Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan waria merupakan sebuah fenomena sosial tersendiri bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dimana sampai saat ini waria masih dianggap kaum yang menyimpang. Banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap eksistensi waria, bahkan secara terang-terangan menolak akan ke-eksistensi-annya dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal jelas-jelas bahwa waria itu memang ada dan mereka juga dapat bertahan hidup meskipun mendapat tentangan dari pihak yang tidak menyetujui akan keberadaan mereka. Waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik dengan identitas gendernya. Mereka merasa bahwa jauh dalam dirinya, biasanya sejak masa kanak-kanak, mereka adalah orang yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini. Adanya ketidaksesuaian tersebut menyebabkan waria tidak senang dengan alat kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan tersebut maka waria bertingkah laku seperti perempuan dan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan dengan cara berdandan dan berperilaku seperti perempuan. Ketika gangguan tersebut mulai terjadi pada masa kanak-kanak, hal tersebut akan dihubungkan dengan banyaknya perilaku lintas gender, seperti berpakaian seperti perempuan, lebih suka bermain dengan teman-teman perempuan, dan melakukan permainan yang secara umum dianggap sebagai permainan perempuan 1 . Faktor penyebab munculnya perubahan perilaku dari laki-laki menjadi waria dapat ditinjau dari beberapa perspektif, yaitu: biologis, behavioristik, dan sosiokultural. Perspektif biologis berkaitan dengan masalah hormonal, behavioristik berkaitan dengan penguatan yang diberikan oleh keluarga atau orang lain ketika anak laki-laki berperilakuberpenampilan seperti perempuan, sedangkan perspektif sosiokultural berkaitan dengan faktor budaya yang diduga mempengaruhi perubahan perilaku dari laki-laki menjadi waria 2 . Kehadiran seorang waria menjadi bagian dari kehidupan sosial rasanya tidak mungkin untuk dihindari. Mereka akan terus bertambah selama belum ditemukan cara yang tepat untuk mencegahnya. Satu hal yang harus diperhatikan dalam hal ini, yaitu pengertian waria berbeda dengan homoseksual perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis atau transvestisme suka menggunakan pakaian wanita dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Walaupun hal tersebut juga merupakan bagian dari kelainan seksual 3 . Dalam kehidupan sehari-hari, hanya ada dua jenis kelamin yang diakui secara obyektif oleh masyarakat yakni pria dan wanita. Kelly berpendapat bahwa mengenai 1 Meike Kurniawati, Latar Belakang Kehidupan Laki-Laki Menjadi Waria, Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, 2006. h. 2 2 Ibid. h. 3 3 Dewi Muthi’ah, Konsep Diri dan Latar Belakang Kehidupan Waria, Semarang, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, 2007. h. 3 jenis kelamin dapat mengakibatkan masyarakat menilai tentang perilaku manusia dimana pria harus berperilaku sebagai pria berperilaku maskulin dan wanita harus berperilaku sebagai wanita berperilaku feminin 4 . Sehingga seorang pria harus bersikap maskulin sedangkan wanita harus bersikap feminin. Hal ini berarti tidak ada pengakuan masyarakat secara obyektif terhadap pria yang bersikap dan bertingkah- laku seperti wanita yang biasa disebut waria atau banci. Pemilahan ekstrem pria dan wanita ini akhirnya melahirkan perlakuan yang ekstrem juga dalam masyarakat. Pria haruslah menjadi pria seperti konstruksi gender di masyarakat demikian juga wanita 5 . Sehingga perilaku seperti waria atau banci merupakan sebuah penyimpangan dari konstruksi masyarakat yang diskrit tersebut. Padahal meski sebagai sebuah penyimpangan atau patologi dalam masyarakat, waria memiliki sisi kehidupan yang kompleks dan juga tidak mudah untuk dijalani. Kehidupan seorang waria tidak terlepas dengan kehidupan individu dan sosialnya, bahkan lebih komplek dari kehidupan pria atau wanita normal. Karena akibat dari perilaku waria yang dianggap menyimpang oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari akan dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan seperti mengucilkan, mencemooh, memprotes dan menekan keberadaan waria di lingkungannya 6 . Sebagai agen sosialisasi media massa juga berperan dalam permasalahan waria. Media massa dapat membentuk pencitraan tertentu dari suatu peristiwa atau 4 Koeswinarno.. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: Kanisius.,2005, h.15 5 Supratiknya, A. Mengenal Perilaku Abnormal. Jogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 1995. h.391 6 Koeswinarno. Hidup Sebagai Waria, h.151 suatu kelompok dan dipahami sebagai kebenaran umum dalam masyarakat. Pencitraan yang sudah begitu melekat dalam benak masyarakat ini kemudian berkembang menjadi stereotipe yang kemudian diteruskan intra dan inter generasi. Salah satu stereotipe yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai kaum waria yang dianggap menyimpang dari norma. Sikap masyarakat terhadap keberadaan waria semakin diperparah oleh sebagian penggambaran waria di media massa. Dalam dunia pertelevisian, peran waria dianggap sebagai penyegar dalam acara-acara hiburan dan hal itu selalu saja bisa membuat penonton tertawa terbahak-bahak karena akting mereka di televisi dan menjadi segmen acara yang paling dinanti oleh pemirsa. Waria dalam media adalah bahan guyonan dan bulan-bulanan yang terpinggirkan. Waria juga sering kali dimunculkan sebagai sosok jenaka, riang gembira, dan genit. Stereotip melekat pada kaum waria, yaitu sebagai bulan-bulanan, bahan ejekan, atau kaum yang menerima perlakuan tidak baik. Waria juga selalu dikaitkan dengan pelacuran dan tindakan kriminal sehingga akhirnya muncul stigma: bahwa semua waria tidak beres 7 . Berger dan Luckmann mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan secara berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling 7 Harian Kompas Edisi 7 April 2002 tinggi, manusia menciptakan dunia yang menyeluruh, yang member legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta member makna pada berbagai bidang kehidupannya 8 . Kesimpulannya, Burger dan Luckmann mengatakan bahwa terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. 9 Dari beberapa media massa yang ada di Indonesia, Majalah Waria Information Group WIG memberi warna tersendiri dalam pemberitaan waria. Sebagai majalah berbasis komunitas majalah WIG mencoba menampilkan waria dalam pandangan berbeda dari apa yang diberitakan oleh media massa lain. Perbedaan tersebut bukan hanya bagi komunitas waria tapi juga kepada masyarakat. Dengan asumsi bahwa ada suatu nilai yang ingin direalisasikan oleh sang pemilik media ini kepada halayak, maka penelitian ini dibuat dengan judul “Analisis Framing Pemberitaan Waria Pada Majalah Waria Information Group Rubrik Under Cover”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah