Pengadilan golongan rakyat tertentu. Ia berkewajiban menegakkan hukum dan keadilan, khususnya Hukum Islam di kalangan rakyat yang beragama Islam.
Personalitas Hakim Peradilan Agama meliputi pengetahuan Hukum Islam dan keterampilan menerapkan hukum dengan integritas pribadinya. Tugas Hakim
memerlukan disiplin diri yang melebihi tugas dibidang lain. Hakim adalah orang yang sangat kesepian dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Dalam
menghadapi perkara yang diajukan kepadanya, dia tidak mempunyai kawan maupun lawan. Dia tidak bisa meminta nasehat ke kiri atau ke kanan untuk
meminta pertimbangan. Dia hanya bisa berbisik pada hati nuraninya sendiri, dan tentu saja kepada Tuhan. Hakim Peradilan Agama harus terus menerus berusaha
untuk mencapai tuntutan personalitasnya. Secara keuangan, oragnisasi, dan sarana, pemerintah membantu. Akan tetapi, masyarakat harus pula menumbuhkan
iklim untuk itu, iklim di mana Peradilan Agama dimungkinkan berkembang secara wibawa.
21
2. Syarat Hakim.
Dalam hal pengangkatan seorang Hakim, dalam literatur fikih para ahli memberikan syarat-syarat untuk mengangkat seseorang menjadi Hakim, walau
21
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 86.
ada perbedaan pendapat tentang syarat-syarat yang mereka berikan, dan ada pula yang disepakati. Syarat yang dimaksud adalah ada enam:
22
a. Laki-laki yang merdeka
Hakim wanita dan yang masih anak kecil tidak sah menjadi hakim, menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Sedang dalam tentang Hakim
wanita, Hanafiah tidak membolehkan wanita menjadi Hakim dalam masalah pidana dan qisas. Alasannya karena dalam kedua hal tersebut
kesaksiannya tidak dapat diterima. Ibnu Jarir ath-Thabari, berpendapat bahwa memperbolehkan wanita menjadi secara mutlak. Dan ini berarti
membolehkan wanita memeriksa semua kasus, termasuk hudud dan qisas. Dan mengemukakan bahwa tujuan diangaktnya Hakim adalah untuk
menegakkkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, jabatan Hakim itu boleh diberikan kepada saja, asalkan ia mampu melaksanakan tugas
tersebut dengan baik dan benar. Indonesia menganut prinsip yang membolehkan wanita diangkat menjadi Hakim yang dipekerjakan pada
Pengadil an Agama dan Mahkamah Sya’riah.
b. Berakal mempunyai kecerdasan,
Syarat ini disepakati seluruh ulama. Hakim haruslah orang cerdas, bijaksana, mampu memperoleh penjelasan dan menanggapi suatu yang
muskil.
22
TM. Hasbi Ash-Shiddiqiey, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997, hal. 43-46.
c. Beragama Islam
Adapun alasan keislaman seseorang menjadi syarat seorang hakim adalah, karena keislaman merupakan syarat untuk menjadi saksi atas
seorang muslim, demikian jumhur ulama. Karenanya Hakim bukan muslim tidak boleh memutus perkara orang muslim.
d. Adil
Hakim haruslah orang yang terpelihara dari perbuatan-perbuatan haram, dipercaya kejujurannya, baik di waktu tenang, baik di waktu marah
atau di waktu tenang dan perkataannya harus benar. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Imam Hanafi dan Syafi’i, golongan Hanafiyah
berpendapat bahwa putusan Hakim yang fasik adalah sah asal sesuai dengan syara’ dan undang-undang. Sedangkan Syafi’iyah tidak
membolehkan mengangkat seorang fasik menjadi Hakim, alasannya karena orang fasik tidak diterima sebagai saksi.
e. Berpengetahuan luas
Mengetahui segala pokok hukum dan cabang-cabangnya, Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar dia memperoleh
jalan mengetahuhi hukum-hukum yang harus diberikan bagi perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, Hanafi membolehkan muqalid
menjadi Hakim sesuai pendapat Ghazali karena mencari orang adil dan ahli ijtihad sangat sulit. Yang penting diangkat oleh penguasa.
f. Sempurna pancaindera
Mendengar, melihat, dan tidak bisu, orang bisu tidak boleh diangkat menjadi Hakim karena orang bisu tidak bisa menyebut putusan yang
dijatuhkannya. Demikian pula orang tuli tidak dapat mendengar keterangan para pihak sedang orang buta tidak dapat melihat orang-orang
yang berperkara. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Untuk dapat diangkat sebagai calon Hakim Pengadilan Agama, seseorang
harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.
warga negara Indonesia; b.
beragama Islam; c.
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. sarjana syariah danatau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
h. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia
termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 SeptemberPartai Komunis Indonesia.
Adapun yang menjadikan pembeda bagi Hakim di lingkungan Peradilan Agama dengan lingkungan Peradilan yang lain menurut Yahya Hararahap dalam
tulisannya di buku Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989 adalah mutlak harus beragama Islam. Sedang pada Peradilan yang
lain, agama tidak dijadikan sebagai syarat. Tentang syarat beragama Islam bagi Hakim dilingkungan Peradilan Agama, memang ada yang beranggapan bahwa
syarat tersebut menutup pintu bagi yang non Islam untuk menjadi Hakim di lingkungan peradilan Agama. Padahal lingkungan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentun pasal 3 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, termasuk dalam Peradilan Negara. Berarti sudah tentu dia adalah
milik semua bangsa tanpa kecuali. Akan tetapi bila ditinjau dari ditinjau dari kekhususan yang dilekatkan oleh Undang-Undang, Peradilan Agam memiliki ciri
dan bidang tertentu yang sangat berkaitan dengan faktor yakni: a.
Faktor personalita ke-Islaman, b.
Dan faktor hukum yang diterapkan, khusus hukum Islam.
Bila memperhatikan kekhusuan yang melekat pada kedua faktor tersebut, beralasan disejajari dengan ketentuan syarat ke-Islaman bagi mereka yang akan
duduk berfungsi menegakkan hukum dalam Peradilan Agama. Dari segi etis tersebut maka menjadi janggal apabila hukum yang diterapkan adalah hukum
Islam dan hal itu khusus diperlakukan bagi yang beragama Islam, sedang Hakim yang menerapkan bukan beragama Islam.
23
3. Tugas Hakim.