Aspek Sosial

6.2.2. Aspek Sosial

Perubahan alih fungsi hutan menjadi perkebunan mengakibatkan terjadinya konflik dengan masyarakat sekitar hutan. Hal ini disebabkan masyarakat sekitar hutan telah mengganggap hutan adalah bagian dari leluhur masyarakat tersebut, sumber makanan, obat-obatan, spiritualitas dan budaya. Dengan adanya perkebunan, maka fungsi hutan bagi masyarakat juga menjadi hilang. Selain itu juga terjadi konflik antara perusahaan dan masyarakat sekitar yang disebabkan oleh konflik kepemilikan lahan atau karena limbah yang dihasilkan oleh industri perkebunan

Pada umumnya dalam setiap kegiatan investasi tanah atau lahan merupakan aset yang terpenting, ini karena tanah atau lahan tersebut merupakan alat produksi paling vital. Sehingga dapat dipastikan bahwa dalam setiap kegiatan investasi dalam berbagai sektor, konflik lahan menduduki peringkat paling atas, demikian pula halnya dengan perkebunan kelapa sawit. Konflik lahan antar masyarakat dan perusahaan perkebunan hingga konflik antar sektor perkebunan berhadapan dengan sektor pertambangan. Dengan kata lain bahwa “semakin tinggi perluasan perkebunan maka akan semakin tinggi pula persoalan konflik lahan yang terjadi”. Dalam setiap konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit posisi posisi masyarakat selalu terkalahkan. Hal ini terjadi karena lahan (tanah) masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan secara hukum, sehingga kepemilikan lahan (tanah) secara adat (hak ulayat) tidak terakui walaupun dalam UUP Agraria hak ulayat di akui namun dalam prakteknya selalu saja terkalahkan. Menurut catatan konflik sosial yang terjadi terkait dengan perkebunan sawit diseluruh Indonesia pada tahun 2008 Pada umumnya dalam setiap kegiatan investasi tanah atau lahan merupakan aset yang terpenting, ini karena tanah atau lahan tersebut merupakan alat produksi paling vital. Sehingga dapat dipastikan bahwa dalam setiap kegiatan investasi dalam berbagai sektor, konflik lahan menduduki peringkat paling atas, demikian pula halnya dengan perkebunan kelapa sawit. Konflik lahan antar masyarakat dan perusahaan perkebunan hingga konflik antar sektor perkebunan berhadapan dengan sektor pertambangan. Dengan kata lain bahwa “semakin tinggi perluasan perkebunan maka akan semakin tinggi pula persoalan konflik lahan yang terjadi”. Dalam setiap konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit posisi posisi masyarakat selalu terkalahkan. Hal ini terjadi karena lahan (tanah) masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan secara hukum, sehingga kepemilikan lahan (tanah) secara adat (hak ulayat) tidak terakui walaupun dalam UUP Agraria hak ulayat di akui namun dalam prakteknya selalu saja terkalahkan. Menurut catatan konflik sosial yang terjadi terkait dengan perkebunan sawit diseluruh Indonesia pada tahun 2008

Ada beberapa hal yang bisa ditarik dalam kerangka analisa konflik perkebunan sawit di Indonesia pada umumnya, yaitu adanya beberapa “modus” konflik yang terjadi, salah satunya adalah pengalihan isu yang sering terjadi dalam konflik perkebunan sawit, Ada upaya sistematis yang di lakukan baik itu pengusaha ataupu penguasa untuk mengalihkan isu dari persoalan sengketa tanah menjadi masalah kriminal. Artinya persoalan tanah antara masyarakat pemilik tanah dengan perusahaan sawit berubah jadi masalah kriminal dengan menggunakan tenaga keamanan swasta (baca : preman) dan aparat penegak hukum sebagai alat untuk mengintimidasi dan membungkam perjuangan masyarakat untuk meraih lahannya kembali yang diambil ataupun digarap secara sepihak oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sampai sekarang metode ini yang paling sering digunakan oleh banyak perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia. Dengan cara kriminalisasi terhadap masyarakat, adalah alat yang digunakan pengusaha dalam meredam perlawanan-perlawanan yang dilakukan masyarakat terkait dengan penolakan terhadap perkebunan sawit yang dilakukan masyarakat.

Saat ini perluasan lahan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan adalah salah satu primadona daerah dalam meningkatkan PAD, walaupun sampai sejauh ini belum terlihat apakah PAD yang ada itu meningkat atau kah itu hanya sebuah keniscayaan. Investasi dalam perkebunan sawit pun, belum tentu dapat meningkatkan APBD. Maraknya pembukaan areal perkebunan semakin tahun semakin ekspansif dan meluas. Di saat lahan dataran rendah sudah semakin menyempit, banyak perusahaan perkebunan yang mulai melirik lahan rawa yang selama ini tidak dipergunakan, padahal kita tahu bahwa lahan rawa mengandung berbagai macam kandungan karbon yang bila dilepaskan akan banyak menghasilkan karbondioksida yang sangat banyak ke udara dan tentunya hanya akan menambah dampak pemanasan global yang terjadi.