Status Anak di Luar Nikah dalam Hukum

A. Status Anak di Luar Nikah dalam Hukum

Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah (anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: “bahwa anak yang sah adalah:

a. Anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.

b. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”. Dalam Bab IX pasal 42 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 b. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”. Dalam Bab IX pasal 42 Undang-Undang No.1 Tahun 1974

Shaykh Hasanayn Muhammad Makhluf, seorang mu i dari Mesir, membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang dak sah. Hubungan suami isteri yang dak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang dak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.

Selain itu, hubungan suami isteri yang dak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun is lah anak zina merupakan is lah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam dak mengadopsi is lah tersebut.

Hal tersebut bertujuan agar anak sebagai hasil hubungan zina, dak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya akibat perbuatan dosa yang telah dilakukan ibu kandungnya dan ayah gene knya. Untuk lebih mendekatkan makna tersebut, Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwasanya “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuk kan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, anak zina yang didefi nisikan oleh Shaykh Hasanayn adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, sebagaimana pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam, anak zina yang didefi nisikan oleh Shaykh Hasanayn adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, sebagaimana pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan

Berdasarkan terminologi, anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan yang dak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria gene k sang anak. Sedangkan penger an luar nikah adalah hubungan seorang pria dan wanita yang dapat melahirkan keturunan dan hubungan mereka dak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum posi f dan agama yang dianutnya.

Anak yang lahir di luar perkawinan menurut is lah yang digunakan dalam hukum perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alami). Pendekatan is lah anak zina sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, berbeda dengan penger an anak zina yang ada dalam hukum perdata. Dalam hukum perdata, is lah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Oleh sebab itu, anak luar kawin yang ada dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan is lah lain yang dak bisa diar kan sebagai anak zina.

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dan sebelum adanya pengakuan atau

pengesahan dari kedua orang tuanya maka anak itu dak sah menurut hukum. Sedangkan apabila orang tua melakukan

ndakan- ndakan, seper melangsungkan perkawinan atau melakukan pengakuan atau pengesahan pada salah satu lembaga hukum, maka anak tersebut sah secara hukum. Predikat sebagai anak luar kawin tentunya akan melekat pada anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata penger an anak luar kawin dibagi menjadi 2

(dua) macam yaitu sebagai berikut :

1. Anak luar kawin dalam ar luas, adalah anak luar

perkawinan karena perzinaan dan sumbang.

Anak Zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar kawin, antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain, sedangkan Anak Sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi.

Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, melarang Perkawinan antara dua orang yang :

a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak ri dari menantu dan ibu/bapak ri;

d) berhubungan sepersusuan, yaitu orang tua sepersusuan, anak sepersusuan, saudara sepersusuan dan bibi/paman sepersusuan;

e) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; dan

f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah.

2. Anak luar kawin dalam ar sempit, adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

Lembaga pengakuan anak dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana dikemukakan bahwa anak luar kawin (natuurlijk kind), kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, maka ap-

ap anak yang lahir di luar perkawinan apabila bapak dan ibunya melaksanakan perkawinan, atau jika bapak dan ibunya sebelum melaksanakan perkawinan, mengakuinya menurut undang- ap anak yang lahir di luar perkawinan apabila bapak dan ibunya melaksanakan perkawinan, atau jika bapak dan ibunya sebelum melaksanakan perkawinan, mengakuinya menurut undang-

Kemudian dalam Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dinyatakan bahwa dengan adanya pengakuan anak luar kawin sebagaimana tersebut diatas, maka mbullah hubungan perdata antara anak luar kawin itu dengan bapak dan ibunya sebagai anak yang sah lainnya.

Dari pembahasan di atas, melihat kasus yang menyebabkan lahirnya Putusan Mahkamah Kons tusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, dapat dicerma bahwasanya Moerdiono telah melakukan

ndakan Poligami dengan menikahi Machica dengan dak sah secara hukum hingga melahirkan seorang anak. Sehingga setelah Moerdiono meninggal sang anak ingin melegalkan statusnya sebagai salah satu anak sah dan bisa masuk sebagai bagian dari pada keluarga moerdiono. Namun, hal ini terjegal oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yang menjadi masalah dalam kasus ini sebenarnya adalah bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dari poligami di bawah tangan, dan persoalan ini dak secara langsung berkaitan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagaimana yang ditunjuk Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 itu.

Poligami di bawah tangan yang dilakukan Moerdiono dan istrinya tersebut jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 4 dan Pasal

5 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang diperbolehkannya beristri lebih dari satu orang dan oleh karena itu pula dak akan pernah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan.

Pasal 4 Undang-Undang No.1 tahun 1974 adalah ketentuan yang bersifat perintah secara impera f (wajib) terhadap suami yang akan berpoligami untuk memperoleh izin dari pengadilan, sedangkan Pasal 5 Undang-Undang No.1 tahun 1974 berkaitan dengan syarat-syarat poligami yang harus dipenuhi dan dapat dibuk kan kebenarannya dalam persidangan. Perkawinan yang melanggar ketentuan ini adalah termasuk perkawinan yang dak dapat dilakukan sesuai Pasal 9 Undang-Undang No.1 tahun 1974, “seorang yang masih terikat tali perkawinan Pasal 4 Undang-Undang No.1 tahun 1974 adalah ketentuan yang bersifat perintah secara impera f (wajib) terhadap suami yang akan berpoligami untuk memperoleh izin dari pengadilan, sedangkan Pasal 5 Undang-Undang No.1 tahun 1974 berkaitan dengan syarat-syarat poligami yang harus dipenuhi dan dapat dibuk kan kebenarannya dalam persidangan. Perkawinan yang melanggar ketentuan ini adalah termasuk perkawinan yang dak dapat dilakukan sesuai Pasal 9 Undang-Undang No.1 tahun 1974, “seorang yang masih terikat tali perkawinan

Mengenai pencatatan kasus poligami seper ini juga dilarang dalam UU sebagaima Pasal 44 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 yang menyatakan “pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seper yang dimaksud dalam Pasal 43.” Oleh karena itu perkawinan poligami di bawah tangan menurut undang- undang adalah perkawinan yang melanggar prosedur undang- undang dan keberadaannya dak dapat dilakukan toleransi.

Fatwa Syekhul Azhar (Guru Besar) yang pada waktu itu dijabat oleh DR. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, menyatakan bahwa al-jiwaz al-‘urf adalah sebuah pernikahan yang dak tercatat sebagaimana mes nya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syakh Jaad al-haq mengklasifi kasikan ketentuan pernikahan kepada dua katagori, yaitu rukun syar’iy dan rukun al-taws qi.

Rukun syar’iy adalah rukun yang menentukan sah atau dak sahnya sebuah pernikahan. Rukun ini adalah rukun yang ditetapkan Syari’at Islam seper yang telah dirumuskan dalam Kitab-kitab Fiqh dari berbagai madzhab yang pada in nya adalah adanya ijab dan qabul dari masing-masing dua orang yang berakad yang diucapkan pada tempat yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadiny ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baligh, berakal, lagi beragama Islam, dimana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafaz ijab Rukun syar’iy adalah rukun yang menentukan sah atau dak sahnya sebuah pernikahan. Rukun ini adalah rukun yang ditetapkan Syari’at Islam seper yang telah dirumuskan dalam Kitab-kitab Fiqh dari berbagai madzhab yang pada in nya adalah adanya ijab dan qabul dari masing-masing dua orang yang berakad yang diucapkan pada tempat yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadiny ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baligh, berakal, lagi beragama Islam, dimana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafaz ijab

Rukun yang bersifat tawutsiqy adalah rukun tambahan dengan tujuan agar pernikahan di kalangan ummat Islam dak liar, tetapi tercatat pada buku register Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang yang diatur dalam peraturan perundangan administrasi negara. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan yang merupakan tempat yang sangat pen ng dan strategi dalam masyarakat Islam dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya nega ve dari pihak-pihak yang dak bertanggungjawab.

Lebih jelas lagi Wahbah Al-Zulaily 5 secara tegas membagi syarat nikah yang harus dipenuhi, menjadi syarat syar’iy dan syarat tautsiqy. Syarat syar’iy maksudnya suatu syarat dimana keabsahan suatu peris wa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah rukun-rukun pernikahan dengan syarat- syarat yang telah ditentukan. Sedangkan syarat tautsiqy adalah suatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai buk kebenaran terjadinya suatu ndakan sebagai upaya an sipasi adanya ke dak jelasan di kemudian hari. Syarat tausiqi dak berhubungan dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi sebagai buk adanya perbuatan itu.

Dalam status anak hasil perbuatan zina antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan di luar ikatan perkawinan adalah perbuatan nista dan dak dibenarkan oleh aturan manapun, baik oleh agama apapun dan oleh negara, walaupun dalam katagori yang sedikit berbeda. Dalam Islam perbuatan zina dengan segala bentuknya baik dilakukan suka-sama suka, maupun dak, dilakukan oleh orang yang belum berkeluarga maupun telah berkeluarga adalah terlarang dan termasuk perbuatan dosa besar, bahkan pelakunya harus mendapatkan hukuman yang se mpal dengan hukuman rajam atau jilid.

Banyak hal yang membuat perbuatan zina dari segala cara ini dikecam, salah satunya adalah berakibat langsung menelantarkan anak-anak yang dilahirkannya, sebab seorang Banyak hal yang membuat perbuatan zina dari segala cara ini dikecam, salah satunya adalah berakibat langsung menelantarkan anak-anak yang dilahirkannya, sebab seorang

Sebuah hadist Nabi Muhammad yang menyatakan bahwasanya anak yang lahir dari hubungan tanpa ikatan perkawinan hanya memiliki hubungan dari nasab ibunya, yaitu :

Dari Aisyah Ra. Dia telah berkata: telah terjadi perselisihan antara Sa’ad bin Abi Waqash dengan Abdu bin Zam’ah mengenai seorang anak. Saad berkata: “Wahai Rasulullah! Ini adalah anak saudaraku, Utbah bin Abi Waqash. Jadi dia adalah anak saudaraku menurut pengakuan saudaraku itu. Lihat wajah anak ini mirip dengannya”. Abdu bin Zam’ah menyangkal dan mengatakan: “Ini adalah saudaraku, wahai Rasulullah. Dia dilahirkan atas tempat dur ayahku dari hamba perempuannya”. Rasulullah memperha kan anak itu sejenak dan memang anak itu mirip Utbah kemudian beliau bersabda: “Dia adalah untukmu wahai Abdu. Anak adalah berdasarkan kepada tempat dur dan orang yang berzina hanya mendapat kecelakaan pakailah hijab darinya ya Saudah bin Zamah”.

Karena anak yang lahir di luar nikah hanya memiliki hubungan dengan ibunya, maka anak tersebut dak memiliki hak apapun dari ayah biologisnya, karena secara hukum baik hukum agama maupun hukum nasional dia dak memiliki pertalian darah (nasab) dengan laki-laki yang merupakan ayah biologisnya. Sehingga oleh sebab itu anak di luar nikah dak memperoleh hak-hak materil dan moril yang semes nya harus diperoleh oleh seorang anak dari ayahnya, seper hak pemeliharaan, hak na ah, hak perwalian nikah bagi anak perempuan, dan hak saling mewarisi ke ka terjadi kema an.

Dari penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwasanya ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974, Dari penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwasanya ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974,