Asas Peradilan Agama. Peradilan Agama Sebagai Lembaga Pemberi Izin Poligami.

Jika kata Peradilan atau Pengadilan disatukan dengan kata agama, maka pengertian Peradilan Agama adalah: kekuasaan negara dalam memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar orang- orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun Pengadilan Agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu Majlis Hakim atau Mahkamah. Peradilan Agama adalah salahsatu di antara tiga Peradilan khusus di Indonesia. Dua Peradilan lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Kusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam. 4

2. Asas Peradilan Agama.

Menurut Yahya Harahap di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 terdapat beberapa asas umum pada lingkungan Peradilan Agama. Asas umum itu merupakan fundamen dan pedoman umum dalam melaksanakan penerapan seluruh jiwa dan semangat Undang-Undang itu. Ia dapat dikatakan sebagai 4 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2003, hal. 5. karakter yang melekat pada keseluruhan rumusan pasal-pasal di dalam Undang- Undang tersebut. Asas-asas umum itu adalah: Asas personalitas keislamaan, maksudnya yang dapat ditundukan kepada kekuasaan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya memeluk agama Islam. Sedangkan pemeluk agama lain tidak tunduk kepada kekuasaan badan Peradilan tersebut Asas kebebasan melekat pada Hakim dan badan Peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu kekuasaan Negara yang bebas dari campurtangan kekuasaan Negara lainnya dari pihak luar. Hakim dalam lingkungan Peradilan Agama merupakan pejabat dan badan organ yang melaksanakan sebagian kekuasaan Negara, yaitu kekuasaan kehakiman. Ia adalah Hakim Negara dan Pengadilan Negara. Bukan Hakim dan Pengadilan golongan rakyat tertentu. Ia berkewajiban menegakkan hukum dan keadilan, khususnya Hukum Islam di kalangan rakyat yang beragama Islam. 5 Asas wajib mendamaikan penyelesaian yang terbaik adalah dengan cara perdamaian. Hukum Islam mementingkan penyelesaian perselisihan dengan cara berdamai, sebelum dengan cara putusan Pengadilan, karena putusan Pengadilan dapat menimbulkan dendam yang mendalam, terutama bagi pihak yang dikalahkan. Untuk itu sebelum diperiksa Hakim wajib berusaha mendamaikan 5 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. 4, hal. 163 . kedua belah pihak terlebih dahulu. Apabila hal ini dilakukan oleh Hakim bisa berakibat bahwa putusan yang dijatuhkan batal demi hukum. 6 Asas kewajiban Hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pe ndekatan “’islah”. Karena itu, Hakim Peradilan Agama harus mengemban fungsi mendamaikan. Sebab walau bagaimanapun adilnya suatu putusan, namun akan tetapi lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian. 7 Asas sederhana, cepat dan biaya ringan meliputi tiga aspek. Sederhana, berhubungan dengan prosedur penerimaan sampai dengan penyelesaian suatu perkara. Cepat, berhubungan alokasi waktu yang tersedia dalam proses peradilan. Biaya ringan, berhubungan dengan keterjangkauan biaya perkara oleh para pencari keadilan. Asas ini tercantum dalam pas al 4 ayat 2 “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, biaya ringan”. Asas persidangan terbuka untuk umum mengandung pengertian bahwa setiap pemeriksaan yang berlangsung dalam sidang Pengadilan memperkenankan kepada siapa saja yang berkeinginan untuk menghadiri, mendengarkan, dan menyaksikan jalannya persidangan. Asas ini mencerminkan sifat dan suasana keterbukaan, memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk menghadiri 6 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, ed.2, cet.4, hal. 56. 7 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 164. persidangan sesuai dengan daya tampung yang tersedia. Hal ini memungkinkan jalannya persidangan pemeriksaan perkara dapat dilakukan secara jujur fair trial. Namun demikian, tidak semua sidang pemerikasaan perkara terbuka untuk umum dan ini sesuai dengan pasal 59 ayat 1 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyata kan: “Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.” Ini menandakan bahwa pada dasarnya sidang pemeriksaan di Pengadilan terbuka untuk umum, namun dalam hal yang ditentukan oleh Undang-Undang atau karena pertimbangan Hakim, maka dilakukan pengecualian. 8 Asas legalitas maksudnya semua tindakan yang dilakukan berdasarkan hukum. Ia memiliki makna yang sama dengan bertindak menurut aturan-aturan hukum rule of law. Asas ini menunjukkan tentang pengakuan terhadap otoritas dan supremasi hukum, oleh karena Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum rechtsstaat. Berkenaan dengan hal ini, maka kekuasaan kehakiman berfungsi untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republilk Indonesia. Hakim sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, dalam tindakannya, dilakukan menurut ketentuan hukum. Tindakan pemanggilan 8 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 166. para pihak, penyitaan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan, dan eksekusi putusan, seluruhnya dilakukan menurut hukum. Asas legalitas tercantum dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No, 14 tahun 1970 Jo. Undang-Undang No. 35 tahun 1999 “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang”. 9 Asas aktif memberi bantuan ialah Pengadilan dalam hal ini Hakim yang memimpin persidangan, bersifat aktif dan bertindak sebagai fasilitator. Di dalam ketentuan pasal 58 ayat 2 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 dinyatakan “Pengadilan membantu para pencari keadilan segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya Peradilan yang sederhana , cepat, dan biaya ringan”. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim, bersifat aktif, pengambil inisiatif, dan menjadi fasilitator dalam persidangan. 10 Menurut Yahya Harahap rincian formal yang tercakup dalam pemberian bantuan itu adalah sebagai berikut: a. Membuat gugatan bagi yang buta huruf. b. Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”. c. Menyarankan penyempurnaan surat kuasa. d. Menganjurkan perbaikan surat gugatan. e. Memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah. f. Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban. g. Bantuan memanggil saksi secara resmi. h. Memberi bantuan upaya hukum. i. Memberi penjelasan tatacara verzet dan rekovensi. 9 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 167. 10 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 167. j. Mengarahkan dan membantu merumuskan perdamaian.

3. Kedudukan Peradilan Agama.