’i.

Adapun bunyi dari shigat taklik talak tersebut sesuai dengan Ketetapan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990 adalah sebagi berikut:

“Sesudah akad nikah, saya… berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan pergauli isteri saya bernama……. Binti…… dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syari’at islam. Selanjutnya saya mengucapakan sewaktu-waktu saya:

1. Meninggalkan isteri dua tahun berturut-turut

2. Atau saya tidak memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya 3. Atau saya menyakiti badan jasmani isteri saya itu,

4. Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya itu enam bulan lamanya, kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan memberikannya untuk keperluan ibadah sosial57.

Dan uraian tentang poin-poinnya sebagai berikut: 1. Meninggalkan isteri selama dua tahun berturut-turut

Dalam hal meninggalkan dua tahun berturut-turut, KHI tidak mengaturnya secara sepihak, namun kita bisa mengkorelasikan hal itu dengan Pasal 116 (b) yang berbunyi “perceraian dapat terjadi dengan alasan-alasan:

57


(52)

salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau bukan hal lain di luar kemampuannya”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka kepergian suami selama dua tahun berturut-turut tidak begitu saja bisa dikategorikan melanggar shigat taklik talak apabila kepergianya itu atas persetujuan isteri atau karena sesuatu hal yang tidak dapat ditolak dan harus dilaksanakan.

Kemudian sesuai dengan Pasal 133 ayat 1 KHI, perhitungan waktu kepergian suami dimulai sejak pertama kali meninggalkan rumah. Dan hal ini dapat dibuktikan dengan surat pernyataan Kepala Desa yang disahkan oleh pejabat yang berwenang serendah-rendahnya Camat58.

Meskipun telah terbukti bahwa kepergian suami lewat dua tahun dan dibuktikan dengan surat pernyataan dari kepala desa, namun hal ini belum cukup, karena harus ditambahkan pula dengan pernyataan suami yang menunjukkan sifat tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (KHI Pasal 133 ayat 2).

2. Tidak memberi nafkah wajib selama tiga bulan

Ketika terjadi perkawinan, maka suami sebagai kepala rumah tangga mempunyai tugas dan kewajiban untuk melindungi dan memberi nafkah kepada isterinya dan keluarganya, sebagaimana firman Allah SWT:

58Kompilasi Hukum Islam


(53)

qU8

e

S=&ﺱ

3 &ﺱ

<L:

3 4$

3:;<

qU8 4)

I ﺕ 7

34

z94 ی

34

. U

F

ﺕ 7

0&1 ﺱ

34

L&

S $

. ی

ybn

!

"

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan (sekedar) apa yang allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudak kesempitan”. (QS.Ath-Thalak 65:7).

Kewajiban suami adalah mencari nafkah untuk keluarganya. Kewajiban ini merupakan konsekuensi dari kedudukannya sebagai kepala keluarga. Sedangkan isteri berkewajiban menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Sesuai dengan Pasal 80 ayat 4 KHI, yang menjadi tanggungan suami adalah:

a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak

c. Biaya pendidikan bagi anak.

Apabila suami melalaikan kewajibannya memberikan nafkah selama tiga bulan berturut-turut, maka isteri berhak mengambil tindakan hukum melalui pengadilan agama, dan apabila suami terbukti bersalah, maka isteri bukan saja berhak mengajukan perceraian, namun juga berhak


(54)

mendapatkan kembali nafkah yang belum dibayar sebagai hutang yang harus dilunasi oleh suami59.

3. Menyakiti badan atau jasmani

Dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1990 rumusan kata menyakiti terbatas pada menyakiti badan atau jasmani saja. Akan tetapi PP No. 9 Tahun 1975 mengatakan bahwa penganiayaan mental bisa dijadikan alasan untuk perceraian. Dengan demikian antara PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara menentukan suatu perbuatan bisa dikatakan menyakiti atau membahayakan isteri. Standar obyektif yang digunakan untuk menilai hal itu sangat sulit ditentukan. Akan tetapi hakim dapat menggunakan hasil visum dokter untuk menentukan ada tidaknya perbuatan yang menyakiti isteri yang dapat digunakan sebagai alasan perceraian.

Akan halnya menyakiti jasmani, kekejaman mental pun sangat sulit untuk menentukan standar penilaiannya. Namun hakim dapat memutuskan hal itu berdasarkan ‘urf (kebiasaan) yang ada dan berlaku dalam masyarakat.

4. Membiarkan (tidak mempedulikan) isteri selama enam bulan

Sebagian Hakim Pengadilan Agama mengartikan kata “membiarkan” dengan pengertian bahwa alamat suami dapat diketahui dan dihubungi, tetapi

59Ibid


(55)

suami tidak mau ke tempat isterinya dan tidak memperdulikannya sama sekali.

Jadi inti dari penafsiran kata “membiarkan” terletak pada suami yang tidak memperdulikan hak-hak isterinya sehingga sesuai dengan Pasal 34 ayat 4 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, gugatan perceraian dapat diajukan ke pengadilan dengam alasan salah satu pihak (dalam hal ini suami) telah melalaikan kewajibannya sebagai suami.


(56)

2. Akibat Hukum

Walaupun taklik talak pelaksanaannya bersifat sukarela (suami boleh membaca atau tidak membacanya), tetapi apabila taklik talak itu dilakukan maka perjanjian tersebut tidak dapat dicabut kembali, sehingga akibat hukum yang dihasilkan apabila suami melanggar perjanjian taklik talak yang diucapkannya adalah jatuh talak ba’in sughra, yakni memutuskan hubungan perkawinan suami isteri setelah kata talak diucapkan. Hal tersebut bisa terealisasi dengan cara isteri mengadukan pelanggaran suami tersebut ke pengadilan agama dan aduannya diterima oleh pengadilan serta isteri dapat membuktikan pelanggaran yang dilakukan suami tersebut diikuti dengan pembayaran uang iwadh.

Apabila talak telah jatuh, maka isteri kembali menjadi orang lain bagi suaminya. Mantan suami tidak boleh bersenang-senang dengan mantan isterinya apalagi sampai menyetubuhinya, karena suami isteri tersebut bukan mahram lagi dan haram berhubungan badan. Jika dilakukan juga maka hukumnya sama dengan berzina60.

Mantan suami masih berhak untuk kembali (rujuk) kepada mantan isterinya yang tertalak ba’in sughra dengan akad perkawinan baru dan mahar baru selama mantan isterinya belum menikah dengan orang lain.

Mengenai kekuatan berlakunya taklik talak, Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990, menentukan bahwa jika belum terwujud syarat taklik,

60

Yon Ngariono, Pernikahan Yang Dimurka: Keseleo Lidah, Haramkan Hubungan Seks, posmo, III, 118 (23-29 Juni 2001), h. 16


(57)

kemudian suami menjatuhkan talak raj’i dan kemudian suami merujuknya dalam masa iddah, maka taklik talak yang diucapkan suami tesebut tetap mempunyai kekuatan hukum. Jika sewaktu-waktu terwujud syarat taklik, maka isteri dapat menggunakannya sebagai alasan gugatan perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak. Tetapi apabila terjadi talak ba’in atau kawin lagi selepas iddah talak raj’i, taklik talak yang diucapkan suami tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Sehingga jika suami isteri menghendaki berlakunya perjanjian taklik talak, maka perjanjian taklik talak itu harus diulang61.

D. Tujuan Diadakan Taklik Talak

Kehidupan bahtera rumah tangga tidak selamanya berjalan manis dan indah, sewaktu-waktu ada kemungkinan terjadinya hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan. Islam dengan syari’atnya yang komprehensif mengatur hal-hal yang dapat mencegah terputusnya ikatan perkawinan tersebut. Tetapi meski begitu, syari’at Islam dalam mengatur masalah perkawinan, khususnya pada pemegang hak perceraian, hanya terdapat pada hak suami. Dan hal itupun karena dilandasi faktor-faktor yang mengharuskan suamilah yang pantas memegang hak perceraian itu.

Dengan dilembagakannya taklik talak, isteri juga dapat melakukan perceraian dengan syarat perceraian tersebut memang layak untuk dilakukan. Dengan begitu hak-hak isteri dapat terjamin dan suami harus melaksanakan

61


(1)

24 5 5 5 5 5 25

25 5 5 5 4 4 3 5 31

26 4 4 5 4 5 4 4 30

27 4 4 5 4 5 4 4 30

28 5 5 5 5 5 5 5 35

29 5 4 5 5 5 5 5 34

30 4 5 5 5 5 5 5 34

31 5 5 5 5 5 5 4 34

32 5 5 5 5 5 5 5 35

33 5 5 5 5 5 5 4 34

34 5 5 5 5 4 4 4 32

35 5 4 5 5 5 4 5 33

36 4 4 4 4 4 4 4 28

37 5 4 5 4 4 4 4 30

38 4 5 4 4 5 5 5 32

39 4 4 4 4 4 4 4 28

40 5 4 5 5 5 5 5 34

41 4 5 4 4 4 4 4 29

42 5 4 3 3 4 4 5 28

43 4 4 4 4 4 4 4 28

44 5 5 5 5 5 5 5 35

45 4 4 4 5 5 4 4 30

46 4 4 4 5 5 4 4 30

47 4 5 5 5 2 5 5 31

48 5 5 5 5 5 5 5 35

49 4 5 4 4 5 5 5 32

50 4 4 4 4 5 5 4 30

Jumlah 220 212 221 220 230 214 212

Ket: SS

= Sangat Setuju

= 5

TS

= Tidak setuju

= 2

S

= Setuju

= 4

STS

= Sangat Tidak

Setuju = 1

R

= Ragu-Ragu

= 3


(2)

Umur Orang

ke 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 +

1 X

2 X

3 X

4 X

5 X

6 X

7 X

8 X

9 X

10 X

11 X

12 X

13 X

14 X

15 X

16 X

17 X

18 X

19 X

20 X

21 X

22 X

23 X

24 X

25 X

26 X

27 X

28 X

29 X

30 X

31 X

32 X

33 X

34 X

35 X

36 X

37 X

38 X

39 X

40 X

41 X

42 X

43 X

44 X

45 X

46 X

47

48 X

49 X

50 X

Jumlah 20 13 9 7

Pendidikan Orang

ke SD SLTP SLTA D3 S1 +

1 X

2 X

3 X


(3)

5 X

6

7 X

8 X

9 X

10 X

11 X

12 X

13 X

14 X

15 X X

16 X

17 X

18 X

19 X

20 X

21 X

22 X

23 X

24 X

25 X

26 X

27 X

28 X

29 X

30 X

31 X

32 X

33 X

34 X

35 X

36 X

37 X

38 X

39 X

40 X

41 X

42 X

43 X

44

45 X

46 X

47

48

49 X

50 X

Jumlah 7 4 13 7 16

Pekerjaan Orang

ke wiraswasta Peg Negeri Peg Swasta Dll

1 X

2 X

3 X

4 X


(4)

6 X

7 X

8 X

9 X

10 X

11 X

12

13 X

14 X

15 X

16 X

17 X

18 X

19 X

20 X

21 X

22 X

23 X

24 X

25 X

26 X

27 X

28 X

29 X

30 X

31 X

32 X

33 X

34 X

35 X

36 X

37 X

38 X

39 X

40 X

41 X

42 X

43 X

44

45 X

46 X

47 48

49 X

50 X

Jumlah 15 8 5 18

Suku Orang

ke Jawa Melayu Sunda Betawi Dll

1 X

2 X

3 X

4 X


(5)

6 X

7 X

8 X

9 X

10 X

11 X

12 X

13 X

14 X

15 X

16 X

17 X

18

19 X

20 X

21 X

22 X

23 X

24 X

25 X

26 X

27 X

28 X

29 X

30 X

31 X

32 X

33 X

34 X

35 X

36 X

37 X

38 X

39 X

40 X

41 X

42 X

43 X

44 X

45 X

46 X

47

48 X

49 X

50 X


(6)