Kedudukan Anak di luar Nikah dalam UUD Perkawinan Indonesia

B. Kedudukan Anak di luar Nikah dalam UUD Perkawinan Indonesia

Secara ideal, agar tujuan Negara dalam mewujudkan ter b administrasi perkawinan terwujud, pencatatan perkwinan semes nya dikukuhkan bukan hanya pada tataran administra f tetapi juga diintegrasikan menjadi syarat materil perkawinan. Jadi perkawinan dianggap sah bukan hanya semata memenuhi rukun serta syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing, tetapi perkawinan dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang untuk itu.

Ide demikian berkembang di tengah masyarakat. Pada tataran wacana di kalangan akademisi Hukum Islam (dunia kampus) berkembang sekurang-kurangnya dua pandangan:

Pandangan pertama menentang ide tersebut, karena dalam agama Islam pencatatan pernikahan bukanlah rukun dari perkawinan. Dalam Islam yang dikategorikan sebagai rukun perkawinan (yang menentukan sah atau daknya perkawinan) adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua mempelai sebagaimana telah ditaqnin dalam pasal 14 Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sehingga menurut padangan yang pertama ini di sebuah Negara yang menjamin penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya (pasal 29 ayat (2) UUD tahun 1945) dak dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum nasional. Negara harus menjamin kesucian sebuah agama dan dak mencampurinya dengan hal- hal lain yang berada di luar aturan agama tersebut.

Menurut penganut pandangan pertama, campur tangan

Negara dalam menjaga kesucian agama terlihat dengan adanya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan dan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang telah diteguhkan keberadaannya dengan putusan Mahkamah Kons tusi Nomor 140/PUU- VII/2009. Malahan barang siapa yang melakukan ndakan penodaan agama diamcam hukuman lima tahun penjara.

Pandangan kedua berpendapat bahwa ide pengintegrasian syarat administrasi perkawinan menjadi syarat materil, dak bertentangan dengan agama. Agama Islam mengajarkan tentang kewajiban bagi se ap warga Negara mentaa pemimpin mereka, selama ketaatan tersebut bukan untuk sesuatu perbuatan keingkaran kepada Allah SWT.

Pencatatan perkawinan ditegaskan oleh Negara dalam sebuah peraturan perundang-undangan bertujuan untuk kemaslahatan bagi warga negaranya. Karena di era globalisasi saat ini pada sebagian masyarakat sudah mulai luntur nilai sakral perkawinan. Sebagai imbas dari kondisi sosial tersebut sering terjadi perbuatan yang dak bertanggung jawab dari satu pihak yang terikat dalam sebuah perkawinan, terjadi perceraian tanpa kontrol, poligami yang serampangan, kekerasan dalam rumah tangga, anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, dan banyak kejadian sosial lain yang membuk kan kondisi penyimpangan sosial tersebut.

Lewat pengakuan Mahkamah Kons tusi tentang hak anak di luar perkawinan yang mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya, membuat suatu paradigma baru dan juga keluar dari konteks kelaziman yang selama ini berlaku di Indonesia. Ada suatu pemahaman terutama pada pengakuan untuk melindungi status anak terlepas dari status kedua orangtuanya.

Itu sebabnya Komnas Perempuan menyambut posi f putusan Mahkamah Kons tusi karena sejalan dengan kons tusi dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (UU No 7 Tahun 1984). Sejalan dengan hal Komnas Perempuan, Komnas HAM yang diwakili oleh komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, membuat sebuah ar kel yang memuji putusan Mahkamah Kons tusi sebagai ‘terobosan spektakuler’.

Menurut Daming, ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP memperkosa rasa keadilan dan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang dijamin Pasal 28B ayat (1) dan (2) serta Pasal 28D ayat (1).

Sebaliknya, dari kalangan ulama Islam banyak melayangkan kri k terhadap putusan Mahkamah Kons tusi ini. Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Aceh Barat, Syamsuar Basyariah, mengatakan bahwa sebaiknya putusan ini dikaji ulang. Sebagaimana yang diku p dari Antara News, putusan ini akan merepotkan pembagian waris. Jika anak di luar perkawinan yang diakui mendapatkan hak keperdataan dari ayahnya, maka harus ada rekonstruksi ulang pembagian waris terhadap anak di luar kawin. Bukan saja itu, jika anak luar nikah itu diakui sah, maka sejak putusan MK tersebut, anak yang lahir dari ikatan pernikahan sah menurut agama namun melanggar aturan perundang-undangan juga sudah berhak menerima Akta Kelahiran.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyatakan ke daksetujuannya lewat fatwa No.11 Tahun 2012. Fatwa ini dibuat untuk menjawab pertanyaan masyarakat atas hal- hal yang dak jelas dalam putusan Mahkamah Kons tusi. MUI mengingatkan antara lain bahwa anak hasil zina dak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Tetapi MUI juga mengingatkan bahwa pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran.