Aspek Ekologi
6.2.3. Aspek Ekologi
Dampak ekologi perkebunan kelapa sawit adalah meningkatkan level CO 2 (karbon diokasida) di atmoster, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plsama nutfah, hilangnya sejumlah sumber air, sehingga memicu kekeringan, peningkatan suhu, dan gas rumah kaca yang mendorong terjadinya bencana alam, berkurangnya kawasan resapan air, sehingga pada musim hujan akan mengakibatkan banjir karena lahan tidak mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air, kehancuran habitat flora dan fauna yang mengakibatkan konflik antar satwa, maupun konflik satwa dengan manusia. Akibat habitat yang telah rusak, hewan tidak lagi memiliki tempat yang cukup untuk hidup dan berkembang biak. Sering terjadi hewan (gajah, harimau, dll) merusak lahan pertanian dan perumahan penduduk, bahkan mengakibatkan korban jiwa bagi masyarakat sekitar, seperti yang terjadi di Propinsi Jambi dan Bengkulu.
Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan dengan pembakaran akan mengakibatkan pencemaran asap, meningkatkan suhu udara, dan perubahan iklim. Akibat pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dengan cara pembakaran yang dilakukan di Sumatera dan Kalimantan telah menghasilkan ekspor kabut ke Malaysia dan Singapura. Kabut ini akan sangat mengganggu kesehatan dan mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti terganggunya transportasi, dll. Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar menggunakan peralatan berat akan menyebabkan pemadatan tanah. Dengan sistem monokultur juga mengakibatkan tanah lapisan atas (top soil) yang subur akanhilang akibat terjadinya erosi. Dalam kultur budidaya, kelapa sawit merupakan tanaman yang rakus air dan unsur hara. Kelapa sawit setiap harinya membutuhkan air sebanyak 20 – 30 liter / pohon. Dengan demikian secara perlahan perkebunan kelapa sawit dapat menurunkan permukaan air tanah. Selain itu kelapa sawit juga merupakan tanaman yang rakus akan unsur hara, sehingga diperlukan pemupukan yang memadai. Penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan akan menyebabkan residu dan mematikan organisme tanah. Selain itu dalam pemeliharaan kelapa sawit yang dilakukan secara intensif menggunakan banyak pestisida untuk penanggulangan hama dan penyakit. Hal ini mengakibatkan adanya residu pestisida dan membunuh spesies lainnya yang akan mengganggu keseimbangan rantai mahluk hidup. Limbah yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit merupakan salah satu bencana yang mengintip, jika pengelolaan limbah tidak dilakukan secara baik dan profesional, meningat industri kelapa sawit merupakan industri yang sarat dengan residu hasil pengolahan. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dari zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat Limbah cair kelapa sawit mengadung konsentrasi bahan organik yang relatif tinggi dan secara alamiah dapat mengalami penguaraian oleh mikroorganisme menjadi senyawa yang lebih sederhana. Limbah cair kelapa sawit umumnya berwarna kecoklatan dan mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid serta residu minyak dengan kandungan biological oxygen demand (BOD) yang tinggi. Bila limbah cair ini dibuang ke perairan akan berpeotensi mencemari lingkungan karena akan mengurani biota dan mikroorganisme perairan dan dapat menyebabkan keracunan, sehingga harus diolah sebelum dibuang.
Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi. Erosi dan penurunan kesuburan tanah juga diidentifikasi sebagai dampak pembukaan lahan hutan dalam skala besar dan dampak ini terjadi secara umum di perkebunan (monokultur).
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit diantaranya:
1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya
kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
2. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
3. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti
dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.
4. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
5. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni
makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal ini semakin merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (ornop) kemanusiaan yang melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.
6. Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit dan
bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
7. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Jika dilihat dari dampak yang diakibatkan dari perkebunan monokultur kelapa sawit, maka kontribusi ekonomi yang diharapkan tidak sebanding dengan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi, yang mengakibatkan dampak signifikan atas emisi karbon, hilangnya keanekaragaman hayati dan potensi jasa lingkungan lainnya. Belum lagi praktik-praktik buruk dalam pengelolaan perkebunan sawit yang memperparah kerusakan lingkungan, seperti pembersihan lahan dengan cara pembakaran. Artinya, jika perkebunan sawit dibuka dengan proses mengonversi hutan alam yang mempunyai nilai keragaman hayati tinggi atau nilai konservasi tinggi maka bisa dikatakan industri sawit skala besar menjadi salah satu penyebab deforestasi dan menjadi ancaman serius bagi keberadaan hutan hujan tropis di Indonesia.