j. Mengarahkan dan membantu merumuskan perdamaian.
3. Kedudukan Peradilan Agama.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan negara dapat dibedakan menjadi 3 bidang atau yang biasa disebut dengan trias politica yaitu pemisahan
kekuasaan menjadi 3 bidang yaitu: a.
Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang- undangan.
b. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-
perundangan. c.
Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk menegakkan peraturan perundang- undangan.
Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh Presiden sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-
Undang Dasar. Kekuasaan legislatif dilakasanakan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yaitu “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-
Undang”. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh badan kehakiman sesuai dengan pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
4. Kewenangan Peradilan Agama.
Kewenangan bisa juga disebut dengan kompetensi atau kekuasaan. Kewenangan Peradilan dalam kaitannya dengan hukum acara, biasanya
menyangkut dua hal, yaitu tentang ”Kewenangan Relatif” dan ” Kewenangan Absolut”
11
Kewenangan relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang sama
jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Negri Bandung dengan Pengadilan Negri Tangerang satu jenis yaitu sama-sama lingkungan
Peradilan Umum tingkat pertama. Antara Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Pengadilan Agama Jakarta Timur satu jenis yaitu sama lingkungan
Peradilan Agama tingkat pertama. Wewenang Relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara
Pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 H.I.R. menyangkut kekuasaan relatif dalam bahasa Belanda disebut ”distributie van
rechtmacht ”. Azaznya adalah ”yang berwenang adalah Pengadilan Negri tempat
tinggal tergugat”. Azaz ini dalam bahasa latin dengan sebutan ”actor sequitur
11
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, hal. 25.
forum rei ”. Pasal 17 B.W menyatakan bahwa tempat tinggal seorang adalah
tempat dimana seorang menempatkan pusat kediamannya. Mungkin akan lebih jelas apabila dikemukakan, bahwa tempat tinggal seorang dilihat dari kartu
penduduk orang tersebut.tempat tinggal adalah dimana seorang berdiam dan tercatat sebagai penduduk. Sedang tempat kediaman adalah dimana seorang
berdiam, mungkin dirumah peristirahatannya di Puncak.
12
Jadi gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggal tergugat. Kalau penggugat Pengadilan Agama tinggal di Yogyakarta sedang
tergugat bertempat tinggal di Surabaya maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama Surabaya. Kiranya tidak layak apabila tergugat harus mengahadap ke
Pengadilan Agama di tempat penggugat tinggal. Tergugat tidak dapat dipaksa untuk menghadap ke Pengadilan Agama ditempat penggugat tinggal, hanya
karena ia digugat oleh penggugat, yang tentu belum terbukti kebenaran gugatannya.
13
Kewenangan absolut menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan Peradilan. Dilihat dari macam-macam Pengadilan menyangkut pemberian
kekuasaan untuk mengadili. Dan dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtmacht.
14
Kompetensi absolut suatu badan Peradilan adalah atribusi
12
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, Mandar Maju, 2005, hal. 12.
13
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006, hal. 86.
14
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, hal. 11.
kekuasaan berbagai jenis peradilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
15
Pasal 10 ayat 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970 menjelaskan 4 macam lingkungan Peradilan
di Indonesia, yaitu: a.
Peradilan Umum b.
Perdilan Agama c.
Peradilan Militer d.
Peradilan Tata Usaha Negara
Menurut pasal 10 ayat 2 dan ayat 11 ayat 2 dari Undang-Undang tersebut, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dan ia mempunyai
organisasi, administrasi, dan keuangan tersendiri oleh karena masing-masing lingkungan Peradilan tersebut terdiri dari Pengadilan tingkat pertama dan tingkat
banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung. Disamping Mahkamah Agung sebagai puncak dan pemegang kekuasaan tertinggi dan pengawas tertinggi
badan-badan peradilan pasal 10 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 menetapkan dan membedakan empat lingkungan peradilan, masing-masing mempunyai
kewenangan mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Pembagian kewenangan masing-
masing lingkungan peradilan, telah diatur kemudian dalam Undang-Undang sebagai Undang-Undang pelaksana tersebut ditentukan batas bidang kewenangan
mengadili masing-masing peradilan.
15
Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata Buku Daras, Jakarta: Fakultas Syariah UIN, 2006, hal. 23.
Mengenai adanya empat lingkungan Peradilan sebagai pelaksana fungsi dan kewenangan. Batas antara masing-masing lingkungan ditentukan oleh bidang
yurisdikasi yang dilimpahkan Undang-Undang. Dalam batas-batas tersebutlah masing-masing melaksanakan fungsi kewenangan mengadili. Tujuan dan rasio
penentuan batas kewenangan atau kempetensi setiap lingkungan Peradilan agar terbina suatu pelaksanaan kekuasaan tertib antar masing-masing lingkungan.
Masing-masing berjalan pada rel yang telah ditentukan untuk dilalui. Disamping untuk membina kewenangan yang tertib dapat juga memberi ketentraman dan
kepastian bagi masyarakat pencari keadilan. Dengan adanya pembatasan kompetensi absolut bagi masing-masing lingkungan Peradilan memberi arah yang
pasti bagi setiap anggota masyarakat pencari keadilan untuk mengajukan perkara.
16
Adapun susunan Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut: a.
Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung
b. Lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama, Pengadilan
Tinggi Agama, dan Mahkamah Agung c.
Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer, Mahkamah Militer Tinggi, dan Mahkamah Agung
d. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha
Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Militer Agung
16
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Pustaka Kartini, 1997. hal. 92-93.
Dalam pasal 49 ditentukan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berwenang dan bertugas mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang dan
tugas Pengadilan Agama dalam tingkat banding, juga menyelesaiakan sengketa yurisdikasi.
17
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang- Undang No. 7 tahun 1989 menyebutkan wewenang Pengadilan Agama adalah:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syariah.
Bidang perkawinan yang menjadi kewenangan dan kekuasan Pengadilan Agama adalah yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yaitu: a.
Izin beristri dari seorang
17
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 13.
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun,
dalam hal orang tua atau wali keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
c. Dispensasi kawin
d. Pencegahan perkawinan
e. Penolakan perkawinan oleh PPN
f. Pembatalan perkawinan
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri
h. Perceraian karena talak
i. Gugatan perceraian
j. Penyelesaian harta bersama
k. Mengenai pengasuhan anak-anak
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya m.
Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
p. Pencabutan kekuasaan wali
q. Penunjukan orang lain sebagai wali di pengadilan dalam hal kekuasaan
wali dicabut r.
Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 8 tahun yang ditinggal kedua orangtuanya padahal tidak ada penunjukan
wali oleh orang tuanya s.
Pembebanan kewajiban ganti rugi terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya
t. Penetapan asal usul seorang anak
u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawianan campuran v.
Pernyatan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU no 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain
Bidang kewarisan yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama disebutkan dalam pasal 49 ayat 3 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama: a.
Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris b.
Penentuan mengenal harta peninggalan c.
Penentuan bagian masing-masing ahli waris d.
Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut
Tentang wakaf, tidak dijelaskan secara rinci. Hal ini berarti masalah wakaf yang tersebut dalam UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menganut
asas hukum Islam yang universal. Maksudnya, masalah wakaf tersebut tidak dibatasi dalam hal tertentu saja bagaimana tersebut dalam PP No. 28 tahun 1977,
Lembaran Negara No. 1938 tahun 1977 jo. PERMENDAGRI No 6 tahun 1977. perwakafan yang diatur dalam UU No 7 tahuun 1989 tentang Peradilan Agama ini
meliputi sah tidaknya barang wakaf. Mengenai sedekah diartikan memberikan barang tetap maupun bergerak yang
segera dihabis dipergunakan atau tidak habis dipergunakan kepada orang lain tanpa imbalan dan tanpa dan syarat apapun melainkan semata-mata
mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah SWT. Pada umunya sedekah ini dapat menjelma dalam bentuk zakat, infaq, sedekah jariah untuk pembangunan
rumah sakit, tempat-tempat ibadah, pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
B. Hakim Peradilan Agama Sebagai Pejabat Pemberi Izin Poligami.