Analisis Usahatani Dan Prospek Pengembangan Kopra

(1)

ANALISIS USAHATANI DAN

PROSPEK PENGEMBANGAN KOPRA

(Studi Kasus: Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan)

SKRIPSI

Oleh :

MUHAMMAD ALVIZA

090304007

AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS USAHATANI DAN

PROSPEK PENGEMBANGAN KOPRA

(Studi Kasus: Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan)

SKRIPSI

Oleh :

MUHAMMAD ALVIZA

090304007

AGRIBISNIS

Skripsi Merupakan Salah Satu Syarat Melaksanakan Ujian Akhir Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

( Ir. Luhut Sihombing, MP) (Sri Fajar Ayu, SP. , MM. DBA) NIP. 196510081992031001 NIP. 197008272008122001

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

MUHAMMAD ALVIZA (090304007), dengan judul skripsi “ANALISIS USAHATANI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN KOPRA”. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ibu Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis usahatani dan prospek pengembangan kopra di kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan provinsi Sumatera Utara. Secara khusus bertujuan untuk membandingkan pendapatan usahatani kelapa dan pendapatan usahatani kopra, menganalisis kelayakan usaha tani kopra, dan untuk mengetahui strategi pengembangan kopra di daerah penelitian. Penelitian ini menggunakan metode analisis Paired T-test dengan bantuan program SPSS 17 for Windows, dengan membandingkan pendapatan usahatani sebelum dan sesusah diolah menjadi kopra. Kelayakan usahatani dianalisis dengan menggunakan R/C rasio. Strategi pengembangan kopra dianalisis dengan matriks SWOT. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dari wawancara dengan petani. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani kelapa pada tingkat kepercayaan 95%. Nilai t-hitung yang diperoleh yaitu sebesar -4,094 sedangkan nilai t-tabel sebesar -1,80. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani kelapa. Nilai kelayakan usahatani R/C rasio yaitu sebesar 1,33. Hal ini menunjukkan bahwa untuk setiap biaya yang dikeluarkan pada awal kegiatan usahatani sebesar Rp 1.000 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.330 pada akhir kegiatan usahatani. Oleh karena itu usahatani kopra di daerah penelitian layak untuk diusahakan. Strategi usahatani kopra yang tepat dilakukan di daerah penelitian adalah strategi intensif yaitu berupa pengembangan produk.


(4)

RIWAYAT HIDUP

MUHAMMAD ALVIZA lahir di Kota Medan pada tanggal 19 Februari 1991 dari Ayah Sri Heru Priatna dan Ibu Supaini, Amd. Penulis merupakan putra ketiga dari tigat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Free Methodist 02 Medan 2003, sekolah menegah pertama di SMP Kartika I-2 Medan 2006, dan sekolah

menengah atas di SMA Kartika I-2 Medan 2009.

Tahun 2009 penulis diterima di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur PMP (Panduan Minat dan Prestasi). Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti berbagai organisasi

kemahasiswaan, antara lain Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian

(IMASEP) dan Forum Silaturahmi Mahasiswa Muslim Sosial Ekonomi Pertanian (FSMM-SEP).

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Rambung Estate, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara dari tanggal 17 Juli hingga 30 Agustus 2013.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah: “Analisis Usahatani dan Prospek Pengembangan Kopra (Studi Kasus: Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan)”. Di mana penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara, dan mendidik penulis selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Ir. Luhut Sihombing MP dan Ibu Sri Fajar Ayu SP, MM, DBA. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir. Khusus untuk Bapak Abdul Latif yang banyak membantu dalam proses penelitian di kecamatan Silau Laut.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, serta semua rekan mahasiswa yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

Medan, Oktober 2013


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Identifikasi Masalah ... 9

1.3.Tujuan Penelitian ... 9

1.4.Kegunaan Penelitian ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1.Tinjauan Pustaka ... 11

2.1.1.Agribisnis Kopra ... 11

2.1.1.1. Produksi Kelapa ... 11

2.1.1.2. Pengolahan Kopra ... 13

2.1.1.3. Pemasaran Kopra ... 17

2.1.2.Tinjauan Aspek Sosial Ekonomi Kopra ... 18

2.2.Landasan Teori ... 21

2.3.Kerangka Pemikiran ... 24

2.4.Hipotesis Penelitian ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1.Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 27

3.2.Metode Pengambilan Sampel ... 28

3.3.Metode Pengumpulan Data ... 28


(7)

3.5.Definisi dan Batasan Operasional ... 36

3.5.1.Definisi ... 36

3.5.2.Batasan Operasional ... 37

BAB IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK DATA 4.1.Deskripsi Daerah Penelitian ... 38

4.2.Tata Guna Lahan ... 39

4.3.Keadaan Penduduk ... 40

4.4.Sarana dan Prasarana ... 41

4.5.Karakteristik Petani Sampel ... 41

BAB V. HASIL DAN PEMBAHAWAN 5.1.Teknis Pengolahan Kopra ... 43

5.1.1.Panen Kelapa ... 43

5.1.2.Pembelahan Buah Kelapa ... 45

5.1.3.Pencungkilan Daging Buah ... 45

5.1.4.Pemisahan Testa Kelapa ... 45

5.1.5.Pencuccian Kopra Putih ... 46

5.1.6.Pengemasan Kopra Putih ... 46

5.2.Produksi Kelapa ... 47

5.3.Pendapatan Kelapa ... 47

5.4.Pendapatan Kopra ... 49

5.5.Perbandingan Pendapatan Usahatani Kelapa dan Kopra ... 52

5.6.Kelayak Usahatani Kopra ... 54

5.7.Strategi Pengembangan Usahatani Kopra ... 56

5.7.1.Analisis Faktor Internal ... 56

5.7.2.Analisis Faktore Eksternal ... 57

5.7.3.Tahap Masukan ... 57

5.7.3.1.Matriks IFE ... 57

5.7.3.2.Matriks EFE ... 59

5.7.4.Tahap Pencocokan ... 61

5.7.4.1.Matriks IE ... 61

5.7.4.2.Matriks SWOT ... 62

5.7.5.Tahap Keputusan ... 65

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.Kesimpulan ... 67

6.2.Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

(9)

DAFTAR TABEL

No. Judul Tabel Hal

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Perkebunan Rakyan menurut Kabupaten 2010

Luas Tanam dan Produksi Kelapa Perkebunan Rakyat per Kecamatan di Kabupatena Asahan tahun 2011

Matriks SWOT Matriks QSP

Tata Guna Lahan Daerah Penelitian Tahun 2013 Jumlah Penduduk berdasarkan Desa Tahun 2013

Keadaan Penduduk menurut Kelompok Umur Tahun 2013 Karakteristik Petani Sampel

Pendapatan Rata-rata Usahatani Kelapa Pendapatan rata-Rata Usahatani Kopra Perbandingan Pendapatan Rata-Rata Kelapa

Hasil Ananlisis Perbedaan Pendapatan Rata-Rata Usahatani Kelapa dan Usahatani Kopra

Rata-Rata Pendapatan dan R/C rasio Usahatani Kopra Per Tahun di Kecamatan Silau Laut 2013

Evaluasi Faktor Internal Usahatani Kopra Evaluasi Faktor Eksternal Usahatani Kopra

Matriks Internal dan Eksternal Posisi Usahatani Kopra Matriks SWOT Strategi Pengembangan Usahatani Kopra

27 28 35 36 39 40 40 42 49 51 52 53 55 58 60 62 63


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Gambar Hal

1. 2.

Diagram Pembuatan Kopra dengan Penjemuran Skema Kerangka Pemikiran

15 25


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Lampiran

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.

Karakteristik Petani Kelapa/Kopra

Biaya Pemeliharaan Usahtaani Kelapa Per Hektar Jumlah Produksi Kelapa Per Hektar Per Tahun Biaya Panen Kelapa Per Hektar Per Tahun

Biaya Penyusutan Alat Usahatani Kelapa Per Hektar Per Tahun Total Biaya Usahatani Kelapa Per Hektar Per Tahun

Penerimaan Usahatani Kelapa Per Hektar Per Tahun

Pendapatan bersih dan R/C Rasio usahatani Kelapa Per Hektar Per Tahun Jumlah Produksi Daging Buah dan Tempurung Kelapa Per Hektar Per Tahun

Jumlah produksi Kopra Putih, Kulit, dan Sortiran Per Hektar Per Tahun Biya Panen Kelapa Per Hektar Per Tahun

Biaya Pembelahan Buah Per hektar Per Tahun

Biaya Pencungkilan Daging Buah Per Hektar Per Tahun Biaya Pengupasan Testa Per hektar Per Tahun

Biaya Pencucian Kopra Putih Per Hektar Per tahun Biaya Pengemasan Kopra Putih Per Hektar Per Tahun

Biaya Penyusutan Alata Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun Total Biaya Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun

Penerimaan Usahatani dari Kopra Putih Per Hektar Per Tahun Penerimaan dari Kulit dalam Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun Penerimaan dari Sortiran dalam Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun Total Penerimaan Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun

Pendapatan Bersih dan R/C Rasio Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun Hasil Uji SPSS

Pembobotan Faktor Internal Usahatani Kopra Pembobotan Faktor Eksternal Usahatani Kopra Rating Faktor Internal Usahatani Kopra

Rating Faktor Eksternal Usahatani Kopra


(12)

ABSTRAK

MUHAMMAD ALVIZA (090304007), dengan judul skripsi “ANALISIS USAHATANI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN KOPRA”. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ibu Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis usahatani dan prospek pengembangan kopra di kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan provinsi Sumatera Utara. Secara khusus bertujuan untuk membandingkan pendapatan usahatani kelapa dan pendapatan usahatani kopra, menganalisis kelayakan usaha tani kopra, dan untuk mengetahui strategi pengembangan kopra di daerah penelitian. Penelitian ini menggunakan metode analisis Paired T-test dengan bantuan program SPSS 17 for Windows, dengan membandingkan pendapatan usahatani sebelum dan sesusah diolah menjadi kopra. Kelayakan usahatani dianalisis dengan menggunakan R/C rasio. Strategi pengembangan kopra dianalisis dengan matriks SWOT. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dari wawancara dengan petani. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani kelapa pada tingkat kepercayaan 95%. Nilai t-hitung yang diperoleh yaitu sebesar -4,094 sedangkan nilai t-tabel sebesar -1,80. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani kelapa. Nilai kelayakan usahatani R/C rasio yaitu sebesar 1,33. Hal ini menunjukkan bahwa untuk setiap biaya yang dikeluarkan pada awal kegiatan usahatani sebesar Rp 1.000 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.330 pada akhir kegiatan usahatani. Oleh karena itu usahatani kopra di daerah penelitian layak untuk diusahakan. Strategi usahatani kopra yang tepat dilakukan di daerah penelitian adalah strategi intensif yaitu berupa pengembangan produk.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

Tanaman perkebunan merupakan salah satu komoditas yang bisa diandalkan sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman perkebunan cukup ramai permintaannya, baik di pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Selain itu, harga jual yang tinggi juga membuat tanaman perkebunan

menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang tidak sedikit (Tim Penulis PS, 2008).

Kelapa merupakan komoditas strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Manfaat tanaman kelapa tidak saja terletak pada daging buahnya yang dapat diolah menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai manfaat yang besar. Demikian besar manfaat tanaman kelapa sehingga ada yang menamakannya sebagai "pohon kehidupan" (the tree of life) atau "pohon yang amat menyenangkan" (a heaven tree) (Asnawi, dan Darwis, 1985).

Kelapa merupakan tanaman perkebunan dengan areal terluas di Indonesia, lebih luas dibanding karet dan kelapa sawit, dan menempati urutan teratas untuk tanaman budidaya setelah padi. Pada tahun 2008 Indonesia dikenal memiliki luas perkebunan kelapa terbesar di dunia yakni 3.798 ribu Ha, sebagian besar merupakan perkebunan rakyat seluas 3,729 ribu ha (98,18%) sisanya milik negara seluas 5,5 ribu ha (0,14 %) dan perkebunan milik swasta seluas 64 ribu ha


(14)

(1,68%), dengan total produksi sebesar 2.247 ribu ton setara kopra (Direktorat Jendral Perkebunan, 2009).

Melihat tingkat konsumsi kelapa pada skala nasional diperkirakan meningkat sekitar 5,4% per tahun. Dengan laju peningkatan produksi hanya sekitar 4,37% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kopra dari tahun ke tahun belum mencukupi dengan kenaikan konsumsinya. Peningkatan produksi kopra dapat dilihat dari aspek pemasaran. Sebab aspek pemasaran kopra merupakan potensi yang cukup signifikan dalam peningkatan produksi kelapa petani. Untuk memenuhi laju pertumbuhan konsumsi tersebut perlu upaya peningkatan produksi kelapa. Hal ini dapat dicapai apabila budidaya kelapa tersebut mampu dikelola dengan baik, sehingga dapat mencapai produksi 1,5 ton kopra/ha/tahun (Suhardiyono, 1993).

Produktivitas tanaman kelapa baru mencapai 2.700-4.500 kelapa butir yang setara 0,8-1,2 ton kopra/ha. Produktivitas ini masih dapat ditingkatkan menjadi 6.750 butir atau setara 1,5 ton kopra. Hal ini dapat dilakukan dengan pemeliharaan semi intensif terhadap pertanaman kelapa, mengingat kondisi pertanaman kelapa saat ini sudah tua dan rusak sehingga perlu dilakukan peremajaan dan rehabilitasi (Deptan, 2007).

Daya saing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer, dimana nilai tambah dalam negeri yang potensial pada produk hilir dapat berlipat ganda daripada produk primernya. Usaha produk hilir saat ini terus berkembang dan memiliki kelayakan yang tinggi baik untuk usaha


(15)

kecil, menengah, maupun besar. Pada gilirannya industri hilir menjadi lokomotif industri hulu (Deptan, 2007).

Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar, dibuat kopra atau minyak kelapa. Menurut Somaatmadja (1984), berdasarkan angka tahun 1970-an sekitar 34,7% dari produksi kelapa digunakan untuk pembuatan santan, 8% untuk pembuatan minyak klentik (tradisional) dan 57,3% untuk pembuatan kopra (Awang, 1991). Dalam sepuluh tahun terakhir, penggunaan domestik kopra dan butiran kelapa masih meningkat tetapi dengan laju pertumbuhan sangat kecil. Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri yang semakin berkurang diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen yang lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah (Deptan, 2007).

Sering sekali terdengar ungkapan bahwa umumnya pengolahan hasil pertanian oleh petani mempunyai kualitas yang rendah. Banyak orang mengaitkan bahwa rendahnya mutu tersebut dikarenakan cara-cara pengolahan hasil pertanian masih bersifat tradisional. Pengolahan kopra secara tradisonal tersebut akan semakin tidak terkontrol lagi manakala masalahnya dikaitkan dengan keadaan sosial ekonomi petani/pengrajin kopra yang memang serba pas-pasan (Awang, 1991).

Banyak kopra yang dihasilkan perkebunan bermutu rendah. Dibutuhkan penyortiran dan pengeringan ulang bagi eksportir atau pengapalan karena produk bermutu rendah. Pada kasus lain, harga yang diterima petani lebih rendah dari biaya produksi. Hampir di banyak negara kopra disortir sebelum diekspor. Hal ini


(16)

untuk keuntungan petani, karena tingkat mutu yang lebih baik memberikan harga yang lebih tinggi di pasar dunia (Piggott, 1964).

Dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, petani kelapa di berbagai negara termasuk Indonesia berada pada posisi yang tidak menguntungkan, karena rendahnya produktivitas serta harga kopra yang rendah dan fluktuatif. Akibat rendahnya pendapatan, petani kelapa menjadi kurang termotivasi untuk mengadopsi teknologi anjuran untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani (Tarigan, 2003).

Pendapatan petani kelapa masih sangat terlalu rendah jika dibandingkan petani kopra. Dilihat dari sisi harga, misalnya harga kopra di Sulawesi Utara pada tahun 2002, harga mencapai Rp 1.800/kg (Rindengan, dan Hengky, 2005). Bila untuk pembuatan kopra sebanyak 1 kg dibutuhkan 5 butir kelapa maka harga kelapa hanya Rp 360 per butirnya. Harga ini pun merupakan harga setelah kelapa diolah menjadi kopra. Dengan kata lain harga kelapa segar sebelum diolah menjadi kopra berada di bawah Rp 360 per butirnya. Hal ini menunjukkan pendapatan petani masih jauh dari harapan.

Menurut Tarigan (2002), dari sisi pendapatan usahatani belum mampu menunjang kehidupan keluarga petani secara layak. Petani tentu tidak mungkin memperoleh keuntungan bila harga buah kelapa segar di bawah Rp 360 per butir. Padahal untuk memperoleh buah kelapa yang siap dipasarkan, petani mengeluarkan biaya-biaya seperti biaya-biaya perawatan tanaman, panen, dan pascapanen. Biaya pascapanen yang dikeluarkan berupa biaya pengupasan sabut kelapa karena konsumen tidak menginginkan adanya sabut kelapa yang masih menempel pada butiran kelapa.


(17)

Kabupaten Asahan merupakan sentra produksi kelapa terbesar di Sumatera Utara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, jumlah produksi kelapa di kabupaten Asahan tahun 2010 sebesar 25363,62 ton dengan luas tanam seluas 24957,25 ha. Salah satu kecamatan di kabupaten Asahan yang memiliki potensi perkebunan kelapa adalah kecamatan Silau Laut. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah produksi yang tinggi pada tahun 2011 yaitu sebesar 8.428,50 ton dengan luas tanam seluas 5.869 ha.

Dari hasil pratinjau yang dilakukan, permasalahan yang terjadi di daerah penelitian adalah petani kelapa hanya mengolah buah kelapa menjadi kopra untuk keperluan industri minyak kelapa. Petani juga belum mampu mengupayakan minyak kelapa secara mandiri dikarenakan kurangnya pengetahuan dan sarana produksi untuk membuat minyak kelapa. Selain itu, petani terlalu bergantung kepada industri minyak kelapa yang hanya membutuhkan kelapa dalam bentuk kopra. Jika petani tidak mengusahakan kopra melainkan hanya dalam bentuk kelapa segar, maka petani kelapa tidak dapat segera menjualnya. Hal ini mengakibatkan petani kelapa tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga kopra.

Harga kelapa segar dan kopra di kecamatan Silau Laut masing-masing saat ini adalah Rp 2.000/buah dan Rp 4.100/kg. Untuk memperoleh 1 kg kopra dibutuhkan 4-6 butir kelapa. Proses panen kelapa dilakukan setiap tiga bulan. Dalam sekali panen per hektarnya, petani memperoleh 800 kg kelapa setara 533 buah. Hasil panen kelapa ini sama dengan 400 kg kopra. Penerimaan petani kelapa dan kopra masing-masing adalah Rp 355.000/bulan dan Rp 181.700/bulan.


(18)

Hal inilah yang menimbulkan permasalahan mengapa petani cenderung menjual kopra daripada kelapa.

Selanjutnya, di akhir produksi petani kopra di daerah penelitian selalu menghitung jumlah hasil bruto yang diperoleh. Semua hasil panen tersebut kemudian dijual dan menjadi pendapatan bagi petani. Pendapatan ini belum dikurangi oleh biaya-biaya yang dikeluarkan untuk biaya-biaya usaha tani lainnya. Setelah biaya-biaya tersebut diperhitungkan terhadap hasil yang diperoleh, selanjutnya dapat dihitung berapa besar keuntungan yang diperoleh petani.

Produk agroindustri berbasis kelapa yang diekspor Indonesia masih tergolong produk primer dengan nilai tambah yang rendah. Potensi sumberdaya kelapa sebenarnya sangat besar dan memungkinkan untuk pengembangan suatu agribisnis yang kuat, dengan struktur agroindustri yang saling terkait dari hulu hingga ke hilir. Permintaan produk-produk hilir kelapa pada masa yang akan datang diduga akan makin meningkat, sebagai konsekuensi dari meningkatnya kesadaran lingkungan oleh masyarakat internasional. Sebagai contoh, India dan Sri Lanka mengekspor produk sabut kelapa masing-masing lebih dari 50.000 ton sampai 127.000 ton pada tahun 2002, sementara Indonesia hanya mampu mengekspor serat sabut kelapa sekitar 102 ton. Hal ini disebabkan industri kelapa Indonesia secara umum belum banyak berubah, meskipun dalam dua dekade terakhir telah berdiri beberapa industri dengan produk non-minyak. Bahkan industri pengolahan kelapa sekarang lebih mundur dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, karena waktu itu semua produk CCO diproses menjadi minyak goreng, sabun dan margarine, sementara saat ini hampir seluruhnya diekspor


(19)

Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan usaha tani kopra di Indonesia adalah: pertama, masalah yang menyangkut penawaran dan permintaan produk kopra. Sampai tahun 1986 rata-rata produktivitas tanaman kelapa Indonesia sebesar 1.074 kg perhektar (ekuivalen kopra). Sedangkan potensi yang dapat dicapai jika diusahakan secara intensif sebesar 2-4 ton kopra/ha/tahun untuk kelapa dalam dan 4-6 ton kopra /ha/tahununtuk kelapa hibrida (Zainal Mahmud dan Novarianto, 1998). Permintaan kopra berhubungan erat dengan tingkat konsumsi produk-produk yang diserap untuk kebutuhan dalam negeri dan kalau mungkin untuk kepentingan luar negeri. Sampai sekarang kebutuhan konsumsi belum dapat diimbangi dengan produksi dalam negeri. Ketimpangan ini sebagai akibat dari banyaknya tanaman kelapa rakyat yang berumur tua dan banyaknya tanaman yang belum menghasilkan. Kedua, masalah yang berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi petani kelapa terutama masalah perluasan areal dan tata cara rehabilitasi tanaman tua. Hal ini dikarenakan kelapa tua walaupun tidak produktif lagi tetapi tetap memberikan penghasilan bagi petani, dan sikap ini terlihat pada petani kelapa yang pemilikannya berasal dari warisan orang tua. (Awang, 1991).

Menurut Alleorung (1998), salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah dengan mengolah semua komponen buah menjadi produk yang bernilai tinggi, sehingga nilai buah kelapa akan meningkat. Jika selama ini dijual oleh petani dalam bentuk kelapa butiran ataupun kopra menjadi produk minyak kelapa yang dikelola sendiri oleh petani. Tingkat harga minyak kelapa yang lebih tinggi dari produk kelapa butiran ataupun kopra akan menghasilkan


(20)

tambahan penghasilan sehingga akan meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri.

Sebagian besar petani kelapa di kecamatan Silau Laut melakukan pengolahan kelapa menjadi kopra tanpa melanjutkannya ke proses pengeringan dan pengolahan minyak kelapa. Dalam 1 kg kopra membutuhkan biji kelapa sebanyak 4-6 buah kelapa, sedangkan bila diolah menjadi minyak membutuhkan 7 – 9 biji kelapa per liternya. Produksi minyak yang dilakukan petani untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan untuk pasar lokal bisa dicapai dengan harga Rp 10.000-an.

Dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai analisis usaha tani kopra. Selanjutnya, penelitian ini juga ditujukan untuk membahas keunggulan, kelemahan, peluang, serta ancaman pengembangan usaha tani kopra sehingga diketahui strategi pengembangan usaha tani kopra di kecamatan Silau Laut.


(21)

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

1) Bagaimana teknis pengolahan kopra di daerah penelitian ?

2) Berapa jumlah produksi kelapa per hektar per tahun di daerah penelitian? 3) Berapa besar pendapatan usahatani kelapa per hektar per tahun di daerah

penelitian?

4) Berapa besar pendapatan usahatani kopra dari pengolahan kelapa per hektar per tahun di daerah penelitian?

5) Bagaimana perbandingan pendapatan usahatani kelapa dan pendapatan usahatani kopra di daerah penelitian?

6) Bagaimana kelayakan usaha tani kopra di daerah penelitian?

7) Bagaimana strategi pengembangan usahatani kopra di daerah penelitian?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain :

1) Untuk mengetahui teknis pengolahan kopra di daerah penelitian.

2) Untuk mengetahui jumlah produksi kelapa per hektar per tahun di daerah penelitian.

3) Untuk mengetahui besar pendapatan usahatani kelapa per hektar per tahun di daerah penelitian.

4) Untuk mengetahui besar pendapatan usahatani kopra hasil pengolahan kelapa per hektar per tahun di daerah penelitian.


(22)

5) Untuk membandingkan pendapatan usahatani kelapa dan pendapatan usahatani kopra di daerah penelitian.

6) Untuk menganalisis kelayakan usaha tani kopra di daerah penelitian. 7) Untuk mengetahui strategi pengembangan kopra di daerah penelitian.

1.4.Kegunaan Penelitian

Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat berguna antara lain sebagai berikut: 1) Sebagai bahan informasi bagi petani kopra dalam mengembangkan usaha

taninya.

2) Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

3) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengembangkan kebijakan mengenai usaha tani kopra rakyat.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA

PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Agribisnis Kopra

Dalam sistem agribisnis kopra terdapat beberapa sub sistem agribisnis. Sub sistem agribisnis tersebut diantaranya sub sistem produksi kelapa, pengolahan kopra, dan pemasaran kopra.

2.1.1.1. Produksi Kelapa

Di Indonesia, tanaman kelapa telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Sejak abad ke-19, hasil dari pohon kelapa (yaitu minyak kelapa) mulai diperdagangkan dari Asia ke Eropa. Karena perdagangan minyak kelapa dan kopra terus meningkat, maka para penanam modal asing di Indonesia, terutama Belanda, mulai tertarik untuk membuat perkebunan kelapa sendiri (Warisno, 2003).

Menurut klasifikasi botaninya, tanaman kelapa (Cocos nucifera L) termasuk famili palmae. Tanaman ini merupakan vegetasi tropis yang penting, khususnya di bagian pantai dan umumnya pada lahan petani (Awang, 1991).

Pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa dipengaruhi oleh faktor-faktor tanaman kelapa itu sendiri dan faktor lingkungan. Kelapa merupakan tanaman tropika dan tumbuh baik pada suhu 20-350 C (optimal pada suhu 270 C) dan baik ditanam pada ketinggian 0 sampai 400 m dpl. Curah hujan yang dikehendaki untuk pertumbuhan tanaman kelapa minimal 1.800 mm/tahun dengan penyebaran


(24)

merata sepanjang tahun (150 mm/bulan) dan penyinaran matahari yang baik adalah 7 jam/hari atau 2.000 jam/tahun. Selain faktor iklim, faktor tanah juga memegang peranan penting dalam pertumbuhan tanaman kelapa. Jenis tanah tidak menjadi faktor pembatas dalam hal pertumbuhan/produksi kelapa yang baik, namun demikian yang penting diperhatikan adalah sifat fisik tanah (tekstur, drainase dan topografi). Tekstur yang baik untuk pertumbuhan tanaman kelapa adalah lempung liat berpasir atau lempung berpasir (Awang, 1991).

Untuk tanaman kelapa fase menghasilkan, agar memperoleh tanaman yang tumbuh sehat dan subur, tanaman dewasa harus mendapat pemeliharaan lanjutan yang baik sehingga dengan demikian produksinya pun akan tinggi.

1) Pemupukan

Unsure hara bagi tanaman merupakan basis dalam proses metabolism yang sering kali merupakan faktor pembatas dalam mencapai tingkat produksi yang baik. Mengenai tujuan pemupukan pada tanaman produksi adalah untuk menambah unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman sehingga keseimbangan hara di dalam tanah dan tanaman tetap terpelihara.

2) Pengerjaan tanah

Tanah adalam areal pertanaman perlu diolah, baik dengan dipacul atau dibajak dengan traktor, 1-2 kali dalam setahun. Tujuannya adalah untuk memberantas rumput-rumput liar dan menambah bahan organik dari tumbuh-tumbuhan yang dibenam.


(25)

Sering kali di dalam kebun terdapat tanaman-tanaman yang kurang baik pertumbuhannya, atau tidak produktif, meskipun telah dipelihara dengan baik. Tanaman-tanaman demikian harus dibuang secepat mungkin.

(Setyamidjaja, 2008).

2.1.1.2. Pengolahan Kopra

Kopra adalah putih lembaga (endosperm) buah kelapa yang sudah dikeringkan dengan sinar matahari ataupun panas buatan. Putih lembaga dari kelapa yang masih basah diperkirakan memiliki kadar air sekitar 52%, minyak 34%, putih telur dan gula 4,5%, serta mineral 1%. Setelah menjadi kopra, kandungan air turun menjadi 5%-7%, minyak meningkat menjadi 60%-65%, putih telur dan gula menjadi 20%-30%, dan mineral 2%-3% (Warisno, 2007).

Kopra yang kualitasnya baik, berasal dari buah kelapa yang telah masak, umur buah 11-12 bulan. Kualitas kopra dapat ditingkatkan dengan perlakuan menyimpan buah yang masih utuh selama waktu tertentu sebelum buah diolah menjadi kopra (Setyamidjaja, 2008).

Pengolahan buah kelapa menjadi kopra dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain sebagai berikut:

1) Kopra Rakyat

Walaupun mutu kopra rakyat dianggap rendah, tetapi telah menyumbang kepada orang banyak dalam rangka memenuhi kebutuhan minyak kelapa. Banyak orang berpendapat bahwa rendahnya mutu tersebut disebabkan oleh pengolahan yang sangat tradisional. Beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam pengolahan kopra adalah:


(26)

a) Kegiatan pemetikan, pengangkutan dan pembelahan buah;

Pemetikan kelapa adalah upayan untuk menurunkan buah kelapa dari pohon ke permukaan tanah. Ada dua cara pemetikan yaitu secara alami di mana buah kelapa masak jatuh sendiri dari pohon dan buah masak diambil dengan memanjat pohon, menggunakan galah, tangga pemanjat atau dengan kera pemanjat. Tanda buah yang layak dipetik adalah sabut menjadi kering dan berwarna cokelat.

Pengangkutan buah kelapa adalah usaha membawa buah kelapa dari kebun/lokasi pohon kelapa sampai ke ubit pengolahan. Pengangkutan yang cepat mampu menghindarkan kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi terhadap daging buah kelapa.

Pembelahan buah kelapa merupakan kegiatan memisahkan sabut dengan tempurung dan biasanya kegiatan ini dilaksanakan secara manual. Untuk mendapatkan kopra, maka tempurung kelapa harus dipisahkan dengan daging buah kelapa melalui pencungkilan maupun pengeringan.

b) Kegiatan pengeringan daging buah kelapa

Pengeringan dengan sinar matahari biasanya dilakukan oleh sebagian besar petani kelapa di dunia maupun di Indonesia. Karena itu cara ini dikenal dengan cara tradisional dan hasil kopranya disebut sundried copra. Beberapa langkah pengeringan dengan sinar matahari adalah sebagai berikut:

- Buah kelapa yang sudah dibelah bersama dengan tempurung kelapa dihamparkan di atas lantai jemur atau rak penjemuran dengan bagian daging buah menghadap ke atas (sinar matahari).


(27)

- Jika cuaca panas baik, maka setelah 2 hari dijemur daging buah dapat dipisahkan dari tempurung kelapa. Setelah itu daging buah dikeringkan lagi selama 4-7 hari.

(Awang, 1991).

Prosedur pengeringan kopra secara tradisional disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Pembuatan Kopra dengan Penjemuran

Kelapa tua

Pemisahan Sabut

Kelapa Bulat Sabut

Pembelahan

Penjemuran (3 hari)

Pencungkilan daging buah

Daging buah tempurung

Penjemuran (5 hari)

Kopra (sundried copra)

Sumber: Bambang Kartika, 1981.

2) Kopra FMS (Fair Merchantable Sundried)

Kopra FMS dikeringkan dengan cara pengeringan yang disebut sundried, yakni proses pengeringan yang banyak menggunakan sinar matahari dan sedikit panas buatan ( bara api) dengan menggunakan bahan bakar yang tidak


(28)

mengeluarkan asap yang dapat meresap ke dalam daging buah kelapa yang dikeringkan. Misalnya dengan menggunkan arang kayu dan arang tempurung. Dalam pembuatan kopra FMS, dikenal dua macam rumah pengeringan, yaitu lade oven dan plat oven.

a) Lade Oven

Pengeringan dengan menggunakan lade oven dilakukan dengan cara sebagai berikut: kopra yang masih basah disusun di dalam kotak yang telah tersedia, kemudian dimasukkan ke dalam ruangan yang tertutup; ke dalam ruanagan ini dialirkan udara panas dengan suhu antara 400C-800C. Pengeringan kopra dengan cara ini memberikan hasil kopra yang kurang baik, karena kopra dapat ditumbuhi oleh cendawan-cendawan yang dapat menurunkan kualitas kopra. Jika suhu ruangan tersebut diperbesar (lebih dari 800C), kemungkinan besar kopra akan hangus.

b) Plat Oven

Pengeringan ini disebut plat oven karena banyak menggunakan plat besi sebagai media pengaliran panas. Rumah pengeringan ini terdiri atas dapur yang biasaya dibuat dari bata merah, sebagai tempat pembakaran kayu atau bahn bakar lainnya. Dapur memiliki ukuran panjang 10 m, lebar 3 m, dan tinggi 1 m. Di tempat pembakaran kayu tersebut terdapat terowongan asap yang dapat mengalir sampai ke cerobong asap. Bagian atas dapur ditutup dengan plat besi yang berlubang-lubang. Udara panas dibagi secara merata melalui plat besi yang dipasang di atas ruang dapur (di atas terowongan). Panas akan mengalir melalui plat besi, sedangkan asap keluar menuju ke cerobong asap (Warisno, 2007).


(29)

3) Kopra FM (Fair Merrchantable)

Pengolahan kopra FM dilakukan melalui pengeringan menggunakan panas buatan. Rumah pengeringan yang digunakan berbentuk sangat sederhana, terdiri atas lubang berbentuk persegi yang dibuat pada lantai bangunan. Di atas lubang ini ditempatkan rak yang terbuat dari belahan bambu atau kayu kelapa. Bangunan rumah pengeringan juga diberi atap agar tidak kemasukan air hujan.

Pengeringan dilakukan dengan menyusun belahan-belahan buah kelapa yang masih basah di atas rak secara berlapis-lapis, rata-rata lima lapis. Dua lapisan terbawah disusun menghadap ke atas, sedangkan tiga lapisan di atasnya menghadap ke bawah. Dengan demikian, daging buah yang berada pada lapisan pertama dan kedua tidak akan terlalu banyak terkena asap tidak menjadi hangus/gosong. Dengan kata lain, panas yang diperoleh cukup merata.

Pengeringan dilakukan sampai daging buah mudah dilepaskan dari tempurungnya. Lama proses pengeringan dapat diatur, dipercepat, ataupun diperlambat. Kemudian daging buah dilepaskan dari tempurungnya. Setelah itu, pengeringan dapat dilanjutkan kembali kira-kira selama dua hari dan akan dihasilkan kopra mixed yang bermutu FM ke bawah. Kopra yang dikeringkan di atas api ini biasa disebut kilndried kopra.

(Warisno, 2007).


(30)

Struktur pemasaran/tataniaga produk kelapa (kelapa segar dan kopra) tidak jauh berbeda dengan struktur pemasaran komoditi perkebunan lainnya, seperti karet, cengkeh, dan kopi. Karena letak geografis wilayah penghasil kelapa di Indonesia tersebar secara merata dan biasanya kurang memiliki sarana transportasi yang baik, maka sangatlah wajar bahwa kondisi seperti ini mengundang hadirnya pedagang-pedagang kelapa/kopra di tingkat desa. Pedagang perantara seperti ini disebut pedagang pengumpul kopra. Kopra yang berasal dari petani kelapa atau pengolah kopra di tingkat desa kemudian dijual kepada pedagang desa, pedagang perantara dan pedagang kecamatan. Kopra yang sudah terkumpul di pedagang pegumpul tersebut kemudian dijual kepada pabrik-pabrik minyak kelapa melalui pedagang perantara yang berada di kota propinsi, atau dapat juga dijual ke pabrik minyak kelapa propinsi lainnya (Awang, 1991).

2.1.2. Tinjauan Aspek Sosial Ekonomi Kopra

Tanaman kelapa bagi Indonesia merupakan tanaman yang sangat penting, karena tanaman ini sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, menjadi salah satu komoditi usaha tani rakyat, dan merupakan komoditi ekspor. Dengan luas pertanaman yang meliputi 2,5 juta hektar, diperkirakan tidak kurang dari 1,2 juta keluarga petani memperoleh pendapatan utamanya dai usaha tani kelapa (Setyamidjaja, 1999).

Pada umumnya komoditi hasil pertanian memiliki beberapa sifat lemah di lihat dari sudut ekonomi pemasarannya, sebagai berikut:

1) Perishable goods, artinya produk (hasil/barang) yang mudah busuk, mudah rusak atau tidak tahan lama.


(31)

2) Seasonal product, yaitu ketergantungan produksi usaha tani dan tumbuhan budidaya masih terletak pada musim.

3) Bulky atau voluminous product, yang berarti produk usaha tani/ pertanian sifatnya memakan ruangan atau tempat yang relative besar sedangkan nilai produk itu sendiri relative rendah.

(Sihombing, 2011)

Bila kelapa diproduksi untuk minyak, maka hasil minyaknya termasuk diurutan kedua setelah kelapa sawit. kelapa sawit menghasilkan minyak 3.375 kg/ha/tahun, sedangkan kelapa menghasilkan 1.375/kg/ha/tahun. Perkembangan tanaman kelapa akan makin pesat dengan bertambahnya penduduk baik di Indonesia sendiri ataupun di dunia. Apalagi, kegunaannya selain untuk minyak dapat dipergunakan sebagai bahan ramuan obat-obatan (Suhardiman,1999).

Produksi minyak kelapa sangat erat kaitannya dengan produksi kopra, baik tingkat dunia maupun tingkat negara produsen dan konsumen kopra. Produksi kelapa Indonesia berhubungan dengan tingkat konsumsi kelapa tersebut di dalam dan di luar negeri (Awang, 1991). Menurut Setyamidjaja (2008), tingkat konsumsi di dalam negeri tahun ke tahun terus meningkat dengan laju 4,5% per tahun, sedang di lain pihak laju peningkatan produksi hanya mencapai 3,37% per tahun, sehingga terjadilah ketidakseimbangan.

Beberapa karakteristik produksi pertanian diantaranya sebagai berikut: 1) Variying cost of production (biaya produksi yang bermacam-macam)

Adapun produksi dari hasil pertanian juga memiliki biaya produksi yang beraneka ragam yang mana juga memiliki produk olahan jadi.


(32)

2) Quality variation (variasi mutunya sangat tinggi)

Hasil produksi pertanian juga memiliki mutu yang banyak untuk dikembangkan sebagai hasil industri yang mana harus memenuhi syarat mutu yang diminta dari segi fisik (bentuk, tingkat kematangan, kebersihan warna), organoleptik (warna, rasa, aroma), dan kimia (kadar air dan kandungna mikroba). Sehingga hasil produk olahan tersebut dapat dikonsumsi masyarakat dan dapat diekspor.

3) Geographic concentration of production (konsentrasi geografi produksi) Konsetrasi geografis produksi dimaksuudkan bahwa pada pemakaian produk, sikap terhadap produk yang artinya bahwa produk pertanian memiliki keunggulan masing-masing.

Petani kopra selama ini masih jauh dari sejahtera. Setiap hari mereka memproduksi kopra, hanya untuk melunasi hutang-hutangnya. Uang yang diperoleh oleh petani kopra memang tidak mencukupi untuk dapat hidup layak. Mereka selalu terjerat oleh kopra yang dihargai sangat rendah. Selama ini petani belum ada alternatif lain untuk mengolah daging kelapa selain menjadi kopra, kopra inilah yang selama ini menjadi andalan penghidupan mereka sekaligus (Mashuri, 2010).

Karakteristik petani kopra meliputi umur, pengalaman, dan pendidikan formal yang pernah diikuti. Umur mempunyai pegaruh yang cukup besar terhadap kemampuan kerja seseorang. Umur sangat berhubungan dengan kemampuan fisik petani dalam mengerjakan usaha taninya. Umumnya semakin bertambah umur


(33)

seseorang akan diikuti dengan semakin nenurunnya kemampuan fisiknya untuk mengerjakan pekerjaan yang dibebankan kepadanya (Patty, 1982).

Pengalaman berusaha tani yaitu lamanya petani menekuni usahataninya. Petani yang telah memiliki pengalaman kerja yang lebih, biasanya akan memberikan hasil dan kemampuan kerja yang lebih baik dibandingkan dengan yang belum berpengalaman. Umumnya petani telah mengenal metode pengolahan kopra sejak masih muda. Karena pengolahan kopra pada usaha tani kelapa rakyat merupakan hal yan ditekuni secara turun temurun dengan teknologi yang masih sangat tradisional. Ini menyebabkan faktor pengalaman akan sangat penting artinya bagi petani (Patty, 1982).

Tingkat pndidikan petani akan mempengaruhi keberhasilan usaha tani yang dijalankannya. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan petani, akan semakin mudah menerima dan menerapkan teknologi baru dalam usaha tani, sehingga diharapkan tingkat keberhasilan usaha tani dapat ditttingkatkan. Secara umum petani pernah mengikuti pendidikan formal, meskipun terbatas pada pendidikan dasar dan menengah (Patty, 1982).

2.2. Landasan Teori

Komoditi pertanian pada umumnya dihasilkan sebagai bahan mentah dan mudah rusak (perishable), sehingga perlu penyimpanan, perawatan dan pengolahan. Proses pengolahan hasil pertanian dapat meningkatkan guna komoditi pertanian (Soekartawi, 2002).


(34)

Komponen pengolahan hasil pertanian menjadi penting karena pertimbangan sebagai berikut :

1) Meningkatkan nilai tambah

Nilai tambah merupakan nilai produk dikurangi dengan nilai bahan baku dan bahan penunjang yang dipergunakan dalam proses produksi.

2) Meningkatkan kualitas hasil

Salah satu tujuan pengolahan hasil pertanian adalah untuk meningkatkan kualitas. Kualitas yang baik akan meningkatkan nilai barang pertanian menjadi lebih tinggi. Kualitas barang yang rendah sudah pasti akan menyebabkan harga menjadi rendah begitu pulak sebaliknya.

3) Meningkatkan keterampilan

Keterampilan dalam mengolah dengan baik akan meningkatkan keterampilan secara kumulatif hingga pada akhirnya akan memperoleh hasil penerimaan usaha tani yang lebih besar.

4) Meningkatkan pendapatan

Konsekuensi dari hasil olahan yang baik akan menyebabkan total penerimaan yang lebih tinggi. Bila keadaan memungkinkan maka sebaiknya petani mengolah sendiri hasil pertaniannya, hal ini untuk mendapatkan kualitas hasil yang lebih baik, harga yang lebih tinggi dan pasti mendatangkan total penerimaan keuntungan yang lebih besar.

(Saptana, dkk., 2003).

Petani dengan segala keterbatasan yang dimiliki kurang memperhatikan aspek pengolahan hasil. Sering kali dijumpai petani yang langsung menjual hasil pertaniannya karena ingin mendapatkan uang kontan yang cepat. Karena


(35)

keinginan mendapatkan uang dengan cepat inilah sering kali penanganan pasca panen menjadi tidak baik dan mengakibatkan nilai tambah bahkan nilai hasil pertanian itu sendiri menjadi rendah (Santoso, 1998).

Pasca panen hasil pertanian adalah semua kegiatan yang dilakukan sejak proses pemanenan hasil pertanian sampai dengan proses yang menghasilkan produk setengah (produk antara/ intermediate). Kegiatan pasca panen meliputi panen, pengumpulan, perontokan/ pemipilan/ pengupasan, pencucian, pensortiran, pengkelasan (grading), pengangkutan, pengeringan (drying), penggilingan dan atau penepungan, pengemasan dan penyimpanan (Deptan, 2009).

Menurut Hadisapoetra (1973) dalam Suparman dan Azis (2003), bahwa suatu kegiatan usaha tani dikatakan berhasil apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Usaha tani harus dapat menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk membayar seluruh biaya usaha termasuk biaya alat-alat yang diperlukan, usaha tani harus dapat menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk membayar bunga modal yang digunakan dalam kegiatan usaha tani tersebut, baik modal seniri maupun modal yang berasal dari pinjaman, usaha tani harus dapat menghasilkan pendapatan yang dapat dipakai untuk membayar upah tenaga kerja yang layak, usaha tani harus memberikan pendapatan yang dapat menunjang kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup kepada pelaku usaha.

Selama ini kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih banyak diperoleh dari produk segar (primer) yang relatif memberi nilai tambah kecil dan belum mengandalkan produk olahan (hilir) yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar. Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk


(36)

olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, dan bukan lagi pengembangan komoditas. Secara lebih khusus pendekatannya lebih difokuskan pada pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara, produk semi akhir dan yang utama produk akhir yang berdaya saing (Deptan, 2009).

2.3. Kerangka Pemikiran

Usaha tani kopra adalah kesatuan unit yang terdiri dari faktor produksi seperti modal, tenaga kerja dan keterampilan sehingga proses produksi dapat terlaksana dan menghasilkan output. Dalam usaha tani kopra ketersediaan faktor produksi merupakan suatu keharusan. Faktor-faktor produksi tersebut meliputi ketersediaan buah kelapa, tenaga kerja dan pasar. Dimana faktor produksi ini akan membentuk suatu biaya yang disebut biaya produksi. Besarnya biaya produksi ditentukan dengan besarnya harga yang berlaku.

Untuk melihat seberapa besar pendapatan usaha tani kopra maka dihitunglah selisih penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian penjualan dengan harga yang berlaku, sedangkan pengeluaran mertupakan total biaya tetap dan biaya variabel. Penerimaan yang lebih besar daripada pengeluaran berdampak pada tingkat pendapatan yang lebih besar pula bagi usaha tani kopra.

Pendapatan usahatani kelapa butiran dengan pendapatan usahatani kopra memiliki selisih penerimaan. Terdapat biaya pengolahan kelapa menjadi kopra yang


(37)

Usaha tani kopra dikatakan layak atau tidak layak untuk dikembangkan pada waktu selanjutnya dianalisis dengan menghitung R/C rasio. Jika usaha tani kopra sesuai dengan kriteria kelayakan maka usaha tani ini patut untuk dikembangkan.

Setelah diketahui kelayakan usaha taninya, perlu diketahui strategi pengembangan usaha tani kopra tersebut. Adapun strataegi pengembangan usaha tani kopra ini diperoleh dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman yang dihadapi oleh usaha tani kopra.

Secara sistematis, kerangka pemikiran digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan: Menyatakan hubungan Kelayakan

Usahatani

Analisis SWOT

Strategi Komparasi

Kopra

Biaya Produksi

Pendapatan Pendapatan

Biaya Produksi

Penerimaan Penerimaan

Kelapa Usaha Tani

Pengolahan Kopra

Harga Jual Harga Jual


(38)

2.4. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis penelitian yang dapat diajukan berdasarkan identifikasi masalah adalah sebagai berikut:

1) Tingkat pendapatan petani dengan menjual kopra lebih tinggi daripada dengan menjual kelapa.


(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara purposive yaitu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu disesuaikan dengan tujuan penelitian (Singarimbun, 1989). Dengan mempertimbangkan bahwa daerah ini merupakan salah satu sentra produksi tanaman kelapa yang mengolahnya menjadi kopra yang cukup potensial di Sumatera Utara, yaitu di Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan dan disajikan dalam tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1. Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Perkebunan Rakyat menurut Kabupaten 2010

No. Kabupaten Luas Tanam (Ha) Produksi (Ton)

1. Nias 21474,00 17326,10

2. Mandailing Natal 2728,58 1255,97

3. Tapanuli Selatan 415,00 213,18

4. Tapanuli Tengah 5567,00 5055,00

5. Tapanuli Utara 351,85 270,15

6. Toba Samosir 37,50 31,18

7. Labuhan Batu 3159,00 2917,11

8. Asahan 24957,25 25363,62

9. Simalungun 2797,71 1854,92

10. Dairi 534,00 363,98

11. Karo 1253,00 861,70

12. Deli Serdang 4058,70 2690,74

13. Langkat 3896,00 3457,00

14. Nias Selatan 19308,00 13806,84

15. Hbg Hasundutan 330,50 146,65

16. Pakpak Bharat 97,90 34,40

17. Samosir 64,35 60,32

18. Serdang Bedagai 2330,15 2267,22

19. Batu Bara 4262,50 17838,60

20. Padang Lawas Utara 716,50 279,05

21. Padang Lawas 702,20 362,65

22. Labuhan Batu Selatan 54,00 43,00

23. Labuhan Batu Utara 6146,00 7086,68

24. Nias Utara - -

25 Nias Barat - -

Jumlah 108241,69 103606,06


(40)

Dari tabel 1 di atas diketahui bahwa Kabupaten Asahan memiliki potensi produksi buah kelapa yang paling tinggi dari kabupaten-kabupaten lain di Sumatera Utara. Jumlah produksi kelapa di Kabupaten Asahan pada tahun 2010 mencapai 25.363,62 ton. Jumlah produksi ini jauh lebih tinggi dibanding kabupaten Nias dan Batu Bara.

Kecamatan Silau Laut adalah salah satu kecamatan di kabupaten Asahan yang memiliki jumlah produksi kelapa yang tinggi setelah kecamatan Tanjung Balai. Hal ini dapat dilihat dari tabel 2 yang menunjukkan bahwa jumlah produksi kelapa di kecamatan Silau Laut pada tahun 2011 sebesar 8.428,50 ton.

Tabel 2. Luas Tanam dan Produksi Kelapa Perkebunan Rakyat per Kecamatan di Kabupaten Asahan tahun 2011

No Kecamatan Luas Tanam (Ha) Produksi (Ton)

1 B. P. Mandoge 66,00 45,50

2 Bandar Pulau 20,00 20,00

3 Aek Songsongan 28,50 36,40

4 Rahuning 21,30 21,30

5 Pulau Rakyat 102,50 111,20

6 Aek Kuasan 112,00 83,00

7 Aek Ledong 29,00 52,20

8 Sei Kepayang 7.248,00 2.141,00

9 Sei Kepayang Barat 1.403,00 598,00

10 Sei Kepayang Timur 3.630,00 2.385,00

11 Tanjung Balai 3.461,00 9.389,52

12 Simpang Empat 380,00 879,12

13 Teluk Dalam 192,50 337,39

14 Air Batu 115,50 207,20

15 Sei Dadap 101,90 183,42

16 Buntu Pane 74,00 63,00

17 Tinggi Raja 100,00 64,00

18 Setia Janji 36,00 23,00

19 Meranti 51,30 49,90

20 Pulo Banding 75,50 69,00

21 Rawang Panca Arga 87,50 102,80

22 Air Joman 1.200,00 2.380,00

23 Silau Laut 5.869,00 8.428,50

24 Kisaran Barat 22,50 40,50

25 KIsaran Timur 26,50 26,50

Jumlah 27.737,45 24.453,50


(41)

3.2. Metode Pengambilan Sampel

Menurut Suharsimi Arikunto (2006) menyatakan bahwa populasi adalah seluruh subjek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh petani kopra Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan. Adapun yang dimaksud dengan sampel menurut Suharsimi Arikunto (2006). Sampel adalah “sebagian atau wakil populasi yang diteliti”.

Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah seluruh populasi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh atau sensus, yaitu teknik penentuan sampel apabila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2005). Ini sering dilakukan jika jumlah populasi yang relatif kecil. Namun ada kriteria dalam penentuan sampel dalam penelitian ini yaitu, petani kopra merupakan petani yang mengusahakan kopra dari kegiatan pemeliharaan kelapa hingga kegiatan pasca panen.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan para responden berdasarkan kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu, sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap yang diperoleh dari berbagai instansi atau lembaga terkait seperti BPS, Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta literatur yang ada hubungannya dengan penelitian ini.


(42)

3.4. Metode Analisis Data

Untuk tujuan penelitian (1), yaitu mengetahui teknik pengolahan kopra di daerah penelitian dianalisis secara deskriptif dengan mengumpulkan informasi dan wawancara langsung dengan petani.

Tujuan penelitian (2), yaitu mengetahui jumlah produksi kelapa petani per hektar per tahun di daerah penelitian dianalisis dengan mengumpulkan informasi dan wawancara langsung dengan petani.

Sementara itu, untuk tujuan penelitian (3) dan (4) mengenai pendapatan usahatani kelapa per hektar per tahun dan pendapatan usaha tani kopra dari pengolahan kelapa per hektar per tahun di daerah penelitian dianalisis dengan memperhitungkan pendapatan petani yang menjual hasil produk berupa buah kelapa dan pendapatan petani yang menjual kopra. Pendapatan petani yang menjual kopra dihitung pula pendapatan di luar kopra seperti pendapatan menjual testa/kulit kelapa dan sortiran kelapa. Adapun rumus menghitung pendapatan petani sebagai berikut :

I = TR - TC TR = P x Q TC = TFC + TVC Keterangan:

I : Pendapatan Bersih/ Benefit TR : Pendapatan Kotor

TC : Total Biaya P : Harga Jual Q : Jumlah Produksi


(43)

TFC : Total Biaya Tetap TVC : Total Biaya Variabel (Soekartawi, 1995).

Secara teoritis, menurut Soekartawi (1995), apabila TR > TC maka petani memperoleh keuntungan, apabila nilai TR = TC maka petani tidak untung dan gtidak rugi, dan apabila nilai TR < TC maka petani mengalami kerugian dalam usaha taninya.

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam usaha tani kopra berupa biaya-biaya tenaga kerja, baik tenaga panen, mengupas sabut, mencungkil daging buah, biaya pemisahan kulit, biaya pengemasan, serta biaya penyusutan alat-alat yang digunakan dalam usaha tani kopra.

Selanjutnya untuk menjawab tujuan penelitian (5), penulis membandingkan pencapaian pendapatan usahatani sebelum dan sesudah diolah menjadi kopra, kemudian menginterpretasikannya ke dalam analisis uji beda berpasangan. Dengan menggunakan program SPSS. Adapun bentuk uji hipotesis yang diajukan adalah uji hipotesis satu sisi (one tailed-test) karena parameter hipotesis dinyatakan lebih besar atau lebih kecil.

Menurut Sunyoto (2009), ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum uji t dilakukan, persyaratannya adalah:

1) Data masing-masing berdistribusi normal, 2) Data dipilih secara acak,


(44)

Kriteria pengujian beda rata-rata adalah sebagai berikut:

1) Apabila thitung ≤ ttabel maka Ho ditolak, dan Ha diterima, artinya

perbandingan pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani kelapa.

2) Apabila thitung > ttabel maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya

pendapatan usahatani kopra sama dengan pendapatan usahatani kelapa.

Analisis yang digunakan pada tujuan penelitian (6) yaitu studi kelayakan finansial digunakan analisis Return Cost Ratio (R/C rasio) dengan rumus:

a = R/C R = Py . Y C = FC + VC a = {(Py.Y)/(FC+VC)} Keterangan :

a = Nisbah antara Penerimaan dengan Biaya-Biaya R = Penerimaan

C = Biaya

Py = Harga Output Y = Output FC = Biaya Tetap VC = Biaya Variabel Indikatornya sebagai berikut :

1) Bila R/C = 1 maka usaha tani tidak untung dan tidak rugi 2) Bila R/C < 1 maka usaha tani merugi

3) Bila R/C > 1 maka usaha tani menguntungkan (Soekartawi, 1995).


(45)

Untuk tujuan penelitian (7) yaitu menentukan strategi yang dapat diterapkan oleh usaha tani, digunakan analisis deskriptif, yaitu dengan matriks SWOT. Matrik ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi usaha tani kopra disesuaikan dengan kelemahan yang dimilikinya. Analisis SWOT meyediakan pemahaman realistis tentang hubungan suatu organisasi dengan lingkungannya untuk mendapatkan terciptanya strategi yang dapat memaksimunkan kekuatan dan peluang serta meminimunkan kelemahan dan ancaman yang ada. Dengan gambaran tersebut kita akan dapat melihat bagaimana strategi pengembangan usaha tani kopra di Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan.

Langkah-langkah pembuatan SWOT :

1) Mengidentifikasi lingkungan eksternal (peluang dan ancaman) dan lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) usaha tani kopra.

2) Menganalisis lingkungan internal dengan menggunakan matriks IFE untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan utama usaha tani.

3) Menganalisis lingkungan eksternal dengan menggunakan matriks EFE untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman utama yang dihadapi usaha tani. 4) Memasukkan hasil analisis matrik IFE dan EFE ke dalam matriks IE untuk

menentukan posisi usaha tani.

5) Melakukan analisis dengan matriks SWOT dengan cara : 1. Membuat daftar peluang eksternal usaha tani

2. Membuat daftar ancaman eksternal usaha tani 3. Membuat daftar kekuatan internal usaha tani 4. Membuat daftar kelemahan internal usaha tani


(46)

5. Mencocokkan kekuatan internal dan peluang eksternal dan mencatat hasilnya dalam strategi SO

6. Mencocokkan kelemahan internal dan peluang eksternal mencatat hasilnya dalam strategi WO

7. Mencocokkan kekuatan internal dan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam strategi ST

8. Mencocokkan kelemahan internal dan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam strategi WT

Tabel 3. Matriks SWOT

Faktor Internal

Faktor Eksternal

(Strength) (Weakness)

(Opportunities) Strategi SO Menggunakan Kekuatan Untuk Mengambil Peluang Strategi WO Menggunakan Peluang Untuk Mengatasi Kelemahan (Threats) Strategi ST Menggunakan Kekuatan Untuk Mengatasi Ancaman Strategi WT Meminimalisasi Ancaman dan Kelemahan Sumber : Rangkuti, 2005

6) Menentukan prioritas strategi yang dapat diterapkan oleh usaha tani dengan menggunakan matriks QSP, dengan cara :

1. Membuat daftar peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan usaha tani di kolom sebelah kiri QSPM. Informasi ini diambil dari matriks IFE dana


(47)

2. Memberi bobot pada masing-masing faktor internal dan eksternal. Bobot ini identik dengan yang dipakai dalam matriks IFE dan EFE.

3. Mengidentifikasi strategi alternatif yang diperoleh dari analisis SWOT. Kemudian mencatat strategi-strategi ini di bagian atas baris QSPM

4. Menetapkan attractiveness score (AS) untuk setiap strategi berdasarkan peran faktor tersebut terhadap setiap alternatif strategi. Batasan nilai AS adalah : 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = secara logic menarik, 4 = sangat menarik.

5. Menghitung total attractiveness score (TAS) dengan mengalikan bobot dengan AS

6. Menghitung jumlah seluruh TAS untuk setiap alternatif strategi. Dari beberapa nilai TAS yang didapat, nilai TAS dari alternatif strategi yang tertinggi menunjukkan bahwa alternative strategi itu yang menjadi pilihan utama. Nilai TAS terkecil menunjukkan bahwa alternatif strategi ini menjadi pilihan terakhir.

Tabel 4. Matriks QSP

Faktor-faktor sukses kritis

Bobot (a)

Alternatif Strategi

Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 Strategi 4 AS (b) TAS (axb) AS (b) TAS (axb) AS (b) TAS (axb) AS (b) TAS (axb) Peluang Ancaman Kekuatan Kelemahan

Jumlah Total Nilai Daya Tarik


(48)

3.5. Definisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan dalam penafsiran penelitian ini, maka perlu dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut:

1.5.1. Definisi Operasional

1. Kopra adalah daging buah kelapa yang telah dicungkil/dipisahkan dari tempurung kelapa.

2. Usaha tani kopra adalah sistem budidaya yang mengusahakan kopra mulai dari pemanenan buah kelapa hingga menjadi kopra.

3. Petani kopra adalah petani yang melakukan kegiatan panen kelapa hingga mengolahnya menjadi kopra.

4. Biaya produksi adalah biaya yang harus dikeluarkan selama proses produksi berlangsung sampai siap untuk dipasarkan.

5. Pendapatan kopra adalah penjumlahan pendapatan yang diperoleh dari penjualan kopra, sabut dan tempurung.

6. Penerimaan adalah perkalian antara hasil produksi dengan harga jual. 7. Pengeluaran adalah perkalian biaya produksi dengan harga input.

8. Studi kelayakan adalah suatu studi atau penilaian dalam rangka untuk melihat apakah usaha tani yang akan dilakukan dengan berhasil dan menguntungkan secara ekonomi.

9. Kekuatan (Strength) internal adalah segala kekuatan yang berhubungan dengan proses pengembangan kegiatan usaha tani dan dapat dikontrol oleh petani.


(49)

10.Kelemahan (Weakness) internal adalah segala kelemahan yang berhubungan dengan proses pengembangan kegiatan usaha tani dan dapat dikontrol oleh petani.

11.Peluang (Opportunity) eksternal adalah segala peluang yang berhubungan dengan proses pengembangan kegiatan usaha tani dan tidak dapat dikontrol oleh petani.

12.Ancaman (Threath) eksternal adalah segala ancaman yang berhubungan dengan kegiatan usaha tani dan tidak dapat dikontrol oleh petani.

13.Strategi pengembangan usaha tani kopra adalah tindakan peningkatan usaha tani secara terintegrasi, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan petani di masa depan.

13.5.1.Batasan Operasional

1. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan.

2. Sampel petani dalam penelitian ini adalah petani kopra yang melakukan usaha tani kopra dan menetap di Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan. 3. Penelitian dilakukan pada tahun 2013.


(50)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK PETANI SAMPEL

4.1. Deskripsi Daerah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara. Luas wilayah Kecamatan Silau Laut sebesar 2,35 persen dari total luas daratan Kabupaten Asahan yaitu seluas 8.945 hektar. Kecamatan Silau Laut merupakan dataran rendah yang memiliki tanah liat putih dan tanah liat merah, dengan ketinggian 0-4 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Silau Laut terdiri dari 5 desa diantaranya desa Bangun Sari, desa Silo Lama, desa Silo Bonto, desa Silo Baru, dan desa Lubuk Palas. Jumlah penduduk sebanyak 20.456 jiwa yang terdiri dari 10.234 laki-laki dan 10.222 perempuan.

Kecamatan Silau Laut memiliki batas-batas wilayah kecamatan sebagai berikut:

• sebelah Utara : Selat Malaka

• sebelah Selatan : Kecamatan Air Joman

• sebelah Timur : Kecamatan Tanjung Balai


(51)

4.2. Tata Guna Lahan

Penggunaan lahan daerah penelitian menurut fungsinya terdiri dari kebun kelapa, kebun kelapa sawit, cokelat, padi sawah, perumahan, perkuburan dan jalan kecamatan. Secara rinci dapat dilihat pada tabel :

Tabel 5. Tata Guna Lahan Daerah Penelitian Tahun 2013

No. Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Kebun kelapa 5.869 74,50

2 Kebun kelapa sawit 1.458 18,50

3 Kebun cokelat 213 2,70

4 Padi sawah 338 4,30

Jumlah 7.878 100

Sumber: Data Monografi Kecamatan Silau Laut 2013

Dari Tabel 5 dapat dikemukakan bahwa penggunaan lahan di daerah penelitian lebih banyak digunakan untuk perkebunan kelapa rakyat seluas 5.869 Ha dengan persentasesebesar 74,50%, untuk perkebunan kelapa sawit seluas 1.458 Ha dengan persentase 18,50%, untuk kebun cokelat 213 Ha dengan persentase 4,30%, dan untuk padi sawah seluas 338 Ha dengan persentase 4,30%. Sebagian besar penduduk di Kecamatan Silau Laut mata pencahariannya di sektor pertanian khususnya perkebunan kelapa rakyat, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani kelapa.


(52)

4.3. Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk menurut desa dapat disajikan pada tabel berikut :

Tabel 6. Jumlah Penduduk berdasarkan Desa, 2013

No. Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Persentase (%)

1 Lubuk Palas 5.361 26,20

2 Silo Baru 2.823 13,80

3 Silo Bonto 4.977 24,33

4 Silo Lama 3.636 17,77

5 Bangun Sari 3.659 17,90

Jumlah 20.456 100

Sumber: Data Monografi Kecamatan Silau Laut 2013

Berdasarkan Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk di desa Lubuk Palas paling banyak daripada jumlah penduduk di desa lain di kecamatan Silau Laut yaitu dengan jumlah penduduk 5.361 jiwa dan persentase 26,20%.

Sementara keadaan penduduk menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 7. Keadaan Penduduk menurut Kelompok Umur Tahun 2013

No. Umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 0-4 2.362 11,55

2 5-9 2.331 11,40

3 10-14 2.392 11,70

4 15-19 2.090 10,20

5 20-24 1.581 7,80

6 25-39 4.365 21,35

7 40-54 3.276 16

8 >55 2.059 10

Jumlah 20.456 100

Sumber: Data Kecamatan Silau Laut 2013

Tabel 7 menunjukkan bahwa penduduk Silau Laut paling banyak pada usia/umur produktif 25-39 yaitu 4.365 jiwa.


(53)

Gambaran keadaan sosial ekonomi petani di lokasi penelitian bervariasi baik dilihat dari suku (Batak, Jawa, dan Mandailing) maupun dari sumber mata pencaharian. Namun penduduk Silau Laut paling banyak bermata pencaharian sebagai petani kelapa. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas pengolahan kelapa yang juga mengikutsertakan tenaga perempuan sebagai tenaga pengolah. Selain sebagai petani kelapa, masyarakat sekitar juga bermata pencaharian sebagai nelayan.

4.4. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang ada di kecamatan Silau Laut cukup tersedia baik, seperti prasarana pendidikan formal, prasarana kesehatan, dan sarana ibadah. Di kecamatan Silau Laut juga terdapat kantor penyuluh pertanian yang terdapat di desa Silo Bonto.

Jalan sebagai sarana penunjang transportasi memiliki peran penting khususnya untuk transportasi darat. Dari total 57,10 km panjang jalan kecamatan Silau Laut, sepanjang 43,25 km merupakan jalan dengan kondisi yang rusak atau sekitar 76 persen dari total panjang jalan di kecamatan ini.

4.5. Karakteristik Petani Sampel

Petani sampel yang dimaksud adalah petani kelapa yang mempunyai kebun kelapa dan juga mengusahakannya menjadi kelapa putih/kopra yang berada di kecamatan Silau Laut.


(54)

Tabel 8. Karakter Petani Sampel

No. Uraian Rataan Range

1 Umur (tahun) 46,2 36-54

2 Pendidikan formal (tahun) 10,6 6-12

3 Pengalaman bertani (tahun) 22 15-25

4 Produksi kelapa (ton/ha/tahun) 3,4 2-35

Sumber : Data diolah dari Lampiran 1 dan 3

Tabel 8 menunjukkan bahwa petani kelapa memiliki umur rata-rata 46,2 tahun dengan range 36-54 tahun artinya petani sampel masih berada pada usia produktif sehingga masih besar potensi untuk mengembangkan usaha tani kopra di kecamatan Silau Laut. Pendidikan petani di daerah penelitian berada pada kisaran 6-12 tahun artinya petani sudah memiliki pendidikan SD, SMP, dan SMA.

Pengalaman bertani petani berada pada kisaran 5-20 tahun atau rata-rata 22 tahun. Terlihat dari survey ini bahwa petani yang diwawancarai merupakan generasi kedua atau anak dari petani kelapa sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman bertani terdiri dari tahap pemula dan tahap berpengalaman. Umumnya petani sampel telah ikut bertani sejak orang tuanya masih menjadi petani kelapa. Jumlah produksi kelapa (ton/ha) berada pada kisaran 2-35 (ton/ha) dengan rataan 3,4 ton/ha artinya produksi yang dihasilkan petani sudah cukup tinggi.


(55)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Teknis Pengolahan Kopra

Komoditi pertanian pada umumnya dihasilkan sebagai bahan mentah dan mudah rusak, sehingga perlu penyimpanan, perawatan dan pengolahan. Proses pengolahan hasil pertanian dapat meningkatkan guna komoditi pertanian.

Usaha tani pengolahan kopra di Kecamatan Silau Laut telah dilakukan secara turun temurun. Hal ini ditunjukkan dengan usia tanaman kelapa yang sudah cukup tua berkisar 20 tahunan. Pengolahan kopra di Kecamatan Silau Laut masih bersifat tradisional. Pengolahan kopra dilakukan tanpa menggunakan teknologi mesin. Usaha tani kopra di Kecamatan Silau Laut bersifat padat karya. Adapun teknis pengolahan kopra di Kecamatan Silau Laut meliputi panen kelapa, pembelahan buah kelapa, pencungkilan, pemisahan testa, pencucian, serta pengemasan kopra.

5.1.1. Panen Kelapa

Dalam pertanian, panen merupakan kegiatan mengumpulkan hasil usahatani dari lahan budidaya. Panen menandakan bahwa telah berakhirnya kegiatan di lahan. Panen dilakukan berdasarkan umur panen. Umur panen merupakan kondisi dimana tanaman sudah mencapai masak optimum dan siap untuk diambil hasilnya.

Waktu pemanenan buah kelapa berbeda-beda, tergantung varietas kelapa, faktor tanah, iklim serta baik buruknya pemeliharaan. Untuk varietas kelapa yang berada


(56)

di daerah penelitian yaitu varietas kelapa dalam, tanaman mulai menghasilkan dan sudah dapat dipanen saat berumur 6-8 tahun.

Kelapa yang digunakan dalam proses pengolahan kopra adalah kelapa tua. Kelapa tua memiliki kadar minyak yang tinggi serta dibutuhkan untuk kepentingan industri. Kelapa tua ditandai dengan sabut yang mulai mongering, temputung yang sudah berwarna hitam, air kelapa sedikit dan bila diguncang berbunyi, berat buah menurun rata-rata perbuah berat kelapa 1,5 kg, serta pembentukan putih lembaga sempurna dan jika tidak dipetik maka akan jatuh sendiri dari pohonya.

Pemanenan buah kelapa dalam satu tahun dilakukan sebanyak empat kali. Rata-rata per hektar pemanenan buah kelapa di daerah penelitian dilakukan oleh satu orang tenaga pengait. Upah yang diperoleh oleh tenaga pemanen berdasarkan sistem borongan. Rata-rata per kilogramnya pemanen diupah sebesar Rp 300. Pemanenan dengan menggunakan kaitan ini umumnya lebih cepat, lebih efisien, dan tidak terlalu berbahaya dibanding dengan memanjat pohon kelapa. Rata-rata kemampuan pemetikan dengan menggunakan kaitan sebanyak 100 pohon/orang/hari. Kegiatan panen yang dilakukan berupa pengaitan buah kelapa, pengumpulan, pembelahan, dan pencungkilan daging buah.

Pengaitan buah buah kelapa dimaksudkan untuk mengambil hasil panen kelapa tua yang belum jatuh dengan sendirinya. Alat yang digunakan adalah kaitan. Kaitan ini terdiri dari tiga bagian diantaranya, galah, tulang daing, dan juga pengait yang berbentuk sabit.


(57)

5.1.2. Pembelahan Buah Kelapa

Sebelum kelapa dibelah, kelapa di kumpulkan di tempat peletakan hasil. Pengumpulan buah kelapa dilakukan untuk mempermudah perhitungan panen dan juga untuk mempermudah proses pembelahan. Buah kelapa yang telah dipanen dikumpulkan di tengah-tengah bagian per sembilan pohon kelapa. Rata-rata buah kelapa yang dikumpulkan di satu tempat peletakan hasil dalam sekali panen sebanyak 61,2 kg.

Pembelahan buah kelapa bertujuan untuk membuang air kelapa yang tidak dipakai dalam proses pengolahan kopra serta untuk mempermudah kegiatan pencungkilan daging buah kelapa. Kegiatan pembelahan ini menggunakan alat berupa kapak. Upah tenaga pembelah kelapa sebesar Rp 200/kg.

5.1.3. Pencungkilan Daging Buah Kelapa

Pencungkilan daging buah kelapa dilakukan untuk memisahkan daging buah kelapa yang melekat pada tempurung kelapa. Alat yang digunakan dalam proses ini berupa cungkilan. Upah tenaga pencungkil daging buah kelapa ini sebesar Rp 200/kg. Selanjutnya, kelapa yang telah dicungkil dikumpulkan dan dikarungkan untuk dibawa menuju tempat pengumpulan daging buah untuk dilakukan proses pemisahan testa atau kulit daging buah kelapa.

5.1.4. Pemisahan Testa Kelapa

Permukaan luar daging kelapa dilapisi oleh selaput cokelat yang disebut testa. Testa dikupas dengan alat pengupas seperti alat pengupas kentang. Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh wanita. Umumnya kegiatan ini dinamakan paring, namun di daerah penelitian kegiatan ini dinamakan pengoncekan. Kemampuan


(58)

satu orang tenaga paring dapat mengupas testa sebanyak 1000 butir kelapa per 8 jam. Sistem pengupahan tenaga paring dilakukan dengan sistem borongan. Upah tenaga paring sebesar Rp 200 per kilogram kopra putih. Rata-rata tenaga paring yang digunakan sebanyak tiga orang dengan upah Rp 5.720.571 per hektar per tahun.

Sebanyak lebih kurang 10 persen daging buah ikut terpisahkan, sehingga kupasan ini masih bisa dimanfaatkan. Kulit hasil kupasan ini jika diekstraksi akan menghasilkan minyak dengan mutu yang rendah atau juga dapat digunakan sebagai pakan ternak.

Selain mengupas testa kelapa, tenaga paring juga sekaligus menyortir daging buah kelapa yang berupa potongan-potongan kecil. Umumnya jumlah sortiran bisa mencapai 5 persen dari jumlah kopra putih yang telah dikupas testanya.

5.1.5. Pencucian Kopra Putih

Pencucian kopra putih dilakukan untuk membersihkan ampas-ampas ataupun pasir-pasir yang melekat pada daging buah ketika proses pemisahan testa daging buah kelapa. Pencucian dilakukan pada bak-bak yng berisi air yang di atasnya terdapat saringan untuk meniriskan kopra yang telah dicuci. Setelah kopra dicuci kopra ditiriskan di atas bak pencucian tersebut. Pencucian kopra putih dilakukan oleh satu orang tenaga kerja dengan upah borongan sebesar Rp 70 per kg.

5.1.6. Pengemasan Kopra Putih

Pengemasan kopra dilakukan untuk mempermudah perhitungan berat kopra dan juga untuk mempermudah proses pengangkutan menuju pabrik. Kopra dikemas dalam karung berkapasitas 50 kg. Harga karung tersebut Rp 2.000 per satuan.


(59)

Pengemasan dilakukan oleh pelaku usahatani sekaligus untuk menghitung berat kopra hasil pengolahan.

5.2. Produksi Kelapa

Produksi adalah proses menggunakan sumberdaya untuk menghasilkan barang-barang atau jasa. Usaha peningkatan produksi sekarang ini bukan lagi semata-mata untuk peningkatan kuantitas hasil panen, tetapi di tujukan kepada peningkatan pendapatan petani. Oleh sebab itu,petani lebih berorientasi pada harga. Produksi yang meningkat tanpa di dukung oleh peniongkatan harga yang menguntungkan maka tidak akan memberikan jaminan bagi peningkatan usahatani.

Panen kelapa dilakukan sebanyak empat kali dalam satu tahun. Setiap satu hektar kebun kelapa terdapat rata-rata 125 pohon kelapa. Total produksi kelapa per tahunnya sebesar 3.473 kg.

5.3. Pendapatan Kelapa

Pendapatan adalah suatu ukuran balas jasa terhadap faktor-faktor produksi yang ikut dalam proses produksi. Usahatani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produksi di lapangan pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Pendapatan usahatani adalah selisih antara total penerimaan yang diperoleh oleh petani dari usahatani yang diusahakannya dengan total biaya. Agar pendapatan yang diperoleh menguntungkan maka petani harus mengupayakan penerimaan yang tinggi dan biaya produksi yang rendah (Soerkartawi, 1999).


(60)

Penerimaan usahatani merupakan hasil perkalian dai total produksi dengan harga jual produk usahatani. Total dari produksi kelapa mencapai 3.473 kg/ha/tahun. Jumlah kelapa butiran merupakan total produksi kelapa dibagi rata-rata berat perbuah kelapa dalam yaitu 1,5 kg. Sehingga jumlah kelapa per buah dari total produksi per hektar per tahun sebanyak 2.316 buah. Harga buah kelapa di daerah penelitian Rp 2.000 per buah. Sehingga penerimaan usahatani kelapa sebesar Rp 4.631.250 per hektar per tahun.

Total biaya produksi merupakan penjumlahan dari seluruh biaya-biaya produksi baik berupa biaya tetap maupun biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya-biaya yang harus dibayarkan dan petani ini itu tidak bisa mengendalikan biaya tersebut. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya-biaya yang masih bisa dikendalikan oleh pelaku usahatani. Biaya tetap dalam usahatani kelapa berupa biaya penyusutan alat dan pajak lahan. Biaya penyusutan alat diperoleh dari pembagian harga beli alat pertanian dengan umur ekonomis alat tersebut. Biaya penyusutan alat pertanian sebesar Rp 15.859 per hektar per tahun, sedangkan pajak lahan sebesar Rp 24.500 per hektar.

Biaya variabel dalam usahatani kelapa berupa biaya pemeliharaan dan juga biaya panen. Biaya pemeliharaan berupa biaya tenaga kerja penyiangan. Penyiangan dilakukan secara manual untuk membersihkan kebun dari gulma-gulma. Gulma yang umum ditemukan di kebun kelapa adalah golongan rumputan (Imperata cylindrical L., Paspalum conjugatum Borg.), golongan pakis-pakisan (Nephrosia brassiliensis), dan golongan teki (Cyperus rondutus). Penyiangan dilakukan dengan menggunakan parang babat. Besar biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan ini adalah Rp


(61)

melakukan kegiatan pengaitan kelapa dan juga pengupasan sabut dengan menggunakan alat berupa sula. Upah panen dibayar dengan sistem borongan sebesar Rp 300 per kg sudah termasuk pengupasan sabut. Biaya panen yang dikeluarkan dalam usahatani kelapa sebesar Rp 2.603.672 per hektar per tahun.

Pendapatan usahatani kelapa dalam penelitian ini dihitung per satuan luas tanaman (hektar) per tahun, untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 10.

Tabel 9. Pendapatan Rata-Rata Usahatani Kelapa

Komponen Nilai (Rp)

Biaya Tenaga Kerja (Rp) 2.839.675

Biaya Penyusutan (Rp) 15.859

Biaya PBB (Rp) 24.500

Total Biaya (Rp) 2.880.034

Penerimaan (Rp) 4.631.250

Pendapatan (Rp) 1.751.216

Sumber : Data diolah dari Lampiran 6, 7, dan 8.

Dari Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa biaya tenaga kerja merupakan komponen biaya produksi yang paling tinggi. Sedangkan biaya yang terendah adalah biaya penyusutan karena umur ekonomis alat pertanian yang sangat lama dan tidak mudah rusak mencapai 10 tahun.

5.4. Pendapatan Kopra

Kopra merupakan daging buah kelapa yang telah dipisahkan dari testa atau kulit kelapa. Produksi kopra diawali oleh proses panen kelapa. Produksi kelapa per hektar per tahun sebesar 3.473 kg. Selanjutnya kelapa dipisahkan dari tempurung sehingga hanya tinggal daging buahnya saja melalui proses pencungkilan. Daging buah kelapa yang telah dicungkil dari tempurung beratnya menjadi 2.952 kg per hektar.


(62)

Daging buah kelapa ini masih terdapat kulit ataupun testa dibagian luarnya yang berwarna cokelat. Kulit ataupun testa ini harus dikupas melalui proses pengoncekan. Rata-rata jumlah kulit dari daging buah kelapa sebesar 10 persen sehingga berat kulit terpisah sebesar 295 kg per hektar.

Dalam proses pemisahan kulit terdapat daging buah kelapa yang berukuran kecil yang termasuk dalam sortiran. Rata-rata jumlah sortiran pada proses pemisahan kulit sebesar 5 persen sehingga diperoleh jumlah sortiran sebanyak 148 kg per hektar. Adapun kopra putih yang diperoleh dari proses pengolahan ini adalah sebanyak 2.510 kg per hektar.

Penerimaan usahatani kopra merupakan hasil perkalian dari total produksi kopra putih, kulit, dan juga sortiran dengan harga masing-masing output produksi. Harga masing-masing output produksi diantaranya, untuk kopra putih Rp 4.200/kg, kulit Rp 700/kg, dan sortiran Rp 1.200/kg.

Total Biaya produksi dalam usahatani kopra merupakan penjumlahan seluruh biaya-biaya usahatani kopra mulai dari pemeliharaan kebun hingga pengemasan kopra. Biaya-biaya tersebut berupa biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yaitu biaya penyusutan alat pertanian dan juga biaya pajak lahan. Biaya penyusutan yang dikeluarkan dalam usahatani kopra sebesar Rp 22.344 per hektar per tahun, sedangkan pajak lahan sebesar Rp 24.500.

Biaya variabel pada usahatani kopra berupa biaya tenaga kerja pemeliharaan, panen, pengoncekan, pencucuian, dan juga biaya karung (kemasan). Biaya pemeliharaan pada usahatani kopra samahalnya seperti biaya pemeliharaan pada usahatani kelapa yaitu sebesar Rp 236.003 per hektar per tahun. Biaya panen pada


(63)

usaha tani kopra merupakan biaya tenaga kerja borongan sebesar Rp 100/kg. Dalam satu hektar per tahun biaya panen yang dikeluarkan sebesar Rp 867.891. Biaya pembelahan sebesar Rp 200/buah sehingga dalam satu hektar per tahunnya biaya pembelahan sebesar Rp 463.125. Biaya pencungkilan dibayar berdasarkan jumlah daging buah yang telah dicungkil, upahnya sebesar Rp 200/kg. Biaya pencungkilan daging buah per hektar per tahunnya sebesar Rp 590.484. Biaya pemisahan kulit juga merupakan biaya tenaga kerja borongan yang diupah sebesar Rp 200/kg. Biaya yang dikeluarkan Rp 5.720.571 per hektar per tahun. Biaya pencucian sebesar Rp 70/kg sehingga rata-rata biaya pencucian sebesar Rp 175.669 per hektar per tahun. sedangkan biaya karung Rp 2.000 per satuan sehingga rata-rata biaya karung sebesar Rp 100.383 per hektar per tahun.

Pendapatan usahatani kopra dalam penelitian ini dihitung per satuan luas tanaman (hektar) per tahun, untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel di bawah ini:

Tabel 10. Pendapatan Rata-Rata Usahatani Kopra

Komponen Nilai (Rp)

Biaya Tenaga Kerja (Rp) Biaya Karung (Rp)

8.053.742 100.383

Biaya Penyusutan (Rp) 22.344

Biaya PBB (Rp) 24.500

Total Biaya (Rp) 8.200.969

Penerimaan (Rp) 10.923.983

Pendapatan (Rp) 2.723.014

Sumber : Data diolah dari Lampiran 17 dan 22

Dari Tabel 10 dapat disimpulkan bahwa biaya tenaga kerja merupakan komponen biaya produksi yang paling tinggi. Sedangkan biaya yang terendah adalah biaya penyusutan karena umur ekonomis alat pertanian yang sangat lama dan tidak mudah rusak mencapai 10 tahun.


(64)

5.5. Perbandingan Pendapatan Usahatani Kelapa dan Usahatani Kopra

Pendapatan usaha yang diterima berbeda untuk setiap olahan kelapa. Perbedaan pendapatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini ada yang masih dapat diubah dalam batas-batas kemampuan petani atau tidak dapat diubah sama sekali. Faktor yang tidak dapat diubah adalah iklim dan jenis tanah. Ada juga faktor yang mempengaruhi pendapatan yaitu luas lahan, tenaga kerja dan juga melakukan pengolahan kopra.

Pendapatan usahatani dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yakni usahatani kelapa dan usahatani kopra. Pendapatan dalam hal ini dihitung per satuan luas tanaman (hektar) per tahun, untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel. dibawah ini :

Tabel 11. Perbandingan Pendapatan Rata-Rata Usahatani Kelapa

Komponen Kelapa Kopra

Biaya Tenaga Kerja (Rp) Biaya Karung (Rp)

2.839.675 -

8.053.742 100.383

Biaya Penyusutan (Rp) 15.859 22.344

Biaya PBB (Rp) 24.500 24.500

Total Biaya (Rp) 2.880.034 8.200.969

Penerimaan (Rp) 4.631.250 10.923.983

Pendapatan (Rp) 1.751.216 2.723.014

Sumber : Data diolah dari Lampiran 6, 7, 8, 17 dan 22

Dari Tabel 11 dapat disimpulkan bahwa tingkat pendapatan usahatani lebih tinggi ketika kelapa diolah menjadi kopra. Perbedaan pendapatan usahatani kelapa dengan usahatani kopra mencapai Rp 971.798. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan usahatani dari kelapa menuju usahatani kopra sebesar 35%. Total biaya produksi paling tinggi juga didapati pada usahatani kopra yang nilainya lebih besar 64 % bila dibandingkan dengan total biaya produksi pada


(65)

Perbedaan pendapatan usahatani kelapa dengan usahatani kopra juga dapat dianalisis dengan uji beda rata-rata Paired T-Test, uji satu pihak yakni pihak kiri dengan kriteria jika t hitung ≤ t tabel maka H0 tolak dan H1 diterima begitu juga sebaliknya yaitu apabila t hitung > t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak. Berikut adalah perbedaan pendapatan usahatani kopra per satuan luas tanaman (Hektar) per tahun:

Tabel 12. Hasil Analisis Perbedaan Pendapatan Rata-Rata Usahatani Kelapa dan Usahatani Kopra

Pendapatan Kelapa Kopra

Rata-Rata (Mean) 6.113.336 9.505.794

Std. Deviasi 3.513.279 5.784.033

t-hitung -4,094

t-tabel

Sig. (1-tailed)

-1,80 0,001

Sumber : Data diolah dari Lampiran 23

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa pendapatan rata-rata usahatani kelapa adalah Rp 6.113.336 dan untuk usahatani kopra adalah Rp 9.505.794.

Dari nilai t-hitung yang diperoleh dapat dilihat bahwa tingkat pendapatan usahatani dengan menjual kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani hanya menjual kelapa karena didapati bahwa t hitung –(4,094) ≤ t tabel –(1,80); Ho tolak.

Dari hasil analisis uji beda rata-rata diatas maka hipotesis pertama yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani kelapa.

Hal ini sesuai dengan landasan teori yang menyatakan bahwa konsekuensi dari hasil olahan yang baik akan menyebabkan total penerimaan yang lebih tinggi. Bila keadaan memungkinkan maka sebaiknya petani mengolah sendiri hasil


(66)

pertaniannya, hal ini untuk mendapatkan kualitas hasil yang lebih baik, harga yang lebih tinggi dan pasti mendatangkan total penerimaan keuntungan yang lebih besar.

5.6. Kelayakan Usahatani Kopra

Kelayakan usahatani merupakan upaya yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan atau kepantasan suatu usahatani dengan melihat beberapa parameter atau kriteria kelayakan tertentu. Dengan demikian suatu usaha dikatakan layak jika keuntungan yang diperoleh dapat menutup seluruh biaya yang dikeluarkan. R/C rasio adalah besaran nilai yang menunjukkan perbandingan antara penerimaan usahatani dengan total biaya.secara garis besar dapat diketahui bahwa suatu usahatani akan mendapatkan keuntungan apabila penerimaan lebih besar dibandingkan dengan biaya usahataninya.

Penerimaan merupakan perkalian antara jumlah produksi yang dihasilkan dengan harga produksi. Dengan demikian maka dapat diperoleh pendapatan atau penghasilan bersih dari petani kopra di derah penelitian, dapat disajikan pada tabel berikut ini:


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)