a.
Tindakan ultra vires yang bersifat melampaui atau eksesif
Tindakan  ultra  vires  yang  bersifat  eksesif  mengandung  pengertian  bahwa tindakan  atau  kegiatan  yang  dilakukan  oleh  perseroan  melalui  Direksi
merupakan  aktivitas  yang  melampaui  kewenangan  atau  kompetensi  yang  telah ditetapkan  dalam  anggaran  dasar  perseroan  yang  bersangkutan.  Dalam  hal  ini
tindakan Direksi melebihi batas-batas kompetensi yang diberikan.
b.
Tindakan  ultra  vires  yang  bersifat  tidak  beraturan  atau  iregularitas
Tindakan  ultra  vires  yang  bersifat  iregularitas  lebih  menunjukkan  pelaksanaan kegiatan  perseroan  yang  tidak  teratur.  Dalam  hal  ini  perseroan  pada  dasarnya
memiliki kompetensi untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan, akan tetapi perseroan  melaksanakannya  secara  tidak  beraturan  atau  tidak  konsisten  dan
cendrung spekulatif.
c.
Tindakan ultra vires yang bersifat bertentangan atau konflik
Kedua  sifat  tindakan  ultra  vires  seperti  yang  telah  diuraikan  di  atas menggunakan  anggaran  dasar  sebagai  acuan,  apakah  melampaui  atau  tidak
konsisten dengan anggaran dasar tersebut. Sedangkan untuk tindakan ultra vires yang  bersifat  bertentangan  atau  konflik,  di  samping  anggaran  dasar  juga
menggunakan peraturan hukum dan ketertiban umum sebagai acuan.
2. Perkembangan Doktrin Ultra Vires
Perkembangan doktrin mengenai ultra vires berdasarkan perspektif hukum pada umumnya  terdapat  tiga  aspek  pokok  yang  perlu  mendapatkan  perhatian  yakni
pertama,  sejak  kapan  ultra  vires  dikenal  dalam  perseroan,  kedua,  bagaimana perkembangannya, dan ketiga  bagaimana pengaruhnya.
Aspek pertama yang disebutkan di atas sebenarnya sangat sulit diuraikan karena tidak  dijumpai  adanya  sumber  bahan  hukum  yang  menyebutkan  secara  pasti  sejak
kapan  Hukum  Perseroan  mengenal  Doktrin  ultra  vires.  Namun  demikian  tidaklah berarti aspek tersebut tidak dapat ditelusuri sama sekali.
7
Munir  Fuady,  2002,  Doktrin-Doktrin  Modern  Dalam  Corporate  Law  dan  Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.114-115.
Sejarah  doktrin  ultra  vires  terdapat  pandangan  pada  pokoknya  yaitu  pada  awal diakuinya  suatu  badan  hukum  sebagai  badan  dengan  hak  ,  kewajiban  dan
tanggungjawab  yang  terpisah  serta  memiliki  kekayaan  yang  terpisah  pula  dengan pribadi  dilandasi  oleh  berbagai  dasar  dan  filosofi  hukum.  Akan  tetapi,  eksistensi
badan hukum dari perseroan terbatas diakui dengan sangat was-was oleh hukum salah satu  cara  menjaga  agar  perseroan  tidak  menyimpang  dari  misinya  semula,  sehingga
selalu  dapat  diawasi  adalah  dengan  membatasi  dan  mengawasi  secara  ketat kewenangan-kewenangannya  dalam  melaksanakan  kegiatan  suatu  perseroan  tidak
diperkenankan  ke  luar  dari  kewenangan  yang  sudah  ditetapkan  dari  latar  belakang filosofi seperti inilah kemudian muncul dan berkembang doktrin hukum yang disebut
dengan ultra vires itu.
8
Pandangan  di  atas  mengandung  makna  bahwa  pemberian  kewenangan  atau kompetensi terhadap perseroan sebagai badan hukum tidaklah bersifat tunggal dalam
pengertian yang diberikan itu tidak hanya kewenangan semata-mata, melainkan pula diikuti dengan pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan itu sendiri.
Sistem  hukum  dalam  hal  ini  common  law  dalam  upayanya  mengatur  akibat- akibat  hukum  ultra  vires  tersebut  ternyata  menunjukkan  sifat  yang  dinamis.
Kedinamisan  ini  pada  akhirnya  memperlihatkan  perkembangan  yang  signifikan mengenai  cara  pandang  hukum  dalam  menyelesaikan  akibat-akibat  tindakan  ultra
vires.
8
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 114-115.
Doktrin  ultra  vires  yang  mengalami  perkembangan  atau  yang  disebut  dengan Konsep  Tradisional  Doktrin  Ultra  Vires  pada  pokoknya  menganggap  batal  demi
hukum  terhadap  tindakan  perseroan  yang  ultra  vires.
9
Ada  pun  alasannya  adalah karena perseroan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tidakan tersebut baik
menurut  anggaran  dasar  maupun  menurut  hukum  yang  berlaku.  Mengingat konsekuensinya adalah batal demi hukum, maka tindakan ultra vires itu sama sekali
tidak  dapat  diratifikasi  oleh  pemegang  saham.  Dalam  kondisi  seperti  itu,  maka Direksilah yang tetap dibebani tanggungjawab atas kerugian-kerugian yang timbul.
Sejalan  dengan  perubahan  zaman,  perkembangan  pemahaman  dan  kebutuhan akan  keadilan  bagi  pihak-pihak  yang  terkait  serta  berkepentingan  dengan  tindakan
ultra  vires,  maka  apa  yang  disebut  dengan  Konsep  Tradisional  Doktrin  Ultra  Vires itu telah banyak mengalami modifikasi.
Apabila  dikaji  kembali  Konsep  Tradisional  Doktrin  Ultra  Vires  itu  memang tampak  sangat  kaku  dimana  dengan  dinyatakannya  suatu  tindakan  melampaui,  tidak
beraturan dan bertentangan dengan anggaran dasar serta hukum  yang berlaku, maka dengan segera pula tindakan itu dapat dinyatakan sebagai ultra vires, dan sama sekali
tidak  memberikan  kesempatan  baik  kepada  pemegang  saham  maupun  terhadap Direksi untuk merevisi dan membela diri. Dalam hal ini dirasakan tidak ada keadilan
bagi  Direksi  yang  merupakan  wakil  perseroan  itu.  Adapun  modifikasi  atau
9
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.125.
perkembangan Doktrin Ultra Vires yang dimaksud di atas dapat dilihat dalam hal-hal sebagai berikut :
10
a. Hak  untuk  Meratifikasi  terdapatnya  kasus  yang  memungkinkan  diberikannya
hak untuk meratifikasi oleh pemegang saham terhadap tindakan  yang tergolong ultra vires tersebut. Meskipun secara tradisional, hak untuk meratifikasi tersebut
tidak dibenarkan.
b. Transaksi yang telah dieksekusi terhadap transaksi yang telah dieksekusi dengan
sempurna oleh kedua belah pihak tidak dapat lagi dibatalkan dengan alasan ultra vires.
c. Peranan Jaksa di Negara-negara tertentu, Jaksa dapat memerintahkan perseroan
untuk menghentikan tindakan yang bersifat ultra vires atau bahkan meminta agar perseroan dibubarkan.
d. Perbuatan  melawan  Hukum  Perdata  atau  Pidana  terhadap  perbuatan  melawan
hukum  perdata  atau  pidana  tidak  dapat  diajukan  keberatan  dengan  jalan  ultra vires.
e. Tanggungjawabp ribadi tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan
tanggungjawab pribadi dari Direksi atau petugas yang melakukan tindakan ultra vires tersebut.
Dari  uraian  yang  merupakan  pengembangan  Konsep  Tradisional  Doktrin  Ultra Vires menuju Doktrin Ultra Vires yang Modern itu terdapat suatu poin inti yang perlu
diberikan  penjelasan  tambahan.  Poin  yang  dimaksudkan  adalah  Hak  untuk
Meratifikasi.
Meratifikasi  sebenarnya  mengandung  pengertian  memberikan  konfirmasi terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya dalam hal ini oleh pihak pemberi
konfirmasi  sendiri.  Dengan  demikian  sehubungan  dengan  Doktrin  ultra  vires,  maka meratifikasi  berarti  memberikan  pengakuan  terhadap  tindakan  yang  telah  dilakukan
sebelumnya oleh Direksi.
10
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.126.
Meratifikasi  pada  pokoknya  bertujuan  menyatakan  bahwa  tindakan  Direksi tersebut sah, dan dengan adanya ratifikasi ini tanggungjawab atas tindakan itu dipikul
oleh  perseroan.  Ratifikasi  tersebut  diberikan  oleh  para  pemegang  saham  melalui Rapat  Umum  Pemegang  Saham  RUPS.  Dalam  RUPS  seperti  itu  Direksi  dapat
dihadirkan  dan  Direksi  dapat  memanfaatkan  untuk  memberikan  penjelasan- penjelasan yang perlu mengenai tindakan-tindakan yang telah dilakukannya.
Pada proses tersebut tampak perkembangan pemahaman mengenai Doktrin ultra vires  tersebut  telah  memberikan  suatu  keadilan  kepada  Direksi  untuk  hadir  dan
memberi  penjelasan.  Dibandingkan  dengan  Konsep  Tradisional  Doktrin  Ultra  Vires yang  dengan  segera  dapat  menyatakan  bahwa  tindakan  Direksi  adalah  ultra  vires
apabila  melampaui  kewenangan  yang  diberikan,  maka  adanya  hak  meratifikasi menurut Doktrin Ultra Vires Modern.
Sebenarnya  pada  satu  sisi  merupakan  suatu  langkah  maju  yang  progresif  dan menguntungkan Direksi, akan tetapi pada sisi lain menimbulkan persoalan yang sulit
dijelaskan.  Adapun  persoalan  yang  dimaksud  pada  pokoknya  menyangkut  tidak ditentukannya  kriteria  mengenai  tindakan  Direksi  yang  bagaimana  saja  yang  dapat
diratifikasi  oleh  pemegang  saham.  Apakah  tindakan  Direksi  yang  dalam kenyataannya  bertentangan  dengan  anggaran  dasar  perseroan  juga  dapat  diratifikasi.
Solusi atas persoalan tersebut belum dijumpai dalam Doktrin Ultra Vires Modern. Di samping  memperkenalkan  hak  meratifikasi,  Doktrin  Ultra  Vires  Modern  juga
membawa  perkembangan  yang  cukup  monumental  yaitu  perlindungan  pihak  ketiga pihak luar perseroan yang bertransaksi dengan perseroan.
11
B. Prinsip Dasar Perlindungan Hukum