Paragraf Keenam Paragraf Ketujuh

waria, sehingga tidak bisa hanya dilihat dari seorang waria saja, juga tidak bisa hanya dipertanyakan pada seorang waria, karena tiap waria yang berbeda pasti memiliki jawaban dan permasalahan yang berbeda pula menyangkut diri maupun komunitasnya. why waria tidak bisa terjawab hanya pada satu waria saja. K : sehingga, karena Paragraf kelima, masih merupakan latar informasi, paragraf ini mengandung proposisi sebab akibat, karena adanya penggunaan koherensi K “karena” dan “sehingga”. Dalam paragraf ini dijelaskan bahwa permasalahan waria yang kompleks tidak bisa dijawab oleh satu waria saja, karena setiap waria memiliki pengalaman pribadi yang berbeda tentang prosesnya menjadi waria. Bentuk kalimat pasif masih digunakan dalam menggambarkan posisi waria yang tertindas.

6. Paragraf Keenam

Tabel 4.6. No. Kalimat Sintaksis Skrip Tematik Retoris 1. Jika dirunut dari awal, permasalahan mengenai waria telah muncul sejak usia balita dimana seorang individu dengan kecenderungan waria masih berada dalam asuhan orang tua atau keluarga. background How Permasalahan waria telah muncul sejak balita. K : Jika 2. Pada masa ini kecenderungan menjadi waria pada seorang anak sudah dapat terlihat, seperti yang dikatakan oleh Kristin. “Aku mempunyai benih- Background source When, who Pernyataan salah seorang waria. K : pada benih sifat keperempuanan ini sejak aku duduk di kelas 5 SD, ketika itu aku merasa aneh pada diriku sebab aku kok bisa tertarik pada laki- laki, sedangkan aku sendiri kan juga laki- laki.” Paragraf keenam ini mencantumkan sebuah kutipan dari salah seorang waria dalam kaitannya dengan pengalaman pribadinya menjadi waria. Penulis artikel ingin menguatkan pendapat bahwa menjadi waria itu sudah ada sejak usia balita. Hal ini diperkuat dengan penggunaan koherensi K, “jika” dan “pada” yang menyiratkan adanya hubungan sebab akibat serta penjelasannya.

7. Paragraf Ketujuh

Tabel 4.7. No. Kalimat Sintaksis Skrip Tematik Retoris 1. Namun karena kondisi masyarakat kita yang masih menganggap waria sebagai sebuah aib bahkan sakit jiwa, maka setiap orang tua pasti akan memaksakan anaknya untuk menjadi seorang laki-laki, mulai dengan memberikan mainan laki-laki, melarang sang anak bermain dengan teman sebayanya yang perempuan, bahkan backgroud Why, who Masyarakat masih menganggap waria sebagai aib. K : Karena KG : kita M : - waria sebagai sebuah aib bahkan sakit jiwa. -Mulai dengan memberikan mainan laki- laki, melarang sang anak bermain dengan perempuan, menyekolahkan ke sekolah asrama laki- laki. menyekolahkannya ke sekolah asrama untuk murid laki- laki, bahkan ada pula yang mengirim sang anak ke pondok pesantren atau pemuka agama, berharap sifat keperempuannya akan sembuh dengan dogmatisasi antara dosa dan menyalahi kodrat. 2. Bahkan setelah sang anak dewasa, jika kecenderungan sifat keperempuanannya masih ada, tak jarang sang orang tua memberikan ancaman-ancaman yang sangat menakutkan seperti akan mengusir sang anak dari rumah ataupun tidak mengakuinya sebagai anak. background What, who Ancaman orang tua kepada anak mereka yang waria. K : Bahkan, yang M : mengusir sang anak dari rumah atau tidak mengakuinya sebagai anak lagi 3. Belum lagi tuntutan sang orang tua pada anaknya untuk menikah dengan perempuan. background What, who Tuntutan orang tua pada anaknya K : untuk 4. Pada akhirnya kondisi ini akan mengakibatkan sang anak menjadi tertekan dan menyalahkan dirinya sendiri, rasa tertekan ini dapat termanifestasi ke dalam sikap dan sifat background What, how Kondisi ini mengakibatkan waria tertekan. yang menjadi minder ataupun sulit bergaul pada saat dewasanya nanti. Pada paragraf ini dijelaskan tentang bagaimana hubungan orang tua dengan waria dan tindakan yang dilakukan oleh para orang tua dalam menghadapi kondisi anak mereka ketika menjadi waria. Para orang tua melarang anak laki-laki mereka bermain dengan anak perempuan sebayanya, dan memasukkan anak mereka ke asrama laki-laki dan lain sebagainya. Pada unsur skrip digunakan unsur what, who, how dan why. Paragraf ini berisi adanya proposisi sebab akibat dengan koherensi K “karena” dan proposisi penjelas dengan menggunakan koherensi K “untuk”. Yang menarik adalah banyaknya metafora M atau ungkapan-ungkapan dalam menggambarkan tindakan para orang tua dalam menghadapi anak mereka. Misalnya dengan memberikan mainan laki-laki, melarang sang anak bermain dengan perempuan, menyekolahkan ke sekolah asrama laki-laki dan lain sebagainya. Tindakan tersebut disebutkan penulis sebagai tindakan yang memberikan tekanan bagi kaum waria sehingga mempengaruhi kepribadian mereka saat beranjak dewasa. Paragraf ketujuh didominasi oleh bentuk kalimat aktif seperti berikut: Namun karena kondisi masyarakat kita yang masih menganggap waria sebagai sebuah aib bahkan sakit jiwa, maka setiap orang tua pasti akan memaksakan anaknya untuk menjadi seorang laki-laki, mulai dengan memberikan mainan laki- laki, melarang sang anak bermain dengan teman sebayanya yang perempuan, bahkan menyekolahkannya ke sekolah asrama untuk murid laki-laki, bahkan ada pula yang mengirim sang anak ke pondok pesantren atau pemuka agama, berharap sifat keperempuannya akan sembuh dengan dogmatisasi antara dosa dan menyalahi kodrat. Bahkan setelah sang anak dewasa, jika kecenderungan sifat keperempuanannya masih ada, tak jarang sang orang tua memberikan ancaman-ancaman yang sangat menakutkan seperti akan mengusir sang anak dari rumah ataupun tidak mengakuinya sebagai anak. Belum lagi tuntutan sang orang tua pada anaknya untuk menikah dengan perempuan. Pada akhirnya kondisi ini akan mengakibatkan sang anak menjadi tertekan dan menyalahkan dirinya sendiri, rasa tertekan ini dapat termanifestasi ke dalam sikap dan sifat yang menjadi minder ataupun sulit bergaul pada saat dewasanya nanti. Dari sini dapat dilihat penggunaan kata kerja yang digunakan oleh wartawan dalam menyebutkan berbagai tindakan yang dilakukan subyek yang didominasi oleh orang tua menggambarkan posisi waria sebegai objek yang disudutkan, mengalami banyak tekanan dan penderitaan.

8. Paragraf Kedelapan