DINAMIKA LINGKUNGAN NASIONAL
6.3. DINAMIKA LINGKUNGAN NASIONAL
Perkebunan merupakan subsektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Dalam perkembangannya, subsektor ini tidak terlepas dari berbagai dinamika lingkungan nasional dan global. Perubahan strategis nasional dan global tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan perkebunan harus mengikuti dinamika lingkungan perkebunan. Pembangunan perkebunan harus mampu Perkebunan merupakan subsektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Dalam perkembangannya, subsektor ini tidak terlepas dari berbagai dinamika lingkungan nasional dan global. Perubahan strategis nasional dan global tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan perkebunan harus mengikuti dinamika lingkungan perkebunan. Pembangunan perkebunan harus mampu
Krisis ekonomi dalam yang melanda Indonesia dan beberapa negara dikawasan Asia Pasifik, telah membuka kesadaran dan cakrawala baru. Sektor pertanian, khususnya perkebunan, yang akhir-akhir ini daya tariknya tertutupi oleh glamournya sektor industri, mencuat kembali sebagai sektor usaha yang menarik. Bahkan berbagai kalangan melihat bahwa usaha di bidang perkebunan merupakan usaha yang strategis untuk perekonomian Indonesia, paling tidak selama 20 – 30 tahun mendatang. Salah satu daya tarik utamanya adalah sesuai dengan perjalanan sejarahnya, sebagai penghasil devisa. Selain itu, dengan turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, maka pendapatan petani dalam Rupiah meningkat tajam yang apabila dikelola dengan baik akan membuka peluang bagi pemupukan modal guna meningkatkan kinerja perkebunan.
Namun bersamaan dengan merebaknya krisis ekonomi menjadi krisis multidimensi, perkebunan mengalami imbas. Berbagai permasalahan melingkupi subsektor perkebunan dan sebagian diantaranya merupakan permasalahan yang menunjuk pada kegagalan pemerintah dalam pembangunan perkebunan. Permasalahan-permasalahan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.
6.4.1. Masalah yang berkaitan dengan kepentingan rakyat dan nasional
Orientasi kebijakan perkebunan sejauh ini membedakan secara tajam antara perkebunan besar (BUMN dan swasta, termasuk PMA) dengan perkebunan rakyat. Implikasi kebijakan dualistik ini telah memberi kemudahan bagi yang “besar” dan tekanan bagi yang “kecil”, dengan gambaran sebagai berikut :
1. Perkebunan Indonesia masih diliputi oleh dualisme ekonomi, yaitu antara perkebunan besar yang menggunakan modal dan teknologi secara intensif dan menggunakan lahan secara
ekstensif serta manajemen eksploitatif terhadap SDA dan SDM, dan perkebunan rakyat yang susbsisten dan tradisional serta luas lahan terbatas. Kedua sistem ini menguasai bagian tertentu dari masyarakat dan keduanya hidup berdampingan. Perbedaan keduanya tidak jarang menimbulkan konflik ekonomi yang berkembang menjadi konflik sosial.
2. Perkebunan Rakyat (PR) yang luasnya sekitar 40% dari perkebunan nasional masih belum mendapatkan fasilitas dan perlindungan yang memadai dari pemerintah. Masalah ini menjadi
penting antara lain karena jumlah KK yang tergantung pada perkebunan rakyat sekitar 1,5 juta.
3. Hak menguasai oleh negara atas tanah yang kemudian diberikan kepada badan hukum sebagai Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan sangat dominan, sementara itu ketidak-
pastian hak masyarakat (lokal dan adat) atas sumberdaya lahan untuk perkebunan belum kunjung diselesaikan.
4. Masuknya pemodal besar ke usaha perkebunan masih belum memberikan kontribusi pada kesejahteraan rakyat setempat. Hingga saat ini masih belum ada re-distribusi aset dan manfaat yang adil (proporsional) kepada masyarakat dari usaha perkebunan.
6.4.2. Masalah Manajemen Pengelolaan Perkebunan
Kebijakan pengembangan perkebunan yang ekstentif, sejauh ini telah mengesampingkan produktivitas, efisiensi, dan product development . Dengan berbagai upaya pembangunan, secara umum beberapa komoditas mengalami kenaikan produktivitas, namun secara umum produktivitas komoditas perkebunan masih rendah dan masih dapat ditingkatkan. Masih rendahnya produktivitas komoditas perkebunan tersebut merupakan tantangan bagi pengembangan perkebunan kedepan.
6.4.3. Masalah Pemasaran dan Ekonomi
Pada pasar primer, yaitu pasar hasil perkebunan dari Perkebunan Rakyat, pekebun yang berjumlah ribuan dan terpencar berhadapan dengan beberapa pedagang (desa sampai kabupaten) dan karena sifat produk perkebunan yang harus diolah berhadapan dengan “kelompok” industri pengolahan primer. Struktur pasar yang berkembang cenderung kearah struktur pasar tidak bersaing (oligopsoni). Pengembangan PR, seperti di daerah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) untuk merubah struktur pasar oligopsoni justru terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni dimana pekebun berhadapan langsung dengan industri pengolahan.
Secara nasional perkembangan pangsa pasar beberapa produk perkebunan utama menunjukkan adanya kecenderungan penurunan dari waktu ke waktu, tergeser oleh beberapa negara pesaing, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, India dan Sri Lanka. Hal ini mengindikasikan daya saing industri dan produk perkebunan Indonesia masih sangat lemah.
Perekonomian perkebunan juga masih didominasi oleh produk primer perkebunan. Padahal, potensi untuk mengembangkan industri hilir perkebunan masih terbuka dan pasar produk hilir perkebunan lebih prospektif. Malaysia merupakan salah satu contoh negara produsen produk perkebunan, baik primer maupun hilir.
6.4.4. Masalah SDM
Permasalahan perkebunan lainnya terkait dengan masalah kualitas sumber daya manusia perkebunan, baik dari kalangan petani, pengusaha maupun aparat pemerintah. Sampai saat ini masih dijumpai berbagai permasalahan sebagai berikut:
1. Mentalitas yang hidup dan berkembang di masyarakat belum mendukung berkembangnya nilai-nilai yang dibutuhkan untuk kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai contoh, pada sebagian masyarakat masih sangat tergantung kepada proyek-proyek pemerintah.
2. Daya asimilasi dan absorbsi terhadap teknologi masih lemah. Hal ini terlihat dengan masih terbatasnya (sekitar 20%) dari masyarakat petani yang menggunakan klon unggul dalam
usaha kebunnya.
3. Kemampuan teknis, wira usaha dan manajemen masih rendah. Dengan kondisi ini, petani ataupun kelembagaan ekonomi petani belum mampu memanfaatkan peluang bisnis yang ada di lingkungannya.
4. Kemampuan lobby yang masih rendah. Kemampuan lobby ini dibutuhkan untuk dapat memperluas peluang usaha, baik petani mapun dunia usaha.
6.4.5. Masalah Kelembagaan
Permasalahan perkebunan juga terkait dengan masalah kelembagaan. Kelembagaan yang ada masih belum mampu mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat, sekaligus mempertangguh struktur komoditas dan efisiensi dari seluruh rangkaian kegiatan. Penumbuhan kelembagaan petani dan pengembangan kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha atau perkebunan besar masih menghadapi beberapa kendala sebagai berikut :
1. Terjadinya ekonomi dualistik antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar, maupun antara hulu dan hilir yang sering menimbulkan konflik.
2. Terjadinya praktek-praktek kegiatan monopoli, oligopoli, dan monopsoni spasial terutama di kegiatan hilir yang menyebabkan inefisiensi usaha.
3. Kelembagaan petani masih lemah, baik dari aspek sosial maupun ekonomi. Lemahnya kelembagaan ini kemungkinan karena terjadinya intervensi yang berlebihan dari pemerintah,
terutama dengan pembentukan KUD-KUD yang justru banyak merusak tatanan kelembagaan masyarakat.
4. Kelembagaan permodalan dan investasi kurang mendukung. Dalam kondisi perekonomian seperti saat ini, maka diperlukan lembaga keuangan alternatif yang dapat dimanfaatkan untuk
mempercepat pengembangan hutan dan kebun.
5. Kelembagaan yang menjamin keberpihakan kepada petani masih lemah. Hal ini terjadi kemungkinan karena anggapan bahwa petani tidak mampu untuk mengembangkan usahanya
secara ekonomis.
6. Kelembagaan pendidikan perkebunan masih kurang. Lembaga pendidikan yang khusus menangani perkebunan yang ada saat ini masih sangat terbatas, padahal lokasi pengembangan perkebunan sebagian besar di luar Jawa.
7. Kelembagaan pemasaran masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan masih terbatasnya pasar komoditas perkebunan. Pasar ekspor komoditas perkebunan selama ini terkonsentrasi pada negara pengimpor tradisionil, sedangkan untuk pasar baru masih terbatas.
8. Kelembagaan Iptek belum optimal, terutama kemampuan kelembagaan Iptek yang benar- benar mampu menghasilkan Iptek yang dibutuhkan oleh dunia usaha.
9. Kelembagaan informasi belum berkembang, baik informasi di bidang iptek maupun pemasaran.
10. Kelembagaan pertanahan masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya kasus-kasus lahan yang sering menimbulkan konflik.