Faktor-Faktor Budaya

9. Faktor-Faktor Budaya

Ke ka perilaku atau kebiasaan yang sudah lama dilakukan terancam, resistensi terhadap perubahan biasanya sangat kuat, seringkali berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai tradisional. Status quo dilindungi tapi perubahan dihambat. Sebagai contoh, pada orang Mormon, berdasarkan kepercayaan relijius tradisionalnya, menolak hukum yang mengancam perkawinan poligami mereka. Begitu pula di India, ke ka kelaparan adalah suatu masalah besar, lebih dari 3 juta sapi yang disucikan oleh orang Hindu dak hanya diampuni untuk disembelih untuk dijadikan makanan namun juga diperbolehkan untuk berjalan- jalan di desa dan tanah-tanah pertanian, seringkali menyebabkan kerusakan tanaman pangan yang parah. Makan daging sapi akan bertentangan dengan kepercayaan tradisional mereka, dan sebagai hasilnya adalah dak mungkin untuk memelihara sapi untuk dijadikan daging untuk makanan di India. Faktor-faktor budaya lainnya juga ber ndak seringkali sebagai penghambat perubahan, termasuk fatalisme, etnosentrisme, pendapat ke dakcocokan, dan supers si / tabu.

Fatalisme. “Di kebanyakan bagian dunia ini kita menemui budaya-budaya yang mendukung kepercayaan bahwa orang dak mempunyai sebab akibat dari masa depannya atau masa depan dari tanahnya; Tuhan, bukan orang, dapat meningkatkan nasib orang….Sulit untuk membujuk orang seper ini untuk Fatalisme. “Di kebanyakan bagian dunia ini kita menemui budaya-budaya yang mendukung kepercayaan bahwa orang dak mempunyai sebab akibat dari masa depannya atau masa depan dari tanahnya; Tuhan, bukan orang, dapat meningkatkan nasib orang….Sulit untuk membujuk orang seper ini untuk

Etnosentrisme. Banyak sub kelompok di masyarakat memandang mereka sendiri sebagai “superior“, satu-satunya yang memiliki hak tentang cara berpikir tentang dunia dan cara memperlakukan lingkungan. Perasaan superioritas terhadap suatu kelompok akan membuat orang untuk dak bisa menerima (unrecep ve) ide-ide dan metode-metode yang digunakan di kelompok-kelompok lainnya. Sebagai hasilnya, etnosentrisme seringkali menyebabkan orang (a bulwark) dak setuju dengan perubahan. Sebagai contoh, perasaan superioritas seper itu oleh orang-orang kulit pu h telah menghambat usaha-usaha integrasi dalam hal perumahan, pekerjaan, dan pendidikan.

Ke dakcocokan (incompa bility). Ke daksetujuan terhadap perubahan sering dikarenakan karena di kelompok target terdapat material dan sistem yang, atau dipandang sebagai,

dak dapat diubah (irreconcilable) dengan usulan yang baru. Ke ka ke dakcocokan tersebut ada pada suatu kebudayaan, perubahan akan menemui kesulitan. Sebagai contoh, kontras antara kepercayaan monotheis (berTuhan satu) dan polytheis (berTuhan banyak). Orang monotheis dapat menerima suatu nabi baru (a new deity) hanya dengan menolak yang telah ada sebelumnya (the previous incumbent), yang akan meminta banyak pengorbanan dari mereka. Untuk menggambarkan hal ini, orang Indian Navajo telah dak setuju terhadap Kris ani karena kepercayaan agama mereka dak cocok dengan yang ditawarkan oleh bentuk yang lainnya (Foster, 1973: 94). Salah satu contoh konkret adalah hukum umur perkawinan (marriage age law) dak dapat diubah (irreconcilable) dengan usulan yang baru. Ke ka ke dakcocokan tersebut ada pada suatu kebudayaan, perubahan akan menemui kesulitan. Sebagai contoh, kontras antara kepercayaan monotheis (berTuhan satu) dan polytheis (berTuhan banyak). Orang monotheis dapat menerima suatu nabi baru (a new deity) hanya dengan menolak yang telah ada sebelumnya (the previous incumbent), yang akan meminta banyak pengorbanan dari mereka. Untuk menggambarkan hal ini, orang Indian Navajo telah dak setuju terhadap Kris ani karena kepercayaan agama mereka dak cocok dengan yang ditawarkan oleh bentuk yang lainnya (Foster, 1973: 94). Salah satu contoh konkret adalah hukum umur perkawinan (marriage age law)

Supers si / tabu. Supes si didefi nisikan sebagai suatu penerimaan dak kri s dari suatu kepercayaan yang dak didukung oleh fakta-fakta. Kadang-kadang, supes si ber ndak sebagai penghambat perubahan. Sebagai contoh, di suatu situasi di Rhodesia, usaha-usaha pendidikan nutrisi terhambat karena fakta bahwa banyak perempuan yang dak makan telur. Menurut kepercayaan mereka yang meluas, telur menyebabkan ke daksuburan / infer litas, membuat bayi botak, dan membuat wanita menjadi sulit hamil (promiscuous). Begitu pula, di Filipina, ada suatu kepercayaan bahwa jeruk (squash) yang dimakan dengan ayam akan menyebabkan penyakit lepra. Di beberapa tempat, wanita hamil dak diberi makan telur karena bayinya akan membesar yang mempersulit kelahirannya, dan di tempat lainnya lagi, seorang bayi dak akan diberi air untuk beberapa bulan setelah kelahiran karena kualitas “dingin“ dari air akan merusak perimbangan panas si bayi. Di beberapa bagian dari Ghana, anak-anak dak boleh makan daging atau ikan karena dipercaya daging dan ikan akan menyebabkan cacing perut (Foster, 1973: 103-104). Jelas bahwa, jika ada kepercayaan supers si, usaha-usaha perubahan melalui hukum atau agen- agen lainnya akan menemui hambatan.