Kriteria mujtahid

3. Kriteria mujtahid

Seseorang yang menggelu bidang fi qh dak bisa sampai ke ngkat mujtahid kecuali dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada yang telah disepaka , dan sebagian yang lain masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah disepaka adalah:

a. Mengetahui al-Quran Al-Qur’an adalh sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang dak menger al-Qur’an sudah tentu ia

dak menger syariat Islam secara utuh. Menger al-Qur’an dak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat

bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al-Ghazali memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.

b. Mengetahui Asbab al-nuzul Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengatahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan b. Mengetahui Asbab al-nuzul Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengatahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan

Imam as-Sya bi dalam bukunya al-Muwafaqaat mengatakan bahwa mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda penger annya menurut perbedaan keadaan. Kedua, dak mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga sering menimbulkan perselisihan. [9]

- M engetahui nasikh dan mansukh Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar

jangan sampai berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah dinasikhkan dan dak bisa dipergunakan untuk dalil.

c. Mengetahui as-sunnah Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as- Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.

d. Mengetahui ilmu diroyah hadit Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan hadis yang shahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, ngkatan kata dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis, dan lain hal- hal yang tercakup dalam ilmu hadis, kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai dasar hukum.

f. Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan dak f. Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan dak

g. Mengetahui asbab al-wurud hadis Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-nuzul, yakni mengetahui se ap kondisi, situasi, lokus, serta tempus hadis tersebut ada.

h. Mengetahui bahasa Arab Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam, teks otorita f Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini dak lepas dari bahwa teks otorita f Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.

i. Mengetahui tempat-tempat ijma’ Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum- hukum yang telah disepaka oleh para ulama, sehingga dak terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil ij hadnya maslahat bagi manusia.

j. Mengetahui ushul fi qh Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah

ilmu ushul fi qh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil is mbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang dak ada nash hukumnya. Dalam ushul fi qh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.

k. Mengetahui maksud dan tujuan syariah Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi

dan memelihara kepen ngan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam ga ngkatan maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup, missal memberi rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri dan memelihara kepen ngan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam ga ngkatan maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup, missal memberi rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri

Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya

Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya, masyarakat, problemnya, aliran ideologinya, poli knya, agamanya dan mengenal hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh mana interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.

[1] Irsyad al-Fuhul dalam Yusuf Qardawi, Ij had dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, hal. 2. [2] Al-Amidi, al-ihkam fi ushul al-ahkam, dalam Yusuf Qardawi, Ij had dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, hal. 2.

[3] Ibid, hal. 5 [4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih

[ 5] Said Ramadan, Islamic Law, It’s Scope and Equity, alih bahasa

Badri Saleh dengan judul Keunikan dan Keis mewaan Hukum Islam (Jakarta: Firdaus, 1991), hal. 7.

[6 ] Joseph Schacht, An Introduc on To Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press, 1971), hal. 1. [7 ] Penulis akan menggunakan redaksi “hukum Islam” sebagai

keseluruhan hukum syari’at yang sifatnya hukum Tuhan (devine law) dan fi qih yang sifatnya profan (proses ij had ulama fuqaha dari syari’at itu sendiri). Sikap ini berbeda dengan pandangan Joseph Schacht yang mengiden kkan hukum Islam (the law of Islam) dengan syari’at, dan berbeda dengan Hasbi Ashshiddieqy yang mendekatkan hukum Islam dengan fi qih. Hukum Islam dalam makalah ini mencakup kedua-duanya, yakni syari’at dan fi qih.

[8] Li smanto dalam Pembaharuan Hukum Islam Berbasis Tradisi:

Upaya Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai Kearifan Lokal