BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Permasalahan
Tanaman perkebunan merupakan salah satu komoditas yang bisa diandalkan sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman
perkebunan cukup ramai permintaannya, baik di pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Selain itu, harga jual yang tinggi juga membuat tanaman perkebunan
menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang tidak sedikit Tim Penulis PS, 2008.
Kelapa merupakan komoditas strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Manfaat tanaman kelapa tidak
saja terletak pada daging buahnya yang dapat diolah menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai manfaat yang
besar. Demikian besar manfaat tanaman kelapa sehingga ada yang menamakannya sebagai pohon kehidupan the tree of life atau pohon yang amat
menyenangkan a heaven tree Asnawi, dan Darwis, 1985. Kelapa merupakan tanaman perkebunan dengan areal terluas di Indonesia, lebih
luas dibanding karet dan kelapa sawit, dan menempati urutan teratas untuk tanaman budidaya setelah padi. Pada tahun 2008 Indonesia dikenal memiliki luas
perkebunan kelapa terbesar di dunia yakni 3.798 ribu Ha, sebagian besar merupakan perkebunan rakyat seluas 3,729 ribu ha 98,18 sisanya milik negara
seluas 5,5 ribu ha 0,14 dan perkebunan milik swasta seluas 64 ribu ha
Universitas Sumatera Utara
1,68, dengan total produksi sebesar 2.247 ribu ton setara kopra Direktorat Jendral Perkebunan, 2009.
Melihat tingkat konsumsi kelapa pada skala nasional diperkirakan meningkat sekitar 5,4 per tahun. Dengan laju peningkatan produksi hanya sekitar 4,37
per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kopra dari tahun ke tahun belum mencukupi dengan kenaikan konsumsinya. Peningkatan produksi kopra dapat
dilihat dari aspek pemasaran. Sebab aspek pemasaran kopra merupakan potensi yang cukup signifikan dalam peningkatan produksi kelapa petani. Untuk
memenuhi laju pertumbuhan konsumsi tersebut perlu upaya peningkatan produksi kelapa. Hal ini dapat dicapai apabila budidaya kelapa tersebut mampu dikelola
dengan baik, sehingga dapat mencapai produksi 1,5 ton koprahatahun Suhardiyono, 1993.
Produktivitas tanaman kelapa baru mencapai 2.700-4.500 kelapa butir yang setara 0,8-1,2 ton kopraha. Produktivitas ini masih dapat ditingkatkan menjadi 6.750
butir atau setara 1,5 ton kopra. Hal ini dapat dilakukan dengan pemeliharaan semi intensif terhadap pertanaman kelapa, mengingat kondisi pertanaman kelapa saat
ini sudah tua dan rusak sehingga perlu dilakukan peremajaan dan rehabilitasi Deptan, 2007.
Daya saing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer, dimana nilai tambah dalam negeri yang potensial pada
produk hilir dapat berlipat ganda daripada produk primernya. Usaha produk hilir saat ini terus berkembang dan memiliki kelayakan yang tinggi baik untuk usaha
Universitas Sumatera Utara
kecil, menengah, maupun besar. Pada gilirannya industri hilir menjadi lokomotif industri hulu Deptan, 2007.
Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar, dibuat kopra atau minyak kelapa. Menurut Somaatmadja 1984, berdasarkan
angka tahun 1970-an sekitar 34,7 dari produksi kelapa digunakan untuk pembuatan santan, 8 untuk pembuatan minyak klentik tradisional dan 57,3
untuk pembuatan kopra Awang, 1991. Dalam sepuluh tahun terakhir, penggunaan domestik kopra dan butiran kelapa masih meningkat tetapi dengan
laju pertumbuhan sangat kecil. Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri yang semakin berkurang diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen yang
lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah Deptan, 2007.
Sering sekali terdengar ungkapan bahwa umumnya pengolahan hasil pertanian oleh petani mempunyai kualitas yang rendah. Banyak orang mengaitkan bahwa
rendahnya mutu tersebut dikarenakan cara-cara pengolahan hasil pertanian masih bersifat tradisional. Pengolahan kopra secara tradisonal tersebut akan semakin
tidak terkontrol lagi manakala masalahnya dikaitkan dengan keadaan sosial ekonomi petanipengrajin kopra yang memang serba pas-pasan Awang, 1991.
Banyak kopra yang dihasilkan perkebunan bermutu rendah. Dibutuhkan penyortiran dan pengeringan ulang bagi eksportir atau pengapalan karena produk
bermutu rendah. Pada kasus lain, harga yang diterima petani lebih rendah dari biaya produksi. Hampir di banyak negara kopra disortir sebelum diekspor. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
untuk keuntungan petani, karena tingkat mutu yang lebih baik memberikan harga yang lebih tinggi di pasar dunia Piggott, 1964.
Dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, petani kelapa di berbagai negara termasuk Indonesia berada pada posisi yang tidak menguntungkan, karena
rendahnya produktivitas serta harga kopra yang rendah dan fluktuatif. Akibat rendahnya pendapatan, petani kelapa menjadi kurang termotivasi untuk
mengadopsi teknologi anjuran untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani Tarigan, 2003.
Pendapatan petani kelapa masih sangat terlalu rendah jika dibandingkan petani kopra. Dilihat dari sisi harga, misalnya harga kopra di Sulawesi Utara pada tahun
2002, harga mencapai Rp 1.800kg Rindengan, dan Hengky, 2005. Bila untuk pembuatan kopra sebanyak 1 kg dibutuhkan 5 butir kelapa maka harga kelapa
hanya Rp 360 per butirnya. Harga ini pun merupakan harga setelah kelapa diolah menjadi kopra. Dengan kata lain harga kelapa segar sebelum diolah menjadi kopra
berada di bawah Rp 360 per butirnya. Hal ini menunjukkan pendapatan petani masih jauh dari harapan.
Menurut Tarigan 2002, dari sisi pendapatan usahatani belum mampu menunjang kehidupan keluarga petani secara layak. Petani tentu tidak mungkin memperoleh
keuntungan bila harga buah kelapa segar di bawah Rp 360 per butir. Padahal untuk memperoleh buah kelapa yang siap dipasarkan, petani mengeluarkan biaya-
biaya seperti biaya perawatan tanaman, panen, dan pascapanen. Biaya pascapanen yang dikeluarkan berupa biaya pengupasan sabut kelapa karena konsumen tidak
menginginkan adanya sabut kelapa yang masih menempel pada butiran kelapa.
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Asahan merupakan sentra produksi kelapa terbesar di Sumatera Utara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, jumlah produksi
kelapa di kabupaten Asahan tahun 2010 sebesar 25363,62 ton dengan luas tanam seluas 24957,25 ha. Salah satu kecamatan di kabupaten Asahan yang memiliki
potensi perkebunan kelapa adalah kecamatan Silau Laut. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah produksi yang tinggi pada tahun 2011 yaitu sebesar 8.428,50 ton
dengan luas tanam seluas 5.869 ha. Dari hasil pratinjau yang dilakukan, permasalahan yang terjadi di daerah
penelitian adalah petani kelapa hanya mengolah buah kelapa menjadi kopra untuk keperluan industri minyak kelapa. Petani juga belum mampu mengupayakan
minyak kelapa secara mandiri dikarenakan kurangnya pengetahuan dan sarana produksi untuk membuat minyak kelapa. Selain itu, petani terlalu bergantung
kepada industri minyak kelapa yang hanya membutuhkan kelapa dalam bentuk kopra. Jika petani tidak mengusahakan kopra melainkan hanya dalam bentuk
kelapa segar, maka petani kelapa tidak dapat segera menjualnya. Hal ini mengakibatkan petani kelapa tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga
kopra. Harga kelapa segar dan kopra di kecamatan Silau Laut masing-masing saat ini
adalah Rp 2.000buah dan Rp 4.100kg. Untuk memperoleh 1 kg kopra dibutuhkan 4-6 butir kelapa. Proses panen kelapa dilakukan setiap tiga bulan.
Dalam sekali panen per hektarnya, petani memperoleh 800 kg kelapa setara 533 buah. Hasil panen kelapa ini sama dengan 400 kg kopra. Penerimaan petani
kelapa dan kopra masing-masing adalah Rp 355.000bulan dan Rp 181.700bulan.
Universitas Sumatera Utara
Hal inilah yang menimbulkan permasalahan mengapa petani cenderung menjual kopra daripada kelapa.
Selanjutnya, di akhir produksi petani kopra di daerah penelitian selalu menghitung jumlah hasil bruto yang diperoleh. Semua hasil panen tersebut kemudian dijual
dan menjadi pendapatan bagi petani. Pendapatan ini belum dikurangi oleh biaya- biaya yang dikeluarkan untuk biaya usaha tani lainnya. Setelah biaya tersebut
diperhitungkan terhadap hasil yang diperoleh, selanjutnya dapat dihitung berapa besar keuntungan yang diperoleh petani.
Produk agroindustri berbasis kelapa yang diekspor Indonesia masih tergolong produk primer dengan nilai tambah yang rendah. Potensi sumberdaya kelapa
sebenarnya sangat besar dan memungkinkan untuk pengembangan suatu agribisnis yang kuat, dengan struktur agroindustri yang saling terkait dari hulu
hingga ke hilir. Permintaan produk-produk hilir kelapa pada masa yang akan datang diduga akan makin meningkat, sebagai konsekuensi dari meningkatnya
kesadaran lingkungan oleh masyarakat internasional. Sebagai contoh, India dan Sri Lanka mengekspor produk sabut kelapa masing-masing lebih dari 50.000 ton
sampai 127.000 ton pada tahun 2002, sementara Indonesia hanya mampu mengekspor serat sabut kelapa sekitar 102 ton. Hal ini disebabkan industri kelapa
Indonesia secara umum belum banyak berubah, meskipun dalam dua dekade terakhir telah berdiri beberapa industri dengan produk non-minyak. Bahkan
industri pengolahan kelapa sekarang lebih mundur dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, karena waktu itu semua produk CCO diproses menjadi minyak
goreng, sabun dan margarine, sementara saat ini hampir seluruhnya diekspor dalam bentuk CCO dan bungkil kopra Muslim, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan usaha tani kopra di Indonesia adalah: pertama, masalah yang menyangkut penawaran dan permintaan produk
kopra. Sampai tahun 1986 rata-rata produktivitas tanaman kelapa Indonesia sebesar 1.074 kg perhektar ekuivalen kopra. Sedangkan potensi yang dapat
dicapai jika diusahakan secara intensif sebesar 2-4 ton koprahatahun untuk kelapa dalam dan 4-6 ton kopra hatahununtuk kelapa hibrida Zainal Mahmud
dan Novarianto, 1998. Permintaan kopra berhubungan erat dengan tingkat konsumsi produk-produk yang diserap untuk kebutuhan dalam negeri dan kalau
mungkin untuk kepentingan luar negeri. Sampai sekarang kebutuhan konsumsi belum dapat diimbangi dengan produksi dalam negeri. Ketimpangan ini sebagai
akibat dari banyaknya tanaman kelapa rakyat yang berumur tua dan banyaknya tanaman yang belum menghasilkan. Kedua, masalah yang berkaitan dengan
keadaan sosial ekonomi petani kelapa terutama masalah perluasan areal dan tata cara rehabilitasi tanaman tua. Hal ini dikarenakan kelapa tua walaupun tidak
produktif lagi tetapi tetap memberikan penghasilan bagi petani, dan sikap ini terlihat pada petani kelapa yang pemilikannya berasal dari warisan orang tua.
Awang, 1991. Menurut Alleorung 1998, salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan
petani kelapa adalah dengan mengolah semua komponen buah menjadi produk yang bernilai tinggi, sehingga nilai buah kelapa akan meningkat. Jika selama ini
dijual oleh petani dalam bentuk kelapa butiran ataupun kopra menjadi produk minyak kelapa yang dikelola sendiri oleh petani. Tingkat harga minyak kelapa
yang lebih tinggi dari produk kelapa butiran ataupun kopra akan menghasilkan
Universitas Sumatera Utara
tambahan penghasilan sehingga akan meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri.
Sebagian besar petani kelapa di kecamatan Silau Laut melakukan pengolahan kelapa menjadi kopra tanpa melanjutkannya ke proses pengeringan dan
pengolahan minyak kelapa. Dalam 1 kg kopra membutuhkan biji kelapa sebanyak 4-6 buah kelapa, sedangkan bila diolah menjadi minyak membutuhkan 7 – 9 biji
kelapa per liternya. Produksi minyak yang dilakukan petani untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan untuk pasar lokal bisa dicapai dengan harga Rp 10.000-an.
Dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai analisis usaha tani kopra. Selanjutnya, penelitian ini juga ditujukan
untuk membahas keunggulan, kelemahan, peluang, serta ancaman pengembangan usaha tani kopra sehingga diketahui strategi pengembangan usaha tani kopra di
kecamatan Silau Laut.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Identifikasi Masalah