BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah akad yang menghalalkan hubungan antara dua pihak yang berakad dengan aturan-aturan yang ditetapkan syara’. Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan menyebutkan bahwa pernikahan adalah; “ Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
1
. Menurut agama Islam perkawinan merupakan salah satu ajaran agama yang dasar hukumnya terdapat dalam al-Qur’an
dan Sunnah Nabi. Secara sepintas dapat digambarkan bahwa pernikahan merupakan lembaga
perjodohan antara laki-laki dan perempuan. Kedua belah pihak sepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri menurut aturan-aturan agama. Kesepakatan hidup
bersama mesti diartikan secara totalitas, yakni perpaduan yang tidak hanya terbatas secara lahiriyah saja, akan tetapi suami istri perlu saling membantu dan melengkapi
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Al-Qur’an menggambarkan bahwa
istri sebagai pakaian suami dan suami sebagai pakaian isteri. Pernyataan ini dapat ditemui pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
1
A. Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan Agama, Jakarta: PT. Intermasa, 1997, cet. I, h. 187
Artinya : “... mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi mereka... Q.S. Al-Baqarah:187
Ayat ini mengisyaratkan supaya antara suami isteri terdapat kerja sama yang bulat untuk memikul tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 disebutkan bahwa; “ Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah” . Ketiga sifat ini sakinah, mawaddah, dan rahmah merupakan pra-kondisi
untuk menuju kepada kehidupan keluarga yang bahagia dan sejahtera, dan sangat ditekankan oleh Islam.
Sakinah, sesuai dengan asal katanya yaitu sakana yang berarti diam setelah
bergejolak. Dalam konteks keluarga, sakinah adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, karena biasanya kerisauan antara pria dan wanita beralih menjadi tenang setelah
terjadinya ikatan perkawinan. Sifat sakinah akan terjalin dengan mawaddah. Mawaddah yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan, jadi
mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia
adalah cinta plus. Orang yang mencintai kadang-kadang hatinya dihinggapi perasaan kesal sehingga cintanya menjadi pudar dan bahkan putus. Namun jika dalam hatinya
telah bersemai sifat mawaddah, ia tidak akan lagi memutuskan cintanya, hal ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga tertutup
kemungkinan dihinggapi keburukan lahir dan batin yang mungkin datang dari pasangannya.
Sedangkan sifat rahmah merupakan kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat menyaksikan ketidak-berdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan
untuk memberdayakannya. Oleh karenanya dalam kehidupan keluarga suami dan isteri akan bersungguh-sungguh dan bahkan bersusah payah untuk mendatangkan
kebahagiaan bagi pasangannya serta menolak bagi segala yang mengganggu dan mengeruhkannya
2
. Akan tetapi jika salah satu unsur dari ketiga sifat tadi tidak tertanam secara
kuat dalam suatu keluarga, maka kelangsungan keluarga tersebut akan sangat rapuh. Al-Qur’an menggaris bawahi hal ini, sebab betapapun hebatnya seseorang, ia pasti
memiliki kelemahan, namun demikian betapapun lemahnya seseorang tentu ada juga unsur kekuatannya. Dimana upaya untuk tetap mempertahankan kebahagiaan rumah
tangga seringkali tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, tidak jarang suatu kehidupan rumah tangga mengalami hambatan-hambatan, sehingga sukar
mempertahankan keutuhannya. Jika melihat anjuran agama, maka adanya perceraian adalah sangat tidak diharapkan di dalam sebuah perkawinan. Tetapi ada saat-saat
dalam kehidupan manusia ketika tak mungkin baginya melanjutkan hubungan yang akrab dengan istrinya atau sebaliknya.
Perceraian tidak akan pernah ada jika tidak ada perkawinan. Jika perkawinan adalah sebagai awal untuk hidup bersama suami dan istri, maka perceraian
merupakan akhir dari kehidupan bersama suami dan istri.
2
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam,
Jakarta: Ind-Hill, 1990, h. 3
Sebelum Islam lahir, perceraian dikalangan orang Arab Jahiliyah sangat mudah dan sering kali terjadi. Para suami menceraikan istrinya dengan melakukan
talak dan rujuk di dalam iddah yang tidak ada batasnya. Begitu suami marah, begitu dengan mudah ia melakukan talak. Tetapi begitu marahnya hilang, maka ia akan
melakukan rujuk dan hidup sebagai suami istri lagi. Perbuatan itu dilakukan tanpa kenal batas, bahkan jika ia menyakiti istrinya, setiap hampir habis masa iddahnya
suami melakukan rujuk lagi kemudian melakukan talak kembali. Begitulah perbuatan suami terhadap istrinya tanpa mengenal batas. Terjadilah pada waktu itu pasaran
talak. Wanita atau istri tidak berharga, ia laksana bola permainan laki-laki belaka. Bahkan fenomena penguburan hidup-hidup anak perempuan adalah fakta sejarah
yang tidak bisa ditutup-tutupi. Jadi secara historis, hukum perceraian telah dikenal dan dipraktekkan umat
manusia sepanjang masa yang pada awalnya dilakukan dengan cara yang tidak adil bahkan semena-mena. Islam datang meluruskan hukum perceraian itu, dan
melaksanakannya menjadi adil dan benar antara suami dan istri yang bertikai. Seperti diketahui bahwa perceraian adalah tidak diharapkan. Banyak
penjelasan Allah SWT dan Rasul-Nya mengenai hal itu. Ada pula penjelasan itu dalam bentuk sindiran-sindiran dan dalam kesimpulan-kesimpulan dari ayat-ayat
tersebut. Seperti dalam surat An-Nisa’ ayat 19 Allah SWT berfirman :
+ ,
ﺕ .
01ی 34
3 . 5
. 6+ 7 8
Artinya : “...dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” Q.S. Al-Baqarah: 19
Pada ayat di atas dapat disimpulkan bahwa kalau ada perasaan tidak senang dari suami kepada istrinya, hendaklah ia tetap menggauli istrinya dengan baik dan
jangan menceraikan istrinya. Meskipun pada awalnya suami dan istri sudah berusaha untuk menjaga
keharmonisan keluarga, tetapi terkadang ada faktor-faktor yang dapat merubah keharmonisan itu. Faktor-faktor itu antara lain faktor psikologis, biologis, pandangan
hidup, perbedaan kecendrungan, dan lain sebagainya. Dalam keadaan seperti ini, tidaklah mustahil dijumpai banyak kasus
perkawinan terkadang dengan sesuatu sebab atau beberapa sebab menjadi buruk, bahkan sampai parah, sehingga dirasakan bahwa kehidupan suami istri dalam
berumah tangga tidak mungkin untuk dilanjutkan lagi. Inilah yang menjadi alasan pokok perceraian. Oleh karena itu harus dipahami bahwa perceraian adalah menjadi
jalan terakhir setelah segala macam jalan perdamaian tidak berhasil. Ketika keutuhan rumah tangga sudah tidak dapat lagi dipertahankan, maka
jalur yang ditempuh adalah mengakhiri perkawinan dengan jalan perceraian atau talak.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 117 disebutkan bahwa; “Talak adalah ikrar suami dihadapan pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan”. Ini dimaksudkan bahwa putusnya sebuah perkawinan salah satu sebabnya melalui institusi talak, yang diikrarkan oleh seorang suami dihadapan
pengadilan agama. Jadi kewenangan talak ada pada suami. Dalam Al-Qur’an akan
kita dapati bahwa talak semuanya dihadapkan pada laki-laki suami, karena ditangan merekalah diletakkan wewenang tersebut.
Ucapan talak yang diikrarkan suami kepada istrinya ada yang menunjukkan jatuhnya talak pada waktu itu juga, seperti kata suami kepada istrinya; “kamu aku
talak”. Perkataan yang menunjukkan pengertian yang demikian disebut al-Sighat al- Munjazah
perkataan yang berlaku langsung. Kemudian ada juga ucapan talak suami yang digantungkan pada sesuatu, misalnya ucapan suami kepada istrinya; “kalau
kamu pergi ketempat anu, maka kamu tertalak”. Ucapan semacam ini disebut al- Sighat al-Muallaqoh
lafaz yang berkait atau bergantung. Ucapan talak yang demikian dinamakan talak taklik atau yang kita kenal dengan taklik talak.
Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bagaimana posisi suami-istri serta peran yang dimiliki masing-masing. Oleh sebab itu menjadi penting kiranya adanya
perjanjian atau jaminan yang bisa dijadikan patokan agar perkawinan dapat berjalan dengan baik. Perjanjian atau jaminan dalam hal ini telah diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 45 dan 46 yaitu perjanjian taklik talak. Terlepas dari perbedaan peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 29 yang
menyatakan bahwa taklik talak bukanlah suatu perjanjian. Hal ini disebabkan karena penulis tidak membahas ketentuan taklik talak sebagai perjanjian secara yuridis.
Melihat bahwa taklik talak adalah sebagai jaminan dari suami yang menyatakan ia sanggup melaksanakan kewajiban terhadap istri dan keluarga.
Kalaupun tidak, ia sanggup menerima akibat sesuai dengan apa yang ia ucapkan dalam shigat taklik talak sesudah akad pernikahan.
Dari deskripsi diatas dapat dilihat bahwa kaitan antara taklik talak dengan keutuhan rumah tangga sangatlah erat. Oleh karenanya penulis sangat tertarik untuk
membahas tentang taklik talak ini dan kaitannya dengan pengaruhnya terhadap
keutuhan rumah tangga. Maka kemudian penulis mengambil judul “Pengaruh Taklik Talak Terhadap Keutuhan Rumah Tangga; Studi Pada Warga
Kelurahan Pisangan Ciputat”. B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penyusunan skripsi ini, agar tidak terlalu luas, penulis akan membatasi masalah hanya pada permasalahan taklik talak dan pengaruhnya terhadap keutuhan
rumah tangga, dan penulis hanya memfokuskan hanya pada satu RT saja yaitu RT 0108 yang ada Kelurahan Pisangan Ciputat.
Dalam permasalahan ini penulis kemudian kaitkan dengan adanya shigat taklik talak yang sudah dilembagakan pemerintah. Artinya penulis mencoba
membahas pengaruh adanya taklik talak terhadap keutuhan rumah tangga. Apakah selama ini dengan adanya taklik talak tersebut berpengaruh mengatasi atau
mengurangi konflik yang terjadi dalam rumah tangga. Selain itu penulis juga akan menyertakan situasi dan kondisi warga RT 0108
kelurahan Pisangan Ciputat yang mana sebagai tempat permasalahan ini berada. Kemudian penulisan skripsi ini difokuskan untuk menjawab persoalan-
persoalan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh taklik talak terhadap keutuhan rumah tangga?
2. Bagaimana tanggapan masyarakat dengan adanya taklik talak dalam pernikahan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian