Aspek Ekonomi
6.2.1. Aspek Ekonomi
Pembangunan perkebunan yang dilaksanakan tahun 2006 - 2009 telah memberikan dampak dalam memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat. Selama 4 tahun laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada Subsektor perkebunan meningkat sebesar 2,30 % pertahun. Penyerapan tenaga kerja selama empat tahun pada masing-masing jenis pengusahaan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 6.1.
Penyerapan tenaga kerja selama empat tahun
%/ No
Jenis Pengusahaan
Penyerapan Tenaga Kerja (orang)
2006 2007 2008 2009 thn 1 2 3 4 5 6 7
1. Perk. Rakyat 544.051 562.410 571.569 588.257 2,64 2. Perk. Besar Swasta
200.309 229.435 227.292 232.109 5,24 3. BUMN/PTPN
Sumber : Dinas Perkebunan Sumatera Utara
Penyerapan tenaga kerja pada Subsektor selama empat tahun yang mengalami peningkatan setiap tahunnya mempunyai korelasi terhadap pertumbuhan luas areal perkebunan yang mengalami peningkatan rata-rata 2,30% pertahun. Pembangunan perkebunan yang dilaksanakan selama empat tahun (2006-2009) telah memberikan dampak terhadap penyerapan tenaga kerja terutama di pedesaan. Penyerapan tenaga kerja selama empat tahun meningkat sebanyak 68.287 orang, yaitu dari 981.731 orang pada tahun 2006, meningkat menjadi 1.050.018 orang pada tahun 2009. Penyerapan tenaga kerja banyak terdapat di komoditi karet dan kelapa sawit, kakao dan kopi. Penyerapan tenaga kerja tersebut merupakan upaya untuk penanggulangan urbanisasi penduduk. Diharapkan pada tahun 2009 sampai akhir tahun 2013 penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata 2,30% pertahunnya sejalan dengan prediksi peningkatan pertumbuhan luas areal perkebunan rata-rata 2,79% pertahun sesuai dengan RPJMD.
Selain itu pengembangan perkebunan memiliki dampak positif . Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri. Subsektor perkebunan ini dapat menyerap tenaga kerja, menunjang program permukiman dan mobilitas penduduk serta meningkatkan produksi dalam negeri maupun ekspor nonmigas.
Sumatera Utara memiliki potensi pengembangan di bidang perkebunan yang didukung lahan subur serta areal perkebunan yang luas. Bukan hanya hasil perkebunan itu, tapi limbah pun cukup potensial dan bermanfaat untuk meningkatkan nilai tambah (added value). Limbah hasil tanaman perkebunan tersebut itu Sumatera Utara memiliki potensi pengembangan di bidang perkebunan yang didukung lahan subur serta areal perkebunan yang luas. Bukan hanya hasil perkebunan itu, tapi limbah pun cukup potensial dan bermanfaat untuk meningkatkan nilai tambah (added value). Limbah hasil tanaman perkebunan tersebut itu
Perluasan areal perkebunan akan menambah kesejahteraan masyarakat sekitar atau masih menjadi “mitos” dan sekedar angan-angan belaka, seharusnya dengan adanya perluasan perkebunan berbanding lurus dengan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitar areal perkebunan sawit. Hasil perkebunan jelas akan menambah angka PDRB, setidaknya dari jumlah produksinya. Perkebunan memang akan menyerap banyak tenaga kerja, belum lagi system plasma seperti apa yang digunakan perusahaan.
Sementara pajak-pajak dari perkebunan sawit itu tidak banyak menambah APBD. Dan perkebunan sawit rakus air, menghilangkan habitat hutan, dan tidak menyerap karbon yang banyak, malah berpotensi mengeluarkan karbon jika perkebunan itu dilakukan di rawa gambut. Dari semua itu, berapa % yang tercecer di daerah?. Memang dengan adanya investasi maka akan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan benar PDRB itu akan berpengaruh terhadap APBD namun itu tidak serta merta menambah APBD karena PDRB akan berdampak secara jangka panjang, jadi bisa dikatakan salah kaprah kalau mengatakan dengan masuknya investasi perkebunan akan serta merta meningkatkan APBD, kalau meningkatkan kondisi perekonomian suatu daerah akan lebih tepat tapi bukan APBD. Belum lagi dampak dari krisis ekonomi global yang membuat banyak petani kelapa sawit yang menjerit akibatnya anjloknya harga tandan buah sawit segar (TBS). Saat ini ada jutaan petani sawit yang tidak lagi memanen tandan buah segar (TBS) karena ongkos produksi dan biaya panen jauh lebih mahal dari harga jual TBS.
Di sisi lain, pembangunan perkebunan kelapa sawit, seperti halnya pembangunan proyek-proyek pada umumnya, akan berdampak positif dan negatif terhadap komponen-komponen lingkungan hidup, termasuk komponen sosial ekonomi dan budaya. Dampak tersebut harus diwaspadai, dampak negatif harus ditekan menjadi sekecil-kecilnya. Cara yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan mengadakan evaluasi terhadap dampak yang ditimbulkan. Dengan evaluasi akan diketahui apakah tindakan dan dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan, selanjutnya dapat dilakukan tindakan-tindakan yang tepat untuk menghindarkan dampak negatif. adanya perubahan mata pencaharian utama dan sampingan penduduk yang bergeser dari petani menjadi beragam usaha, Dilihat secara substansial, kebijakan konversi hutan dan perkebunan besar kelapa sawit tidak menyentuh sama sekali permasalahaan riil yang dihadapi rakyat dan merupakan pintu terakhir bagi pemusnahan hutan di atas bumi Indonesia. Rakyat telah mengusahakan sumber daya hutan menurut kearifan tradisional secara turun-temurun, dan membangun kelembagaan ekonomi berbasiskan sumber daya alam. Ternyata kebijakan yang ada sangat mengabaikan konsep pengelolaan sumber daya hutan menurut pengetahuan lokal dan penguasaan hak atas akses sumber daya alam secara adat.
Disamping itu, arah dari kebijakan pengembangan perkebunan besar kelapa sawit sangat top down dan tidak mengakomodasikan kondisi-kondisi internal yang ada pada lokasi-lokasi penyediaan areal perkebunan. Akibatnya terjadi kesenjangan antara ambisi pemerintah dan perusahaan besar untuk menjadikan Indonesia sebagai yang terbesar dunia di bidang perkebunan kelapa sawit.
Meskipun kebijakan kenversi hutan dan perkebunan besar kelapa sawit tidak mengakomodasikan kepentingan politik rakyat untuk mendapatkan pengakuan dalam mengakses sumber data alam, dalam implementasinya diperparah tindakan para pengusaha yang masih banyak melakukan peyimpangan untuk mendapatkan keuntungan dan penghisapan sumber ekonomi rakyat. Praktek melakukan mark up dalam penyediaan lahan, menyalahgunakan izin pemanfaatan kayu dan land clearing dalam pembukaan lahan dengan pembakaran, adalah contoh yang kerap ditemui di lapangan. Birokrasi pemerintahan yang berwenang dengan pelaksanaan konversi hutan dan penyediaan areal untuk perkebunan besar, begitu mudah mengeluarkan perizinan sehingga menguatkan tuduhan adanya persekongkolan antara birokrat dengan pengusaha.
Namun disisi lain dengan keberadaan perkebunan sawit telah menyebabkan munculnya sumber- sumber pendapatan baru yang bervariasi. Sebelum dibukanya kawasan perkebunan di pedesaan, misalnya sumber pendapatan masyarakat relatif homogen, yakni menggantungkan hidupnya pada sektor primer, memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti apa adanya tanpa penggunaan teknologi yang berarti. Pada umumnya masyarakat hidup dari sektor pertanian sebagai petani tanaman pangan (terutama palawija) dan perkebunan (karet,kopi dll). Selain teknologi yang digunakan sangat sederhana dan monoton sifatnya tanpa pembaharuan (dari apa yang mampu dilakukan). Orientasi usahanya juga terbatas kepada pemenuhan kebutuhan keluarga untuk satu atau dua hari mendatang tanpa perencanaan pengembangan usaha yang jelas (subsisten).
Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan perkonomian masyarakat pedesaan karena mayoritas penduduk yang tinggal di pedesaan masih tergolong miskin, dan umumnya menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Munculnya pengembangan perkebunan sawit menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian masyarakat sekitarnya. Suatu peluang usaha akan menjadi sumber pendapatan yang memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat jika mampu menangkap peluang usaha yang potensial dikembangkan menjadi suatu kegiatan usaha yang nyata. Dengan demikian kemampuan masyarakat memanfaatkan peluang yang ada akan dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam menangkap peluang itu sendiri. Hal kedua adalah kemampuan mengorganisir sumberdaya yang dimiliki sedemikian rupa sehingga peluang yang potensial menjadi usaha yang secara aktual dapat dioperasikan .
Namun tak sedikit pula masyarakat yang tidak mampu menangkap peluang untuk meningkatkan perekonomiannya bahkan menjadi tidak mendapat manfaat yang nyata secara ekonomi dengan adanya perkebunan sawit, sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan dan lebih tragis lagi mereka menjadi kuli ditanah sendiri.
Perkembangan pembangunan, khususnya di subsektor perkebunan terkadang belum begitu banyak berarti dalam rangka meningkatkan kemakmuran kehidupan masyarakat di sekitarnya, tidak cukup hanya sekedar meningkatkan produksi semata. Artinya strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah selama ini yang mengacu hanya kepada landasan asumsi-asumsi ekonomi neo-klasik, perlu ditinjau kembali, sebab dalam paradigma itu manusia hanya dipandang dari satu sisi, yaitu sebagai makhluk rasional yang hanya terangsang oleh insentif material. Hal ini terbukti dalam realitas kehidupan sosial/ekonomi petani selama ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Karenanya untuk mengurai berbagai persoalan yang dihadapi dalam pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat saat ini sudah seharusnya mempertimbangkan potensi sumberdaya lokal, sebab telah dimilki, melembaga dan mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Dengan berbagai proyek yang telah dikembangkan dibidang perkebunan belum ada jaminan membuahkan hasil yang signifikan terhadap kesejahteraan hidup petani, padahal sumbangan sektor perkebunan terhadap pendapatan daerah maupun nasional sangat besar melalui pajak, ironisnya tingkat pendapatan mayoritas penduduk disekitar perkebunan masih rendah, karena tingkat produksi masih rendah.