Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendonor Darah Sukarela pada Masyarakat Non Pribumi dan Pribumi di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDONOR DARAH SUKARELA PADA MASYARAKAT PRIBUMI DAN NON PRIBUMI

DI UNIT TRANSFUSI DARAH PALANG MERAH INDONESIA KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

LILIANA PUSPA SARI 077012013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

THE FACTORS INFLUENCING BLOOD DONOR VOLUNTARY ON THE INDIGENT AND NON-INDIGENT COMMUNITIES

ON BLOOD TRANSFUSION UNIT OF INDONESIAN RED CROSS IN MEDAN REGION

THESIS

By

LILIANA PUSPA SARI 077012013/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDONOR DARAH SUKARELA PADA MASYARAKAT PRIBUMI DAN NON PRIBUMI

DI UNIT TRANSFUSI DARAH PALANG MERAH INDONESIA KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

LILIANA PUSPA SARI 077012013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(4)

Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDONOR DARAH SUKARELA PADA

MASYARAKAT PRIBUMI DAN NON PRIBUMI DI UNIT TRANSFUSI DARAH PALANG

MERAH INDONESIA KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Liliana Puspa Sari

Nomor Induk Mahasiswa : 077012013

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kebijakan dan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Dr. Fikarwin Zuska) (Dra. Syarifah, M.S

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 8 Februari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska Anggota : 1. Dr. Syarifah, M.S

2. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes 3. Drs. Agus Suriadi, M.Si


(6)

PERNYATAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDONOR DARAH SUKARELA PADA MASYARAKAT PRIBUMI DAN NON PRIBUMI

DI UNIT TRANSFUSI DARAH PALANG MERAH INDONESIA KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis di acu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, April 2012


(7)

ABSTRAK

Unit Transfusi Darah Kota Medan selain memenuhi kebutuhan darah untuk kota Medan, juga kota Binjai dan Langkat yang per harinya membutuhkan darah 100 kantong. Namun demikian hanya sekitar 30 kantong yang dapat terpenuhi. Dari 8.849 orang (56%) pendonor darah sukarela, 5.889 orang (67%) pendonor bersuku bangsa non pribumi dan 2.960 orang (33%) bersuku bangsa pribumi.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap dan kepercayaan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pendonor darah baik untuk masyarakat pribumi maupun non pribumi. Perlunya dilaksanakan program sosialisasi tentang kegiatan donor darah melalui promosi kesehatan berupa iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik dan memberikan jaminan akan kesterilan alat transfusi sehingga masyarakat berpartisipasi dalam mendonorkan darah untuk keperluan sesama manusia.

pengaruh pengetahuan, sikap, dan kepercayaanterhadap pendonor darah suku bangsa pribumi dan suku bangsa non pribumi menjadi pendonor darah sukarela di PMI Kota Medan. Jenis penelitian menggunakan survey explanatory. Populasi adalah pendonor darah sukarela pada masyarakat pribumi dan masyarakat non pribumi sebanyak 8.849 orang. Jumlah sampel adalah 99 orang yang diambil secara Stratified Random Sampling.

Pengumpulan data melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner penelitian. Analisis data dengan uji regresi linier berganda


(8)

ABSTRACT

Medan Blood Transfusion Unit not only meet the need of blood for the City of Medan, but also Binjai and Langkat which need 100 bags of blood per day, yet only 30 bags of blood that can be supplied. Of the 8.849 (56%) voluntary blood donors, 5,889 (67%) of them are from the non-indigenous communities and the other 2,960 (33%) are from the indigenous communities.

The purpose of this explanatory survey was to analyze the influence of knowledge, attitude, and trust on the indigenous and non-indigenous blood donors who voluntarily do it for Medan Red Cross (PMI Kota Medan). The population of this study was the 8,849 indigenous and non-indigenous community members who served as voluntary blood donors and 99 od them were selectes to be the samples for this study through stratified random sampling techique. The data for this study were obtained through questionnarie-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple liner regression test.

The result of study showed that knowledge, attitude, and trust had a significant influence on the behavior of both indigenous and non-indigenous blood donors. Medan Red Cross is suggested to implement the socialization program on blood donor activity through healtf promotion in the form of advertisement in mass media both printed and electronic and to guarantee that the transfusion equipment is sterile that community members participate in donating their blood for humanity.


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan hidayat-NYA sehingga dengan izin-NYA penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul ”Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendonor Darah Sukarela pada Masyarakat Non Pribumi dan Pribumi di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan”.

Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Dengan ridho Allah SWT serta ketulusan hati dan keikhlasan, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M. Sc (CTM), Sp.A (K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si., sebagai Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.


(10)

5. Dr. Fikarwin Zuska selaku ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga tesis selesai.

6. Dra. Syarifah, M.S selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga tesis selesai.

7. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes dan Drs. Agus Suriadi, M.Si sebagai komisi pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

8. Kepala Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan, yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada sekolah Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

9. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Studi Administrasi Kebijakan dan Kesehatan Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih yang tulus kepada keluarga besar ibunda Dra. Hj. Lela Sari, MM dan ayahanda H. Soeyono K keluarga besar ibu mertua Hj. Nurhayati Saleh dan ayah mertua (alm) Ali Habsyah yang telah memberikan dukungan moril serta doa selama penulis menjalani pendidikan.


(11)

Teristimewa buat suami tercinta dan tersayang Irwansyah Putra, AP serta anak anaku tercnta Fariz Rizqy Ananda, Fadhil Rasyid Alfarsyi dan Fattan Hidayaturrahman yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta motivasi dan memberikan dukungan moril agar dapat menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan dibidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, April 2012 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Liliana Puspa Sari dilahirkan di Medan pada tanggal 09 Oktober 1975, anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda (Alm) H. Soeyono K. dan Ibunda Dra. Hj. Lela Sari, M.M. Menikah dengan Irwansyah Putra, AP pada tanggal 4 Oktober 1997 dan telah dikaruniai tiga orang putra yaitu Fariz Rizqy Ananda, Fadhil Rasyid AlFarisi dan Fattan Hidayaturrahman, sekarang menetap di Jl. Pelita II No. 25 Medan.

Memulai pendidikan di SD Harapan I Medan lulus tahun 1988, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Medan lulus tahun 1991. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Medan lulus tahun 1994. selanjutnya meneruskan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara dan selesai tahun 2002.

Pernah bekerja sebagai dokter On-call di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Medan dari tahun 2007 sampai dengan sekarang.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Hipotesis ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Donor Darah ... 9

2.2. Pendonor Darah Sukarela ... 10

2.2.1. Pengertian Pendonor Darah Sukarela ... 10

2.2.2. Jenis-jenis Pendonor Darah Sukarela ... 10

2.2.3. Manfaat Pendonor Darah Sukarela ... 12

2.2.4. Syarat-syarat Menjadi Pendonor Darah Sukarela ... 14

2.2.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendonor Darah Sukarela 15 2.2.6. Risiko Donor Darah ... 17

2.3. Perilaku ... 20

2.3.1. Pembentukan dan Perubahan Perilaku ... 22

2.3.2. Perilaku Kesehatan ... 29

2.3.3. Faktor Predisposisi (predisposing factors) ... 34

2.3.4. Faktor Sosiodemografi Pendonor Darah ... 41

2.3.5. Faktor Sosiobudaya Pendonor Darah ... 44

2.4. Perilaku Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi di Kota Medan 46

2.5. Landasan Teori ... 48

2.6. Kerangka Konsep Penelitian ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1. Jenis Penelitian ... 50

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50


(14)

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 52

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 53

3.6. Metode Pengukuran ... 54

3.7. Metode Analisis Data ... 55

BAB 4 . HASIL PENELITIAN ... 56

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 56

4.1.1. Sejarah Singkat Palang Merah Indonesia ... 56

4.1.2. Peran dan Tugas Palang Merah Indonesia ... 58

4.1.3. Sekilas Kinerja Palang Merah Indonesia dari Masa ke Masa ... 59

4.1.4. Prinsip Dasar Palang Merah Indonesia ... 62

4.2. Hasil Penelitian ... 67

4.2.1. Karakteristik Reponden ... 67

4.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Alasan Mendonorkan Darah ... 68

4.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Sumber Informasi Kegiatan Donor Darah ... 69

4.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Donor Darah ... 69

4.3. Analisis Distribusi Frekuensi ... 70

4.3.1. Variabel Pengetahuan ... 70

4.3.2. Variabel Sikap ... 73

4.3.3. Variabel Kepercayaan ... 76

4.3.4. Variabel Perilaku Pendonor Darah ... 78

4.4. Uji Hipotesis ... 81

BAB 5. PEMBAHASAN ... 85

5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Perilaku Pendonor Darah ... 85

5.2. Pengaruh Sikap terhadap Perilaku Pendonor Darah ... 87

5.3. Pengaruh Kepercayaan terhadap Perilaku Pendonor Darah ... 89

5.4. Pengaruh Pengetahuan, Sikap, dan Kepercayaan Secara Simultan terhadap Perilaku Pendonor Darah ... 91

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

6.1. Kesimpulan ... 93

6.2. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

3.1 Populasi Penelitian ... 50

3.2 Alokasi Proposional Sampel ... 52

3.3 Variabel, Indikator, Hasil Pengukuran, Kategori dan Skala Ukur ... 54

4.1 Karakteristik Masyarakat Pribumi Berdasarkan Golongan Darah ... 67

4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Alasan Mendonorkan Darah ... 68

4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Sumber Informasi Kegiatan Donor Darah ... 69

4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Persyaratan Untuk Pendonor Darah ... 70

4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pengetahuan Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi ... 71

4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang Donor Darah ... 73

4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Sikap Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi ... 74

4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Sikap Responden ... 75

4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Kepercayaan Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi ... 76

4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kepercayaan Responden ... 78

4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Perilaku Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi ... 79

4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Tindakan Responden ... 81

4.13 Hasil Regresi Berganda Masyarakat Pribumi ... 82


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1 Health Care Utilization Model ... 32

2.2 Teori Perencanaan Perilaku ... 33

2.3 Health Belief Model ... 39


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ... 99

2. Surat Izin Penelitian dari Palang Medan Kota Medan ... 100

3. Kuesioner Penelitian ... 101

4. Frekuensi Tabel Masyarakat Pribumi ... 105

5. Frekuensi Tabel Masyarakat Non Pribumi ... 107

6. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 109

7. Uji Regresi Linier Berganda ... 115

8. Tabel Frekuensi Variabel Penelitian ... 116


(18)

ABSTRAK

Unit Transfusi Darah Kota Medan selain memenuhi kebutuhan darah untuk kota Medan, juga kota Binjai dan Langkat yang per harinya membutuhkan darah 100 kantong. Namun demikian hanya sekitar 30 kantong yang dapat terpenuhi. Dari 8.849 orang (56%) pendonor darah sukarela, 5.889 orang (67%) pendonor bersuku bangsa non pribumi dan 2.960 orang (33%) bersuku bangsa pribumi.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap dan kepercayaan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pendonor darah baik untuk masyarakat pribumi maupun non pribumi. Perlunya dilaksanakan program sosialisasi tentang kegiatan donor darah melalui promosi kesehatan berupa iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik dan memberikan jaminan akan kesterilan alat transfusi sehingga masyarakat berpartisipasi dalam mendonorkan darah untuk keperluan sesama manusia.

pengaruh pengetahuan, sikap, dan kepercayaanterhadap pendonor darah suku bangsa pribumi dan suku bangsa non pribumi menjadi pendonor darah sukarela di PMI Kota Medan. Jenis penelitian menggunakan survey explanatory. Populasi adalah pendonor darah sukarela pada masyarakat pribumi dan masyarakat non pribumi sebanyak 8.849 orang. Jumlah sampel adalah 99 orang yang diambil secara Stratified Random Sampling.

Pengumpulan data melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner penelitian. Analisis data dengan uji regresi linier berganda


(19)

ABSTRACT

Medan Blood Transfusion Unit not only meet the need of blood for the City of Medan, but also Binjai and Langkat which need 100 bags of blood per day, yet only 30 bags of blood that can be supplied. Of the 8.849 (56%) voluntary blood donors, 5,889 (67%) of them are from the non-indigenous communities and the other 2,960 (33%) are from the indigenous communities.

The purpose of this explanatory survey was to analyze the influence of knowledge, attitude, and trust on the indigenous and non-indigenous blood donors who voluntarily do it for Medan Red Cross (PMI Kota Medan). The population of this study was the 8,849 indigenous and non-indigenous community members who served as voluntary blood donors and 99 od them were selectes to be the samples for this study through stratified random sampling techique. The data for this study were obtained through questionnarie-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple liner regression test.

The result of study showed that knowledge, attitude, and trust had a significant influence on the behavior of both indigenous and non-indigenous blood donors. Medan Red Cross is suggested to implement the socialization program on blood donor activity through healtf promotion in the form of advertisement in mass media both printed and electronic and to guarantee that the transfusion equipment is sterile that community members participate in donating their blood for humanity.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bagian vital dari tubuh manusia salah satunya adalah darah yang sampai saat ini belum dapat dibuat imitasinya, sehinggasecanggih apapun tehnologi yang dapat dilakukan dalam dunia medis, darah bukan merupakan benda sintetis yang dapat dibuat tetapi merupakan produk tubuh manusia sehingga cadangan darah hanya dapat diperoleh dari manusia. Sebagai manusia, dalam keadaan mengalami kecelakaan atau menderita suatu penyakit tertentu misalnya penderita leukemia, hemofilia atau penyakit yang lain, pengobatannya membutuhkan transfusi darah. Berbeda dengan donor mata atau ginjal, donor darah sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun yang berbadan sehat (Aziz, 2000).

Usaha transfusi darah merupakan suatu bentuk pertolongan yang sangat berharga kepada umat manusia. Transfusi darah itu sendiri adalah suatu rangkaian proses pemindahan dari seorang donor (penyumbang darah) kepada resipien (penerima darah). Proses transfusi darah diwujudkan secara nyata oleh para pendonor yang rela menyumbangkan darahnya secara sukarela (PMI Pusat, 2009).

Menurut badan kesehatan dunia, World Health Organisation (WHO) sekitar 4 sampai 4,5 juta kantung darah dapat diperoleh dari 1 juta pendonor darah sukarela pertahun. Penduduk Amerika yang memenuhi syarat menjadi pendonor darah lebih kurang 60%, namun hanya 5% dari populasi tersebut yang menjadi pendonor


(21)

sukarela. Negara Belanda dari total populasi 16 juta jiwa tercatat 500.000 donor penyumbang darah (Munandar, 2008).

Pelayanan transfusi darah di Inggris kini telah berhasil mengumpulkan lebih dari 1 juta unit darah setiap tahun sehingga negara Inggris sudah mampu menyediakan komponen darah yang cukup dan akan menjadi swasembada dalam produk darah di dunia. Bagi negara Asia tingkat donasi yang paling maju adalah Jepang yaitu 68 per 1000 penduduk, Korea 40 per 1000 penduduk, Singapura 24 per 1000 penduduk, Thailand 13 per 1000 penduduk dan Malaysia 10 per 1000 penduduk (WHO, 2008).

Transfusi darah di Indonesia merupakan salah satu tugas pemerintah di bidang pelayanan kesehatan masyarakat yang diserahkan tanggung jawabnya kepada Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1980 tentang transfusi darah dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 478/Menkes/Per/X/1990 tentang upaya kesehatan bidang transfusi darah. Supaya tanggung jawab tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, PMI membentuk Unit Transfusi Darah (UTD) sebagai pelaksana teknis mulai tingkat pusat hingga kabupaten dan kota (PMI Pusat, 2009).

Palang Merah Indonesia telah melaksanakan kegiatan transfusi darah yang tersebar di 33 Provinsi dan 323 cabang di daerah dengan 165 UTD di seluruh Indonesia dengan jumlah darah yang terkumpul baru sekitar 1.054.000 unit (0,48%) dari jumlah penduduk Indonesia. Idealnya jumlah darah yang tersedia berkisar


(22)

2.200.000 unit yaitu 1% dari jumlah penduduk Indonesia. Provinsi Sumatera Utara terdapat 6 tempat UTD dari 28 kabupaten/ kota yang ada yaitu Medan, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Asahan, Padang Sidempuan dan Simalungun (Depkes RI, 2009). Fungsi Unit Transfusi Darah PMI (UTD-PMI) ini, selain melayani aspek pelayanan kesehatan juga berkaitan dengan aspek sosial dan organisasi. Upaya kesehatan transfusi darah adalah upaya kesehatan yang bertujuan agar penggunaan darah berguna bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Kegiatan ini mencakup antara lain : pengerahan donor, penyumbangan darah, pengambilan, pengamanan, pengolahan, penyimpanan dan penyampaian darah kepada pasien .

Kegiatan transfusi darah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sesuai standar yang telah ditetapkan, sehingga darah yang dihasilkan adalah darah yang keamanannya terjamin. Demikian juga dengan pendonornya, pendonor yang menyumbangkan darahnya juga tetap selalu sehat. Kelancaran pelaksanaan upaya kesehatan transfusi darah di atas sangat terkait dengan dukungan faktor ketenagaan, peralatan, dana dan sistem pengelolaan (PMI Pusat, 2009).

Pada saat ini, kebutuhan darah semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, Sedangkan pendonor darah sukarela sedikit yang mengakibatkan ketimpangan antara permintaan dan pengadaan. Masalah kelangkaan darah merupakan masalah yang selalu berulang yang belum dapat diselesaikan. Kelangkaan darah merupakan akibat dari kurangnya pendonor darah sukarela. Namun pada umumnya pendonor darah yang dimiliki bukan pendonor darah tetap yang


(23)

senantiasa menyumbangkan darah tetapi pendonor darah pasif yang harus dimobilisasi oleh petugas PMI ataupun mendonorkan darah karena kebutuhan yang mendesak. Unit Transfusi Darah Kota Medan pada pelaksanaanya tidak hanya memenuhi kebutuhan darah untuk kota Medan tetapi juga kota Binjai dan Langkat yang mengakibatkan UTD-PMI Kota Medan membutuhkan darah 100 kantong per 1 hari. Pada kenyataanya hanya sekitar 30 kantong yang dapat terpenuhi (PMI Medan, 2009).

Menurut standar WHO jumlah pendonor darah sukarela sebesar 1% dari jumlah penduduk suatu wilayah. Jumlah penduduk di Kota Medan sekitar 2.200.000 jiwa belum dapat mencapai standar sebesar yang ditetapkan tersebut, Hal tersebut sebenarnya dapat terwujud apabila selama kontinuitas pendonor tetap terjaga atau keteraturan menyumbangkan darahnya 3 kali dalam setahun maka dapat diperoleh sekitar 66.000 kantong/tahun. Jadi kebutuhan UTD-PMI Kota Medan 100 kantong per hari atau 36.500 kantong/tahun sudah dapat terpenuhi (PMI Medan, 2009).

Masalah kelangkaan darah di Medan, UTD-PMI Kota Medan melalui organisasi masyarakat, kepemudaan, TNI/POLRI, serta lembaga pemerintah dan swasta tidak henti-hentinya mengimbau kepada masyarakat agar menyumbangkan darahnya secara sukarela karena darah yang disumbangkan untuk kebutuhan masyarakat yang membutuhkan darah. Untuk mencukupi kebutuhan darah di Rumah Sakit dan klinik bersalin Kota Medan, Unit Transfusi Darah Kota Medan pada tahun 2008 telah mengumpulkan 10.950 kantong darah per tahun dari ketiga sumber


(24)

donatur yaitu Donor Pengganti (DP) 3025 kantong darah, Donor Sukarela (DS) yaitu 6075 kantong darah dan donor komersial 950 kantong darah (PMI Medan, 2009). Bila diamati dari data tersebut di atas pada tahun 2008 UTD-PMI Kota Medan memiliki 56% stok darah yang bersumber dari donor sukarela sementara 44% lainnya dari sumber donor pengganti dan donor komersial. Stok darah yang 56% dari total kebutuhan itu jelas sangat berisiko dalam pelayanan kesehatan di Medan. Unit Transfusi Darah Kota Medan sangat menyadari kekurangan persediaan stok darah dalam jumlah yang memadai (PMI Medan, 2009).

Dari 8.849 orang (56%) pendonor darah sukarela, 5.889 orang (67%) merupakan pendonor sukarela dari suku bangsa non pribumi, sedangkan 2.960 orang (33%) merupakan pendonor darah dari suku bangsa pribumi. Padahal jumlah masyarakat suku bangsa non pribumi lebih kecil dibandingkan jumlah penduduk suku bangsa pribumi tetapi mereka merupakan penyumbang donor darah sukarela terbesar (PMI Medan, 2009).

Ditinjau dari tingkat perekonomian masyarakat non pribumi mungkin lebih baik dari suku bangsa pribumi sehingga keadaan kesehatan lebih baik karena gizi mencukupi sehingga tubuh merasa sehat untuk menjadi pendonor darah sukarela, juga pengaruh tingkat pendidikan yang tinggi mengakibatkan pola berpikir lebih luas untuk melakukan kegiatan sosial sehingga menganggap kegiatan mendonorkan darah tersebut merupakan suatu kebaikan tanpa mengharapkan imbalan hanya untuk membantu sesama manusia (Munandar, 2008).


(25)

Namun tidak semua pendonor suku bangsa non pribumi itu merupakan masyarakat yang tingkat perekonomiannya baik. Ada beberapa Vihara di pinggir Kota Medan yang tingkat perekonomian masyarakatnya kurang, juga rutin melakukan kegiatan menjadi pendonor darah sukarela. Para pemuka agama di Vihara tersebut selalu memberikan motivasi kepada para pengikutnya untuk selalu berbuat kebaikan sesama manusia tanpa memandang suku, ras ataupun agama yang salah satunya kegiatan dengan menjadi pendonor darah sukarela setelah melakukan ibadah di Vihara tersebut (Depkes RI, 2009).

Masyarakat suku bangsa pribumi dengan tingkat perekonomian yang baik juga menunjukan populasi yang tinggi tetapi kesadaran dan kepedulian sesama manusia kurang dengan mengungkapkan berbagai alasan seperti takut akan jarum suntik, takut darah akan habis, darah yang telah didonorkan takut akan dijual untuk kepentingan pribadi seseorang atau petugas PMI (Depkes RI, 2010).

Berbagai upaya telah dilakukan instansi pemerintah maupun swasta dalam kegiatan donor darah sukarela seperti sosialisasi tentang donor darah, tetapi masih sedikit suku bangsa pribumi yang menyadari bahwa menjadi pendonor darah sukarela PMI bukan saja memiliki nilai kemanusiaan, namun juga baik bagi kesehatan manusia karena dengan mendonorkan darah dapat mengurangi penumpukan zat besi pada tubuh manusia dan masih banyak kelompok-kelompok masyarakat suku bangsa pribumi yang dapat dihimpun untuk menjadi pendonor darah sukarela (Depkes RI, 2009).


(26)

Disini peran petugas UTD-PMI Kota Medan sangat dibutuhkan dalam mensosialisasikan tentang peranan darah dalam menyelamatkan jiwa dan manfaatnya untuk kesehatan manusia sehingga masyarakat suku bangsa pribumi tertarik dan berkeinginan untuk menjadi pendonor darah sukarela.

Peran dari pemuka agama juga dapat diberdayakan dengan memberikan informasi bahwa dengan menjadi donor darah sukarela berarti juga merupakan suatu amal yang disunnahkan yang pahalanya bisa sampai 700 kali lipat karena dengan donor darah kita memberikan kehidupan yang baru bagi si penerima donor darah, ulama tersebut juga menerangkan dalam ayat Al-Quran dan hadist yang mengatakan bahwa kegiatan donor darah itu suatu perbuatan yang mulia dan tidak diharamkan (http//era muslim.ustd/apakah donor darah haram) (Muslichan, 1991).

Melihat dari angka pendonor darah sukarela dari suku bangsa non pribumi lebih tinggi dari suku bangsa pribumi, namun dari jumlah penduduk lebih tinggi suku bangsa pribumi di Kota Medan, maka perlu diadakan suatu penelitian sehingga dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pendonor darah sukarela pada suku bangsa pribumi dan suku bangsa non pribumi menjadi pendonor darah sukarela di UTD-PMI Kota Medan.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah kelangkaan darah di UTD-PMI Kota Medan yang semakin menurun yang berdampak terhadap perilaku pendonor darah sukarela suku bangsa pribumi dan suku bangsa non pribumi, maka


(27)

permasalahan penelitian adalah : “Bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi pendonor darah sukarela pada masyarakat pribumi dan non pribumi di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan”.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pendonor darah sukarela pada masyarakat pribumi dan non pribumi di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan

1.4 Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah : Ada pengaruh faktor pengetahuan, sikap, dan kepercayaan terhadap pendonor darah sukarela pada masyarakat pribumi dan non pribumi di UTD-PMI Kota Medan.

1.5 Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah

1. Manfaat teoritis yakni diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran dan upaya penajaman konsep tentang pengaruh pengetahuan, sikap, dan kepercayaan terhadap pendonor darah suku bangsa pribumi dan suku bangsa non pribumi menjadi pendonor darah sukarela di PMI Kota Medan.

2. Manfaat praktis, yaitu bagi pemerintah Daerah dalam mengambil kebijakan untuk mengatasi kelangkaan darah di UTD-PMI Kota Medan.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Donor Darah

Donor darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu orang ke kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar disebabka 2009).

Donor darah secara sederhana adalah penderma darah atau orang yang menyumbangkan darahnya untuk menolong orang lain yang memerlukannya. Pemberian darah yang ada pada tubuh manusia kepada orang lain sangat bermanfaat bagi kesehatan penerimanya (Depdiknas, 2007).

Aktivitas donor darah merupakan kewajiban setiap masyarakat sebagai wujud kepedulian terhadap orang lain. Banyak orang yang tidak tahu tentang manfaat donor darah bagi kesehatan. Bahkan ada juga orang enggan mendonorkan darah karena khawatir terhadap efek samping yang ditimbulkannya. Padahal dengan melakukan donor darah, maka sel-sel darah di dalam tubuh menjadi lebih cepat terganti dengan yang baru. Apabila mendonorkan darah tiga bulan sekali, maka kesehatan tubuh tetap terjaga. Selain bermanfaat untuk membantu orang lain, donor darah juga membuat tubuh kita menjadi lebih sehat


(29)

2.2 Pendonor Darah Sukarela

2.2.1. Pengertian Pendonor Darah Sukarela

Pendonor darah sukarela adalah orang yang dan bisa memberi bagian dari tubuhnya untuk orang lain. Penyelenggaraan transfusi darah dilaksanakan atas satu tujuan kemanusiaan dan pada dasarnya kegiatan donor darah adalah untuk menyediakan suplai darah bagi mereka yang membutuhkannya. Meningkatkan kesadaran tentang keselamatan darah dan pentingnya donor sukarela yang akan menjadi fokus dari World Health Organisasi CITES (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan data WHO (2008) sekitar 75 juta unit darah di dunia dikumpulkan setiap tahun, tetapi hanya 53% dari yang sukarela, nonpaid donor. Sekitar 18 unit milhon tidak diuji untuk transfusi-jangkit infeksi; WHO mengatakan bahwa di antara 5% dan 10% dari kasus infeksi HIV disebabkan oleh transfusi dari kejangkitan darah dan produk darah. WHO berharap menggunakan hari untuk mendorong pemerintah dan kebijakan untuk mencapai pasokan darah yang aman.

Motif yang biasanya melatari orang mendonorkan darahnya antara lain misi sosial atau menolong keluarga. Dari motif-motif tersebut, pendonor terbaik adalah mereka yang menyumbangkan darahnya secara rutin dan berkesinambungan secara sukarela yaitu sekali dalam tiga bulan.

2.2.2. Jenis-jenis Pendonor Darah Sukarela

Menurut Aziz (2000) bahwa masyarakat yang mendonorkan darahnya, dapat dibedakan berdasarkan kriteria pendonor darah sebagai berikut :


(30)

a. Donor Keluarga atau pengganti

Pada sistem ini darah yang dibutuhkan pasien dicukupi oleh donor dari keluarga atau kerabat pasien. Biasanya pasien diminta untuk menyumbangkan darahnya, dan donor tidak dibayar oleh unit transfusi darah (UTD) atau Rumah Sakit, tetapi mereka mungkin diberi uang atau bayaran dalam bentuk lain oleh keluarga pasien. b. Donor Komersial

Donor menerima uang atau hadiah untuk darah yang disumbangkan bahkan mungkin mereka telah memiliki kontrak.

c. Donor Sukarela

Adalah orang yang memberikan darah, plasma atau komponen darah lainnya atas kerelaan sendiri dan tidak menerima uang tau bentuk pembayaran lainnya, mereka hanya membantu penerima darah yang mereka tidak kenal dan tidak menerima suatu keuntungan.

Donor ini tidak dibayar, karena niat si pendonor untuk menolong si pasien itu sendiri (Depkes RI, 2009). Hal-hal yang biasanya tidak dipandang sebagai pembayaran atau pengganti uang antara lain :

1. Tanda jasa atau penghargaan sederhana, seperti badge atau sertifikat yang tidak memiliki nilai komersil.

2. Pengganti biaya perjalanan secara khusus harus dilaksanakan dalam rangka menyumbangan darah


(31)

2.2.3. Manfaat Pendonor Darah Sukarela

Menurut Contreras (1995), beberapa keuntungan yang dimiliki donor sukarela dibanding dengan jenis donor lain, yaitu :

1. Donor sukarela tidak dalam tekanan untuk menyumbangkan darah, oleh karena itu cenderung lebih memenuhi syarat sebagai donor darah resiko rendah.

2. Donor sukarela bersedia menyumbangkan darah secara teratur, sangat penting untuk menjaga kecukupan persediaan darah.

3. Donor teratur cenderung lebih bebas dari infeksi yang dapat ditularkan melalui transfusi, karena mereka sadar akan pentingnya keamanan darah dan diperiksa setiap mereka menyumbangkan darah.

4. Donor sukarela cenderung lebih tanggap terhadap himbauan untuk menyumbangkan darah pada keadaan darurat, karena mereka telah menunjukkan kepedulian terhadap donasi darah.

Menurut pendapat Munandar (2008), bahwa alasan masyarakat melakukan transfusi darah adalah sebagai berikut :

1. Donor darah membuat orang menjadi lebih memperhatikan kesehatannya. Seseorang yang akan donor darah dan setelahnya akan selalu memperhatikan perkembangan kesehatan dirinya.

2. Donor darah membuat bahagia. Ketika pendonor berhasil mendonorkan darahnya, maka yang ada dalam pikirannya adalah rasa bahagia karena bisa melakukan sesuatu untuk orang lain yang sedang membutuhkan.


(32)

3. Donor darah menambah ilmu kesehatan. Orang yang akan donor, sering menunggu dan membaca artikel kesehatan, sehingga menambah khazanah ilmu kesehatannya.

4. Donor darah adalah silaturahmi dengan banyak orang, paramedis dan dokter. Pertemuan ini membuat terjadi saling tukar pengalaman tentang kesehatan.

5. Donor darah membuat metabolisme sumsum tulang menjadi lebih aktif

6. Donor darah membantu diet overweight. Banyak orang yang bingung ketika tubuhnya kegemukan. Darah 300cc bila dihitung kalorinya, bisa setara ribuan kalori. Bila setiap 3 bulan sekali diambil 300cc, maka ada pengurangan kalori yang signifikan dan alami.

7. Donor darah mengaktifkan titik akupunktur. Daerah volvair lengan yang menjadi area tusuk pada waktu donor merupakan area padat titik akupunktur. Tusukan pada daerah itu secara acak pun berpotensi mengaktifkan simpul syaraf atau limpha yang memengaruhi tubuh secara positif.

8. Donor darah menyehatkan tubuh dengan mekanisme totok darah. Pengambilan darah pada saat donor bisa merupakan pengaktifan mekanisme totok. Banyak orang yang merasa lebih enak setelah donor.

9. Donor darah membuat orang berpikir positif. Pendonor tidak pernah berpikir untuk siapa darahnya. Semua diikhlaskan untuk orang yang memerlukan. Pikiran positif ini membangun hati seseorang dan membuat seseorang selalu berpikiran positif.


(33)

10.Donor darah merupakan perbuatan kemanusiaan bagi sesama. Pendonor darah adalah orang yang mau dan bisa memberi bagian dari tubuhnya untuk orang lain. Pahala tertinggi diberikan Tuhan bagi orang bersedekah paling banyak, bukan diukur dari jumlahnya tetapi berapa persen dari yang dimilikinya.

Menurut Trevor J. Cobain (2004), ketersediaan pendonor darah potensial terus meningkat. Terdapat beberapa komponen darah yang hilang sepanjang rangkaian produksi dari perekrutan donor, kehadiran, dan pendarahan yang dialami pendonor, proses produksi. Dibutuhkan persyaratan dan potensial untuk meningkatkan ketersediaan produk dengan strategi rekrutmen yang lebih baik, metode produksi, inventori manjemen, dan seleksi penerima.

2.2.4. Syarat-syarat Menjadi Pendonor Darah Sukarela

Pendonor darah harus terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kesehatan, baik pengukuran tekanan darah, golongan darah, HB mau pun konsultasi medis. Sebagian calon pendonor mungkin berkeinginan untuk mendonorkan darahnya, tapi itu semua tergantung dengan jalinan jodoh, sehingga ada yang memenuhi persyaratan untuk mendonorkan darah dan ada yang terpaksa kecewa. Dengan meningkatnya permintaan suplai darah di masyarakat, persediaan darah yang mencukupi dan rasa aman sangat dibutuhkan. Meskipun demikian, perekrutan dan pemeliharaan pendonor darah tetap sebagai tantangan utama bagi organisasi donor darah (Masser, 2008). Adapun syarat-syarat untuk menjadi penyumbang darah (donor darah) menurut UTD PMI Medan (2009) adalah:


(34)

a. Umur 18 – 61 tahun

b. Berat badan 50 kg atau lebih

c. Tekanan darah110 – 160 / 70 – 100 mmHg

d. Tidak berpenyakit jantung, hati, paru-paru, ginjal, kencing manis, penyakit pendarahan, kejang, kanker, penyakit kulit kronis

e. Tidak hamil, menyusui dan menstruasi

f. Bagi donor tetap, penyumbang darah terakhir minimal 8 minggu yang lalu, maksimal 5 kali setahun.

g. Kulit lengan donor sehat

h. Tidak menerima transfusi / komponen darah 6 bulan terakhir dan tidak demam i. Tidak menderita penyakit HIV / AIDS

b. Bukan pecandu alkohol / narkoba

c. Tidak mendapat imunisasi dalam 2-4 minggu terakhir dan tidak demam d. Tidak digigit binatang yang menderita rabies dalam 1 tahun terakhir e. Beritahu petugas bila makan aspirin dalam 3 hari terakhir.

Menurut Aziz (2000), pendonor darah harus memenuhi berbagai persyaratan untuk mendonorkan darahnya antara lain : memiliki berat badan diatas 50 kg, HB darah sesuai dengan tes, tekanan darah pendonor minimal 110/70 mmhg dan pendonor darah harus beristirahat lebih dari 6 jam sebelum mendonorkan darahnya.


(35)

Menurut Masser (2008), faktor psikologi, sosiodemografi, organisasi, faktor-faktor yang memengaruhi kerelaan masyarakat untuk donor darah sebagai upaya untuk memusatkan perhatian terhadap donor darah. Pertumbuhan jumlah kajian juga telah menyoroti peran faktor psikologi dalam menjelaskan, memprediksi, dan mempromosikan perilaku donor darah.

Secara etimologi, psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Sedang jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior). Oleh karena sifatnya abstrak, maka hanya dapat diketahui gejalanya saja. Gejala kejiwaan (psikologi) yang menentukan perilaku seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya faktor pengalaman, keyakinan, fasilitas, sosiobudaya masyarakat (dalam Ahmadi, 1992). Menurut Spearman (dalam Notoatmodjo, 2007) didalam menyelidiki dan mencari sikap hakikatnya inteligensi orang mempergunakan teknik analisis faktor. Teknik analisis Spearman menemukan bahwa tiap tingkah laku manusia dimungkinkan oleh adanya dua faktor, yaitu (1) faktor umum (general factor) yang merupakan hal atau faktor yang mendasari segala tingkah laku individu, (2) faktor khusus (special factor) yang berhubungan dengan keturunan dan pengalaman (lingkungan pendidikan).

Menurut O’Brien SF (2006), pemahaman yang lebih baik dari perilaku pendonor darah telah dicatat menjadi kunci yang penting bagi pengumpul darah


(36)

internasional. Seluruh pendonor darah (apheresis pendonor di Australia) merupakan perilaku usaha secara sukarela dengan penghargaan-penghargaan yang secara jelas dan nyata (Healy, 2006).

Pada dekade-dekade terakhir, sejumlah tinjauan-tinjauan utama telah dijalankan untuk mempertimbangkan faktor kedudukan organisasi dan individu bisa berdampak terhadap keputusan untuk mendonorkan darah. Walaupun penelitian sebelumnya memiliki perhatian besar terhadap rekrutmen pendonor, khususnya, variabel demografi yang dihubungkan dengan perilaku donor darah. dan masalah kelangsungan donor darah menjadi sangat penting (Ferguson E, 1996).

2.2.6. Risiko Donor Darah

Berbagai macam cara telah ditemukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang, salah satunya adalah dengan melakukan kegiatan donor darah sebagai langkah preventif untuk menyediakan suplai darah bagi mereka yang membutuhkannya. Kegiatan donor darah ini kerap diselenggarakan secara rutin oleh PMI dan unsur-unsur terkait untuk tujuan mulia, yaitu kemanusiaan dan kepedulian sosial. Donor darah penting dalam merawat banyak masalah medis, seperti kanker dan kelainan darah, dan juga dalam merawat luka tertentu dan prosedur bedah yang besar di mana terjadi banyak kehilangan darah (Depkes RI, 2009).

Walaupun suplai darah di Australia amat aman, donor darah tidak bebas dari risiko, dan komplikasi dapat terjadi, sama seperti untuk segala prosedur medis. Reaksi parah terhadap donor darah jarang sekali, tetapi dapat membawa akibat parah,


(37)

dan jarangnya, bahkan maut. Reaksi imun atau alergi mungkin terjadi. Mungkin ada risiko yang bertambah untuk infeksi setelah operasi dan jangka waktu rawat inap yang lebih panjang untuk pasien bedah. Reaksi ringan pada kulit atau demam kadang-kadang terjadi (satu atau dua reaksi untuk setiap ratus transfusi).

Pasien yang menerima transfusi secara berkala menghadapi risiko lebih besar akan menderita reaksi tersebut. Walaupun diuji semua darah yang disumbangkan, risiko penularan bahan menular (termasuk virus hepatitis, HIV dan bakteria) tidak dapat dipastikan sepenuhnya bahwa tidak akan terjadi. Risiko ini teramat rendah (O’Brien, 2006).

Menurut David Lee (2006), survei terhadap masyarakat awam pada dekade lalu menunjukkan perhatian publik tentang keamanan transfusi masih merupakan hal yang biasa, didominasi oleh ketakutan yang berkelanjutan akan tertular infeksi HIV. Tanggapan semacam ini berkelanjutan meskipun pengenalan bahwa transfusi darah lebih aman sekarang ini daripada beberapa tahun lalu. Penghakiman oleh masyarakat awam sekilas mungkin tampaknya tidak rasional dan dapat dipahami bila metode, bias, dan bentuk penghakiman manusia akan resiko itu dipertimbangkan. Persepsi terhadap resiko menyarankan bahwa masyarakat awam memahami resiko tidak begitu berhubungan dengan pandangan tiga dimensi terhadap resiko sebagai suatu probabilitas dan lebih erat kaitannya terhadap konstuksi multidimensi yang komplek dalam hal efek, alasan, pandangan dunia, kepercayaan, dan faktor lainnya merupakan hal yang saling berkaitan.


(38)

Donor darah tidak bebas dari risiko, dan penting agar mempertimbangkan alternatif untuk transfusi, dan cara untuk mengurangi jumlah darah yang digunakan. Alternatifnya termasuk mendeteksi dan merawat anemia sebelum pembedahan yang dijadwalkan mengambil darah yang hilang ketika pembedahan dan mengembalikan darah. Walaupun pengambilan dan transfusi darah otologus tampaknya bebas dari risiko, sebenarnya demikian. Pengambilan darah sebelum pembedahan umumnya tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan khusus, seperti kelompok darah jarang di mana sulit untuk mendapatkan padanan darah (Prawira, 2010).

David (2006) menambahkan bahwa risiko yang timbul selama/setelah melakukan transfusi darah antara lain:

1. Reaksi tranfusi cepat yang timbul selama tranfusi sampai 48 jam sesudahnya. Terdiri dari :

a. Reaksi tranfusi panas b. Reaksi tranfusi alergi c. Reaksi tranfusi hemolitik

d. Reaksi tranfusi Bakteremia/seplis

2. Reaksi tranfusi lambat yang timbul ( 48 jam. Terjadi setelah 3 – 21 hari sesudah tranfusi karena efek antibodi yang terbentuk

3. Circulatory Overload

Terjadi bila pemberian tranfusi darah terlalu cepat atau terlalu banyak. 4. Penularan Penyakit


(39)

a. Penyakit Hepatitis B,C,D dan Hepatitis Pasca tranfusi terjadi antara 2 minggu sampai 6 bulan setelah tranfusi, ditandai dengan gangguan faal hati, dari darah donor yang mengandung virus hepatitis.

b. HIV/AIDS dari donor darah yang mengandung virus HIV/AIDS. Masa inkubasi bertahun–tahun dan tanpa gejala sampai suatu saat timbullah ”AIDS

Related Complex” lalu ”Full Blown AIDS” terjadi antara tranfusi sampai

diagnosa AIDS positif pada orang dewasa (30 bulan & pada anak- anak 13,5 bulan).

c. Malaria

Disebabkan parasit dalam darah donor yang sakit atau pernah sakit lalu menjadi carrier masa inkubasi pada resipien 6-100 hari.

d. Syphilis

Dari donor darah yang mempunyai TPHA positif. Dalam darah donor mengandung Treponema Pallidum.

Masyarakat suku bangsa pribumi yang tidak bersedia untuk menjadi pendonor darah sukarela berkaitan dengan kurangnya pengetahuan, ketakutan akan jarum suntik yang dapat menyebarkan penyakit menular, juga rasa sosial yang rendah, ataupun beberapa stigma yang berkembang dari masyarakat seperti ketidakpercayaan pada petugas PMI yang akan menggunakan darah yang telah didonorkan untuk diperjualbelikan (PMI Medan, 2009).


(40)

2.3 Perilaku

Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung.

Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia.

Hereditas atau faktor keturunan adalah adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan adalah suatu kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning process).

Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat


(41)

diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia .

Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.

Pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun perilaku juga dapat bersifat potensial yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi. Bloom (dalam Notoatmodjo, 2003) membedakan menjadi tiga macam bentuk perilaku yang kognitif, afektif dan psikomotor. Notoadmojo (2005) menambahkan menyebutkan bahwa perilaku terdiri dari unsur-unsur knowledge

(pengetahuan), attitude (sikap), dan practise (tindakan). Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan cipta, rasa, dan karsa atau peri akal, dan peri tindakan.

2.3.1. Pembentukan dan Perubahan Perilaku

Didalam suatu pembentukan dan atau perubahan, perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan, dan sebagainya. Susunan saraf pusat memegang peranan penting


(42)

dalam perilaku manusia karena merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk menjadi perbuatan atau tindakan (Notoatmodjo, 2007).

Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati objek yang sama. Motivasi yang diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak dalam rangka mencapai suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam bentuk perilaku. Perilaku juga dapat timbul karena emosi. Aspek psikologis yang memengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, yang pada hakekatnya merupakan faktor keturunan (bawaan). Manusia dalam mencapai kedewasaan semua aspek tersebut diatas akan berkembang sesuai dengan hukum perkembangan. Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (sebelumnya). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku itu dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi 2, yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.


(43)

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku merupakan konsepsi yang tidak sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni suatu pengorganisasian proses-proses psikologis oleh seseorang yang memberikan predisposisi untuk melakukan responsi menurut cara tertentu terhadap suatu objek.

Skiner (dalam Notoadmodjo, 2005) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Manusia adalah kotak tertutup, dan seluruh variabel yang menjelaskan tingkah laku dan output-output tingkah laku (motif, dorongan, emosi, dan sebagainya) harus dikesampingkan dalam penyelidikan psikologi.

Skinner (1938) membedakan adanya 2 respons, yakni : a. Respondent Respons atau Reflexive Respons.

Adalah respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Perangsangan-perangsangan semacam ini disebut eliciting stimuli karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Respondent respons (respondent

behaviour) ini mencakup juga emosi respons atau emotional behaviour.

Emotional respons ini timbul karena hal yang kurang mengenakkan organisme yang bersangkutan.


(44)

b. Operant Respons atau Instrumental Respons.

Adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena perangsangan-perangsangan tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu, perangsang yang demikian itu mengikuti atau memperkuat suatu perilaku yang telah dilakukan.

Didalam kehidupan sehari-hari, respons jenis pertama (responden respons atau respondent behaviour) sangat terbatas keberadaannya pada manusia. Hal ini disebabkan karena hubungan yang pasti antara stimulus dan respons, kemungkinan untuk memodifikasinya adalah sangat kecil. Sebaliknya operant respons atau instrumental behaviour merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia dan kemungkinan untuk memodifikasi sangat besar bahkan dapat dikatakan tidak terbatas. Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respons ini berbentuk 2 macam, yakni :

a. Bentuk pasif adalah respons internal yaitu yang terjadi didalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya seorang yang menganjurkan orang lain untuk mengikuti keluarga berencana meskipun ia sendiri tidak ikut keluarga berencana. Contoh tersebut terlihat bahwa orang tersebut telah mempunyai sikap yang positif untuk mendukung keluarga berencana meskipun mereka sendiri


(45)

belum melakukan secara konkret terhadap hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung (covert behaviour).

b. Bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Misalnya pada kedua contoh di atas, si ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi dan orang pada kasus kedua sudah ikut keluarga berencana dalam arti sudah menjadi akseptor KB. Oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata maka disebut overt behaviour.

Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Menurut Notoadmojo (2005), determinan perilaku dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Menurut Blum (dalam Muninjaya, 2002) menjelaskan faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sulit ditanggulangi, lebih dominan pengaruhnya pada kesehatan seseorang atau kelompok dibandingkan dengan


(46)

faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga merupakan dampak atau ulah perilaku manusia (life stile).

Perilaku seseorang, menurut Lewin (1947), harus dilihat dalam konteksnya, artinya dalam situasi dan kondisi apa perilaku itu terjadi. Perhatian pada konteks ini perlu, karena perilaku manusia bukan sekedar respons terhadap stimuli yang diterimanya, akan tetapi merupakan produk atau resultan dari berbagai gaya yang memengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut gaya-gaya tersebut sebagai ruang hayat (life space), yang terdiri dari tujuan, serta semua faktor yang disadarinya dan kesadaran dirinya sendiri. Perilaku seseorang merupakan totalitas dari interaksi antara faktor personal, yaitu unsur-unsur internal di dalam dirinya, dengan faktor lingkungannya, yaitu unsur-unsur eksternal, yang secara psikologis memengaruhi dirinya (Rakhmat, 2007).

Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan yang lainnya. Menurut Teori Stimulus-Organisme-Respons (SOR) (dalam Notoadmodjo, 2003), teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Hosland, et al (1953) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari :


(47)

a. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif memengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

b. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.

c. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).

d. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).

Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini, faktor reinforcement memegang peranan penting.

Teori Festinger (Dissonance Theory, 1957) (dalam Notoadmodjo, 2003) ini telah banyak pengaruhnya dalam psikologi sosial. Teori ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance (tidak seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan keadaan ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila


(48)

terjadi keseimbangan dalam diri individu maka berarti sudah tidak terjadi ketegangan diri lagi dan keadaan ini disebut consonance (keseimbangan).

Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat 2 elemen kognisi yang saling bertentangan. Yang dimaksud elemen kognisi adalah pengetahuan, pendapat, atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau objek dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang berbeda/ bertentangan didalam diri individu sendiri maka terjadilah dissonance.

Teori Fungsi. Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz (1960) perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan. Katz berasumsi bahwa : a. Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan

memberikan pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap objek demi pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi memenuhi kebutuhannya maka ia akan berperilaku negatif.

b. Perilaku dapat berfungsi sebagai defence mecanism atau sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya. Artinya dengan perilakunya, dengan tindakan-tindakannya, manusia dapat melindungi ancaman-ancaman yang datang dari luar.


(49)

c. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam peranannya dengan tindakannya itu, seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

d. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu perilaku itu dapat merupakan "layar" dimana segala ungkapan diri orang dapat dilihat.

Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku itu mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar individu dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu didalam kehidupan manusia, perilaku itu tampak terus-menerus dan berubah secara relatif.

2.3.2. Perilaku Kesehatan

Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior) sebagai berikut :

i. Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya.

ii. Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini kemampuan atau


(50)

pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.

iii. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan / kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain terutama kepada anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kesehatannya.

Menurut Green (1980), menganalisa perilaku dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan diluar perilaku (non-behavior causes), selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu:

1. Faktor- faktor predisposisi (predisposing factors), mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

3. Faktor-faktor penguat (renforcing factors), meliputi faktor sikap dan perilaku masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas kesehatan.


(51)

Teori Andersen (Andersen & Newman, 1973) yang tergabung dalam kelompok tiga urutan bagian yang logis (logic sequence three clusters) atau kategori faktor-faktor (predisposing, enabling dan need) yang dapat memengaruhi perilaku kesehatan. Contoh faktor-faktor yang dikelompokkan dalam beberapa kategori

Health Care Utilisation Modelyaitu:

1. Predisposing factors, meliputi: umur, jenis kelamin, agama, penilaian kesehatan global, pengalaman-pengalaman sebelumnya mengenai penyakit, pendidikan formal, sikap umum terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang penyakit, dll.

2. Enabling factors, meliputi: ketersediaan pelayanan, sumber-sumber keuangan

untuk mendapatkan pelayanan, asuransi kesehatan, dukungan jaringan sosial, dll.

3. Need factors, meliputi: persepsi beratnya sakit penyakit, jumlah hari sakit untuk sebuah laporan penyakit, jumlah hari istirahat karena sakit, jumlah hari kerja atau hari sekolah yang hilang karena sakit, serta pertolongan dari pelayanan luar.

Health Care Utilisation Model dapat digambarkan sebagai berikut :

Teori Planned Behaviour adalah teori yang terfokus pada faktor-faktor yang berhubungan dengan maksud untuk bertindak yang spesifik atau behavioural

Gambar.2.1. Health Care Utilization Model


(52)

intention, dimana TPB disituasikan antara sikap dan perilaku. Pemusatan behavioural intention mempertanyakan model klasik kepercayaan, sikap, dan perilaku (Conner & Sparks, 1995).

Menurut Ferguson (2007), teori perilaku yang terencana (TPB) merupakan suatu perluasan dari teori aksi yang beralasan (TRA) di dalam memprediksi perilaku dan maksud-maksud pendonor darah. Secara garis besar, TRA menyatakan bahwa perilaku (behavior-B) individu dapat diprediksi dari minat berperilaku (behavior intention BI). Adapun minat berperilaku individu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior = Ah) dan norma subyektif

(subjective norms - SN). Secara sederhana TRA menyatakan bahwa seseorang akan

melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan tersebut positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Semakin positif sikap dan norma subyektif seseorang atas perilaku tertentu, maka kecendemngan minat dan perilaku aktualnya juga semakin kuat (Schillawaert, 2001).

Teori perilaku yang terencana (TPB) dikenal sebagai perilaku pengambilan keputusan yang modelnya didesain untuk menghitung atas perilaku-perilaku kemauan individu berdasarkan pikiran yang tujuannya untuk menentukan perilakunya. Tujuannya dipengaruhi oleh (1) sikap; perilaku terhadap sikap ditentukan oleh kepercayaan bahwa perilaku yang spesifik akan memiliki konsekuensi yang nyata serta ditentukan oleh evaluasi dari konsekuensi yang ada, (2) norma subjektif; norma subjektif atau kepercayaan pada pihak lain akan menyetujui perilaku seseorang ditambah motivasi pribadi untuk memenuhi harapan yang lain, (3) persepsi pengontrolan perilaku yang diterima; persepsi pengontrolan perilaku ditentukan oleh


(53)

kepercayaan mengenai akses untuk sumber-sumber yang digunakan agar dapat bertindak dengan baik, ditambah dengan persepsi yang benar dari sumber-sumber tersebut (informasi, kemampuan, keahlian, keterikatan atau kebebasan dari pihak yang lain, batasan, kesempatan, dll). Hal tersebut diatas dapat dijelaskan pada pada gambar berikut:

Gambar 2.2. Teori Perencanaan Perilaku

Sumber :Transfusion Medicine Reviews, Vol 22, No 3 (July), 2008: pp 215-233

Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), sikap dan norma memiliki efek adiktif terhadap tujuan, sedangkan kekuatan yang relatif berseberangan terhadap perilaku dan populasi. Pada dasarnya harapan adalah nilai model sikap, sikap masyarakat sering terlihat dipengaruhi oleh kepercayaan mereka mengenai akibat-akibat perilaku. Norma subjektif ditentukan oleh pengharapan yang diterima dari individu-individu tertentu dan kelompok-kelompok yang dinilai dengan motivasi masyarakat. Sama

KEYAKINAN PERILAKU x

EVALUASI PENDAPATAN

KEYAKINAN NORMATIF x

MOTIVASI KEPATUHAN

SIKAP

NORMA SUBJEKTIF

TUJUAN

KONTROL KEYAKINAN x KEKUATAN YANG

DITERIMA

KONTROL PERILAKU YANG

DITERIMA


(54)

halnya dengan sikap dan norma-norma subjektif, pertimbangan-pertimbangan dari persepsi pengontrolan perilaku yang terkonsep sebagai fungsi dari keyakinan masyarakat mengenai kemungkinan perbedaan faktor-faktor kontrol keyakinan mungkin mengganggu kinerja dari perilaku yang dinilai dengan kekuatan dari faktor-faktor kontrol.

Di dalam mempertimbangkan ilmu pengetahuan dan psikologi dari pendonor darah memprediksikan maksud dan perilaku donor darah. Selanjutnya terhadap psikologi dari pendonor darah juga mempertimbangkan bukti-bukti untuk mengukur faktor-faktor yang memengaruhi maksud dan tujuan si pendonor darah.

2.3.3. Faktor Predisposisi (predisposing factors) 1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Menurut Tim Kerja WHO (1980), pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Karena perilaku yang didasari oeh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.


(55)

Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, dan pengetahuan dibagi atas 6 tingkatan :

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dan merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.


(56)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini artinya dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintensis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek.

Dari segi pengetahuan, sebuah perbedaan diambil dari faktual antara pengetahuan dan evaluasi pengetahuan individu. Faktual adalah pengetahuan dinilai terhadap pilihan ganda. Evaluasi pengetahuan mungkin dinilai untuk memberikan keyakinan (Ferguson. 2001). Mempertimbangkan risiko dan pengetahuan merupakan hubungan yang lebih luas untuk kepercayaan sumber informasi tentang pendonor darah (Frewer dkk., 1996; Jungermann dkk., 1996).

2. Sikap

Menurut tim kerja WHO (1980), sikap mengambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat.


(57)

Sikap adalah suatu keteraturan perasaan dan pikiran dan kecenderungan bertindak terhadap aspek lingkungannya. Sikap seseorang tercermin dari kecendrungan perilakunya dalam menghadapi suatu situasi lingkungan yang berhubungan dengannya. Adapun yang menjadi komponen sikap yaitu kognitif, afektif dan perilaku. Kompenen kognitif adalah segmen pendapat atau keyakinan dari sikap. Kompenen afektif adalah komponen emosional atau perasaan seseorang. Komponen afektif dipelajari dari orang tua, teman, guru. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan komponen perilaku sikap adalah maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu (Notoatmodjo, 2007).

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Allport (dalam Notoatmodjo, 2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek

3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Menurut Notoatmodjo (2003) sikap dibedakan atas beberapa tingkatan :


(58)

1. Menerima (Receiving )

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang tinggi.

Pengetahuan dan sikap adalah merupakan respons seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih bersifat terselubung dan disebut covert behaviour.

3. Kepercayaan

Kosa dan Robertson (dalam Notoadmodjo, 2003) mengatakan bahwa perilaku kesehatan individu cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang diinginkan dan kurang berdasarkan pada pengetahuan biologi. Memang kenyataannya demikian, tiap individu mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil tindakan penyembuhan atau


(59)

pencegahan yang berbeda meskipun gangguan kesehatannya sama. Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan penilaian individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut. Penilaian semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan individu menstimulasikan dimulainya suatu proses sosial psikologis.

Sedangkan menurut Becker (1979), Health Belief Model ditentukan oleh : 1. Percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan

2. Menganggap serius masalah

3. Yakin terhadap efektivitas pengobatan 4. Tidak mahal

5. Menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan

Diagram di bawah ini menunjukkan Health Belief Model yang dipresentasikan oleh Sheeran dan Abraham (1995).

Gambar.2.3 Health Belief Model yang dipresentasikan oleh Sheeran dan Abraham (1995)


(60)

Berdasarkan versi ini, tindakan dalam Health Belief Model dipandu melalui: 1. Kepercayaan mengenai dampak penyakit dan konsekuensinya (ancaman persepsi)

yang tergantung pada:

a. Persepsi kerentanan atau kepercayaan mengenai bagaimana seseorang yang mudah diserang penyakit menganggap adanya hubungan antara dirinya dengan penyakit tertentu atau dengan permasalahan kesehatan.

b. Persepsi beratnya sakit penyakit atau permasalahan kesehatan dan konsekuensinya;

2. Motivasi kesehatan atau kesiapan untuk memfokuskan pada masalah kesehatan.

3. Kepercayaan mengenai konsekuensi praktik kesehatan dan mengenai kemungkinan serta usaha untuk melakukannya dalam sebuah praktik kesehatan. Evaluasi perilaku tergantung pada:

a. Persepsi keuntungan dari praktik pencegahan atau pengobatan kesehatan; b. Persepsi pembatasan, antara material dan psikologikal (contoh: kekuatan

keinginan) dengan memperhatikan praktik kesehatan yang sebenarnya. 4. Alasan untuk bertindakyang meliputi perbedaan faktor internal dan eksternal

yang memengaruhi tindakan tersebut. Sebagai contoh, alam dan intensitas (organik dan simbol) gejala penyakit, penyuluhan media massa, masukan dari pihak-pihak lain (keluarga, kerabat, petugas kesehatan,dll).


(61)

Menurut Redding (2000), berdasarkan Health Belief Model, kemungkinan bahwa seseorang akan melakukan sebuah tindakan untuk mencegah penyakit tergantung pada persepsi masing-masing individu, yakni:

a. Secara individu mereka ada dalam kondisi yang mudah terserang penyakit; b. Konsekuensi dari kondisi tersebut akan semakin serius;

c. Perilaku pencegahan penyakit akan mencegah kondisi ini secara efektif;

d. Keuntungan dari pengurangan ancaman kondisi ini melampaui biaya suatu tindakan yang diambil.

2.3.4. Faktor Sosiodemografi Pendonor Darah

Pertumbuhan lingkungan yang cepat ternyata membawa permasalahan sosial yang berdampak pada lingkungan. Kepedulian dan kesadaran donor darah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio demografi, seperti usia, berat badan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, daerah asal, pekerjaan, dan statusnya.

1. Usia

Lama hidup seseorang ditentukan oleh usia. Usia seseorang merupakan salah satu syarat dalam melakukan donor darah. Menurut UTD. PMI Medan, 2009, masyarakat yang menjadi penyumbang darah (donor darah) berusia 18 – 61 tahun. Masyarakat dapat mulai menyumbangkan darahnya ketika usia menginjak 18 tahun dan memiliki berat badan minimal 45 kilogram. Produksi sel darah akan semakin semakin berkurang seiring bertambahnya usia. Bahkan bagi wanita yang sudah


(62)

menginjak menopause, donor darah berarti dapat mengurangi kadar zat besi dalam darah yang sebelumnya dapat dikeluarkan secara rutin melalui siklus menstruasi (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan di White River Junction, Vermont oleh para peneliti dari Veteran Affairs Medical Center dan Dartmouth Medical School, bahwa donor darah dapat menjaga kesehatan sistem peredaran darah dalam tubuh dengan mengurangi penumpukkan zat besi, namun efek tersebut mungkin tidak berlaku pada mereka yang berusia lanjut (Ketan, 2000)..

2. Berat Badan

Menurut UTD. PMI Medan (2009), darah pada orang dewasa mencapai 8% dari berat badan. Misalnya berat badan seseorang 50 kg maka darah yang mengalir dalam tubuhnya berkisar 4000cc dan darah yang akan diambil saat donor hanya berkisar 350cc atau 8,75% dari jumlah seluruhnya. Seorang wanita yang memiliki bentuk badan besar biasanya dihubungkan dengan kegemukan akibat diet (68%) dan bias menjalani rawat inap di ruang ICU, resiko ini tidak terjadi pada pria.

Berat badan yang berlebih memang mengandung banyak risiko. Selain tubuh tak nyaman dan penampilan kurang sedap dipandang, dari sisi medis juga tidak menyehatkan. Data studi Framingham (AS) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar 10 persen pada pria akan meningkatkan tekanan darah 6,6 mmHg, gula darah 2 mg/dl, dan kolesterol 11 mg/dl (David, 2006).


(63)

3. Jenis Kelamin

Gender mengacu pada peran lingkungan, sifat, sikap, perilaku, nilai, kekuatan, dan pengaruh individual yang berasal dari dua dasar seks yang berbeda. Norma ”gender” memengaruhi praktik dan prioritas sistem kesehatan. Banyak permasalahan kesehatan yang merupakan sebuah fungsi status sosial atau peran dasar gender. Gender secara eksplisit atau implisit muncul dari sebuah ide bahwa perilaku sehat tidak hanya tergantung pada pengetahuan, keinginan, kapasitas seseorang, tetapi juga pada posisi dimana mereka mendiami sebuah lingkungan.

Gender merupakan penentu utama transfusi darah pada pasien CABG dan hal itu dapat berkaitan dengan usia, berat badan, praoperatif Htc, lama bedah, dan faktor lainnya yang menentukan probabilitas transfusi (Ketan 2000). Healy (2006) menambahkan bahwa struktur utama untuk memaksimalkan kesempatan untuk pendonoran dan akhir resolusi untuk mendonasikan darah secara berkala, menyisakan suatu keputusan pribadi yang tidak dapat dipisahkan. Persepsi ini mempertimbangkan banyak faktor yang akhirnya akan menentukan perilaku baik pria maupun wanita.

4. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha yang sengaja (terencana, terkontrol, dengan sadar dan dengan taraf yang sistematis) diberikan pada anak didik oleh pendidik agar individunya yang potensial itu lebih berkembang terarah kepada tujuan tertentu. Di dalam pengertian pendidikan tersebut harus terdapat unsur-unsur sebagai berikut :


(1)

Lubis, Suwardi, 2002. Teknik Penarikan Sampel, USU Press, Medan

Marco Ranucci, MD, Alfredo Pazzaglia, MD, Chiara Bianchini, MD,Giuseppe Bozzetti, MD, and Giuseppe Isgrò, MD, 2007, Body Size, Gender, and Transfusions as Determinants of Outcome After Coronary Operations The Society of Thoracic Surgeons Published by Elsevier Inc.

Milton, C.R. (1981). Human Behaviour in Organization. New Jersey, Prestice Hall Inc. Englewood Cliffts.

Munandar, Haris. 2008. Mengenal Palang Merah Indonesia (PMI) & Badan SAR Nasional (BASARNAS). Erlangga . Jakarta.

Muninjaya.A.A.Gde, 2004, Manajemen Kesehatan, E/2, Ed2., Jakarta, ISBN 979-448-669-8.

Muslichan.MZ, 1991, Transfusi Darah Tepat Guna, FK-UI Jakarta.

Nasution, Siti Khadijah. 2004. Meningkatkan Status kesehatan melalui pendidikan Kesehatan dan penerapan pola hidup sehat. FKM-USU, Medan.

Nasution. S, 2003. Metode Research; Penelitian Ilmiah, Penerbit Bumi Aksara Jakarta.

Notoatmodjo Soekidjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Penerbit Rineka Cipta, Cetakan Kedua, Jakarta.

Notoatmodjo.S, 2007, Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku, Penerbit Rineka Cipta Jakarta

O'Brien SF, 2006, Donor research: The foundation for a healthy blood supply. Transfusion 46:1069-1071

PMI Medan, 2009. Pelayanan Penyediaan Darah, antara Fakta dan Kenyataan. Medan.

PMI Pusat, 2009. Kumpulan Peraturan perundang-Undangan Bidang Kesehatan/Transfusi Darah dan Surat Keputusan Pengurus PMI tentang


(2)

Rakhmat, J., 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: CV. Remaja Karya.

Riduawan, 2008. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian, Penerbit Alfabeta Bandung.

Sheeran, P. & Abraham, C. 1995. The Health Belief Model, in Predicting Health Behaviour (Conner, M. & Norman, P. eds.), Buckingham: Open University Press.

Shillewaert N, Ahearne MJ, Frambach RT, Moenaert RK, 2001. The Acceptance of Information Technology in the Sales Force, Working Paper. E Business Research Center, The Pennsylvania State University, http://www.ebrc.psu.edu.

Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi, 1995. Metode Penelitian Survai, Penerbit LP3ES Jakarta.

Suchman, E.A, 1965, Social Patterns of Illness and Medical Care, Journal of Health and Social Behavior, 2-16

Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Administrasi, Penerbit Alfabeta Bandung

Trevor J. Cobain, 2004, Fresh Blood Product Manufacture, Issue, and Use: A Chain of Diminishing Returns? Transfusion Medicine Reviews, Vol 18, No 4, pp 279-292

WHO, Depkes & UNFPA. 2008. Buku Pedoman Pelayanan Transfusi Darah Modul X. Jakarta.


(3)

Lampiran 3 :

KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDONOR DARAH SUKARELA PADA MASYARAKAT PRIBUMI DAN NON PRIBUMI DI UTD PMI KOTA

MEDAN

No. Responden : ……. Golongan Darah : ……. I. Identitas Responden

A. Nama : ……….

B. Alamat : ……….

……….. II. Sosio Demografi

A. Usia : ...Tahun B. Berat Badan : ... Kg

C. Jenis Kelamin : 1. Laki-Laki 2. Perempuan D. Pendidikan : 1. Tidak Sekolah/Tamat SD

2. SLTP 3. SLTA

4. Akademi/Perguruan Tinggi III.Sosio Budaya

A. Etnik : 1. Pribumi

2. Non Pribumi

IV. Predisposisi

A. Menurut Anda, Donor Darah adalah :

1. Menyumbangkan darah karena memerlukan uang 2. Menyumbangkan darah agar dihargai orang lain 3. Menyumbangkan darah karena dibutuhkan 4. Menyumbang darah tanpa unsur apapun


(4)

7. Orang tua 8. Organisasi

C. Menurut Anda, syarat apa yang harus dipenuhi sebelum mendonorkan darah? 1. BB > 50 kg

2. Hb darah yang dites terapung 3. Tekanan darah 110/70 mmhg

4. Pendonor darah harus istirahat lebih kurang 6 jam Petunjuk Pengisian

1. Mohon memberi tanda cheklist (√) pada jawaban yang dianggap paling benar.

2. Setiap pertanyaan hanya membutuhkan satu jawaban saja dan mohon memberikan jawaban yang sebenar-benarnya.

I. PENGETAHUAN

No Daftar Pernyataan Jawaban

YA TIDAK 1 Mendonorkan darah dilakukan karena dibutuhkan dan tanpa unsur apapun

2 Sebelum melakukan kegiatan mendonor darah, anda sangat memerlukan informasi penting tentang kegiatan donor darah tersebut

3 Kegiatan mendonorkan darah sangat berguna bagi anda.

4 Kegiatan mendonorkan darah dapat membuat badan sehat serta dapat mengetahui tentang keadaan kesehatan diri sendiri.

5 Sebaiknya seseorang dapat mendonorkan darahnya ketika berusia 18 tahun. 6 Kegiatan mendonorkan darah tidak memandang permasalahan gender atau

jenis kelamin.

7 Kegiatan mendonorkan darah dapat dilakukan apabila beberapa syarat yang ditentukan dipenuhi oleh si pendonor.

8 Syarat dan ketentuan untuk mendonorkan darah merupakan hal yang paling utama sebelum dilakukannya kegiatan donor darah

9 Mendonorkan darah dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan tubuh 10 Mendonorkan darah merupakan suatu kegiatan peduli sosial yang dilakukan


(5)

II. SIKAP

No Daftar Pernyataan

Jawaban Setuju Tidak

Setuju 1 Mendonorkan darah harus dilakukan setiap orang

2 Jadwal mendonorkan darah sesuai dengan aturan kesehatan yang telah ditentukan

3 Saya mau mendonorkan darah walaupun tidak ada perintah dari atasan / seseorang yang membutuhkan

4 Mendonorkan darah membuat perasaan bahagia karena bisa membantu menyelamatkan nyawa orang lain

5 Setelah mendonorkan darah maka badan terasa lebih sehat

6 Pendonor darah tidak harus mengetahui kepada siapa darahnya diberikan 7 Saya melakukan donor darah bukan untuk mendapatkan penghargaan dari

orang lain

8 Saya mendonorkan darah karena memang niat dari hati nurani tanpa paksaan 9 Saya melakukan donor darah memang ingin membantu sesama manusia

tanpa melihat suku, agama dan ras

10 Saya melakukan donor darah karena badan saya sehat sehingga dapat membantu orang yang sakit

III. KEPERCAYAAN

No Daftar Pernyataan

Jawaban Setuju Tidak

Setuju 1 Saya melakukan donor darah karena mendonorkan darah merupakan

pekerjaan yang mulia

2 Saya percaya donor darah bermanfaat meskipun belum ada pembuktian terlebih dahulu

3 Saya percaya bahwa tidak ada akibat yang timbul setelah mendonorkan darah 4 Saya melakukan donor darah karena dipengaruhi oleh teman yang telah

melakukan donor darah

5 Saya percaya bahwa peralatan donor darah steril


(6)

IV. PERILAKU

No Daftar Pernyataan Jawaban

YA TIDAK 1 Saya mendonorkan darah karena ingin membantu orang lain

2 Saya mendonorkan darah secara rutin sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan

3 Menolong orang lain tidak hanya dengan memberikan materi, tetapi dapat juga dengan menyumbangkan darah

4 Menurut saya, mendonorkan darah merupakan tindakan peduli sosial yang benar-benar tanpa pamrih dan atas satu tujuan kemanusiaan

5 Kemauan mendonorkan darah selanjutnya dipengaruhi pengalaman pertama sekali menjadi pendonor

6 Saya mengajak orang lain untuk menjadi pendonor karena mendonorkan darah membantu sesama manusia

7 Saya tidak pernah menyesal menjadi pendonor darah

8 Saya bangga menjadi pendonor darah karena telah menyelamatkan nyawa orang lain

9 Saya menjadi pendonor darah karena keinginan dari hati nurani tanpa paksaan

10 Mendonorkan darah merupakan pekerjaan yang mulia

11 Saya mendonorkan darah karena ingin membantu menyelamatkan jiwa seseorang

12 Saya menjadi pendonor darah sukarela karena badan menjadi lebih sehat 13 Saya menjadi pendonor darah tidak untuk mendapatkan uang

14 Saya menjadi pendonor darah tidak untuk dihormati orang lain ---terima kasih---