NOVEMBER 11 TEMPO | 87 AUSTRALIA
20 NOVEMBER 2011 TEMPO | 87 AUSTRALIA
mad Hatta, Leimena, dan Soed- jatmoko, juga dengan orang-orang yang kemudian menjadi tokoh ber- pengaruh. Namun dia juga me- manfaatkan peluang untuk ber- teman dengan orang-orang kam- pung, yang sering dikunjunginya. Dan pola ini tidak berubah keti- ka di kemudian hari Herb ting- gal di Indonesia bersama keluar- ganya, karena mereka, terutama Herb sendiri dan Betty, tidak lagi dapat memisahkan hidup mereka dengan negara ini.
Herb, dengan pidatonya yang disampaikan dalam sebuah per- temuan Partai Buruh Australia, membuat hadirin tercengang. Dia tegas-tegas mengatakan, ”Kita adalah bagian dari Asia.” Dan dia juga menekankan, karena ketidak- tahuan warga Australia, Asia jadi sumber rasa takut dan curiga, bu- kan rasa suka dan respek, yang se- sungguhnya lebih layak dan lebih tepat.
Tesis masternya, yang diselesai- kannya di Universitas Melbourne, Political Developments in Indone-
sia in the Period of the Wilopo Cabi- net, April 1952-June 1953, menjadi sumber perhatian luas. Ini adalah karya besar pertama dari seorang il- muwan Australia mengenai politik pasca-kemerdekaan Indonesia. Ba- han-bahan yang digalinya dari da- lam berkat posisinya, dan kemahir- annya dalam berbahasa Indonesia, membuat isinya basah—dan tampil dalam gambar tiga dimensi.
Karyanya, analisisnya, sering me- ninggalkan kesan yang dalam pada para ilmuwan, yang kebanyakan lalu menjadi sahabatnya. Dia men- jalin jaringan kajian Indonesia ti- dak hanya di Australia, tapi juga mengaitkannya ke Amerika Serikat. Ini sudah dimulainya pada masa- masa dininya di Indonesia, ketika Herb berkenalan dengan pakar-pa- kar yang dikaguminya, seperti Clif- ford Geertz, Donald E. Wilmott, dan George Kahin. Dan magnum opus-nya, yang juga tesis dokto- ral (S-3)-nya yang dikerjakannya di Universitas Cornell, The Decline of Constitutional Democracy in Indo- nesia, yang terbit pada 1962, sam-
pai sekarang masih menjadi rujuk- an utama para pakar Asia Tenggara di mancanegara.
Kendati Herb tidak secara harfi -
ah mendirikan kajian Indonesia se- bagai lembaga, pengaruhnya tera- sa oleh Indonesianis dari berbagai lapangan. Greg Barton, Herb Feith Research Professor pada kajian In- donesia di Universitas Monash, me- ngatakan Herb dikagumi dan di- hormati bahkan juga oleh pakar- pakar yang tidak selalu setuju de- ngan pendirian politiknya. ”Karena mereka tahu benar bahwa Herb pu- nya integritas yang tak tergoyahkan dan tidak pernah berkompromi de- ngan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri, baik dalam hidup maupun secara profesional,” katanya. Keti- ka diangkat sebagai Herb Feith Re- search Professor, ujarnya dengan pe- nuh rendah hati, dia merasa seper- ti mendapat kehormatan yang men- dampingi tugas yang berat. Sebab, ”Bagaimanapun saya berupaya, saya merasa tidak sanggup menca- pai standar yang diwariskan Herb.”
Sejarawan Anton Lucas, associa- te professor dari Universitas Flin- ders di Australia Selatan, juga me- ngatakan pengaruh Herb sangat te- rasa oleh pakar dari berbagai jurus- an, bahkan yang tidak punya kait- an langsung dengan politik. Lucas mengaku dia sendiri bukan satu-sa- tunya yang menjadikan Herb seba- gai contoh academic excellence dan komitmen yang penuh pada segala hal yang dikerjakannya. Efek Herb pada rekan-rekannya sering perso- nal sekaligus profesional. Lucas ber- cerita, umpamanya, untuk peneliti- annya, Herb mengenalkan dia de- ngan mantan tahanan politik, Har- doyo, yang bantuannya banyak se- kali padanya. Lalu, sewaktu Lucas menulis tentang gerakan bawah ta- nah, peran Hardoyo dalam meng- hubungkan dia dengan para man- tan tahanan politik sangat krusi- al. ”Meskipun lapangan saya berbe-
da dengan Herb, dia selalu membe- ri perhatian penuh pada pekerjaan saya,” tutur Lucas.
Seorang Indonesianis lain dari Universitas Melbourne, Charles Coppel, juga mengatakan Herb di- kagumi di kalangan Indonesianis
H E R B -F E IT H -F O U N D A T IO N .O R G
The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia. Buku terbitan 1962 hasil penelitian intensif Herb tentang perkembangan politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia pasca- Perang Dunia II.
88 | TEMPO 20 NOVEMBER 2011
Indonesianis LIPUTAN KHUSUS
Herbert (kanan) bersama teman- temannya semasa sekolah di Queen’s College (1949).
karena pengalaman dan pengeta- huannya yang dalam dan intim, ti- dak terbatas pada satu lapangan ilmu. Ketika Universitas Melbour- ne membentuk kajian Asia Tengga- ra, termasuk Indonesia, pada 1950, Herb diakui menyuntikkan sub- stansi tak terbatas ke dalamnya. Sebagai ilmuwan yang pernah di- bimbing Herb dalam penulisan te- sisnya, Coppel malah menuturkan pengalaman menarik. Proses pe- nulisannya cukup lancar, ujar Cop- pel, tapi begitu sampai pada tahap penuntasan, dia menghadapi ber- bagai kesukaran. Ini karena Herb tak henti-hentinya ”membuka” ke- mungkinan arah baru, sehingga Coppel nyaris kebingungan. Apa- lagi dia tahu benar, arah baru mana pun yang diambilnya, dia harus me- menuhi kriteria mutu yang dipatok Herb. Untunglah Herb harus kem- bali ke Indonesia, dan Jamie Ma- ckie mengambil alih tugasnya. De- ngan Jamie Mackie, Coppel mera- sa lebih ”mantap” dalam menyele- saikan tesisnya, begitu dia berceri- ta sambil tertawa.
Meskipun pada umumnya Indo- nesianis Australia sangat tinggi ko- mitmennya dan luas pengetahuan- nya, mereka mengaku sukar ”meng- isi sepatu” yang ditinggalkan Herb.
Lahir pada 3 November 1930 di Wina, Austria, Herbert Feith ada- lah putra tunggal pasangan Aus- tria Yahudi, Arthur dan Lily Feith, yang membesarkan dan mendidik- nya dalam lingkungan bernapas in- telektual dan mendorong rasa ingin tahu. Apa pun yang dibahas orang tuanya, Herb selalu diikutsertakan. Dia tumbuh menjadi insan yang be- rotak tajam dan memiliki kepekaan budaya yang tinggi. Dalam pertum- buhannya, kian nyata bahwa Herb tidak bisa melihat masalah yang me- nyebabkan penderitaan orang lain tanpa ingin membantu mencarikan solusinya.
Masa kanak-kanak Herb di Wina terinterupsi dengan penduduk- an Nazi atas Austria. Dengan ban- tuan seorang tokoh masyarakat di Melbourne yang bersedia menja- di sponsor, pada 1939, Arthur dan Lily membawa putra mereka yang belum genap sembilan tahun itu mengungsi.
Ketika ayah dan ibunya berusa-
ha menyesuaikan diri dengan ling- kungan barunya, Herb melangkah ke pentas hidup di Melbourne tan- pa kendala. Dia mahir berbahasa Inggris, prestasinya menonjol di sekolah, dan pergaulannya lancar. Namun semua ini tidak menyebab- kan dia lupa bahwa warga Eropa dalam situasi perang, terperang- kap dalam kesulitan, dan serba ke- kurangan. Dia pun segera meman- faatkan akhir minggu dan jam-jam seusai sekolahnya untuk memban- tu mengumpulkan berbagai sum- bangan buat dikirimkan kepada yang membutuhkannya.
Di antara teman-teman sekolah- nya di Melbourne High School, pe- muda Kristen Metodis, Jim Lawler, paling akrab dengannya—mung- kin karena Jim setara dengan Herb dalam kepekaannya terhadap ke- adilan sosial dan politik dunia. Me- lalui Jim, Herb berkenalan dengan remaja-remaja Metodis lain, di an- taranya Betty Evans, yang kemudi- an menjadi istrinya. Jim dan Betty selalu membantu Herb dalam upa- ya-upaya menolong korban perang di Eropa.
Ibunya, Lily, yang taat beragama, kendati prihatin melihat putranya kian menjauh dari ibadahnya di si- nagoge, tidak pernah menghalangi persahabatan Herb dengan kelom- pok Metodisnya. Lily dan Betty bahkan sangat akrab. Baru setelah bersahabat dengan Jim dan Betty, Herb sadar bahwa ambiansi buda- ya dalam keluarganya sangat ber- beda dengan lingkungan keluarga lain di sekolahnya. Tapi Herb dan Betty, juga Jim, diterima dengan hangat oleh keluarga masing-ma- sing. Disatukan oleh interes yang sama, dua sejoli ini terus melanjut- kan perjuangan yang tak kenal le- lah mempromosikan Indonesia.
Buku biografi
From Vienna to Yogyakarta, The Life Herb
Feith karangan Jerma Purdey.
Bersama istrinya, Betty.