Bagi Hasil Perkebunan

6.5.2. Bagi Hasil Perkebunan

UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sejauh ini belum mengatur dana bagi hasil sektor perkebunan, padahal dalam undang-undang itu disebutkan perkebunan memiliki fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya.UU Perkebunan bertujuan mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan, menjamin keberlanjutan serta meningkatkan fungsi dan peran perkebunan.Sehubungan usulan dana bagi hasil sektor perkebunan, diperlukan pendalaman pemahaman terhadap undang-undang yang dipadukan dengan berbagai fakta di lapangan, guna membuat peraturan-peraturan yang pelaksanaannya betul-betul memihak rakyat. Menyangkut peraturan yang belum berpihak kepada rakyat, karena belum diaturnya dana bagi hasil perkebunan antara pemerintah pusat dengan daerah, serta inkonsistensi UU No

33 tahun 2004 yang menetapkan sektor perkebunan termasuk sumber daya alam yang dapat diperbarui atau berbeda dengan sektor kehutanan dan perikanan.Dana bagi hasil bagi areal hutan sebelum dikonversi menjadi lahan perkebunan. Dana bagi hasil tersebut justru tidak lagi diterima daerah ketika hutan sudah menjadi areal perkebunan.Hilangnya dana bagi hasil setelah hutan dikonversi menjadi lahan perkebunan, menurut dia, menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah daerah, sehingga mereka kemudian lebih memilih membiarkan lahan yang mereka miliki tetap sebagai areal hutan.

Ditinjau dari aspek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, keinginan pemerintah daerah mendapatkan dana bagi hasil perkebunan yang lebih besar patut menjadi pertimbangan pemerintah pusat dalam merevisi peraturan-peraturan terkait. Selama ini daerah hanya menjadi penonton, karena keuntungan dari sektor perkebunan sepenuhnya diambil pemerintah pusat, sementara daerah justru berkewajiban menyediakan infrastruktur, mengubah RUTR/RUTW agar sesuai dengan areal PTPN serta ikut menyelesaikan berbagai sengketa yang mungkin muncul seperti sengketa lahan dan sengketa buruh.Dengan adanya wacana menjadikan sektor perkebunan sebagai primadona perekonomian Indonesia Ditinjau dari aspek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, keinginan pemerintah daerah mendapatkan dana bagi hasil perkebunan yang lebih besar patut menjadi pertimbangan pemerintah pusat dalam merevisi peraturan-peraturan terkait. Selama ini daerah hanya menjadi penonton, karena keuntungan dari sektor perkebunan sepenuhnya diambil pemerintah pusat, sementara daerah justru berkewajiban menyediakan infrastruktur, mengubah RUTR/RUTW agar sesuai dengan areal PTPN serta ikut menyelesaikan berbagai sengketa yang mungkin muncul seperti sengketa lahan dan sengketa buruh.Dengan adanya wacana menjadikan sektor perkebunan sebagai primadona perekonomian Indonesia

Bagi hasil ini merupakan salah satu yang paling cepat dan efektif mendorong PAD, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Bagi hasil bisa dimanfaatkan bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang berujung pada peningkatan APBD untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat Sumatera Utara. Ada potensi besar yang dapat dimanfaatkan dari sektor perkebunan ini, tanpa mengganggu atau mengurangi kinerja korporasi perkebunan itu, apakah perkebunan swasta, perkebunan pemerintah maupun perkebunan rakyat. Ada alternative-alternatif paling ideal untuk mengubah Undang- undang No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan daerah, agar sektor perkebunan dapat masuk menjadi bagi hasil keuangan pemerintah pusat dan daerah.Tapi kalau proses tersebut masih lama, ada cara lain yang lebih elegan, tidak merugikan perkebunan rakyat, perkebunan pemerintah maupun perkebunan swasta. Yakni dari bagi hasil pajak ekpor yang diperkirakan dari pajak ekspor CPO berkisar Rp10 triliun pertahun. Bisa juga dari divestasi dengan menyertakan saham 20 persen. "Good Will atas sarana dan prasarana jalan jembatan yang dipakai oleh PTPN, Provinsi Sumatera Utara diberikan saham 20 persen, diperkirakan bisa mencapai Rp320 miliar per tahun, bisa didapat bersih untuk PAD Sumut tanpa mengganggu kinerja PTPN itu sendiri.

Dukungan untuk mendukung langkah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) untuk memperjuangkan bagi hasil dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya sektor perkebunan dating juga dari DPRD Sumut yang mana dukungan itu tercantum dalam salah satu rekomendasi Rapat Kerja (Raker) DPRD Sumut di Hotel Grand Mutiara, Berastagi 15-19 Desember 2009.Dari Raker DPRD Sumut itu, ada beberapa rekomendasi yang dihasilkan DPRD Sumut dan salah satunya adalah mendorong Pemprovsu untuk memperjuangkan bagi hasil dari sektor perkebunan. Karena, selama ini hasil dari perkebunan yang didapat Provinsi Sumatera Utara sangat minim. Padahal, sebagian besar potensi Sumatera Utara ini dari sektor perkebunan. Undang Undang No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah harus direvisi. Sebab, dari sisi perimbangan daerah, bagi hasil yang diperoleh dari sektor perkebunan merugikan Sumut.Persoalannya selama ini, ada ketidaksinkronan dari isi UU No 33/2004 itu tentang apa yang dihasilkan oleh perkebunan. Untuk merevisi UU tersebut harus menempuh politik dan negosiasi.